Salman Toriq

Waktu tak terasa berjalan begitu cepat. Keadaan pun membaik, seperti dulu lagi. Rahasia yang disimpan rapat sudah terbongkar. Hati rasanya plong, Salsa sudah mengetahui kebenaran. Yang membuat Lili dan Al semakin bahagia, Salsa tambah sayang dan menghormati mereka.

Bertahun-tahun dilewati mereka selayaknya keluarga kecil yang tak terhalang perbedaan darah. Salsa sudah legowo menerima kenyataan. Justru dia bersyukur berada di tengah keluarga yang memberinya cinta serta kasih sayang melimpah, hingga dia tidak merasakan kekurangan perhatian.

"Umi, kemarin ada koas dari Menado mendekati Abi saat kami selesai operasi."

"Terus?" Lili menutup buku yang sedang dia baca. Dia melepas kacamatanya dan memerhatikan Al.

"Dia terang-terangan bilang sama Abi kalau ingin taaruf dengan Salsa." Al menatap Lili lembut.

Lili menarik napas panjang. Hatinya seperti ada yang mengganjal, tidak rela jauh dari Salsa. Sejujurnya di usia Salsa yang sekarang, sudah cukup untuk berumah tangga. 23 tahun! Apalagi Salsa kini sudah menjadi koas di salah satu rumah sakit, beda dengan tempat Al bekerja.

"Menurut Umi bagaimana?" tanya Al mengelus pipi Lili.

"Gimana, ya, Bi. Umi itu masih berat kalau jauh sama Salsa." Wajah Lili berubah sedih.

"Cepat atau lambat, namanya kita punya anak perempuan, risikonya memang harus merelakan dia ikut suaminya. Seperti kamu dulu. Iya, kan?"

"Aku tahu, Bi. Cuma aku belum siap."

"Salsa, aku, kamu, dan semua orang yang kita sayangi itu milik Allah. Jika Dia ingin mengambil dari kita, itu hak-Nya. Jangan takut kehilangan."

Lili tersenyum, lalu memeluk Al. Dia sadar hal itu. "Iya, Bi. Insyaallah aku ikhlas."

"Masih ingat, kan, tujuan kita apa?"

Seulas senyum terlukis di bibir merah Lili. "Masih dong, Bi. Mengejar surga."

Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Al dan Lili sudah dapat menebak siapa yang datang. Mereka menegakkan duduk, bersikap sewajarnya.

"Asalamualaikum."

"Wa 'alaikumus-salam." Lili dan Al menyahut bersama.

Salsa langsung mendekati Lili, menjabat dan mencium tangannya. Sedangkan dengan Al, dia hanya tersenyum menyapa. Salsa sudah bisa membatasi diri dengan Al. Namun, tidak mengurangi rasa sayang Salsa kepada Al, sebagai abinya.

"Bi, Salsa besok mau ngajak teman-teman main sini, boleh?"

"Cewek atau cowok?" Lili langsung menyahut, padahal yang diajak bicara Al.

"Ya Allah, Umi ... cewek dong."

"Oooh," sahut Lili lega.

"Boleh," jawab Al dengan senyum manis, melegakan hati Salsa.

"Alhamdulillah. Ya sudah, kalau gitu Salsa bersih-bersih dulu."

Lalu Salsa ke kamarnya, membersihkan diri. Setelah salat Isya, Salsa turun ke ruang makan. Waktunya keluarga itu makan malam. Salsa duduk di sebelah Lili.

"Salsa, boleh Abi bicara sesuatu?" kata Al sebelum mereka mulai makan malam.

"Boleh dong, Bi. Silakan." Salsa bersiap mendengarkan.

"Salsa punya teman bernama Salman Toriq?"

Terdiam, Salsa mencoba megingat. "Hmmm ... panggilannya siapa, ya, Bi? Teman koas atau kuliah, Bi?"

"Teman kampus Salsa."

"Yang mana orangnya, ya, Bi? Salsa selama ini enggak begitu memperhatikan teman-teman cowok, Bi. Memangnya ada apa, Bi?"

"Jadi, beberapa waktu lalu di rumah sakit ada koas baru. Kayaknya satu angkatan sama Salsa. Beberapa kali mengajak Abi mengobrol. Terus, tadi dia mengutarakan niat baiknya, jika ingin taaruf denganmu."

Salsa terkejut bukan main. Pupil matanya sampai melebar. Dia juga memegangi bawah lehernya.

"Terus Abi jawab apa?"

"Abi bilang, mau bicara dulu sama kamu."

Salsa menoleh Lili, dia bingung. "Umi, bagaimana?"

"Loh, kok malah tanya Umi sih. Kamu sendiri bagaimana?"

"Salsa belum tahu orangnya yang mana dan seperti apa, Umi, Abi." Salsa menatap Lili dan Al bergantian.

"Selama Abi menjadi pembimbingnya, setahu Abi, Salman anak yang taat pada agama, cerdas, dan banyak pasien yang suka diperiksa dia. Untuk latar belakang keluarga, Abi belum tahu. Makanya, dia ingin mengajak kamu taaruf, agar kalian bisa kenal dulu lebih jauh."

"Abi, Salsa butuh waktu untuk memikirkan hal ini. Boleh?"

"Tentu boleh dong."

"Makasih, Abi."

Salsa senang, orang tuanya selalu bisa memahami dia. Walaupun mereka orang tua angkat. Mereka mengambil makan malam di piringnya masing-masing. Makan malam tampak tenang.

***

Tiga gadis berhijab sedang asyik mengobrol di balkon kamar sambil ngemil. Siang ini Salsa kedatangan teman baiknya, Ayunda dan Dinda. Mereka satu kampus dan seangkatan. 

"Eh, Yun, Din, kalian kenal yang namanya Salman Toriq enggak?" Salsa menatap teman-temannya bergantian.

"Salman Toriq?" sahut Ayunda, dijawab Salsa dengan anggukan. "Lah, bukannya dia itu presiden mahasiswa?" lanjut Ayunda mengejutkan Salsa.

"Masa sih dia ketua BEM?" Salsa masih tak yakin dengan jawaban Ayunda.

"Iya, Sa. Salman itu satu angkatan sama kita. Tumben kamu tiba-tiba nanyain cowok. Kenapa?" Ayunda mengerling, tersenyum jahil, menggoda Salsa.

"Enggak apa-apa. Cuma penasaran aja." Salsa  meremas tangannya sendiri, berusaha merahasiakan tujuan Salman yang ingin mengajaknya taaruf. Salsa tidak mau mendapat ledekan dari teman-temannya. Malu!

"Ada apa sih, Sa? Kamu jangan main rahasia-rahasiaan sama kami. Ada apa sama Salman?" Dinda memperhatikan gelagat Salsa yang gelisah. Menandakan dia sedang menyembunyikan sesuatu.

Mereka kenal Salsa cukup lama, sejak berjumpa di kampus saat pendaftaran, kurang lebih empat tahunan yang lalu.

"Ah, aku malu mau cerita. Nanti kalian malah ngeledekin aku."

"Astagfirullah, suuzan banget sih kamu, Sa. Kepedean!" ujar Ayunda ditimpali kekehannya dan Dinda.

Salsa bergumam, sedikit ragu saat ingin mengatakan. "Kata Abi, Salman mau ngajak aku taaruf."

"Masyaallah!" pekik Ayunda dan Dinda bersamaan, spontan mengagetkan Salsa.

"Kalian kenapa sih teriak begitu?"

"Kamu serius, Sa?" Dinda memegang tangan Salsa, sambil menatap kedua matanya.

Salsa mengangguk. "Serius. Abi yang bilang kemarin malam."

"Terus, terus, terus, kamu jawab apa?" Giliran Ayunda yang mendekat pada Salsa.

Menggeleng. "Aku belum jawab apa-apa."

"Sa, banyak cewek di kampus kita ngejar-ngejar Salman. Kamu yang enggak tahu orangnya malah diajak taaruf. Kamu mimpi apa selama ini sih, Sa? Kejatuhan bulan kamu, Sa, kalau sampai menerimanya." Ayunda tampak heboh sendiri.

"Emangnya dia orangnya gimana sih?"

"Setahuku, ya, Sa, Salman itu anak kiai kondang di Jawa Barat. Abinya pemimpin pesantren di daerah Bogor, Tasikmalaya, pokoknya sekitar Jawa Barat gitu deh. Terus dia itu hafiz. IPK-nya enggak pernah di bawah empat," papar Dinda yang sepertinya tahu banyak tentang Salman.

Salsa mengerutkan dahi, menatap Dinda curiga. "Din, kok kamu tahu banyak sih tentang Salman?"

Nyengir. Dinda memamerkan barisan giginya yang rata. "Dulu kami satu sekolahan pas SMA. Terus aku juga beberapa kali hadiri pengajiannya. Sempat mengagumi sih. Tapi aku sadar diri, Sa."

"Astagfirullah, Dinda." Salsa menggeleng sambil mengelus dadanya.

"Itu dulu, Sa. Sekarang mah aku tahu batasan-batasannya."

"Terus apa lagi yang kamu tahu tentang dia?" Sengaja Salsa mencari tahu banyak informasi mengenai Salman sebelum dia memberi jawaban.

"Dia punya adik cowok, mungkin masih SMA sekarang. Terus apa lagi, ya, Sa? Aku bingung, soalnya tahuku, ya gitu-gitu aja."

Salsa menjadi semakin penasaran dengan orangnya. Dia ingin tahu lebih banyak tentang Salman.

***

Setelah Salsa memberikan jawaban, malam ini Al mengundang Salman beserta kedua orang tuanya untuk datang ke rumah. Salsa sedari tadi di kamar, dia tak tenang, perasaannya gelisah. Al dan Lili sudah siap, mereka menunggu di ruang tamu. Suara mobil masuk ke pelataran. Al dan Lili bergegas ke teras, menyambut tamu yang mereka belum tahu orangnya.

Mobil putih terparkir di pelataran, Salman keluar dari mobil itu didampingi kedua orang tuanya. Al dan Lili sangat terkejut melihat tamunya.  Mereka bertemu di teras, Lili langsung memeluk uminya Salman.

"Masyaallah. Jadi ..." Lili tak menyangka, dia menunjuk Salman, "dia anak kamu?"

"Iya, Li." Senyum mengembang di bibir teman baik Lili itu.

"Apa kabar Gus Lutfi?" Ali menyambut hangat Lutfi, dia memeluknya.

"Alhamdulillah, Gus Al. Kabar saya dan keluarga baik."

"Mari silakan masuk." Al merangkul Lutfi masuk ke ruang tamu. 

Mereka semua duduk di sana, sedangkan Lili menjemput Salsa di kamarnya. Ketika Salsa tiba di ruang tamu, dia melihat Salman sekilas, lalu menundukan kepala. Salsa baru ingat, mereka sering berpapasan saat di kampus, hanya saja Salsa tidak mengetahui namanya. Mencairkan suasana lebih dulu, mengobrol mengenai pondok pesantren, pekerjaan, dan pastinya kabar keluarga masing-masing.

"Jadi, begini, Gus Al, Neng Lili, anak saya, Salman Toriq, beberapa minggu lalu menyampaikan bahwa dia ingin taaruf dengan salah satu gadis. Jujur, awalnya saya tidak tahu jika itu putri kalian. Tahunya tadi, pas mau berangkat ke sini, baru dia mengatakan jika gadis itu putri tunggal kalian."

"Masyaallah, Salman, kenapa tidak bilang kalau kamu putranya Gus Lutfi? Saya kenal baik orang tua kamu. Keluarga kita juga cukup dekat." Al berbicara sangat lembut kepada Salman.

"Maaf, Dok, saya tidak tahu kalau Dokter sudah mengenal orang tua saya." Salman menunduk, sikapnya sangat sopan, Al suka dengan kepribadiannya.

"Jadi, bagaimana ceritanya kamu bisa mengetahu putri saya, Salman?" Al sudah sangat penasaran.

"Saat itu kampus sedang menggelar acara Maulid Nabi, Dok. Kebetulan Salsa mengisi sebagai pembaca Al-Qur'an. Sejak itu saya mulai mencari tahu tentang dia dari teman-temannya. Saat saya tahu Dokter Al abi Salsa, saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Saya memberanikan diri menyampaikan kepada Dokter, niatan saya yang ingin mengenal Salsa lebih dekat sekaligus keluarganya," papar pria tampan itu yang tak berani memandang Salsa, dia menjaga matanya dengan menunduk.

"Sejauh mana kamu mengenal anak saya, Salman?"

"Maaf jika kurang berkenan. Saya tahu bahwa Salsa adalah putri angkat Dokter.  Walau bagaimanapun dia, insyaallah saya bisa menerimanya dengan ikhlas."

Tak perlu dikhawatirkan lagi jika rahasia besar itu sudah dapat Salman terima. Annisa dan Lutfi pun sebenarnya juga sudah tahu sejak dulu jika Salsa bukan anak kandung Al dan Lili. Namun, mereka tetap menghargai keputusan putranya.

"Salsa, Abi menyerahkan keputusan di tangan kamu."

Sejenak ruang tamu menjadi hening. Salsa gugup, dia mendapat genggaman erat tangan  Lili. Lumayan, sedikit meredakan kegelisahannya.

"Abi, tolong sampaikan kepada Mas Salman, apakah dia bersedia menunggu Salsa sampai selesai koas?"

"Bagaimana, Salman? Apa kamu sanggup menunggu Salsa sampai selesai koas?" tanya Al sebagai perantara putrinya dan Salman.

"Insyaallah, Dok, saya siap menunggu."

"Alhamdulillah." Semua mengucap syukur.

Malam itu menjadi pertemuan yang hangat. Salman dan Salsa bertukar informasi mengenai pribadi mereka masing-masing di hadapan orang tuanya.

Masyaallah, takdir emang rahasia Allah, ya? Gus Al dan Gus Lutfi bertemu lagi melalui anak-anak mereka.

Satu part lagi ending. Ya Allah, enggak nyangka banget bisa sejauh ini. Selangkah lagi cerita ini selesai.

Dari kisah Dokter Al dan Neng Lili ini aku belajar banyak hal, bahwa tidak ada ujian yang Allah berikan melebihi kemampuan umat-Nya. Neng Lili tidak bisa punya anak, tapi Allah memberi jalan keluar, mengirimkan Salsa di tengah kerinduan Al dan Lili mendekap buah hati.

Terus juga proses pertemuan Lili dan Al. Bagaimanapun mereka terpisah, jika takdir menjodohkan, mereka bertemu juga, kan?

Kesetiaan Al yang aku acungi jempol. Makasih, Gus Al, sudah setia mendampingi Neng Lili dan menerimanya dalam keadaan apa pun.

Kalau kalian bagaimana? Bagian apa yang bisa diambil hikmahnya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top