Rumah Tangga

Setelah menikah, Al harus mengalah sementara waktu karena Lili belum siap jauh dari pesantren dan orang tuanya. Ini bentuk toleransi Al kepada istri. Namun, sudah ada kesepakatan di antara mereka. Setelah Lili siap, dia harus ikut pindah ke rumah orang tua Al sampai rumah yang sudah Al persiapkan selesai renovasi.

Matahari belum menampakkan sinarnya. Hari masih gelap. Udara pun terasa sejuk dan segar. Lili sudah bangun lebih dulu. Dia melihat sang suami yang tadi malam baru pulang dinas masih terlelap di tempat tidur. Namun, dia harus membangunkan Al untuk mengingatkan kewajibannya.

"Mas." Suara lembut Lili menjadi alarm termerdu setiap pagi Al sejak mereka menikah dua bulan lalu. "Ayo bangun, bersiap salat Subuh," lanjut Lili berbisik di telinga Al.

Sayup-sayup suara Lili di telinganya, segera Al membuka mata, senyum manis Lili pertama yang dia lihat. Sejuk dan menyenangkan hati. Lili yang duduk di tepi ranjang mengusap-usap lengan Al.

"Kamu sudah mandi?" tanya Al melihat rambut Lili setengah basah.

"Sudah. Ayo bangun. Mumpung belum azan, Mas Al mandi dulu."

Lili menarik tangan Al, membantunya menegakkan tubuh. Sebelum berdiri, dia duduk di tepi ranjang, di sebelah istrinya sambil tersenyum manis.

Al memperhatikan Lili lekat. "Aku suka melihatmu begini, cantik natural," ujar Al sukses membuat Lili tersipu.

"Mas Al, jangan merayuku," ucap Lili salah tingkah. Dia tersenyum dan menunduk malu-malu. Lili beranjak dari tempat tidur.

Al ikut berdiri, lalu memeluk Lili dari belakang. "Aku tidak merayu, aku berkata jujur," kata Al memutar tubuh Lili agar menghadapnya. Lantas Al mengecup kening Lili hingga sekujur tubuhnya merinding. "Kamu tahu ...?" tanya Al menggantung.

"Apa?" Lili memandang kedua mata Al yang sayup, dia juga sedang menatap kedua mata Lili.

"Aku sudah jatuh cinta padamu, saat pertama mendengar kamu membaca Al-Qur'an di masjid Al-azhar."

Mata Lili melebar, dia terkejut, menuntut penjelasan dari sang suami. Namun, Al hanya tersenyum manis. Sebelum masuk kamar mandi, Al mencium pelipis Lili.

"Mas Al utang penjelasan sama aku." Suara Lili mengiringi langkah Al ke kamar mandi.

Sebelum masuk ke kamar mandi, Al menoleh dan hanya tersenyum lebar. Bibir Lili cemberut, memperlihatkan tingkah manjanya.

***

Lili bersama Fatimah sedang menata makan malam di meja makan. Sudah pukul 19.00 WIB Al belum sampai rumah. Perasaan Lili gelisah karena sejak siang tadi nomor suaminya tidak bisa dihubungi. Beberapa kali dia menoleh ke pintu utama, berharap Al segera muncul dari balik pintu itu.

Ketika Lili selesai menata piring dan sendok, pintu utama terbuka. Bergegas dia menghampiri sambil tersenyum lebar. Namun, perlahan senyum itu pudar saat yang datang Kiai Dahlan bersama dua santri.

"Sudah, letakkan di sini saja," kata Kiai Dahlan menunjuk ke lantai.

Dua santri itu meletakkan kotak kayu di samping Kiai Dahlan. Lili mengerutkan dahi sambil menatap kotak itu.

"Abah, apa itu?" tanya Lili mendekat, lalu menyalami Kiai Dahlan dan mencium punggung tangannya.

Fatimah yang tadi di dapur, mendengar suaminya sudah pulang, lantas mencuci tangan dan menyusulnya di ruang tamu. Dia menyalami Kiai Dahlan, tak lupa mencium punggung tangannya. Matanya tertuju pada kotak kayu yang ukurannya cukup besar.

"Abah, itu kotak apa?" tanya Fatimah menatap Kiai Dahlan dan Lili bergantian.

"Tadi pulang mengisi pengajian, ada salah satu jemaah memberikan ini, Umi. Isinya Al-Qur'an, sajadah, mukena, sarung, dan oleh-oleh dari Arab Saudi. Beliau titip untuk diserahkan kepada santri yatim piatu di pesantren kita."

"Alhamdulillah. Semoga Allah membalas kebaikannya, ya, Bah?" ujar Lili, diangguki Kiai Dahlan.

"Aamiin," sambung Fatimah. "Jadi, ini dari Arab sudah dikotaki begini, Bah?"

"Iya, Umi. Kalau dari penjelasan beliau yang memberikan paket ini tadi sih, katanya hadiah-hadiah di dalam situ hasil patungan para TKI yang bekerja di Arab. Mereka sering mendengar tausiah Abah, Neng Dila, sama ...." Kiai Dahlan melirik Lili sambil tersenyum penuh arti.

Yang ditatap senyum-senyum malu. "Ih, Abah, aku jadi malu," kata Lili menutup wajah cantiknya yang natural.

Kiai Dahlan terkekeh kecil, lalu mengusap kepala Lili. "Abah bangga sama kamu, Ly. Terima kasih sudah menyebarkan kebaikan, seperti doa yang terkandung dalam nama kamu."

"Ily begini juga karena Abah sama Umi. Niat Ily cuma mau sharing dan berbagi pengalaman saja, Abah. Bukan menggurui atau ceramah seperti pemuka agama. Ilmu Ily belum sampai sana."

"Tapi, pengalaman kamu itu cukup mampu membangun semangat anak muda zaman sekarang. Kamu menjadi inspirasi dan motivasi mereka," puji Kiai Dahlan sesuai pengamatannya selama ini.

"Ah, Abah berlebihan. Ily bukan motivator. Ily hanyalah anak Abah, cuma mau berbagi ilmu yang pernah Ily dapatkan di Kairo dan hanya ingin mengajak anak muda, khususnya para ukhti, biar semangat menjalani hidup. Itu saja."

"Masyaallah, sesederhana itu pemikiranmu, Neng?" Fatimah mengelus kepala Lili yang terbalut jilbab maroon.

"Mohon maaf, Pak Kiai," sela seorang santri yang sejak tadi hanya berdiri di samping Kiai Dahlan. "Apakah kami sudah boleh kembali ke pondok?" tanyanya sopan, dengan kedua tangan di depan perut, badan sedikit menunduk, tanda menghormati Kiai Dahlan.

"Oh, iya. Silakan. Terima kasih sudah menemani saya ke pengajian tadi dan membawakan ini sampai rumah, ya?" ucap Kiai Dahlan sambil menunjuk kotak kayu itu.

"Sama-sama, Pak Kiai. Kami pamit dulu."

Mereka menjabat tangan Kiai Dahlan dan menciumnya. Tanpa bersentuhan dengan Lili dan Fatimah, kedua santri itu berpamitan.

"Asalamualaikum," ucap mereka bersamaan sembari melangkah keluar dari rumah.

"Wa 'alaikumus-salam," jawab Kiai Dahlan, Lili, dan Fatimah kompak.

Selepas mereka pergi, Kiai Dahlan menggeser kotak tersebut agar tidak menghalangi jalan.

"Abah bersih-bersih dulu, ya? Makan malam sudah Umi siapkan," tutur Fatimah dengan suaranya yang lembut dan halus.

"Iya, Umi. Terima kasih," ucap Kiai Dahlan tersenyum manis kepada Fatimah. "Oh, iya, Al belum pulang, Ly?"

Belum juga Lili sempat menjawab, suara mobil yang sudah familier di telinganya berhenti di pelataran. Hati Lili yang tadi gelisah, kini sirna, berganti bahagia. Kiai Dahlan bersama Fatimah hanya tersenyum, lantas melanjutkan langkahnya, meninggalkan Lili di ruang tamu, sedangkan Lili menunggu sang suami. Dia menanti di depan pintu sambil tersenyum manis.

Tak berapa lama pintu terbuka. Sosok pria berkacamata yang dinantikan, akhirnya berdiri di depannya. Tanpa diminta, Lili langsung meminta tas kerja Al, dia juga mengambil jas putih yang tersampir di lengannya.

"Asalamualaikum," ucap Al saat sudah di depan Lili. Bibirnya dengan mudah mendarat di kening Lili.

"Wa 'alaikumus-salam," jawab Lili dengan senyuman terbaiknya. "Mas, kenapa kok dari tadi aku telepon nomornya enggak aktif?" tanya Lili sambil menggandeng lengan Al. Mereka berjalan pelan menuju kamar.

"Maaf, Habibti," ujar Al mengusap kepala Lili.

Mendengar sapaan itu, hati Lili berbunga-bunga. Dia sangat bahagia. Habibti merupakan panggilan sayang dalam bahasa Arab yang artinya cintaku. Lili mesam-mesem sambil melirik Al.

"Kenapa kamu melirikku seperti itu? Ada sesuatu di wajahku?" tanya Al sembari mengusap wajahnya, takut jika ada kotoran.

Malah senyum Lili semakin lebar. "Aku senang mendengar itu," ucap Lili sangat lembut.

"Mendengar apa?"

"Kalau kamu memanggilku habibti, mulai sekarang aku akan memanggilmu habibi."

Al terkikih kecil. "Boleh. Aku bahagia mendengarnya." Al lalu mencolek hidung mancung Lili.

"Oh, iya, kamu tadi belum jawab pertanyaanku. Kenapa kamu tidak bisa aku dihubungi?"

"HP-ku tadi tiba-tiba mati, Habibti. Sudah aku coba cas, enggak bisa nyala. Maaf, ya, sudah bikin kamu cemas." Al mengusap pipi Lili.

"Oh, begitu? Aku gelisah memikirkan kamu seharian ini."

Sampai di kamar, Lili meletakkan tas kerja Al di meja kayu, dekat jendela. Dia gantung jas putih Al di hanger. Al melepas kemejanya, menyisakan kaus putih polos. Seminggu setelah mereka menikah, Al membelikan Lili ponsel. Tujuannya supaya dia mudah menghubungi istrinya. Toh juga di ponsel Lili hanya tersimpan nomor Al, orang tuanya, Rizky, Dila, dan Azizah.

Sengaja Lili tidak menyimpan nomor telepon Ilham. Bukan berarti Lili pilih kasih, hanya saja Lili membatasi diri. Jika ada kepentingan dengan papa mertuanya itu, Lili akan melalui perantara Al atau Azizah. Nanti Al maupun Azizah yang akan bicara dengan Ilham.

"Rencananya besok, mau aku bawa ke konter, coba diservis. Kalau tidak bisa, pakai HP yang lama saja."

"Memangnya masih bisa digunakan yang lama?" tanya Lili menyiapkan keperluan Al, sebelum dia menyuruhnya mandi.

Al menunggu Lili selesai menyiapkan keperluannya sambil beristirahat, duduk di kursi kayu, depan meja.

"Insyaallah masih bisa, ya Habibti."

Setelah meletakkan handuk dan pakaian bersih di kamar mandi, Lili mendekati Al. Dia mengusap kedua pundak Al sambil sedikit memijatnya. Relaks dan nyaman, Al sampai memejamkan mata, menikmati lembutnya tangan Lili yang sedang memijat.

"Habibi," seru Lili lirih.

Al membuka matanya, lalu menoleh ke belakang. "Ada apa?" tanyanya lembut.

Al memegang pergelangan tangan Lili supaya dia pindah berdiri di depannya. Ketika Lili sudah di depan, Al menggenggam kedua tangan halus, mulus, dan putih cerah itu.

"Tadi Mama telepon," kata Lili pelan-pelan sambil menatap Al.

"Lalu?" Al juga menatap wajah cantik Lili dengan sikap tenang dan santai.

"Mama minta kita segera pindah ke rumah sana."

"Habibti, aku tidak mau memaksamu. Tapi, kalau boleh meminta baik-baik, biar adil, sebelum nanti pindah ke rumah kita sendiri, lebih baik sementara kita tinggal di rumah Papa. Selain kamu bisa menjalin hubungan lebih dekat dengan mertua, di sana juga dekat dengan tempat kerjaku. Tapi, apa pun yang menjadi keputusan kamu, selama tidak merugikan salah satu dari kita, aku akan mengikuti." Al mengusap-usap pipi Lili dengan punggung tangannya.

"Memangnya renovasi rumah yang akan kita tempati nanti masih berapa lama lagi?"

"Insyaallah kalau tidak ada kendala, dua atau tiga bulan lagi sudah bisa ditempati."

Lili menatap wajah Al sendu. Ada sesuatu yang masih berat di hatinya jika meninggalkan pesantren. Tak dipungkiri, sejak lahir dia hidup di lingkungan itu sampai dewasa, pesantren itu yang sudah memberinya banyak ilmu dan pengalaman.

"Habibi, kalau aku nanti mau tinggal bersamamu di rumah Mama, apa aku masih boleh mengajar di madrasah?"

"Itu yang kamu khawatirkan?"

Lili mengangguk. "Aku masih belum bisa jauh dari murid-muridku."

"Kalau memang masalahnya itu, jangan kuatir, Habibti. Aku masih mengizinkanmu mengajar. Tapi, aku minta jangan terlalu sibuk, ya? Karena aku juga pengin kamu temani. Seperti saat ini, kamu basuh lelahku dengan senyuman manis dan pijatan kecil. Itu sudah sangat cukup bagiku."

"Iya, Habibi. Besok aku atur ulang jadwal mengajar dan tausiahnya, ya? Sebelum kita pindah ke rumah Mama. Aku juga akan bicara pelan-pelan sama Umi dan Abah."

"Alhamdulillah. Ya sudah, aku mau mandi dulu." Al beranjak dari tempat duduknya.

"Kamu sudah salat Isya, Habibi?"

"Sudah. Kamu?"

"Sudah. Tadi jemaah di masjid rumah sakit."

"Aku mandi dulu, ya?" Sebelum melangkah, Al mencium kening Lili dulu.

"Habis mandi kita makan malam, ya? Pasti ini Abah sama Umi sudah menunggu kita di ruang makan."

"Iya, Habibti," ujar Al sangat lembut seraya mengelus pipi mulus Lili.

Tak dapat ditutupi rasa bahagia Lili. Dia selalu tersenyum setiap bersama Al. Ternyata Al sosok pria yang sangat perhatian dan pengertian. Sabar menghadapinya. Lili merasa beruntung menjadi pilihan terakhir Al.







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top