Mukjizat Allah
Jam menunjukan pukul 03.00 WIB. Di luar hujan sangat lebat. Samar-samar Lili mendengar suara bayi menangis. Dia menajamkan pendengarannya.
"Habibi, bangun." Lili mengguncangkan tubuh Al.
Walau kantuknya sangat berat, Al berusaha menyahut, "Apa, Habibti?"
"Coba kamu dengar baik-baik, ada suara bayi menangis."
Al membuka matanya dan mendengarkan baik-baik. Segera dia turun dari tempat tidur, lalu menyalakan lampu kamar hingga suasana yang tadi gelap kini terang. Lili memakai kerudungnya, lalu mereka keluar dari kamar.
"Habibi, suaranya dari depan," ucap Lili berbisik sambil mereka menuruni tangga.
Perlahan mereka menghampiri suara itu. Sebelum Al membuka pintu, Lili mencegah lengannya.
"Hati-hati. Takutnya ada yang ngerjain kita."
"Kamu tenang saja, ya? Tetap waspada di belakangku," ucap Al melindungi Lili yang melangkah pelan-pelan di belakangnya.
Al membuka pintu, tak ada siapa pun. Guyuran hujan sangat lebat, tetapi suara tangisan bayi itu semakin terdengar jelas.
"Habibi, jangan keluar." Lili mencegah lengan Al.
"Tapi suaranya makin jelas, Habibti. Kamu di sini, aku cek samping rumah."
Lili pun merelakan Al keluar untuk memastikan. Al mengecek ke sumber suara, ternyata dari arah garasi. Dia mendekat, betapa terkejutnya Al.
"Astagfirullah." Al mengelus dada. "Habibti!" Al memekik, memanggil Lili dengan suara keras karena bersaing dengan suara hujan lebat.
Bergegas Lili berlari ke garasi. "Ada apa, Habibi?" tanya Lili begitu sampai di belakang suaminya.
"Telepon polisi sama Pak Arif, cepet! Jangan lupa Bidan Amalia."
Wajah Lili sangat terkejut melihat isi kardus itu. Segera dia masuk dan menelepon Arif, ketua RT, tak lupa polisi dan bidan terdekat yang buka praktik di komplek mereka. Al dan Lili belum berani melakukan tindakan lebih, selain menyelimuti tubuh polos nan mungil yang menggigil itu. Sebenarnya mereka tak tega melihat bayi tak berdosa itu menangis keras hingga bibirnya membiru.
"Habibi, lakuin sesuatu. Kasihan dia," ujar Lili, meneteskan air mata.
Rasanya ingin sekali dia mengangkat bayi itu dan memberikan kehangatan yang layak.
"Kita enggak punya susu untuk bayi, Habibti. Kalau asal melakukan tindakan, takutnya malah kenapa-kenapa."
Lili paham dengan kekhawatiran suaminya. Tak berapa lama, Arif datang bersama beberapa warga.
"Dokter Al, bagaimana ceritanya?" tanya Arif setelah di depan Al.
Al pun menceritakan runtut kejadiannya. Tak berapa lama Bidan Amalia datang, disusul pihak kepolisian. Rumah Al dini hari ramai. Amalia langsung mengambil tindakan, dia angkat bayi itu, dibantu asistennya, Amalia memeriksa kondisi bayi yang diperkirakan baru lahir tersebut.
***
"Habibti, kenapa?" Al menyentuh pundak Lili yang sedang melamun, bersandar di kepala tempat tidur.
"Habibi, aku kepikiran bayi kemarin."
Lantas Al duduk di sebelah Lili.
"Kita bisa apa, Habibti? Bayi itu butuh perawatan di rumah sakit karena keadaan kemarin sangat mengkhawatirkan."
"Iya. Aku paham. Tapi setelah dirawat, lalu dia akan dibawa ke mana?" Suara Lili mulai bergetar, seperti menahan tangis.
"Mungkin akan dibawa ke panti asuhan, Habibti."
Perasaan Lili pilu, sangat sedih mendengar kemungkinan itu. Seperti tersayat sembilu, hatinya sakit dan perih. Beberapa detik mereka saling diam, kepala Lili dipenuhi bayangan bayi mungil tak berdosa itu.
"Kalau kita adopsi bagaimana?"
Al terperanjat dan langsung menatap Lili dengan pandangan tak percaya. Bulu tebal di atas mata kirinya terangkat dan dahinya mengerut.
"Kamu yakin?"
Lili mengangguk mantap. "Aku sangat yakin, Habibi. Mungkin bayi itu adalah jawaban doa kita selama ini," ujar Lili dengan wajah semringah.
"Tapi kira-kira siapa yang meletakkan bayi itu di rumah kita, ya, Habibti? Kenapa dia bisa masuk? Padahal seingatku gerbang sudah tergembok."
"Habibi, gerbang kita kan pendek, sebatas dada orang dewasa. Orang kalau sudah gelap mata, yang ada nekat. Bisa aja, kan, orangnya manjat?"
"Iya, benar juga." Al menggut-manggut. "Oh, iya, soal adopsi tadi, kamu serius?"
Lagi-lagi Lili mengangguk dan kali ini diiringi senyum serta pandangan mengiba.
"Kamu gimana?"
"Aku sih, mau aja. Tapi prosesnya panjang loh. Kita masih harus menunggu hasil penyidikan polisi. Kalau memang bayi itu dinyatakan tidak punya wali atau memang sudah benar-benar tidak diinginkan keluarganya, baru kita maju, ya?" ujar Al sangat lembut, agar tidak menyinggung hati Lili.
Besar harapan Lili agar dapat memilikinya. Wajar, karena Lili sudah sangat menginginkan buah hati.
***
Mungkin ini menjadi kabar bahagia untuk Lili dan Al. Beberapa pekan belakangan, mereka setia menunggu kabar tentang bayi mungil itu. Pagi tadi Al mendapat telepon dari kepolisian bahwa tidak mendapat informasi apa pun tentang orang yang meletakkan bayi tersebut di rumahnya, hingga menyatakan bahwa bayi itu tidak memiliki wali.
"Habibi!" pekik Lili saat dia sampai di lobi rumah sakit, tempat bayi itu dirawat.
Al yang sedang menunggunya langsung menoleh. Lili mendekat, dia tak sabar ingin segera melihat bayi itu. Bergegas mereka pun masuk ke ruang bayi tersebut dirawat. Di dalam sudah ada tim penyidik dan dokter yang bertanggung jawab.
"Selamat siang, Dokter Al," sapa Sodikin, kepala penyidik, sambil menjabat tangannya.
"Siang, Pak Sodikin." Setelah itu Al mengalihkan pandangannya ke pria paruh baya, berkacamata, mengenakan snelli lengan panjang, yang menandakan bahwa dia adalah dokter spesialis, jika lengan pendek untuk dokter umum. "Bagaimana perkembangan bayi itu?"
"Alhamdulillah, kondisinya sudah membaik," kata dokter spesialis anak itu sambil tersenyum ramah kepada Al.
Semua yang mendengar mengucap hamdalah.
"Oh, iya, Pak Sodikin, mengenai bayi itu, apakah bisa kami mengadopsinya?" tanya Al, lalu menoleh Lili yang berdiri di sebelahnya.
Rasa gelisah menyelimuti hati Lili. Dia menunduk, menunggu jawaban Sodikin selaku penanggung jawab dari pihak kepolisian.
"Bisa saja, Pak Al. Tapi, banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Hal pertama yang harus Pak Al lakukan mengajukan permohonan adopsi secara tertulis kepada Dinas Sosial Jakarta. Setahu saya, yang bisa mengajukan itu minimal usia pernikahan lima tahun," papar Sodikin.
Al dan Lili langsung saling pandang. Usia pernikahan membuat mereka khawatir karena belum cukup menjadi syarat.
"Pak, kalau usia pernikahan kami belum ada lima tahun, apakah bisa pengajuan permohonan adopsi?" ujar Al dengan tatapan penuh harapan.
"Ada kemungkinan bisa, Pak. Tapi harus melampirkan keterangan dari dokter bahwa tidak bisa memiliki keturunan," ujar Pak Sodikin.
Perasaan Al dan Lili sedikit lega, setidaknya ada harapan untuk mereka.
"Habibi, besok kita urus, ya?" kata Lili yang sudah tak sabar.
"Iya, Habibti."
"Dok, apa boleh saya melihat bayi itu?" tanya Lili tanpa memandang dokter itu.
"Silakan."
Setelah mendapat izin, Lili langsung mendekati kotak bayi. Di dalam terbaring bayi yang masih merah tanpa dosa tertidur lelap. Lili menjulurkan tangannya untuk mengelus pipinya.
"Halo, Sayang. Insyaallah, kita akan bersama. Umi akan menjaga kamu dan mengajarimu banyak hal. Umi akan mengenalkanmu pada dunia. Sabar, ya, Sayang. Umi akan berjuang untuk mendapatkanmu." Tak terasa air mata Lili menetes. Perlahan kedua tangannya mengangkat bayi itu dan memeluknya. Semua orang yang berada di sana memperhatikan Lili.
Sosok keibuan memancar dalam diri Lili. Al dapat merasakan keinginan besar Lili untuk memiliki anak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top