Minder
Sayup-sayup Azizah mendengar kasak-kusuk segerombolan ibu-ibu yang sedang membantunya menyiapkan keperluan pengajian rutin di masjid Rumah Sakit Harapan Sehat. Mereka mengobrol sembari menata kotak makanan untuk konsumsi. Ada tiga ibu-ibu, semua Azizah mengenalnya baik.
"Jeng Intan, Bu Azizah beruntung banget, ya? Dapat menantu Neng Ily. Putri Kiai Dahlan. Masyaallah," kata Endang sambil menumpuk kotak putih berisi makanan kecil.
"Iya, ya, Bu Endang. Beruntung banget anaknya Bu Azizah. Denger-denger, Neng Ily itu juga lulusan Al-Azhar, Cairo loh, kayak anaknya Bu Azizah, Dokter Al," timpal perempuan berhijab merah bernama Intan.
"Oh, iya?" sahut Elvi, wanita paruh baya dengan dandanan tebal. "Kok enggak kelihatan kalau lulusan luar negeri, ya? Ambil jurusan apa dia?"
"Denger-denger sih dia kuliah di fakultas dirasat islamiyyah wa 'arabiyyah. Ambil jurusan ushuluddin," papar Intan yang sudah kenal lama dengan Azizah.
"Hah? Jurusan apa itu? Kok aku baru denger?" sahut Elvi tampak penasaran.
"Itu loh, Bu Elvi, tentang tafsir dan ilmu -ilmu Al-Qur'an, hadist, dan ilmu hadist, aqidah wa falsafah," jawab Intan sukses melebarkan mata Elvi dan Endang.
"Masyaallah," seru Endang dan Elvi bersamaan.
"Subhanallah, benar-benar tidak terlihat kalau dia wanita berkelas, ya? Berpakaian sederhana dan enggak neko-neko," ujar Endang sambil menggelengkan kepala.
Azizah tersenyum lebar, dia mendekati mereka dan menyela pembicaraan. "Maaf, ibu-ibu, sudah selesai menyusun snack-nya?"
"Sudah, Bu Azizah. Sesuai jumlah, seratus lima puluh, kan?" sahut Intan.
"Alhamdulillah. Kita tinggal menunggu jemaah dan Kiai Dahlan beserta rombongannya datang, ya?"
"Iya, Bu Azizah," sahut Endang, Intan, dan Elvi bersamaan.
"Kita tunggu di sana yuk!" ajak Azizah menunjuk kursi panitia.
Mereka pun mengikuti Azizah yang berjalan lebih dulu. Walaupun sebagian orang memuji menantunya, tetapi Azizah tetap rendah hati. Lain hal jika mereka menghina Lili, Azizah akan memasang badan untuk membela menantu kesayangannya itu.
***
Sebelum tidur, Al biasa membaca tafsir Al-Qur'an. Lili mendengarkan apa yang Al baca sambil bersandar di dadanya. Namun, kali ini ada yang beda. Al membacakan, tetapi Lili terlihat tidak memperhatikan, justru dia tampak sedang memikirkan sesuatu. Al menyudahi bacaannya, lantas meletakkan tafsir Al-Qur'an di nakas.
"Ada apa dengan istriku?" tanya Al mengelus kening Lili dan mencium pelipisnya.
Rasanya nyaman dan damai saat Lili diperlakukan manis seperti itu oleh Al.
"Habibi, apa perlu aku belajar merias dan mengubah penampilan?"
Al terkejut, dia mengerutkan dahinya. "Kenapa tiba-tiba kepikiran begitu? Apa yang terjadi?"
Lili pun menceritakan kejadian siang itu saat di butik Azizah beberapa hari lalu. Al hanya tersenyum dan dia paham.
"Cuma karena itu kamu mau mengubah kebiasaanmu?"
Lili bingung, tapi dalam hati dia tidak mau. "Kamu enggak malu punya istri sepertiku? Enggak bisa dandan dan enggak tahu baju yang bagus itu seperti apa."
Al menarik napas panjang lalu berkata, "Sekarang aku mau tanya sama kamu. Ada dua pohon, pohon kesatu tumbuh tinggi, tapi daunnya tidak bisa mengayomi dan pohon kedua tumbuh rendah, tapi daunnya lebat, bisa untuk berteduh. Kamu pilih mana?"
"Pohon kedua."
"Kenapa?"
"Ya karena bisa untuk berteduh."
"Tapi dia tumbuh rendah."
"Enggak apa-apa, yang penting dia bermanfaat untuk orang lain."
"Nah, itu jawabannya. Buat apa cantik, sukses, berprestasi, kariernya cemerlang, kalau tidak bermanfaat untuk orang lain? Mending jadi manusia apa adanya yang bermanfaat untuk banyak orang." Al mencolek hidung mancung Lili.
"Oh, iya, Habibi, kemarin Mama bilang mau ngajari aku nyetir mobil."
Mata Al terbuka lebar, menatap Lili tak percaya. "Terus?"
"Yaaa, aku mau. Soalnya aku malu, Habibi." Suara Lili dibuat manja, dia juga melendot di dada Al.
"Malu kenapa, Habibti?"
"Masa ke mana-mana Mama yang nyetir? Berasa jadi benalu."
"Ih, kok bicara begitu sih?" Al tersenyum sambil mencolek pinggang Lili hingga tubuh langsing itu menggeliat kegelian.
"Ih, geli, Habibi," seru Lili memegang tangan Al yang menggelitikinya. "Iya, Habibi. Aku malu sama Mama. Kamu bayangin deh, aku kan yang muda, tapi malah duduk manis di samping Mama. Harusnya aku yang nyetirin Mama." Bibir Lili cemberut.
Al menangkup kedua pipi Lili hingga bibirnya makin manyun. Saking gemasnya, Al mencium pucuk hidung Lili.
"Iya, Habibti. Tapi hati-hati, ya? Kalau enggak, besok aku masukan les nyetir aja gimana?"
"Yang latih cewek atau cowok? Kalau cowok aku nungguin kamu libur aja, biar kamu bisa latih aku," ujar Lili menatap suaminya dengan wajah imut yang menggemaskan, sambil kembali melendot manja di dada bidang Al.
"Iya. Besok latihan dulu sama Mama. Kalau aku libur, kita latihan lagi, ya?" Al mendekap Lili, memberinya kenyamanan.
Beberapa detik mereka saling diam, menikmati kebersamaan. Senyap, hanya suara jarum jam yang terdengar. Lili menutup kedua matanya, merasakan kenyamanan di dalam pelukan sang suami.
"Habibti," seru Al lirih.
"Hmmm." Lili mendongakkan wajahnya.
"Kamu sedang halangan enggak?"
Seketika Lili paham maksud Al. Dia tersenyum dan menggeleng.
"Aku matiin lampu, ya?" ujar Lili lantas beranjak dari tempat tidur, lalu matikan semua penerangan di kamar itu.
Ruangan menjadi gelap gulita. Lili kembali naik ke tempat tidur. Al merebahkan Lili dan setengah menindihnya.
"Allahumma jannib naassyyaithaana wa jannibi syaithoona maa razaqtanaa." Keduanya membaca doa itu bersama.
Menurut Ibnu Qayyim, ada tiga tujuan mulia yang bisa dicapai dengan berhubungan suami istri. Pertama untuk melestarikan keturunan hingga jumlah yang dikehendaki Allah SWT. Kedua, dapat mengeluarkan hal-hal mudarat yang berasal dari dalam tubuh. Terakhir, menjaga pandangan dari hawa nafsu kepada lawan jenis.
Doa berhubungan suami istri dibaca dalam tiga waktu, yaitu sebelum memulai berhubungan, saat mengeluarkan air mani, dan terakhir setelah selesai berhubungan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top