Memantapkan Hati
Sebelum besok menjadi hari yang akan menentukan masa depannya, di sepertiga malam, Al yang tengah dinas dua puluh empat jam, menyempatkan diri salat Istikharah di masjid rumah sakit. Di sana suasana sangat tenang, tak terlihat orang selain Al. Dia duduk di tengah masjid sendiri, kedua tangan menengadah.
"Ya Allah, jika memang Engkau sudah menentukan jodoh hamba dan kali ini adalah wanita yang tepat untuk hamba, lancarkanlah segala urusannya. Mantapkan hati hamba, jangan ada keraguan," ucap Al berusaha ikhlas menerima jalan yang sudah diberikan orang tua serta teman baiknya.
Lantaran hatinya belum benar-benar tenang, Al kembali melakukan salat Istikharah hingga hatinya benar-benar tenang. Dia juga tak putus berdoa demi memantapkan pilihannya kali ini.
Di tempat lain, tepatnya di kamarnya, Lili juga melakukan salat Istikharah. Dia memantapkan hatinya untuk menerima pria pilihan kakaknya. Usai salat beberapa rakaat, Lili berdoa sangat khusuk.
"Ya Allah, ya Tuhan-ku, Engkau lebih tahu yang terbaik untuk hamba. Apabila bukan dia yang menjadi pendampingku, semoga dia menemukan wanita yang terbaik. Jika memang besok adalah waktuku untuk memutuskan pendamping hidup, hamba mohon, berikan keikhlasan untuk merelakannya. Jangan beri hamba keraguan."
Hati Lili belum mantap, usai berdoa, dia kembali berdiri, lalu melakukan salat lagi sampai hatinya merasa tenang dan lega. Setidaknya Lili mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan yang mungkin tidak sesuai dengan yang dia impikan selama ini.
***
Sejak pagi, pulang dari dinas, Al belum sempat istirahat dan tidak bisa tidur karena gelisah. Hari ini merupakan pertemuan Al dengan perempuan yang dipilihkan papanya dan Rizky. Begitu mobil sampai di parkiran pesantren, jantungnya semakin berdebar-debar tak keruan. Kedatangannya bersama kedua orang tua disambut baik oleh keluarga besar Kiai Dahlan. Kini mereka semua duduk lesehan di ruang tamu rumah Kiai Dahlan.
Setelah berbincang basa-basi antar kedua keluarga, waktunya Ilham menyampaikan niat taaruf yang akan dilakukan putranya kepada putri bungsu Kiai Dahlan pada siang itu.
"Tidak mengurangi rasa hormat saya kepada keluarga besar Kiai Dahlan, saya selaku ayahanda Aldevaro Iqbal, ingin menyampaikan, bahwa putra saya berniat untuk mengenal putri bungsu Kiai."
"Saya minta maaf, Dokter Ilham, Ibu Azizah, juga Nak Aldevaro. Sebelum melanjutkan niat baik itu, saya ingin menyampaikan sesuatu," ujar Kiai Dahlan dengan sikap tenang dan senyum yang menyejukkan hati.
"Silakan, Pak Kiai," ujar Ilham sangat sopan.
"Putri saya ini buta dan lumpuh. Apakah keluarga Dokter Ilham masih mau menerimanya?" kata Kiai Dahlan mencengangkan semua orang yang berada di ruang tamu itu. Termasuk Rizky, Fatimah, begitupun saudara-saudari Kiai Dahlan, bahkan santriwati yang diminta untuk menemani Lili, mereka dan Lili duduk di belakang tembok pembatas ruang tamu dan ruang tengah.
"Insyaallah, saya dan keluarga siap menerima bagaimana pun keadaan putri Kiai Dahlan. Bukan begitu, Ma, Al?" ujar Ilham menatap istri dan putranya bergantian.
Al duduk bersila di antara Ilham dan Azizah. Dia hanya mendengarkan obrolan papanya dan Kiai Dahlan. Berbicara apabila Kiai Dahlan bertanya padanya, selebihnya Al hanya diam.
"Iya, Pak Kiai. Kami tidak mempermasalahkan fisik. Insyaallah putri Pak Kiai kami terima dengan tangan terbuka," imbuh Azizah tulus tanpa keraguan.
Al menunduk, dia takut berzina mata karena di ruangan itu banyak perempuan muda. Mereka adalah keponakan-keponakan Kiai Dahlan. Lili tidak terlihat di antara mereka. Menundukkan pandangan adalah langkah awal menjaga jiwa dan akal seorang muslim dari hawa nafsu.
Seperti kata orang-orang, dari mata turun ke hati. Berbagai perasaan dapat muncul bermula dari pandangan. Al sudah pernah mengalami itu. Secara tak sengaja dia mengangkat dagunya dan memandang seorang wanita yang membuat hatinya gundah gulana berbulan-bulan. Yang sampai sekarang, Al belum bisa melupakan wajah wanita itu.
"Bagaimana dengan Dokter Al?" tanya Kiai Dahlan.
"Saya pribadi tidak masalah, Pak Kiai. Jika memang dia tidak bisa melihat, saya yang akan menjadi mata untuknya. Dan saya akan menjadi kaki untuknya berjalan," ujar Al yakin dan mantap sambil menatap Kiai Dahlan.
"Alhamdulillah. Fatimah, ajak Lili kemari," titah Kiai Dahlan setelah puas mendengar jawaban mereka.
Fatimah beranjak, dia berjalan ke balik tembok pembatas ruang tamu. Tak berapa lama Fatimah menuntun Lili mendekat pada Kiai Dahlan. Al masih menunduk, dia sangat menjaga pandangannya. Sedangkan Ilham dan Azizah terkejut karena Lili tidak lumpuh dan bisa melihat.
Setelah Lili duduk di samping Fatimah, Kiai Dahlan menjelaskan, "Putri saya ini buta dengan dunia luar karena dia selalu berada dalam lingkungan pesantren. Dia tidak mengenal tren wanita masa kini. Jadi, lihatlah penampilannya, sangat sederhana. Dia lumpuh karena tidak pernah jalan-jalan di mal seperti wanita moderen pada umumnya. Kakinya digunakan untuk melangkah ke masjid dan berjalan di lingkungan pesantren."
"Masyaallah," ucap Azizah takjub. Sekali memandang, Azizah langsung jatuh hati pada Lili. "Al, lihatlah dia. Sebentar saja," bisik Azizah karena sedari tadi Al menunduk hanya mendengar saja.
Al mengangkat wajahnya, dia menatap Lili, begitupun Lili yang juga menatap Al. Betapa terkejutnya mereka. Buru-buru Al dan Lili menghindari pandangan mereka yang bertabrakan.
"Ini putri bungsu saya. Namanya Aisyah Puspa Lili. Dalam namanya, kami sebagai orang tua berdoa dan berharap, dia bisa sesabar Aisyah binti Abu Bakar, istri dari Nabi Muhammad SAW. Diharapkan dia juga bisa menjadi seseorang yang menikmati kehidupan dan bersungguh-sungguh dalam menjalani kehidupannya. Menyebarkan aroma wangi bagaikan bunga lili," jelas Kiai Dahlan, lantas mengelus kepala Lili.
"Masyaallah. Nama yang sangat cantik, sesuai dengan paras wajahnya," puji Azizah tak hentinya mengagumi Lili.
Dalam diamnya, Al tersenyum tipis, akhirnya dia mengetahui nama wanita yang selama ini membuatnya penasaran. Masyaallah, nama yang sangat cantik, batin Al.
"Neng, perkenalkan putra tunggal kami. Namanya Adevaro Iqbal. Dalam nama itu, kami selipkan doa terbaik, semoga putra kami menjadi pemimpin yang baik, mampu bekerja dengan baik dan menjadi laki-laki yang berwibawa, dihargai, berwajah tampan, cerdas, dan bijaksana," papar Ilham menepuk-nepuk punggung Al yang duduk sedikit membungkuk karena dia terus menunduk.
Hati Lili berdesir saat mendengar nama lelaki itu disebut, bahkan artinya sangat bagus. Lili tersenyum simpul.
"Bagaimana, Al?" tanya Azizah terdengar oleh semua orang yang ada di sana.
"Sampaikan padanya, Ma, apakah dia mau menerima saya yang banyak kurangnya ini?" kata Al padahal Lili bisa langsung mendengarnya.
Azizah tersenyum lebar, dia menatap Lili yang juga sedang memandangnya malu-malu.
"Neng, putra Tante ini bukan dari kalangan bangsawan, bukan juga keturunan ulama, dia adalah anak Tante yang insyaallah sangat Tante kenal, baik agamanya, ahlaknya, dan patuh kepada orang tua. Memanglah dia tidak sempurna, banyak kekurangan, dia tidak pandai berkenalan dengan orang baru, dia sibuk menimba ilmu dan memperdalam agama sehingga lalai satu hal, yaitu mencari pendamping hidup. Apakah kamu mau menerimanya?" papar Azizah dengan tatapan penuh harapan.
Sebelum menjawab, Lili menoleh Fatimah dan Kiai Dahlan. Dia menarik napas dan mengembuskannya pelan sebelum menjawab.
"Tante, tolong sampaikan kepada Mas Al. Jika memang beliau ingin menganal saya lebih jauh, apakah nanti saat di tengah perjalanan taaruf ini Mas Al siap menerima keburukan kebiasaan maupun sifat saya?"
Sebenarnya ada kekhawatiran dalam diri Lili. Dia takut Al akan mundur jika nanti tahu keburukannya. Namanya manusia tak ada yang sempurna. Lili menyadari itu.
"Ma, tolong sampaikan kepada Neng Lili. Insyaallah, saya siap menerima dia apa adanya. Tidak ada yang sempurna di dunia ini karena kesempurnaan hanya milik Allah."
Mendengar jawaban Al, perasaan Lili menghangat, ada kelegaan dalam hatinya. Dia bisa sedikit tersenyum.
"Bagaimana, Li? Kamu sudah mendengar jawaban dari Dokter Al secara langsung. Apakah taaruf ini akan kamu lanjutkan?" tanya Kiai Dahlan yang sedari tadi merasa bahwa putrinya seperti telah mendapatkan pria yang cocok dengan kriterianya. Walau Lili tidak bicara apa pun, tetapi Kiai Dahlan dapat melihat senyum tipisnya.
"Insyaallah, Lili akan memberikan waktu untuk Mas Al mengenal Lili lebih jauh jika Mas Al juga mengizinkan Lili untuk mengenalnya juga, Abah."
Mendengar jawaban Lili, perasaan Al lega. Dia menarik napasnya dan menyahut, "Jika memang Neng Lili ingin mengenal saya lebih jauh, silakan Neng Lili mencari tahu tentang saya dari orang-orang terdekat saya. Kalau saya menyarankan, silakan Neng Lili bertanya langsung kepada mama saya atau kakak Neng Lili, Dokter Rizky. Insyaallah sedikit banyak beliau tahu pribadi saya."
"Alhamdulillah," ucap semuanya hampir serentak.
Taaruf sangat berbeda dengan pacaran. Secara syari, taaruf diperintahkan oleh Rasulullah bagi setiap pasangan yang ingin menikah. Taaruf adalah perkenalan atau saling mengenal yang dianjurkan dalam Islam.
Dalam ajaran Islam, taaruf memiliki banyak manfaat dan tujuan yang jelas. Selain itu, taaruf bisa menghindari seseorang dari hal-hal negatif karena tak dianjurkan bagi mereka yang sedang menjalani taaruf pergi berduaan. Jika ingin bertemu, harus ada orang lain yang menemani, baik orang tua maupun saudara. Hal ini dianggap sangat aman dan jauh dari maksiat. Bahkan ada beberapa orang menghindari pertemuan secara langsung, mereka mencari tahu tentang pasangannya dari orang-orang terdekat mereka.
Selama menjalin proses taaruf pastinya pria atau wanita memiliki kewajiban mencari tahu sebanyak-banyaknya mengenai satu sama lain dalam waktu singkat. Hal ini disebut dengan masa penjajakan sebelum menikah. Taaruf juga dianggap sebagai masa saling bertukar informasi mengenai satu sama lain.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top