Keputusan Lili
Suasana di ruangan itu sedikit tegang. Ilham, Azizah, Kiai Dahlan, Fatimah, Rizky dan Dila, tak habis pikir dengan keputusan Lili.
"Lili ikhlas. Ini cara kita agar kamu bisa mendapat keturunan, Habibi," ujar Lili dengan suara parau.
Sekuat apa pun dia berusaha tegar dan tersenyum di hadapan Al, tetapi suaminya itu tahu isi hati Lili. Bibir dengan mudah berkata ikhlas. Namun, belum tentu hati benar-benar ikhlas.
"Wanita mana yang sudah kamu pilihkan untukku?" kata Al tanpa menatap Lili. Wajahnya datar, pandangannya kosong menatap Lili yang duduk di antara Fatimah dan Kiai Dahlan.
Mendengar itu Lili tampak bahagia, tapi bercampur sedih. Akhirnya Al menanggapi keinginannya setelah dia mati-matian membujuk. Di balik senyuman, sebenarnya hati Lili tersayat, pedih. Sejujurnya Lili tak mau berada dalam situasi seperti ini. Wanita mana yang ingin dimadu? Berbagi suami? Apa dia sanggup? Berat, tetapi mungkin ini jalan terbaik agar Al bisa merapat keturunan, pikir Lili.
"Ada. Aku sudah siapkan untukmu," jawab Lili tersenyum tipis kepada Al.
Azizah menggeleng, dia meneteskan air mata. Azizah tahu betul bagaimana putranya mencintai Lili. Yang dia khawatirkan, apa Al bisa adil? Lalu bagaimana dengan perasaan Lili? Namun, Azizah bisa apa? Mencegah? Bagaimana caranya?
Ilham merengkuh bahu Azizah dan mengusapnya, supaya dia tenang, agar tidak menangis lagi. Fatimah tak luput dari kesedihan. Dia pun menyayangkan keputusan putrinya. Hanya air mata yang dapat menggambarkan perasaan Fatimah saat ini.
Poligami? Dalam benak Al tak sedikit pun tebersit akan melakukannya. Ini permintaan istrinya! Bukan maunya! Tidak sesuai hati Al! Apa dia bisa adil? Mungkin untuk materi bisa, tetapi hati? Saat ini, Al hanya mencintai Lili, hanya istrinya, tak ada wanita lain!
"Gus Al, jika hatimu belum bisa, Abah menyarankan jangan," ujar Kiai Dahlan yang melihat wajah Al berat menerima keinginan Lili.
"Bah, Ily yang meminta. Saya sudah berjanji, di awal pernikahan kami, saya tidak mau ada poligami. Tapi, dia yang memintanya. Saya harus bagaimana, Bah?"
Kiai Dahlan menoleh Lili. "Kamu sudah yakin dengan keputusanmu itu, Ly?"
"insyaallah sudah, Bah."
Rizky menarik napas panjang dan mengembuskan pelan. "Ly, jangan main-main dengan keputusan ini. Poligami itu berat. Lihat Al! Apa suamimu mau berpoligami? Kalau ini hanya keinginanmu saja, Kakak jamin, rumah tangga kalian tidak akan baik-baik saja," nasihat Rizky yang sudah mengenal betul sifat keras kepala adiknya. "Pikirkan lagi. Apa tujuan awal kalian menikah?" tambah Rizky.
Lili melihat Al yang menunduk, sedang memijat pelipisnya. Wajah Al tampak kusam dan berat. Ada rasa tak tega, tapi dia sudah telanjur berbicara kepada Annisa. Pun dengan Annisa, dia sudah menyanggupi permintaan Lili.
"Habibi," seru Lili dengan suara parau.
"Hm." Al mendongak, menatap Lili.
"Kamu mau, kan?"
Sebelum menjawab, Al menarik napas dalam. "Aku mau kenal dulu orangnya. Kalau perlu, aku mau bicara empat mata dengan wanita pilihanmu itu."
"Al ...." Kali ini Azizah yang angkat bicara.
"Ma, ini keinginan Ily. Aku tidak bisa menolak permintaannya. Kalau memang dia maunya seperti itu, baiklah. Aku akan temui dulu wanita itu," ujar Al meski suaranya halus, tetapi penuh penekanan, seperti orang sedang menahan amarah.
"Baiklah kalau begitu. Besok aku akan atur pertemuan kalian," sahut Lili bernada datar.
Karena hatinya berkecamuk, Al ingin menenangkannya. "Abah, Umi, saya izin ke masjid dulu," ujar Al beranjak dari tempat duduk tanpa menunggu jawaban Fatimah maupun Kiai Dahlan.
Rizky yang khawatir dengan keadaan Al, lantas mengejar. Lili terpaku menatap nanar kepergian Al yang melebarkan langkahnya. Kiai Dahlan mengusap wajah, dia menarik napas dalam.
"Maafkan kami jika keputusan Ily kali ini tidak berkenan di hati Pak Ilham dan Bu Azizah," kata Kiai Dahlan merasa tak enak hati kepada besannya.
"Sebenarnya, kami tidak setuju jika ada poligami di rumah tangga Neng Ily dan Al. Tapi, ini rumah tangga mereka. Kami tidak punya hak ikut campur terlalu jauh. Bukan begitu, Ma?" kata Ilham meminta persetujuan Azizah.
"Neng, Mama minta tolong, pikirkan lagi keputusan kamu. Mama tahu, Al hanya mencintaimu," ujar Azizah dengan mimik mengiba, berusaha meyakinkan menantunya yang sangat dia sayangi.
"Ma, jangan biarkan aku menyesal seumur hidup," balas Lili dengan tatapan sendu.
"Apa yang buat kamu menyesal? Menikah dengan putra Mama?" tanya Azizah berderai air mata.
Lili menggeleng. "Menikah dengan Mas Al adalah hal paling bahagia dalam hidup Lili, Ma. Tapi, ada alasan kuat mengapa Lili ambil keputusan ini." Lili menatap kedua mata Azizah yang terpancar kesedihannya.
"Apa, Neng?" tanya Azizah memegangi dadanya yang terasa sesak.
"Aku cuma mau Mas Al memiliki keturunan, Ma. Sedangkan aku sudah tidak bisa memberikan itu," kata Lili diiringi tangis memilukan.
"Mama sama Papa tidak mempermasalahkan itu, Neng," tukas Azizah menekan setiap katanya. "Iya, kan, Pa? Kita enggak ada masalah dengan itu, kan?" ujar Azizah memegang tangan Ilham, berharap suaminya membela.
"Iya," kata Ilham mengangguk sambil mengusap punggung Azizah supaya tenang.
Sedangkan Rizky menemani Al yang sedang salat sunah untuk menenangkan diri di masjid. Rizky membiarkan Al menumpahkan tangisannya saat berdoa. Entah apa yang sedang Al pikirkan saat ini, sebagai kakak ipar dan teman baik, Rizky hanya bisa menemani dan mendampinginya.
***
Di depan tempat tidur, Annisa mondar-mandir dengan perasaan bimbang. Dia sangat tertekan malam ini. Tidak dapat dibohongi jika dia senang ada pria yang ingin taaruf dengannya, apalagi pria ini memiliki akhlak baik, mapan, dan tampan. Namun, yang membuat Annisa berat, dia suami teman baiknya.
"Ya Allah, hamba harus bagaimana?" Annisa meremas-remas tangannya. Dia duduk di tepi ranjang. "Aku enggak tega menyakiti hati Neng Ily? Tapi, aku juga tidak mau mengecewakannya. Ya Allah, berikan jalan keluar terbaik untuk hamba," ujar Annisa dengan perasaan yang kalut.
Sebuah pesan masuk di ponselnya. Annisa segera membuka pesan itu. Ternyata setelah membaca isinya, hati Annisa bukannya tenang justru semakin gelisah. Bagaimana tidak? Pesan itu dari Lili, dia meminta Annisa besok bertemu dengannya dan Al di restoran yang sudah Lili pesan.
Air mata Annisa mengalir, hatinya campur aduk. Bagaimana dia menjelaskan kepada orang tuanya? Hingga detik ini Annisa belum berani menyampaikan permintaan Lili yang ingin dia menjadi istri kedua Al kepada orang tuanya. Annisa bingung! Dia takut orang tuanya terkejut dan akan jatuh sakit karena terlalu stres memikirkannya.
Di waktu yang sama, tetapi berbeda tempat, Lutfi berdiskusi dengan Kiai Faiz di kediaman mereka. Ditemani teh hangat dan singkong goreng, dua pria berbeda generasi itu tampak serius.
"Kalau memang kamu sudah yakin, dengan senang hati Abi akan melamarkan dia untukmu. Tapi, apa kamu sudah mencari tahu latar belakangnya?"
Lutfi tersenyum lebar. "Alhamdulillah, aku sudah cukup lama kenal dia, Abi. Di beberapa kesempatan kami sering bertemu."
"Kalau begitu, kapan kamu mau melamarnya?"
"Ah, Abi, terlalu cepat jika langsung melamar."
"Lalu?"
"Aku mau keluarga kita saling bertemu dan saling mengenal dulu, Bi. Untuk selanjutnya, keputusan ada pada gadis itu."
Kiai Faiz tersenyum sambil manggut-manggut. Dia merasakan banyak perubahan dari sikap Lutfi yang sekarang. Lutfi sudah bisa menyikapi masalahnya dengan baik, tidak lagi emosi yang diunggulkan. Saking bangganya, Kiai Faiz menepuk-nepuk bahu Lutfi.
***
Menjadi jembatan taaruf suami dan wanita pilihannya, adalah hal yang sangat sulit dan melukai hati. Namun, itu tekad Lili, dia menginginkan Al bahagia dan mendapat keturunan meski dari wanita selain dia, pikir Lili.
"Menurut kamu bagaimana Annisa? Dia cantik, kan?"
"Iya," jawab Al berusaha melegakan hati istrinya.
Bukan membuat hati Lili lega, justru seperti ada sesuatu yang mencubit hatinya. Apa itu tandanya dia cemburu?
Hampir setiap saat Lili membahas Annisa ketika bersama Al. Sebelum tidur, seperti saat ini. Sejujurnya Al jengkel jika Lili membicarakan Annisa. Namun, AL masih berusaha sabar menghadapi keinginan Lili.
"Annisa itu dulu salah satu santri, teman dekatku. Dia cantik, lulusan perguruan tinggi, dari keluarga baik-baik. Aku sudah mantap memelih Annisa sebagai istri keduamu." Lili berucap sambil bersandar di bahu Al yang sedang membaca buku tentang agama Islam.
Al sebenarnya mendengar, tetapi dia malas menanggapi.
"Aku sudah mengatur pertemuan kalian. Kamu mau, kan?"
"Kamu atur saja. Aku percaya padamu." Setelah berucap, Al menutup bukunya, lalu melepas kacamata dan diletakkan di nakas beserta buku itu. "Ayo tidur, sudah malam." Al merosotkan tubuhnya, dia memunggungi Lili.
Merasakan perbedaan sikap Al yang berubah dingin, sebenarnya Lili sedih. Wajar, karena Al saat ini sedang marah padanya. Namun, Al tidak berani mengutarakan. Dia masih menjaga perasaan Lili.
"Selamat malam, Habibi," ucap Lili menyusulnya berbaring.
"Hm"
Hanya gumam singkat yang diberikan Al kepada Lili. Sangat sakit hatinya. Meski bibir terus tersenyum dan sikap seolah bahagia di depan Al, tetapi Al tidak dapat Lili bohongi. Dia tahu sebenarnya Lili bersedih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top