Keputusan Atau Bunuh Diri?

Malam ini Lili tidur sendiri. Sudah menjadi hal biasa jika Al mendapat tugas malam, Lili kesepian. Saat merenung, Lili memikirkan sesuatu. Dia timbang-timbang keinginannya itu. Terus dia memikirkannya dan membulatkan tekad.

"Ya Allah, jika memang ini jalan yang terbaik, semoga aku bisa ikhlas," ujar Lili meski batinnya sakit dan rasa tak rela menyebar ke sekujur tubuh. "Dengan cara ini suamiku bisa mendapat keturunan."

Air matanya luluh lantah, dia menangis sesenggukan setelah memutuskan keinginannya. Yang menjadi masalah, apa dia benar-benar ikhlas? Apa dengan cara ini dia bisa mengejar surga bersama sang suami?

Lili tak bisa berpikir jernih. Dia terlalu khawatir jika Al akan kecewa padanya karena tidak bisa memberi keturunan. Padahal Al sering mengatakan kepadanya, jika dia sudah ikhlas, tidak akan menuntut Lili. Namun, Lili sendiri yang belum legowo.

Di tengah kegelapan, Lili berbaring di tempat tidur. Dia meringkuk dan menangis sesenggukan. Tak bisa dibohongi, hatinya sangat hancur. Dia yang menciptakan rasa sakit itu, Lili harus bisa menelannya.

***

Sampai rumah pukul 09.00 WIB, setelah membersihkan diri, Al beranjak tidur sampai pukul 14.00 WIB. Selesai salat Zuhur, ketika menunggu waktu Asar, dia membaca Al-Qur'an.

Masuk waktunya Asar, Lili menyusul Al. Mereka salat berjamaah. Selesai berdoa, Lili mencari celah untuk mengobrol hal yang sudah dia pikirkan sejak semalam.

"Habibi, aku mau bicara sesuatu," ucap Lili selesai melipat mukena dan sajadahnya.

"Bicaralah." Al bersila, siap mendengarkan istrinya.

"Mmm ... mungkin rencana ini gila, tapi aku sudah memikirkan matang-matang."

"Rencana apa?" Al mengerutkan dahi dalam.

"Ada beberapa alasan orang diizinkan berpoligami. Salah satunya agar mendapat keturunan. Apa kamu mau melakukannya?"

"Astagfirullah." Al sangat terkejut, dia mengusap dadanya. "Enggak ada sedikit pun dalam pikiranku melakukannya, Habibti."

"Tapi aku yang menginginkannya, Habibi."

"Enggak! Aku enggak mau melukai hatimu. Membuatmu bersedih saja, sebenarnya aku enggak mau."

"Insyaallah aku ikhlas, Habibi. Aku siap dimadu."

"Sekali tidak, tetap tidak, Habibti! Poligami itu sulit, aku harus adil."

"Kamu bisa adil, Habibi." Lili terus membujuk suaminya dengan wajah mengiba.

"Adil tidak hanya materi, tapi juga batin. Aku tidak bisa membagi cintaku kepada wanita lain." Al menatap Lili dalam.

Terdiam sejenak, Lili memejamkan mata, lalu memberanikan diri membalas tatapan Al.

"Insyaallah kamu bisa, Habibi."

"Apa kamu yakin tidak cemburu dan sakit hati jika melihatku lebih banyak meluangkan waktu dengan wanita lain?"

Hati Lili seperti teriris, perih, dan nyeri. Membayangkan saja, rasanya hati sangat sakit.

"Aku akan berusaha tidak cemburu dan menerimanya."

"Yakin?"

Lili mengangguk, meski air mata tak dapat berbohong. "Insyaallah."

Al meraup wajahnya, dia mengembuskan napas kasar. "Astagfirullah. Sejak awal aku sudah bilang padamu, kalau aku tidak punya niat sedikit pun untuk membagi hati apalagi raga dengan wanita lain. Ada apa denganmu, Habibti?"

Sangat sesak dada Al. Dia tak menyangka dengan jalan pikiran Lili. Beberapa kali dia menarik napas dan mengembuskan pelan, menetralkan emosinya.

"Aku ingin mengejar surga hanya denganmu, Habibti." Al meraih kedua tangan Lili dan dia genggam erat. Matanya sudah berkaca-kaca.

"Aku pun, Habibi. Tapi, realitasnya akan sulit." Suara Lili parau, terdengar sangat berat.

"Kenapa?"

"Kamu tahu kondisiku, kan? Bagaimana kamu bisa melanjutkan garis keturunan kalau kamu masih bertahan denganku?" Tangis Lili akhirnya pecah.

Al mendongakkan wajahnya, menahan air mata agar tidak menetes. Padahal air matanya sudah di ujung pelupuk, siap meluncur. Lehernya terasa tercekam, sangat sulit berbicara. Al tak ingin pembahasan ini semakin larut. Dia berdiri, lalu keluar dari kamar. Membiarkan Lili menangis terisak-isak. Al pun tak kuasa menahan air matanya, dia berlari ke belakang rumah, dan menangis di sana.

Besar cinta Al kepada Lili, hingga dia tak peduli jika istrinya sudah tidak bisa memberinya keturunan. Sejauh ini, yang Al fokuskan hanya ingin beribadah dengan Lili, mengejar surga bersama wanita yang dikirim Allah untuk mendampinginya di dunia, hingga janah. Ketika dia sudah berprinsip kuat, kenapa justru istrinya yang goyah? Apa Lili sudah tak ingin beribadah dengannya lagi?

Al tahu saat ini Lili masih dilanda kebingungan akibat kekecewaan dan duka kehilangan buah hati mereka, ditambah kenyataan yang menyakitkan bagi seorang wanita. Namun, apakah dengan cara ini? Tak ada cara lainkah? Al hanya tidak mau mengkhianati cintanya, dia juga tak kuasa menodai rumah tangganya yang susah payah dibangun bersama Lili.

***

Sejak kejadian kemarin, hubungan Al dan Lili terasa dingin. Al bingung setiap berhadapan dengan Lili, dia sangat takut jika Lili akan membahas itu lagi. Suasana pagi ini di meja makan hening. Hanya dentingan sendok dan piring yang menguasai ruang makan.

"Habibi," seru Lili di tengah sarapan.

Setiap Lili membuka mulut, jantung Al berdebar-debar tak keruan. Dalam hati berdoa, agar Lili tidak membahas poligami maupun membujuknya untuk mencari wanita lain.

"Hm," sahut Al sengaja menyibukkan diri dengan mengunyah makanan tanpa menoleh.

"Aku mau ke pesantren."

"Apa kamu hari ini ada jadwal mengajar?"

Lili menggeleng. "Aku mau bertemu seseorang di sana. Kami sudah ada janji."

Al manggut-manggut. "Iya, nanti aku antar. Habiskan dulu sarapannya."

Kali ini Al bisa bernapas lega, ternyata Lili tidak membahas hal yang Al takutkan. Selesai sarapan, mereka pun berangkat. Sebelum ke rumah sakit, Al mengantar Lili terlebih dulu ke pesantren.

"Kalau mau pulang telepon, ya? Nanti aku jemput," ujar Al sebelum Lili turun dari mobil.

"Enggak usah. Nanti aku pulang naik taksi aja."

"Habibti ...." Al menatap Lili sedih karena dia tidak menurut. Sejak kejadian yang menyelakai istrinya, Al lebih posesif kepada Lili.

"Iya, Habibi. Nanti aku telepon kamu kalau urusanku sudah selesai, ya?"

Senyum Al tersungging lebar. "Nah, gitu dong. Ini baru istriku."

"Aku turun, ya? Kamu hati-hati di jalan."

"Iya. Salam buat Umi dan Abah. Sampaikan maafku karena tidak bisa mampir."

"Iya, pasti mereka memahami."

Sebelum turun dari mobil, Lili mencium punggung tangan Al. Sebagai balasan, Al mencium keningnya.

"Asalamualaikum, Habibi."

"Wa 'alaikumus-salam, Habibti."

Setelah Lili melewati pagar pesantren yang menjulang itu, Al menancap gasanya, melajukan mobil ke rumah sakit. Lili tak langsung ke rumah orang tuanya, melainkan ke madrasah. Dia masuk ke ruang ustazah, dia mencari seseorang. Dari ambang pintu, dia menemukan orang yang dicari.

"Anissa!" seru Lili ketika dia sudah berdiri di depan meja kerja Anissa.

Wanita berhijab biru muda itu langsung mendongak, menatap Lili.

"Asalamualaikum," ucap Lili dengan senyuman meneduhkan.

"Wa 'alaikumus-salam." Anissa langsung berdiri dan menjabat tangan Lili. "Aku pikir kamu mau datang siang. Silakan duduk, Neng," kata Annisa yang sebelumnya memang sudah memiliki janji akan bertemu dengan Lili, sesuai yang Lili pinta.

"Mmm ... kamu sibuk enggak?" Lili tak langsung duduk.

"Enggak sih. Aku ngajarnya nanti, jam sembilan. Bagaimana? Apa yang mau kamu bicarakan, Neng?"

"Kita bisa bicara di taman saja?"

Annisa mengerutkan dahi, bingung. Detik kemudian dia mengangguk. "Boleh. Silakan!"

Mereka pun keluar berdampingan, duduk di kursi kayu bercat putih, di bawah pohon rindang. Suasana di sekitar sepi karena ini jam pelajaran dan udara cukup sejuk, membuat obrolan mereka nyaman.

"Annisa," seru Lili lirih di tengah obrolan santai mereka. Wajah Lili berubah serius. "Kedatanganku ke sini, mau meminta bantuanmu. Apa kamu bisa?"

"Bantuan apa, Neng? Kalau aku bisa, insyaallah aku akan membantumu."

"Kamu tahu, kan, kondisiku sekarang?"

Annisa mengerutkan dahi. "Maksud kamu kondisi yang bagaimana, Neng?"

Sebelum menjawab, Lili menarik napasnya panjang. "Aku sudah tidak bisa hamil lagi."

"Neng, sudahlah, jangan dipikirkan terus. Ini ujian, Allah pasti akan memberikan jalan lain untuk kamu dan Gus Al." Annisa menggenggam kedua tangan Lili.

"Justru itu, Nis. Kedatanganku ke sini mau meminta bantuanmu."

"Bantuan apa?"

"Nis," Lili menatap Annisa mengiba, "apa kamu sudah siap menikah?"

Seperkian detik dada Annisa seperti berhenti berdetak. Memang usia dia sudah cukup untuk menikah, pun dengan mental, Annisa sedang menantikan pria yang siap taaruf dengannya.

"Menikah?" tanya Annisa sedikit memiringkan kepalanya menatap Lili.

"Ada seorang pria, akhlaknya baik, saleh, dan mapan." Annisa mendengar ucapan Lili saksama. "Dia bersahaja, hatinya sangat baik. Apa kamu mau taaruf dengannya?" tanya Lili menahan nyeri di dada. Dia tersenyum menutupi perih dalam hati.

"Apa aku pernah bertemu dengannya? Aku mengenal dia?"

Lili mengangguk. "Iya."

"Siapa dia, Neng?"

"Dokter Aldevaro Iqbal."

Mata Annisa terbelalak, dia langsung melepas genggaman tangannya pada Lili. Annisa menggeleng kuat.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top