Keputusan

Dua minggu pun terlewati. Waktunya Lili akan memberi keputusan. Minggu siang, Al dan Lutfi bertamu ke rumah Kiai Dahlan. Sejak Lili duduk di ruang tamu bersama Fatimah dan Kiai Dahlan, Al selalu menunduk. Sedangkan Lutfi mengangkat wajahnya.

"Terima kasih Dokter Al dan Gus Lutfi, sudah meluangkan waktu datang ke sini," ucap Kiai Dahlan santun. "Apa pun keputusan Ily nanti, saya harap Dokter Al maupun Gus Lutfi bisa lapang dada menerimanya," lanjut Kiai Dahlan menatap Al dan Lutfi bergantian.

Dada Al sudah berdebar-debar kencang. Tak munafik, ada keresahan yang menguasai pikiran dan perasaannya sekarang. Takut akan penolakan dari wanita yang selama ini dia impikan. Apa itu wajar? Al manusia biasa. Bolehkah dia berharap sesuatu yang sudah lama dinantikan? Dalam diam, Al terus berzikir, sekadar ingin menenangkan hati dan pikirannya.

"Abah, sebelum Ily memberi keputusan, apa boleh Ily bertanya satu hal kepada Dokter Al dan Gus Lutfi?"

"Silakan," sahut Kiai Dahlan mengulurkan tangan, tanda memberi Lili kesempatan.

Dengan senyuman tipis dan wajah meneduhkan, Lili hari itu yang mengenakan kerudung dan blus biru muda, tak sengaja senada dengan kemeja Al, berusaha menolak pandang dari Lutfi. Dia selalu menghindar saat pandangannya bertemu dengan mata Lutfi.

"Menurut Gus Lutfi dan Dokter Al, apa poligami itu?" tanya Lili sambil menunduk karena Lutfi sejak tadi tak mengalihkan pandangan dari wajah cantiknya.

"Saya dulu yang jawab," kata Lutfi kepada Al.

"Silakan, Gus," sahut Al sangat menahan diri agar tidak mendongak, supaya bisa menjaga pandangannya dari Lili.

Al takut akan terbuai dengan kecantikan Lili, sehingga dia tak sabar ingin memilikinya.

"Kalau menurut saya, itu wajib dilakukan pria, terutama umat muslim. Dalam surah An-Nisa dipaparkan dengan jelas mengenai hal-hal tentang wanita. Poligami juga sudah dijelaskan pada ayat tiga, yang berbunyi, 'Bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim perempuan, maka nikahilah dari perempuan-perempuan yang kalian sukai, dua, tiga atau empat.' Jadi, sudah jelas agama kita mengizinkan pria memiliki istri lebih dari satu, bukan?" jawab Lutfi yakin dan penuh percaya diri.

"Terima kasih jawabannya, Gus," ucap Lili tanpa memandang Lutfi. Sekuat hati Lili berusaha tidak mendongak, walau hatinya sangat ingin memandang wajah tampan Al. "Kalau Dokter Al bagaimana?" tanya Lili sedikit lirih.

"Maaf, Gus Lutfi, tidak mengurangi rasa hormat saya kepada Anda. Kalau boleh, saya ingin menambahkan lanjutan surah yang Gus ucapkan tadi," ujar Al dengan rendah hati dan berucap santun.

"Silakan," kata Lutfi lantang.

"Mohon koreksinya Pak Kiai kalau saya keliru," kata Al sebelum melanjutkan potongan arti surah yang Lutfi sampaikan tadi. Setelah mendapat anggukan dari Kiai Dahlan, Al lantas melanjutkan ucapannya, "'Lalu bila kalian khawatir tidak adil--dalam memberi nafkah dan membagi hari di antara mereka--maka nikahilah satu orang perempuan saja atau nikahilah budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat pada tidak berbuat aniaya.' Sesuai pemahaman dari buku yang pernah saya baca, tafsiran dari ayat tersebut menurut Fakhruddin Muhammad Ar-Razi, pada halaman 177 sampai 178, ayat ini mengandung hukum tentang perintah nikah, batas maksimal istri dan keadilan.

"Apakah perintah menikah dalam ayat ini bersifat wajib atau tidak. Ada ulama yang cenderung memandang lahiriah redaksi ayat sehingga menyatakan wajib. Sementara Imam As-Syafi'i menyatakan tidak wajib, mengingat dalam ayat 25 Surah An-Nisa, Allah menjelaskan bahwa bersabar untuk tidak menikah dalam kondisi tidak berkemampuan finansial adalah lebih baik daripada menikah. Nah, penjelasan Al-Qur'an seperti ini menunjukkan bahwa hukum asal nikah adalah tidak sunah, apalagi wajib."

"Tapi dalam ayat itu dijelaskan kalau poligami itu boleh, kan?" Lutfi masih saja ngotot dengan pendapatnya.

"Iya, memang, Gus, diperbolehkan. Tapi dengan catatan, jika mampu adil. Bukan adil soal materi saja, tapi juga adil perasaan dan waktu. Jika mampu, silakan," sahut Al dengan suara rendah, tanpa penekanan sambil memandang Lutfi yang duduk di sebelahnya.

"Kalau saya mampu, kenapa tidak?" Justru Lutfi yang bersuara tinggi, menatap Al dengan sikap sombong.

"Jika Gus Lutfi mampu bersikap adil, tidak masalah. Sekarang kita kembalikan saja kepada Neng Ily. Apakah sebagai wanita Neng Ily mau dipoligami?" tanya Al tanpa memandang Lili, dia memilih kembali menunduk.

"Jujur, sebagai manusia biasa yang memiliki perasaan, pastilah saya tidak ingin dimadu. Tapi, jika keadaannya berkata lain, mungkin saya akan mengizinkan poligami. Yang pastinya dengan catatan-catatan tertentu," jelas Lili bertolak belakang dengan pendapat Al.

Lutfi tersenyum penuh kemenangan, dia berpikir Lili berpihak kepadanya dan satu pemikiran dengannya.

"Maaf, Neng Ily. Tapi bagi saya pribadi, tidak bisa mengamalkan poligami. Karena saya ingin monogami, hanya memiliki satu istri. Bagi saya, menikah sekali seumur hidup dan hanya satu wanita yang akan mendampingi saya," papar Al sedikit kecewa dengan jawaban Lili.

"Terima kasih jawabannya, Dokter Al," kata Lili senang mendengar jawaban Al yang secara tidak langsung dapat meyakinkannya untuk memilih dia.

"Sudah?" tanya Kiai Dahlan kepada Lili.

"Iya, Bah. Ily sudah punya keputusan."

"Kalau begitu, siapa pilihanmu?" Kiai Dahlan memberikan kepercayaan penuh kepada Lili untuk menentukan pilihannya.

Al menata hati, menyiapkan diri jika nanti dia mendapatkan kemungkinan terburuk, penolakan, hatinya sudah siap dan ikhlas.

"Gus Lutfi," ucap Lili, seketika bibir Lutfi tersenyum lebar dan membusungkan dada.

Sekonyong-konyong dada Al seperti teriris sembilu. Sakit dan nyeri. Al menarik napas dalam, hatinya merasa perih dan sesak.

"Neng Ily memilih saya?"

"Bukan," jawab Lili dengan senyum menenangkan hati siapa pun yang melihatnya.

"Lalu?" tanya Lutfi, seketika senyum itu sirna dari bibirnya.

"Maaf, saya tidak bisa menerima Gus Lutfi. Saya sudah punya pilihan, yaitu Dokter Al," ujar Lili tak ingin memberikan harapan lagi kepada Lutfi.

"Tapi kenapa? Apakah agama saya kurang bagus?"

"Mohon maaf, Gus, kelayakan seseorang untuk menjadi pendamping tidak cukup dengan hanya banyak ilmu saja. Tapi perlu memahami dan menerapkannya. Saya percaya Gus Lutfi sudah banyak mempelajari ilmu agama, saran saya, coba pahami lagi dan almalkan dengan baik," ujar Lili membuat Lutfi malu setengah mati.

Ucapan Lili seperti gamparan keras baginya. Kiai Dahlan hanya tersenyum dan mengangguk. Sedangkan Al masih saja menunduk, dia bersikap santai walau sudah mendapat jawaban dari Lili. Bukan tempatnya jika Al akan mengekspresikan kebahagiaannya. Nanti, jika sudah sampai rumah, dia akan melakukan sujud syukur.

***

Sebelum melanjutkan proses lamaran, untuk saling meyakinkan, dari kedua belah pihak keluarga bersepakat memberi waktu Lili dan Al mengobrol secara langsung tanpa perantara.

Namun, mereka tetap ditemani Rizky dan Azizah bertemu di restoran seperti yang Lili inginkan. Alasannya selain di tempat umum, restoran juga salah satu tempat nyaman untuk mengobrol dan mencairkan suasana canggung sambil menikmati hidangan yang tersedia.

Terpisah meja dari Rizky dan Azizah, mereka masih terasa canggung. Lili dari tadi menunduk tak berani lebih dulu bicara.

"Mmm ... Neng Ily, makanan yang paling disuka apa?" tanya Al memberanikan diri memulai pembicaraan. Dia berusaha mencairkan suasana yang masih terasa kaku.

"Saya lebih suka makan sayur daripada daging, Dok," jawab Lili tanpa mengangkat kepala sedikit pun. Dia benar-benar menjaga pandangannya.

"Neng Ily vegetarian?"

Lili mengeleng. "Enggak juga. Kadang makan daging, telur, ikan, cuma lebih suka sayur."

"Oooh, gitu? Terus apalagi yang Neng Ily tidak suka dari kebiasaan lelaki?"

"Maaf sebelumnya, Dok. Saya paling tidak bisa menghirup asap rokok. Suka sesak napas."

Al boleh merasa lega karena dia tidak merokok. Pria berkacamata itu tersenyum tipis. sangat manis. Wajahnya meneduhkan, dan kedua matanya berbinar, menandakan dia kini sedang bahagia.

"Hanya itu saja?"

"Insyaallah, iya, Dok."

Dari meja yang tidak terlalu jauh dari mereka, Rizky dan Azizah mengawasi sambil mengobrol kecil.

"Kalau boleh tahu, apa yang Dokter tidak suka dari kebiasaan wanita?" tanya Lili balik bertanya.

"Wanita yang tidak bisa menjaga diri dan membantah."

Lili mengangguk, dia akan mengingat dua hal itu. Sesaat keduanya diam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Neng," seru Al pelan. "Terima kasih sudah memilih saya," lanjut Al sambil melihat makanan di depan Lili masih utuh, didiamkan saja. "Kenapa tidak dimakan? Apa kamu tidak suka dengan makanannya?" tanya Al karena sedari tadi tangan Lili di bawah meja.

"Suka kok, Dok." Barulah Lili mengangkat garpu dan sendoknya.

Rasanya masih kaku, ini kali pertama Lili berhadapan dan berbincang langsung dengan Al. Wajar jika masih kikuk dan bingung mencari bahan obrolan. Begitupun Al.

Sambil menikmati makanannya, Al bertanya lagi, "Neng, boleh saya tanya sesuatu?"

"Silakan, Dok." Lili mendengarkan walaupun pandangannya ke makanan yang dia santap.

"Sejak pulang dari Kairo, apa kesibukan Ily?"

Lili terkejut, dari mana Al tahu jika dia pernah kuliah di Kairo?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top