Kecurigaan Salsa

Tak sengaja saat Salsa ingin masuk ke tempat wudu, dia menyenggol lengan Al, hingga kulit mereka bersentuhan. Dengan sabar Al menunggu Salsa selesai wudu, setelah itu Al kembali berwudu lagi.

Salsa membatin, Kenapa Abi wudu lagi? Bukankah kalau senggolan sama anaknya enggak batal?

Dengan pandangan nanar Salsa memperhatikan Al yang sedang wudu. 

"Salsa," panggil Lili yang sudah menunggunya di depan musala.

"Iya, Umi." Salsa pun sejenak melupakan pertanyaan itu, lalu menyusul Lili.

Sejak Salsa umur enam tahun, mereka pindah ke rumah yang agak luas dan dekat rumah sakit tempat Al bertugas. Di samping rumah ada taman kecil, sebelah taman dibangun tempat khusus untuk salat. Jika ada tamu, tak perlu bingung mencari tempat salat, itu yang dipikirkan Al dan Lili saat bersepakat membangun musala di rumah mereka.

Usai salat Isya, mereka berkumpul di ruang tengah. Selain saling bertukar cerita kegiatan sehari-hari, kadang juga menonton televisi sambil bercanda.

"Salsa, jadi pengin masuk ke Universitas Indonesia?" tanya Lili saat mereka bersantai menonton acara televisi.

"Insyaallah, Umi. Salsa pengin ambil jurusan kedokteran. Biar bisa melanjutkan pekerjaan Abi. Iya, kan, Bi?"

"Iya," jawab Al sambil tersenyum lebar.

"Alhamdulillah. Semoga ujiannya dapat nilai yang memuaskan, biar bisa menjadi pertimbangan masuk UI, ya?" ucap Lili lalu mengelus kepala Salsa yang sedari tadi bersandar di bahunya.

"Bi, Mi, Salsa boleh tanya sesuatu?"

"Tanya apa?" sahut Lili dan Al bersamaan.

"Kalau anak enggak sengaja nyenggol orang tua itu membatalkan wudu enggak sih, Mi? Misal nih, anak cowok enggak sengaja menyenggol ibunya, itu wudunya batal, enggak?"

"Enggak dong. Kan kalau hubungan darah tidak membatalkan wudu. " jawab Lili sesuai syariat Islam. "Emangnya kenapa sih, Sayang?"

"Enggak apa-apa, Mi. Ada pertanyaan begitu di pelajaran Agama," dusta Salsa. Maaf, Umi, aku bohong, lanjutnya dalam hati.

Sedangkan Al menyadari sesuatu dengan pertanyaan Salsa tadi.

Apakah dia ... ah, mungkin perasaanku saja, batin Al membantah pikirannya. Dia berusaha berpikir positif.

Sejujurnya Al maupun Lili belum siap mengatakan yang sebenarnya kepada Salsa. Mereka hanya ingin menjaga perasaannya dan tak mau melihat Salsa kecewa. Apalagi jika Salsa sampai menjauhi mereka. Al tak dapat membayangkan keadaan Lili jika itu sampai terjadi.

***

Pulang sekolah, Al yang menjemput Salsa. Mereka langsung ke pesantren karena Lili di sana. Sejak Salsa mulai masuk SMA, Lili mengajar lagi di pesantren setelah kurang lebih lima belas tahun--setelah keguguran itu sampai Salsa remaja.

Sampainya di rumah Kiai Dahlan, Al dan Salsa langsung bergabung di ruang makan, kebetulan di sana ada Rizky, Dila, juga Hilya. Hubungan Hilya dengan Salsa sangat baik, mereka akrab walaupun Hilya lebih tua. Sekarang Hilya sudah kuliah jurusan kebidanan. Adiknya, Alif, kini SMP.

"Alif enggak ikut, Kak Dil?" tanya Lili setelah mereka membersihkan meja makan.

"Dia les, Ly."

"Udah kelas sembilan, udah mulai sibuk les, ya?"

"Iya, bener. Kalau Salsa gimana? Kamu lesin juga, enggak?"

"Dia milih ikut jam tambahan di sekolah. Belajar di rumah aja, tapi tetep aku dampingi."

Lili dan Dila saling membantu membersihkan dapur dan ruang makan. Sedangkan Fatimah bersama Kiai Dahlan mengobrol dengan Rizky dan Al di ruang tengah. Salsa dan Hilya di kamar, seperti remaja pada umumnya, mereka saling curhat.

"Kak, aku boleh tanya sesuatu enggak?" ujat Salsa saat mereka sejenak saling diam setelah banyak bicara.

"Tanya apa?"

"Kakak masih sering gandengan tangan sama Om Rizky enggak?"

"Iyalah! Aku kalau jalan sama Abi, suka gandeng lengannya. Kadang bergelayut. Emang kenapa sih?"

Beberapa detik salsa terdiam. Dia ragu ingin menyampaikan kegundahannya selama beberapa waktu belakangan ini. Hilya yang memperhatikan wajah galau Salsa, lalu menepuk bahunya.

"Ada apa, Sal? Kamu punya masalah?"

Salsa menggeleng lemah. "Enggak kok, Kak Hil."

"Terus kenapa kamu kelihatan sedih gitu?"

Salsa menatap Hilya sendu. "Aku tuh bingung, Kak Hil. Sejak aku balig, Abi berubah, kayak menjauh dan menghindariku."

"Ah, masa sih? Aku lihat Om Al biasa aja tuh!"

Salsa terdiam dan berpikir ulang. "Mungkin cuma perasaanku aja kali, ya?"

Saat Salsa ditemukan, Hilya masih kecil. Dia belum tahu kalau Salsa adalah anak angkat Al dan Lili. Rahasia besar itu ditutup rapat dan sangat rapi.

"Sal, kamu jangan berpikir macam-macam. Om Al sayang banget sama kamu. Apa pun yang kamu mau, dia selalu turutin, kan? Kamu dimanja, disayangi, dan dijaga. Di tengah kesibukan Om Al kerja aja, dia bisa meluangkan waktu buat kamu."

"Iya, Kak."

Pintu kamar  terketuk. Spontan Salsa dan Hilya menoleh.

"Salsa, Hilya, apa Umi boleh masuk?" Itu suara Lili.

Bergegas Hilya turun dari tempat duduk dan langsung membukakan pintu. Dua wanita cantik berdiri di depan pintu sambil tersenyum manis.

"Kalian lagi ngobrolin apa sih?" tanya Dila sembari melangkah masuk diikuti Lili.

Hilya dan Salsa hanya mesam-mesem, lalu Lili dan Dila duduk di tepi ranjang. Anak-anak duduk di atas tempat tidur.

"Hilya bagaimana kuliahnya?" tanya Lili sambil mebuka novel remaja yang tadi sedang Hilda dan Salsa baca.

"Alhamdulillah, Tante, lancar."

Mereka pun asyik mengobrol, membaur tanpa canggung. Sementara Salsa melupakan kecurigaannya.

Halo, teman-teman! BTW, aku ngadain GA loooh. Ikutan doooong. Biar kalian dapat sepasang jam tangan dariku.

Kalian cuma perlu cari kutipan di cerita Sailor Never Say Godbye aja kok. Lalu posting di IG dan jangan lupa tag aku, ya? Biar aku tahuuuu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top