Kabar Kehamilan

"Kenapa sih enggak makan malam di rumah Umi aja?" tanya Fatimah dari ujung telepon.

"Umi, aku sama Mas Al pengin kita sekali-kali makan di luar bersama. Sejak kami pindah ke rumah ini, kita sekarang jarang, kan, bisa ngumpul?"

"Ya sudah. Mau makan malam di mana memangnya?"

"Di restoran Syekh Ali Jaber aja, ya, Umi? Kebetulan sudah lama aku tidak makan nasi mandi sama nasi bukhari."

"Iya. Sama siapa saja?"

"Kak Rizky, Kak Dila, sama Hilya. Mama, Papa, aku, Mas Al. Umi ajak Abah juga, ya?"

"Insyaallah. Nanti Umi sampaikan dulu sama Abah, ya? Semoga Abah tidak ada acara malam ini."

"Iya, Umi. Kalau begitu, Ily istirahat dulu, ya, Umi."

"Iya, Sayang."

"Asalamualaikum, Umi."

"Wa 'alaikumus-salam."

Panggilan berakhir. Lili tersenyum sangat bahagia. Dia meletakkan ponselnya di meja, lalu mengelus perutnya sambil membayangkan jika nanti anaknya sudah lahir, dia dan Al pasti akan menyayangi serta menjaganya sepenuh hati.

"Dedek baik-baik, ya, di dalam? Umi akan selalu menjaga kamu."

Tak dapat ditutupi rasa kebahagiaannya saat ini, senyum tak sedetik pun pudar dari bibir tipisnya. Lili beranjak dari tempat duduk, lantas pindah ke tempat tidur. Kepalanya masih sedikit pusing dan mual. Tadi setelah mengantar Lili pulang, Al langsung kembali ke rumah sakit. Dia jadwal dinas pagi.

***

Hari pun mulai petang. Setelah salat Magrib, Al dan Lili bersiap-siap untuk pergi makan malam bersama keluarganya.

"Habibti," seru Al sangat lembut.

"Iya, Habibi?" Lili menoleh ke arah suaminya yang sedang mengancingkan baju.

"Insyaallah minggu depan aku mau daftar Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Kedokteran (UKMPPD)."

UKMPPD ini terdiri dari dua jenis tes, yaitu CBT (Computer Based Test) dan OSCE (Obejctive Structured Clinical Examination). Lebih singkatnya, CBT adalah ujian tertulis dan OSCE adalah ujian praktik.

Lili menghampiri suaminya, lalu merapikan kerah dan membantu Al menyisir rambut.

"Habibi, apa pun yang kamu lakukan, aku akan selalu mendukungmu. Setiap saat aku akan terus mendoakanmu agar segala urusanmu dilancarkan Allah."

"Aamiin. Makasih, ya, Habibti," ucap Al, lalu mengecup kening Lili. "Tapi, masalahnya ... mmm ...." Al menunduk, dia tidak enak hati ingin menyampaikan kepada Lili.

"Apa, Habibi?" Lili menunggu ucapan Al selanjutnya.

"Aku akan memakai dulu tabungan kita. Apa kamu mengizinkan?" Al memandang kedua mata Lili yang meneduhkan.

Bibir merah nan tipis Lili tertarik membentuk seperti bulan sabit. Sangat manis dan menenangkan hati Al.

"Habibi, jika memang kamu memerlukannya, silakan, pakai saja. Aku kumpulkan uang itu juga dari hasil keringat kamu."

"Tapi, Habibti, bukankah uang itu buat persiapan keperluan anak kita nanti? Pasti akan banyak kebutuhan selama kamu hamil. Apa aku pinjam Papa saja, ya?"

"Jangan, Habibi. Kalau kita ada, kenapa merepotkan orang lain? Rezeki sudah diatur Allah. Rezeki anak kita juga sudah Allah siapkan. Kamu jangan khawatir soal itu. Insyaallah, Allah akan memberikan kelancaran."

Meskipun sudah mendapat izin dari Lili, tetapi wajah Al masih saja tertekuk. Ada hal yang membuatnya merasa berat.

"Habibti, maaf, ya?" ucap Al menatap kedua mata Lili sendu.

"Maaf buat apa sih, Habibi?" Lili membelai pipi kanan Al.

"Kamu jadi ikut susah. Dengan pendapatanku yang belum seberapa ini, kamu jadi ikut pusing mengatur keuangan kita."

Lili malah terkekeh kecil sambil menutup mulutnya. "Apa aku pernah mengungkit hal itu, Habibi?"

"Iya, memang kamu tidak pernah mengungkitnya. Tapi, aku merasa tidak enak hati denganmu. Pendapatanku sebagai co-ass belum bisa mencukupi kebutuhan kita. Malah pendapatanmu sebagai ustazah di madrasah lebih besar."

"Habibi, kata Abah, dalam berumah tangga tidak ada namanya uang suami uang istri, sedangkan uang istri, ya, uang istri. Konsep berumah tangga itu adalah kerja sama suami dan istri membangun keluarga. Kalau saat ini pendapatanku lebih besar, jangan berkecil hati, itu rezeki kita, bukan cuma punyaku."

Al menarik napas berat. Dia memandang wajah Lili yang selalu bisa menenangkan perasaannya. Walaupun terlihat dari luar mereka serba ada, fasilitas lengkap, belum tentu kondisi finansial mereka terpenuhi.

Rumah yang mereka tempati adalah hasil Al mencicil dan belum lunas. Mobil yang Al gunakan selama ini sebenarnya fasilitas dari orang tuanya. Biarpun begitu, Al tidak hanya bergantung dari penghasilan sebagai co-ass. Al punya pekerjaan lain, Lili juga mengetahuinya.

Di saat Al lepas jam dinas, dia meluangkan waktu untuk mencari penghasilan tambahan dengan menjadi sopir taksi online. Pekerjaan ini tidak terikat jam kerja, hanya mengandalkan aplikasi. Dengan begitu Al bisa mengatur sendiri jam kerjanya sebagai sopir taksi online.

"Rencananya kapan kamu mau daftar itu, Habibi?" tanya Lili sembari memasukkan dompet dan ponselnya di tas kecil jinjing biru muda, senada dengan gamis yang dia kenakan malam ini.

"Insyaallah Senin depan, Habibti."

"Semoga lulus dengan nilai memuaskan, ya? Bismillah, pasti kamu bisa!"

Lili menyuntikkan semangat dan percaya diri kepada suaminya, agar Al bisa melewati ujian itu dengan lapang dada tanpa pikiran macam-macam yang akan mengganggunya.

"Aamiin. Makasih, ya, Habibti. Kamu selalu bisa menyebarkan hal positif. Insyaallah, aku akan melakukannya sekali dan langsung lulus. Itu harapanku, jangan sampai mengulang."

"Ya sudah, kita berangkat?"

"Oke."

Al mengambil kunci mobilnya di nakas, lalu mereka keluar kamar saling merangkul. Al tampak protektif saat Lili menuruni tangga, dia merengkuh pinggangnya erat.

Sedangkan di restoran yang dijanjikan, Rizky beserta Dila dan Hilya sudah duduk di meja yang Lili sudah pesan. Tak berapa lama Kiai Dahlan dan Fatimah datang. Sambil menunggu yang lain, mereka mengobrol santai dan menikmati sahlab.

Sahlab adalah minuman tradisional yang sering disajikan pada saat Ramadan, terutama di negara Lebanon, Siria, Yordania, dan Palestina. Cocok diminum saat musim dingin karena terbuat dari susu panas yang diberi rasa seperti kurma dan ditaburi bubuk kayu manis serta kacang-kacangan yang dihancurkan agak kasar. Bentuknya yang creamy mirip seperti puding.

"Asalamualaikum."

Suara pria menyapa mereka. Semua menoleh ke sumber suara.

"Wa 'alaikumus-salam," sahut mereka serentak.

"Maaf menunggu lama, ya?" ujar Ilham merasa sungkan karena besannya lebih dulu datang.

"Ah, tidak. Kami juga baru sampai," jelas Kiai Dahlan sembari menyalami Ilham. "Silakan duduk," sambungnya.

Setelah Azizah menyalami Fatimah dan Dila, dia duduk di sebelah suaminya. Rizky berdiri, menyalami Ilham. Saat mereka sedang asyik mengobrol, Lili dan Al datang.

"Maaf, kami terlambat. Tadi ada sedikit kendala di jalan," jelas Al sembari menyalami Ilham, Kiai Dahlan, dan Rizky.

"Kendala apa, Al?" tanya Azizah memandang cemas.

"Tadi ban mobilnya kempes, Ma. Untung bawa ban serep, jadi, ganti dulu."

Lili duduk di samping Fatimah, lalu di sebelahnya Al, didekat Kiai Dahlan. Menu yang Lili pesan satu per satu dihidangkan. Sebelum mengobrol lagi, mereka menikmati semua hidangan yang sudah tersaji di meja. Selesai makan, Al dan Lili saling pandang, mereka melempar senyum.

"Mmm ... sebelumnya saya dan Ily mengucapkan terima kasih karena semua sudah sudi datang ke sini, menemani kami makan malam," ujar Al membuka obrolan. "Di kesempatan ini juga, kami ingin menyampaikan kabar bahagia."

Semua menatap Al dengan tatapan serius dan tidak sabar. Al menoleh ke samping, Lili tersenyum dan mengangguk, memberi isyarat supaya Al segera menyampaikan kabar bahagia itu kepada keluarga mereka.

"Kabar bahagia apa, Gus?" tanya Kiai Dahlan karena Al tak kunjung melanjutkan ucapannya.

"Alhamdulillah, Ily postif hamil, Bah. Tadi kami sudah melakukan pemeriksaan ke dokter. Hasilnya seperti yang kami harapkan," kata Al membuat semua tersentak, sejenak hening, lalu beberapa detik kemudian ucapan syukur bertebaran.

Fatimah yang paling dekat dengan Lili langsung memeluknya. Dia menciumi kedua pipi Lili. Azizah pun beranjak dari kursinya, memeluk Lili dan menciumnya. Tampak kebahagiaan menyelimuti keluarga mereka. Kiai Dahlan langsung menengadahkan kedua tangan dan mendoakan Lili.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top