Jawaban Gus Al

Wajah Al datar, sikapnya pun dingin. Tanpa menatap wanita di depannya, dia berucap, "Maaf, sebelumnya kamu harus tahu ini. Saya hanya mencintai Neng Ily, mungkin akan sulit bagi saya membuka hati untuk wanita lain." Tanpa basa-basi, Al utarakan poin pertama.

Annisa menunduk, antara malu dan tidak dipungkiri dalam hati ada sedikit mengharap. Siapa yang menolak dokter tampan, mapan, dan saleh seperti Al?

"Maaf, Dok. Tapi ini keinginan istri Anda."

"Walaupun keinginan istri saya, Anda berhak menolak jika tidak mau terjerumus dalam situasi sulit."

"Kenapa sulit?"

"Pertama, Anda hanya akan menjadi alat untuk kami memiliki keturunan tanpa balasan cinta dari saya. Kedua, Anda akan sakit hati jika saya tidak adil memberikan nafkah batin. Ketiga, Anda hanya menjadi beban saya jika sampai poligami ini terjadi. Apa Anda siap?" Tanpa ragu Al mengatakan itu, memang itulah yang ada dalam bayangan Al jika Annisa sampai menerima poligami ini.

"Tapi niat saya hanya membantu kalian. Saya tidak mengharap lebih."

"Anda bisa membantu kami tanpa harus menerima poligami ini. Cukup dengan doa, itu sudah sangat luar biasa. Saya tidak mau menyakiti hati siapa pun, terutama istri saya, wanita yang saya muliakan selain mama saya. Tolong Anda pahami itu."

Annisa semakin malu, ternyata prinsip Al kuat, komitmennya tak goyah sedikit pun.

"Maaf kalau begitu, saya akan mundur."

"Baiklah, itu lebih baik. Maaf jika ucapan saya menyinggung perasaan Anda. Tapi ini juga demi kebaikan kita, saya tidak mau perjodohan ini dilanjutkan."

"Saya paham, Gus."

"Kalau begitu, saya pamit dulu. Terima kasih waktunya. Asalamualaikum." Al beranjak dari kursinya.

"Wa 'alaikumus-salam," jawab Annisa lirih tanpa memandang Al yang berjalan menghampiri Lili.

Sejak sampai di restoran itu, sengaja Lili duduk agak jauh dari meja Al dan Annisa. Supaya mereka dapat mengobrol leluasa, tetapi masih dalam jangkauan pengawasan Lili.

Saat Al sampai di depannya, senyum Lili tak pudar, walau hatinya terasa nyeri ketika tadi melihat sang suami berbincang dengan wanita lain. Padahal Al tak sedikit pun menatap Annisa.

"Sudah?" tanya Lili berdiri dan mengusap lengan Al.

Al hanya mengangguk dan tersenyum.

"Bagaimana?"

"Apanya?" tanya Al menautkan kedua alis tebalnya.

"Rencana kalian ke depannya."

"Nanti kamu bisa tanyakan langsung kepada dia." Al mencolek hidung Lili, lalu merangkulnya, diajaklah sang istri pergi dari restoran itu.

"Aku belum pamitan sama Annisa." Lili menoleh Annisa yang masih bertahan duduk sendiri dengan posisi menunduk, merenungi semua ucapan Al tadi.

"Dia bisa pulang sendiri. Ayo!" Al tetap mengajak Lili pergi dari restoran itu, tanpa memedulikan Annisa.

Malu, tetapi kagum dengan prinsip kuat Al. Dia merasa menjadi wanita bodoh, hampir saja menjadi perusak rumah tangga teman baiknya. Annisa mendapat pelajaran dari Al. Sesungguhnya poligami terjadi atas keinginan kedua belah pihak. Bagaimanapun orang berhak menolak, jika tidak berkenan.

Keputusan Al sudah jelas dan tegas. Annisa dapat memahami dan menghormatinya. Walau ada sedikit kecewa, tetapi Annisa juga bahagia, ternyata Lili berada dalam dekapan pria yang tepat. Dia setia, menjaga hatinya, dan sangat mencintai Lili walaupun kondisi teman baiknya itu tidak lagi sempurna sebagai wanita.

Setelah sekitar tiga puluh menit duduk sendiri di tempat itu, Annisa pun meninggalkan restoran tersebut. Dia pulang dengan perasaan campur aduk. Sulit digambarkan dengan kata-kata. Tak dipungkiri, sebagai wanita yang sudah berumur, dia ingin menikah. Mungkin dia belum menemukan pendamping yang tepat saja. Jadi, ada perasaan sedikit kecewa.

"Asalamualaikum," ucap Annisa lembut ketika masuk ke rumah.

"Wa 'alaikumus-salam," sahut semua orang yang duduk di sofa ruang tamu.

Annisa mengerutkan dahi ketika orang tuanya menerima tamu penting, tak biasanya. Dia tidak asing dengan pemilik wajah itu. Dengan sopan Annisa menyalami wanita paruh baya yang duduk di sebelah uminya.

"Nah, ini yang kita tunggu akhirnya datang juga," ujar Imam, abi Annisa.

"Memangnya ada apa, Bi? Kok menunggu Annisa?" tanya Annisa setelah duduk di sebelah Aminah, uminya.

"Begini, Annisa. Kiai Faiz sekeluarga, siang ini datang dengan tujuan baik," papar Imam sangat hati-hati. Annisa memperhatikan saksama. "Jadi, Gus Lutfi berniat ingin taaruf denganmu."

Mata Annisa terbelalak, dia menatap Aminah, seperti tak percaya. Detik kemudian dia menutup mulutnya. Lutfi menunduk, dia menahan diri agar tidak memandang Annisa. Tiba-tiba bibir Annisa kelu, dia tidak bisa berbicara apa pun.

"Nak Annisa," seru Isa, uminya Lutfi, dengan suara lembut.

"Iya, Nyai," sahut Annisa menoleh pada perempuan berwajah cantik meski usianya tak lagi muda, sekitar empat puluh limaan, berhijab longgar menutup seluruh tubuhnya, yang kini sedang menatapnya teduh.

"Apa ada lelaki yang sedang kamu tunggu kedatangannya ke rumah ini untuk melamarmu?"

Annisa menggeleng. "Tidak ada, Nyai."

"Apakah ada lelaki yang sudah menjanjikan kamu untuk menikah?"

"Belum ada, Nyai."

"Alhamdulillah. Setidaknya, saat ini kamu belum ada yang mengikat," ucap Isa dengan senyuman lega.

Mendengar hal itu, Lutfi tersenyum tipis. Dia memiliki peluang dan harapan. Akhirnya obrolan mengenai taaruf pun dilanjutkan. Annisa meminta waktu kepada Lutfi. Bukan sebuah penolakan, hanya saja Annisa ingin mengenal Lutfi lebih jauh, sebelum ke tahap serius.

Allah itu adil. Ketika kita merasa bimbang dan hati terombang-ambing dalam keraguan, Dia menuntun kita pada pelabuhan terakhir yang menjadi tempat terindah. Jalan yang Allah berikan untuk kita memang terjal, tetapi jika kita ikhlas menjalani dan berusaha semaksimal mungkin, Allah akan memberikan hadiah di luar ekspetasi kita.

***

Pagi ini Lili berangkat ke madrasah dengan perasaan tak sabar. Lili ingin segera sampai di depan Annisa dan menanyakan perihal yang kemarin. Langkah Lili terhenti saat melihat Annisa duduk sendiri di teras kelas, sedang membaca buku. Tanpa ragu dia pun mendekatinya.

"Asalamualaikum," sapa Lili dengan suara lembut.

"Wa 'alakumus-salam," jawab Annisa mendongak, menatap ke sumber suara.

"Boleh aku duduk?" tanya Lili melirik kursi kosong di sebelah Annisa.

"Silakan, Neng." Annisa sedikit bergeser, memberi ruang untuk Lili duduk.

Setelah duduk, Lili melirik buku yang sedang Annisa baca. Sampul cokelat, bertulis judul Taaruf. "Wah, itu buku keluaran lama kalau enggak salah, kan?"

"Iya, Neng. Aku sedang mengulang membacanya. Buat inspirasi saja."

"Jadi, kamu ...." Lili berpikir kalau Annisa setuju akan taaruf dengan Al, dia sudah tersenyum lebar.

"Iya, Neng. Insyaallah. Kemarin pulang dari restoran, tak terduga, ada pemuda bersama orang tuanya datang ke rumah," ujar Annisa dengan senyum menghiasi wajahnya yang berseri.

Senyum Lili pudar seketika. "Pemuda?"

Annisa mengangguk mantap. "Iya, benar. Pemuda yang Neng Ily juga mengenalnya. Dia datang untuk mengajakku taaruf."

"Siapa dia?" tanya Lili menautkan kedua alisnya, menatap Annisa tak sabar.

"Gus Lutfi," jawab Annisa tersungging senyuman lebar.

Bibir Lili terbuka lebar. "Gus Lutfi?"

"Iya, Neng. Benar."

"Terus bagaimana dengan taaruf kamu sama Mas Al?"

Annisa lagi-lagi tersenyum, dia meletakkan bukunya di pangkuan, lalu memegang kedua tangan Lili.

"Gus Al lelaki yang sangat baik, Neng. Cintanya kepada Neng Ily luar biasa. Masyaallah, prinsipnya kuat." Annisa menarik napasnya panjang. "Aku justru yang malu kepada Gus Al. Dia sosok suami yang tegas, sangat menjaga perasaan istrinya, bahkan Gus Al saat berbicara denganku, sedikit pun tidak mau menatapku, Neng. Gus Al benar-benar menjaga jarak dan pandangannya dariku. Dia sangat mencintaimu, Neng."

Bibir Lili kelu. Harus bagaimana dia sekarang? Bersedihkah atau bahagia? Mata Lili berkaca-kaca, dia menatap Annisa yang tetap mengulas senyum manis padanya.

"Jangan kecewakan Gus Al, Neng. Dia saja bisa menerima keadaan kamu yang sekarang. Jadi, kamu juga harus bisa menerima kondisimu sendiri. Dia suami yang baik," tambah Annisa, lantas menyeka air mata Lili yang jatuh di pipi. "Dia tidak mau melukai hatimu, bahkan dia tidak bisa membagi hatinya dengan wanita lain. Jangan berpikir yang tidak-tidak lagi, Neng. Suamimu sudah sangat bermurah hati, dia selalu menuruti permintaanmu. Sekarang giliran kamu yang mendengar suara hatinya dan menuruti permintaan beliau. Tidak sulit kok, Neng, maunya Gus Al. Beliau hanya ingin kamu selalu di sampingnya. Kalian berdua bersama mengejar surga."

Hanya air mata yang dapat menggambarkan isi hati Lili saat ini. Tak tega melihat teman karibnya menangis, Annisa pun memeluknya, mencoba memberikan ketenangan.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top