Gus Lutfi

Karena tidak mungkin Al yang langsung datang ke pesantren, Azizah mewakilinya. Ini cara mereka taaruf, saling menggali informasi dari orang-orang terdekat.

"Tante mau minum apa?" tanya Lili setelah Azizah duduk di ruang tamu.

"Apa saja boleh, Neng," ujar Azizah senang melihat kesederhanaan Lili.

Walau wajahnya natural, tetapi tampak cerah. Tidak ada jerawat maupun bekasnya. Mulus, seperti perawatan. Padahal Lili tidak pernah sama sekali masuk ke salon untuk perawatan wajah maupun bagian tubuh lainnya.

"Tunggu sebentar, ya, Tante."

"Iya, Neng."

Sementara Lili ke dapur membuatkan minum, Azizah mengobrol dengan Fatimah.

"Mbak Azizah kegiatan sehari-hari apa?" tanya Fatimah mengawali pembicaraan mereka.

"Seperti ibu rumah tangga biasanya, Mbak. Kebetulan saya punya butik. Kadang juga ikut pengajian, menghadiri acara bakti sosial, kadang juga ikut penyuluhan tetang kesehatan bersama ibu-ibu dari rumah sakit."

"Wah, alhamdulillah, banyak teman jadinya, ya, Mbak."

"Alhamdulillah, selama kita bisa melakukan kebaikan, Mbak."

Lili datang membawa dua cangkir teh hangat. Dia letakkan di meja depan Fatimah dan Azizah.

"Silakan diminum, Tante," ucap Lili lalu duduk di samping Fatimah.

"Terima kasih, Neng." Azizah mengangkat cangkirnya, lalu dia seruput. "Oh, iya. Apa yang mau Ily tahu tentang Al?" tanya Azizah sambil meletakkan cangkir itu kembali ke meja.

Sebelum menjawab, Lili melirik Fatimah sembari tersenyum malu-malu.

"Enggak apa-apa, apa perlu Umi tinggal biar kamu leluasa ngobrol sama Tante Azizah?"

"Jangan. Umi di sini saja." Lili menahan lengan Fatimah yang ingin beranjak dari tempat duduknya.

"Bertanyalah, Neng. Apa pun, insyaallah akan Tante jawab jujur, tidak ada yang ditutupi."

"Maaf sebelumnya, Tante. Sifat Dokter Al yang kurang baik apa?" tanya Lili terus menunduk, takut salah bertanya.

Namun, Azizah justru senang, Lili menanyakan itu lebih dulu. Setidaknya setelah tahu keburukan Al, dia bisa mempertimbangkan keputusannya lagi.

"Al itu orang yang sulit terbuka, kalau tidak ditanya dulu, dia enggak mau cerita. Terus kalau marah, dia diam. Apalagi, ya?" Azizah tampak berpikir. "Oh, iya. Kalau ada masalah, diam-diam dia selesaikan sendiri. Cerita setelah masalah itu selesai. Itupun kalau ditanya. Intinya kalau sama Al, sering ajak ngobrol dan komunikasi lancar. Itu saja sih."

Lili tersenyum, dia tampak puas menerima jawaban Azizah.

"Apa Dokter Al pernah pacaran?"

"Setahu saya, dia tidak pernah mengenalkan wanita sebagai teman dekatnya. Sepertinya dia tidak pernah pacaran. Setahu Tante, Al sangat menjaga diri dan jarak dengan lawan jenis."

Perasaan Lili menghangat, bibirnya tersenyum lebar. Berarti itu artinya, bisa jadi Lili adalah wanita pertama yang Al pilih. Mungkin juga satu-satunya yang dapat menaklukkan hatinya.

"Maaf, Tante, sebelum saya, apakah Dokter Al pernah melakukan taaruf dengan orang lain?"

Azizah menggeleng sambil tersenyum. "Belum pernah."

"Asalamualaikum." Di sela obrolan mereka, seorang wanita cantik, lemah lembut, berhijab besar dan lebar dengan senyumannya yang ramah masuk ke ruang tamu menggendong bayinya.

"Wa 'alaikumus-salam," jawab semua yang ada di ruang tamu serentak.

Wanita itu langsung mencium tangan Fatimah, beralih kepada Azizah. Dia meletakkan tas berisi perlengkapan bayi di kursi kosong sebelah Lili. Wanita itu juga berdiri di samping kursi yang Lili duduki.

"Mbak Azizah, kenalkan, ini menantu saya. Dila namanya dan cucu saya, Hilya."

"Asalamualaikum, Neng," sapa Azizah menangkupkan kedua tangan di depan dada.

"Wa 'alaikumus-salam, Tante," jawan Dila dengan senyum ramah.

"Neng, Rizky enggak antar?" tanya Fatimah sangat lembut kepada Dila.

"Mas Rizky dinas dua puluh empat jam, Umi."

Fatimah manggut-manggut, dia memahaminya. Neng merupakan sapaan putri dan menantu perempuan pemilik atau pengurus pesantren. Sedangkan untuk pria, sapaannya adalah gus.

"Ke sini sama siapa, Kak?" tanya Lili sambil meminta Hilya dari gendongan Dila.

"Sama Pak Kasmin. Kakak minta tolong jagain Hilya dulu, ya?" ucap Dila dengan suara sangat lembut.

Setelah Lili mengangguk, Dila berpamitan dengan Fatimah dan Azizah, dia pun bergegas ke pondok perempuan. Seperti yang sudah dijadwalkan, setiap seminggu dua kali, Dila mengisi tausiah. Selama dua jam dia akan menitipkan Hilya kepada Lili atau Fatimah.

Sebelum menikah dengan Rizky, Dila merupakan salah satu santri di pesantren Al-Huda. Mereka melewati taaruf berkat pilihan Fatimah. Selama menimba ilmu di pesantren milik Kiai Dahlan itu, Dila tercatat menjadi salah satu santri dengan nilai terbaik. Keluarganya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Kiai Dahlan.

***

Dalam hari-hari besar Islam, seperti Isra Miraj, biasanya pesantren mengadakan pengajian akbar. Di momen itu, para santri dapat saling melihat satu sama lain meski terbatas oleh ruang dan tempat yang terpisah. Tak hanya itu, keluarga besar pemilik pesantren pun berkumpul di acara tersebut.

Sejak tadi Lili kurang nyaman berada di satu tempat dengan keluarga besarnya. Salah satu pemuda yang tak dapat menjaga pandangannya sedari tadi membuat Lili risih. Dia yang duduk di sebelah Fatimah tampak gelisah.

"Ily, kemu kenapa kok dari tadi duduk gerak-gerak terus?" tanya Fatimah sedikit berbisik.

"Umi, Ily tidak nyaman."

"Ada apa?" Fatimah mengerutkan dahi heran.

"Dari tadi Gus Lutfi memandang Ily terus. Gimana ini, Umi?"

Sekilas Fatimah melirik pemuda berpakaian serba putih dan peci hitam, duduk di antara para kiai dan putra kiai.

"Kamu tenang saja, Umi akan bilang sama Abah, biar ditegur," ujar Fatimah, lalu beranjak dari tempat duduknya dan mendekati Kiai Dahlan yang duduk bersama saudara-saudaranya sesama kiai serta pengurus pesantren.

Fatimah berbisik kepada Kiai Dahlan. Mendapat laporan tersebut, saat itu juga, Kiai Dahlan mengajak pria itu menyingkir, duduk terpisah dari yang lain. Dengan halus, dia menegur Lutfi. Jika ditarik garis keturunan, Lufti ini masih keponakannya, tetapi beda nenek. Kiai Faiz merupakan kakak sepupu Kiai Dahlan.

"Maaf, Kiai, sejujurnya saya masih mengharap Neng Ily mau menerima taaruf dari saya," ujar Lutfi sambil menunduk.

"Iya. Tapi, sebaiknya jaga pandanganmu. Dalam surah An-Nur ayat 30 sebagai firman Allah : Qul lil-mu'minīna yaguḍḍụ min abṣārihim wa yaḥfaẓụ furụjahum, żālika azkā lahum, innallāha khabīrum bimā yaṣna'ụn. Artinya 'Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".' Paham, kan, kamu?"

"Iya, Kiai, maafkan saya," ucap Lutfi merasa malu karena ditegur secara langsung oleh Kiai Dahlan.

"Soal taaruf, maaf, saya tidak bisa memaksakan Ily. Karena keputusan di tangan dia dan nantinya rumah tangga, juga dia yang akan menjalani. Waktu itu kamu mendengar sendiri keputusan darinya, kan?"

Beberapa bulan lalu, Lutfi sempat ingin mengajak Lili taaruf. Hanya saja Lili menolak karena beberapa alasan. Salah satunya, Lili tidak cocok dengan sikap dan kata-kata Lutfi yang kurang santun.

"Iya, Kiai. Dengan sangat jelas."

"Nah, kalau sudah tahu begitu, kenapa kamu masih memaksakan kehendakmu?"

"Maaf, Kiai, apakah tidak sebaiknya jika kita menikah dengan orang terdekat? Di satu sisi, nanti untuk ke depannya keluarga besar kita agar bisa menjaga silahturahmi dengan baik dan pesantren ini dapat dilanjutkan oleh orang yang tepat."

Kiai Dahlan tersenyum lebar. "Apa kamu sudah yakin, jika kamu adalah orang yang tepat untuk menjadi penerus saya?"

"Insyaallah, Kiai. Ilmu agama yang saya pelajari sudah banyak. Saya juga jelas keturunan dari Kiai Faiz. Apa yang diragukan dari saya?" Dengan percaya diri Lutfi mengatakan hal itu.

Kiai Dahlan terkikih kecil. "Istigfar, anak muda. Ilumu bukanlah sebuah ukuran untuk menjadi pemimpin. Kalau hanya memiliki ilmu, tapi tidak dengan pengalaman dan attitude yang baik, sia-sia saja ilmu yang sudah kamu pelajari selama ini. Boleh kita percaya diri, tapi jangan sampai kita takabur."

"Maaf, Kiai. Saya hanya ingin menunjukan kelebihan saya. Bukan maksud takabur."

"Tidak perlu kamu tunjukkan dengan kata-kata. Cukup tindakan dan buktikanlah dengan perilakumu. Karena orang akan menilai dari yang kamu lakukan, bukan yang kamu bicarakan." Kiai Dahlan menepuk bahu Lutfi tiga kali, lantas dia pergi dari hadapannya.

Lutfi terdiam, dia mencerna semua ucapan Kiai Dahlan tadi. Untuk apa kita berilmu tinggi jika tidak memiliki attitude baik? Karena baik-buruknya kita, dinilai dari kebiasaan dan perilaku, bukan setinggi apa ilmu yang sudah kita dapatkan.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top