Galau
Tak mudah menjadi co-ass. Al harus bisa membagi waktu antara bekerja dan belajar. Karena nanti selesai menjadi co-ass, selama kurang lebih satu tahun setengah, Al masih harus mengikuti Uji Kompetensi Mahasiswa Program Pendidikan Dokter (UKMPPD), layaknya ujian nasional sekaligus ujian akhir bagi calon dokter umum di seluruh Indonesia.
Biasanya, mahasiswa kedokteran harus menempuh waktu selama enam sampai tujuh tahun, bahkan lebih untuk mendapatkan gelar dokter dan memiliki Surat Izin Praktik (SIP) dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Jadi, tak heran jika untuk mendapat gelar dokter bukan hal yang bisa dicapai dengan cepat.
Dalam tahap co-ass, ada lima belas stase, di antaranya ada empat stase besar yaitu Ilmu Bedah, Obgyn atau Ilmu Kandungan, Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Kesehatan Anak. Banyaknya stase ini tergantung pada tiap-tiap rumah sakit atau fakultas kedokteran yang ada, dimungkinkan ada perbedaan nama, serta jumlah stase. Tahapan awalnya, dimulai dengan masa orientasi atau pre-coass selama dua bulan, lalu masuk ke masa co-ass satu setengah tahun.
Jam kerja co-ass tidak terjadwal seperti dokter yang sudah memiliki SIP. Meski begitu, Al menjalaninya dengan ikhlas dan sabar. Kadang Al rela sewaktu-waktu diminta mendampingi operasi.
"Asalamualaikum, Dok," sapa Rizky saat Al makan sendiri di kantin rumah sakit.
"Wa 'alaikumus-salam," jawab Al spontan meletakkan sendok dan garpunya lalu menjabat tangan Rizky.
"Maaf kalau aku mengganggu."
"Tidak, kok, Dok. Silakan duduk. Sudah pesan makan?" tawar Al seperti bersiap ingin memesankan makan siang untuk Rizky.
"Sudah. Saya pesan jus. Sedang dibuatkan. Silakan Dokter Al melanjutkan makannya."
Nasi yang tinggal beberapa suap itupun segera Al habiskan tanpa sisa sebutir pun. Tak berapa lama piring putih itu bersih. Setelah menyilangkan sendok dan garpu, Al mengelap bibirnya dengan tisu, dan minum air putih. Pesanan Rizky datang, dia menyedotnya sedikit untuk menghilangkan dahaga.
"Oh, iya, Dok. Bagaimana tawaran saya kemarin?" tanya Rizky mulai membuka obrolan serius.
Al menarik napas panjang. "Sejujurnya, saya ini sedang mencari wanita yang dulu pernah saya jumpai di Kairo, Dok."
"Oh, jadi Dokter Al sudah memiliki calon sendiri ternyata?"
Ada perasaan sedikit kecewa dalam hati Rizky, sebab kalau boleh jujur, dalam hati yang paling dalam, Rizky sudah yakin akan mengenalkan Al kepada wanita pilihannya. Pastinya Rizky juga sudah sangat mengenali calon yang akan dikenalkan kepada teman baiknya itu. Bahkan, Rizky juga sudah yakin jika Al adalah pria baik yang bisa dia percaya mendampingi wanita itu.
"Bukan begitu, Dok."
"Lantas?"
Sambil tersenyum tipis, Al bercerita awal dia melihat gadis itu di Kairo, sampai sekarang dia tak kunjung melihatnya lagi.
"Itu sebabnya, Dok, saya sampai saat ini masih ragu jika ingin taaruf dengan wanita lain. Saya takut menyakiti hatinya karena dalam hati saya ada seseorang yang belum bisa saya lupakan."
"Tapi, apa salahnya sih, Dok, membuka kesempatan untuk mengenal wanita lain? Siapa tahu, namanya jodoh, Dok, bisa bertemu di mana pun. Jika memang Allah suatu saat mempertemukan Dokter Al dengan wanita itu lagi, belum tentu kalian berjodoh, kan?"
"Iya, memang benar katamu, Dok." Al tersenyum dan menggut-manggut. "Oh, iya, kalau boleh tahu, Dokter Rizky kenal di mana gadis itu?"
Rizky tersenyum, lalu menjawab, "Dia adik kandung saya, Dok."
Al sangat terkejut, dia menatap Rizky seperti tak percaya. "Masyaallah. Dok, apa saya pantas mendampingi putri dari Kiai Dahlan? Seorang ulama besar dan pemilik pesantren yang masyaallah terkenalnya hingga mancanegara. Sepertinya saya ini belum pantas, Dok."
Rizky kerkikih kecil sambil menepuk lengan Al. "Jangan merendah begitu, Dokter Al. Ada satu alasan kenapa saya memilihmu."
"Apa itu, Dok?"
"Saya mengenalmu cukup lama, dari kita SMA, hanya terpisah saat kamu kuliah di Kairo, takdir mempertemukan kita lagi di sini. Yang saya tahu, kamu pria yang santun dan saleh. Keluarga kami sebenarnya seperti keluarga pada umumnya, Dok. Mungkin karena Abah, jadi keluarga kami dipandang tinggi."
"Dok, maaf sebelumnya, saya tidak menolak tawaran Dokter. Hanya saja, saya butuh waktu untuk mempersiapkan hati. Memantaskan diri untuk menjadi pendamping putri Kiai Dahlan. Subhanallah, saya tersanjung dengan niat baik Dokter Rizky."
Dalam hati Al saat ini justru ragu. Rizky tak mungkin akan mengenalkannya kepada wanita sembarangan. Seseorang yang jelas asal-usulnya sudah di depan mata. Apakah Al masih ingin kekeh mencari wanita yang belum tahu asal-usulnya?
***
Suasana di pesantren tidak pernah sepi. Suara lantunan Al-Qur'an semakin malam justru bertambah. Kediaman pemilik pesantren berada di dekat pintu masuk utama. Tidak besar memang, tetapi nyaman dan cukup ditinggali sekeluarga.
Malam ini Kiai Dahlan duduk di teras rumah ditemani putra sulungnya sambil menikmati secangkir teh panas dan pisang kukus.
"Bagaimana pekerjaanmu, Rizky?" tanya pemilik pesantren, keturunan ketiga, Kiai Dahlan.
"Alhamdulillah, lancar, Bah."
"Oh, iya, apa yang mau kamu bicarakan tadi?" Kiai Dahlan menatap Rizky saksama.
Sebelum bicara, Rizky menarik napas dalam. "Abah, jika diizinkan, ada teman Rizky yang ingin taaruf dengan Lili."
"Apa kamu sudah mengenal orang itu lama?"
"Insyaallah sudah, Bah. Dia saleh, agamanya baik, dan bebet, bibit, bobotnya jelas."
"Kamu juga sudah mengenal keluarganya?"
"Insyaallah sudah, Bah. Papanya dokter senior di rumah sakit tempat Rizky bekerja. Mamanya disainer baju muslim dan muslimah."
"Coba nanti Abah bicara dulu sama adikmu, ya?"
"Baik, Bah."
Obrolan malam itu berlangsung santai, tetapi serius. Rizky sendiri sebenarnya sedih setiap ada yang berniat taaruf selalu ditolak adiknya. Entah, apa yang sebenarnya terjadi kepada Lili. Rizky berharap, pilihannya kali ini tidak ditolak.
Dia ingin melihat Lili menemukan pendamping yang tepat. Menerima dia apa adanya. Apalagi penampilan Lili yang sangat sederhana.
Selesai mengobrol banyak hal, Rizky melihat jam tangannya. Sudah pukul 22.30 WIB.
"Bah, Rizky pamit pulang, ya? Salam buat Umi sama Lili." Rizky beranjak dari tempat duduknya, diikuti Kiai Dahlan.
"Iya, insyaallah nanti disampaikan. Hati-hati di jalan, Riz." Kiai Dahlan mengantar sampai depan teras.
"Iya, Bah. Asalamualaikum," ucap Rizky selesai memakai sepatunya.
"Wa 'alaikumus-salam."
Kiai Dahlan masih berdiri di depan teras, memperhatikan mobil Rizky hingga keluar dari lingkungan pesantren. Lili dan Fatimah sedang mengisi pengajian di pondok wanita. Biasanya selesai agak larut malam.
***
Gelisah dan tak tenang. Al menjadi galau. Rizky berkali-kali menemuinya dan terus mendesak supaya dia mau taaruf dengan wanita yang dipilihkannya.
Sepertiga malam, setelah salat Tahajud, Al melakukan salat Istikharah. Dia meminta petunjuk agar bisa menemukan wanita yang selama ini dicarinya. Namun, jika memang belum berjodoh, Al berharap bisa yakin menerima tawaran Rizky. Teman baiknya itu akan membantunya taaruf dengan gadis yang sudah Rizky kenal baik.
"Hanya kepada-Mu hamba berserah diri, ya Allah. Bagaimanapun jalannya, hamba percaya itu yang terbaik." Al menengadahkan kedua tangannya.
Dia bersimpuh di atas sajadah, menenangkan hati, dan memantapkan keputusannya. Selesai berdoa, Al melipat sajadah dan melepas pecinya. Lalu dia mengambil kotak kayu hitam berisi tasbih.
"Wahai, ukhti, jika memang engkau pilihan Allah untukku, insyaallah kita akan bertemu lagi. Jika memang Allah tidak mentakdirkan kita bertemu, insyaallah kamu akan mendapatkan pendamping yang baik. Begitupun denganku." Al menyimpan tasbih itu lagi.
Dia berusaha untuk tidak terlalu berharap lagi menemukan gadis itu. Al ingin menjalani yang ada di depan matanya. Mungkin memang sudah jalannya seperti itu.
***
Suasana di ruang makan hening. Hanya suara dentingan sendok dan piring. Di meja makan, setelah sarapan, Kiai Dahlan menyampaikan niat baik Rizky kepada Lili.
"Bagaimana, Li?" tanya Kiai Dahlan lembut.
"Maaf, Abah, Lili belum bisa memutuskan saat ini. Boleh Lili pikirkan dulu? Lili minta waktu dua hari."
"Baiklah, Abah akan sampaikan kepada Kak Rizky nanti. Agar temannya juga bisa menunggu."
"Iya, Bah."
"Ya sudah, bantu Umi beres-beres, ya. Abah berangkat ke pesantren sebelah dulu." Kiai Dahlan beranjak, sebelum pergi, Lili mencium punggung tangannya.
"Hati-hati, Abah," pesan Lili menatap punggung Kiai Dahlan yang menjauh dari ruang makan.
Segera Lili membereskan meja makan, lalu membantu Fatimah mencuci piring.
"Abah bicara apa?" tanya Fatimah di sela mengelap piring yang selesai Lili cuci.
Padahal sebenarnya Kiai Dahlan sudah menyampaikan kepadanya tadi malam setelah mengobrol dengan Rizky.
"Biasa, Umi. Ada yang berniat taaruf. Tapi kali ini teman Kak Rizky."
"Dokter juga dong?"
"Kata Abah begitu."
"Terus bagaimana keputusanmu?"
Lili tersenyum tipis dan menggeleng. "Belum tahu, Umi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top