Duka Mendalam Lili
Kabar duka yang dialami Lili menyebar luas di pesantren dan madrasah. Anissa yang mendengar pun merasa kasihan pada teman baiknnya itu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati Lili saat ini. Padahal, Lili sangat menanti kelahiran anak pertamanya itu.
"Ustazah, kok bukan Ustazah Lili yang mengajar? Memangnya Ustazah Lili ke mana?" Dion, anak bertubuh gembul dan gigi depan menghitam karena gigis dengan polos bertanya kepada Anissa saat dia menggantikan Lili mengajar di kelas yang biasa Lili ajar.
Sebelum menjawab, Anissa menarik napas dalam. Dia memegang lengan Dion. "Ustazah Lili sedang sakit. Jadi, hari ini belajarnya sama Ustazah Anissa dulu, ya?"
"Yaaaah, padahal hari ini harusnya kita belajar di luar kelas, Ustazah," ujar Dion tampak kecewa.
Anissa paham, metode belajarnya dengan Lili bertolak belakang. Jika Lili mengajar sambil bermain agar anak-anak mudah mencerna pelajaran dan sesekali mengajar di luar kelas, sedangkan dia lebih suka di dalam kelas. Sebab itu anak-anak lebih suka belajar bersama Lili.
"Maaf, ya, Dion. Untuk hari ini kita belajar di kelas dulu. Dion kembali ke tempat duduk, ya?" pinta Annisa dengan nada lembut.
Meski kecewa, Dion pun kembali ke tempat duduknya. Anak-anak yang lain juga sudah siap mendapat pelajaran dari Anissa.
***
Lutfi yang siang itu berkunjung ke rumah Kiai Dahlan untuk mengantar undangan haul kelima belas tahun kakek buyutnya, mendengar kabar tentang Lili. Dia merasa prihatin dan iba.
"Saya hanya bisa mendoakan, semoga Neng Lili dan Gus Al diberi ketabahan, Kiai," ujar Lutfi yang sudah berlapang dada mengikhlaskan Lili berumah tangga dengan Al.
Banyak hal yang berubah dari Lutfi. Setelah ditinggal Lili menikah, Lutfi memutuskan untuk mendalami agamanya serta sering berpuasa untuk mengendalikan emosi. Atas kesabaran dan usaha Lutfi, kini dia merasa menjadi pribadi yang lebih baik.
"Terima kasih, Gus Lutfi," ucap Kiai Dahlan yang masih berusaha mengikhlaskan calon cucu keduanya.
"Kalau begitu, saya pamit, Kiai. Masih ada beberapa undangan yang harus saya antar," kata Lutfi sambil beranjak dari tempat duduk.
Kiai Dahlan ikut berdiri dan mengantar Lutfi sampai teras. "Salam untuk keluargamu, ya?" ujar Kiai Dahlan saat Lutfi mengenakan sandalnya.
"Insyaallah, Kiai. Asalamualaikum."
"Wa 'alaikumus-salam," jawab Kiai Dahlan.
Lutfi berjalan ke parkiran karena sopirnya menunggu di sana. Namun, saat Lutfi sampai di pertigaan koridor parkiran, lantaran kurang memperhatikan jalan, tak sengaja menyenggol bahu seseorang.
"Astagfirullah hal azim. Maaf," ucap Lutfi langsung menunduk.
"Tidak apa-apa, Gus. Saya yang harusnya minta maaf karena buru-buru."
Suara lembut itu mengundah Lutfi untuk menegakkan kepala. Sekilas Lutfi memandang wajah cantik seseorang yang dia kenal.
"Oh, ternyata Anissa," kata Lutfi kembali menunduk, menghindari pandang secara langsung dengan wanita yang masih berdiri di depannya itu. Jarak mereka cukup dekat, Lutfi mundur dua langkah, sedikit menjauh dari Anissa.
"Iy, Gus. Maaf, ya, Gus, saya duluan."
"Silakan, Anissa."
"Asalamualaikum."
"Wa 'alaikumus-salam," jawab Lutfi melihat kaki Anissa mulai melangkah pergi menjahuinya.
Lantas Lutfi pun melanjutkan perjalanan menuju ke mobilnya. Segera dia pergi dari pesantren.
***
Berat sebenarnya meninggalkan Lili. Namun, Al harus meninggalkannya, sebab ini hari pertama Al masuk kerja sebagai dokter residen di rumah sakit tempatnya dulu menjadi co-ass. Atas bantuan Ilham, Al dengan cepat mendapatkan pekerjaan. Tidak dipungkiri, selama ini perjalanan karier Al menjadi dokter hingga sekarang sudah bekerja, ada campur tangan Ilham.
"Habibiti," seru Al pelan dan sangat hati-hati.
Lili menoleh, meski bibirnya masih sedikit pucat, dia berusaha tersenyum kepada Al. Padahal Al tahu, hati Lili saat ini masih diselimuti duka. Kedua matanya sembap, hidung merah karena terus menangis. Semalam saja Lili tidak bisa tidur, dia mengaji sambil sesenggukan.
"Kamu enggak apa-apa aku tinggal?" tanya Al dengan tatapan tak tega.
Lili menggeleng, dia melambai agar Al mendekatinya yang setengah duduk bersandar di ranjang rumah sakit.
"Aku enggak apa-apa, Habibi," ujar Lili lembut sambil membenarkan kerah Al dan mengelus dada bidang suaminya itu. "Kamu harus fokus bekerja, ya?"
"Tapi ..."
"Habibi, kamu percaya dengan istrimu ini, kan? Aku baik-baik saja," ujar Lili meski sebenarnya dia sedang tidak baik-baik saja.
Al menarik napas dalam, lalu dia memeluk Lili serta mengelus punggungnya. Nyaman! Lili memejamkan mata, merasakan dekapan ternyamannya. Lili juga mengeratkan pelukan di pinggang Al.
"Sabar, ya? Kita hadapi ini bersama," ujar Al mencium pucuk kepala Lili yang terbalut kerudung cokelat.
Lili tidak menjawab, dia hanya mengangguk, tetapi Al merasakan itu. Beberapa menit mereka dalam posisi saling berpelukan. Hingga pintu bangsal terbuka, Al segera melepas pelukannya.
"Maaf, Mama mengganggu, ya?" ujar Azizah sungkan, berdiri di ambang pintu.
"Enggak kok, Ma. Masuk, Ma," pinta Al sambil menegakkan tubuh Lili.
Azizah berjalan mendekati Lili, dia membawa rantang, lalu diletakkan di nakas.
"Mama sengaja masakin kamu dulu, biar bisa sarapan sebelum berangkat," kata Azizah kepada Al sambil membongkar rantangnya. "Sama bikin bubur buat Neng Ily," lanjut Azizah memberikan rantang berisi nasi, telur dadar, tumis kangkung, dan sambal untuk Al.
"Makasih, Ma," ucap Al, lantas duduk di kursi samping tempat tidur Lili.
"Mama kok repot-repot sih? Kan, nanti dapat jatah sarapan dari rumah sakit," kata Lili lemah.
"Mama enggak repot kok, Neng. Kata Al, kamu enggak mau makan. Mama kepikiran." Azizah mengambil sendok, bersiap menyuapi Lili. "Mama suapi, ya? Kamu harus makan, biar punya tenaga."
Bibir Lili kelu, dia sangat bersyukur memiliki mertua sebaik Azizah. Perhatiannya sudah seperti uminya. Lili kadang tidak sadar jika Azizah adalah mertuanya, dia merasa kasih sayang yang Azizah berikan untuknya sebesar sayangnya kepada Al.
"Mama sudah makan?" tanya Lili sebelum menerima suapan pertama Azizah.
"Sudah. Tadi nemenin Papa sarapan di rumah. Ayo, buka mulutnya," titah Aziah sangat lembut, menyodorkan sendok ke depan mulut Lili.
Sambil memandang kedua mata Azizah, Lili membuka mulut. Tatapan ketulusan Azizah menusuk hati Lili.
"Makasih, ya, Ma?" ucap Lili setelah menelan suapan pertama.
"Sama-sama, Neng. Habis ini Mama bantu bersihin badan, ya?"
"Enggak usah, Ma. Lili bisa sendiri." Lili hanya tidak mau merepotkan Azizah.
"Gimana bisa sendiri? Jahitannya saja masih basah. Jangan membantah, ya? Kali ini aja nurut Mama."
Al tersenyum melihat perlakuan Azizah kepada istrinya, persis saat dia sedang merawat Al jika sedang sakit. Ternyata Azizah tidak membedakan Al dan Lili.
"Ma, Lili enggak mau Mama kecapean." Lili sungkan karena beberapa hari belakangan ini terus merepotkan Azizah.
"Mama enggak cape kok, Neng. Tenang saja. Apa beratnya sih ngelapin badan kamu? Biar enggak lengket, kamu juga bisa nyaman. Walau cuma berbaring, pasti ada keringat, kan?" Azizah mengoceh sambil menyuapi Lili.
Tak terasa dari suapan tangan Azizah, bubur yang masuk ke mulutnya banyak. Perut yang beberapa hari seperti menolak makanan, entah mengapa pagi ini menerimanya. Al sudah selesai sarapan, dia memberikan rantang yang sudah kosong ke Azizah. Setelah minum air putih, Al berpamitan kepada Lili dan Azizah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top