Sharing

Maukah kau menjadi nakama-ku?


Fujiwara Keiko. Aku memanggilnya Keiko-chan. Lucu juga menunggu dia online. Baru kali ini aku menunggu seorang cewek untuk online. Tahukah kamu apa hal yang membuat seorang cowok itu galau? Jawabnya adalah wanita. Ya, selalu wanita. Terkadang juga wanita itu menyebalkan, terkadang juga wanita itu menyenangkan. Terus terang, berteman dengan orang jarak jauh itu menyenangkan apalagi dia adalah cewek Jepang. Menurut berita di salah satu situs terkemuka di Indonesia, cewek Jepang lebih ingin menikah dengan orang Indonesia. Entah benar atau tidak, tapi aku merasa geli saja mendengarnya.

Ah, ayah dan ibu belum pulang. Tak ada kabar dari Keiko-chan. Dia masih off. Aku bingung sekarang, apakah aku akan langsung saja bilang "Keiko-chan Daisuki". AARRGGGHH! Itu tidak mungkin. Kami baru kenal. Lagian... tak secepat itu kan aku bilang suka ama dia? Aku menatap layar laptopku. Sudah seharian ini aku berada di kamar, tidak keluar mencari udara segar. Mungkin ada baiknya aku jalan-jalan saja dari pada di kamar.

Hari masih sore waktu itu. Setelah aku mandi, aku pun segera pergi keluar rumah. Kubawa ranselku, kumasukkan beberapa buku komik dan novel ke dalamnya. Setelah itu aku pun keluar.

"Mau kemana?" tanya mbak Nurul.

"Cari cewek," jawabku ketus.

"Hahahahahaha,.. ya ya ya, good luck!" mbak Nurul ketawa sambil mengejekku.

Sebenarnya aku bodoh menerima taruhan itu. Aku toh kalau kalah nggak masalah. Jadi tukang bersih-bersih rumah selama sebulan nggak buruk koq. Toh selama ini aku yang banyak kerja di rumah. Mbak Nurul orangnya pemalas. Dari segala pekerjaan rumah tangga, mbak Nurul itu hanya bisa masak. Hmm...iya juga sih, keluarga kami orangnya bisa masak semua. Mungkin suatu saat nanti kalau ada Master Cheff aku ingin ikut hihihihi..

Naik angkot ataukah jalan kaki? Hmm... aku lebih pilih naik angkot sebenarnya, tapi entah kenapa hari itu aku berubah pikiran. Aku melihat garasi rumah. Di sana ada sebuah sepeda yang teronggok. Sepeda bermerk Raleigh ini sudah lama tidak dipakai. Bahannya aluminium jadi tahan karat. Tapi... ya itu tadi dekil, bannya juga kempes. Semenjak aku kuliah, aku tak pernah lagi memakainya. Dulu waktu masih SMA aku selalu memakainya, tapi semenjak kuliah...hhmmm tidak. Salah satu alasannya adalah pertama karena aku minder. Semua teman-temanku memakai sepeda motor. Kedua, aku takut jadi perhatian tahu sendirilah nggak pede. Ketiga, ayahku yang memintaku untuk naik angkot saja. Kalau kepengen naik sepeda ya naik aja tapi jangan buat ke kampus. Alasannya adalah agar aku bisa merasakan bagaimana bergelut dengan jalanan, melihat orang-orang di jalan, menyapa mereka, berinteraksi dengan semua orang. Pemikirannya boleh juga sebenarnya, intinya agar aku bisa berinteraksi dengan semua orang. Dengan cara inilah aku jadi kenal dengan banyak orang.

Aku pun mengambil pompa sepeda yang ada di garasi kemudian mulai memompa sepeda itu. Pelan-pelan angin pun masuk ke dalam ban sepeda yang kempes. Kupastikan kedua ban itu benar-benar keras agar bisa kunaiki. Setelah itu aku pun mengeluarkannya dari garasi. Sepedaku pun aku kayuh. Sudah lama nggak memakai sepeda membuat kakiku jadi lelah mengayuh. Salahku juga sih nggak lama berolah raga. Baru sampai satu kilo saja aku sudah ngos-ngosan. Tapi cukup senang karena aku melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Langit sore hari yang indah. Matahari mulai tenggelam di balik gunung, sinarnya membias di langit dengan cahaya berwarna kuning keemasan, mega merah pun mulai ada di langit.

Ada kebiasaan buruk. Mungkin bolehlah aku sebut buruk, tapi sebagian orang mengatakan kebiasaanku tidak buruk. Bahkan baik. Aku sekali pun niatnya jalan-jalan tapi tetap saja berhenti di perpustakaan. Aku sendiri heran bagaimana tubuhku bisa menyetirku sampai di depan Perpustakaan Daerah yang ada di Jalan Semeru dekat dengan Jalan Ijen. Mentang-mentang aku kutu buku dan nerd maka seenaknya tubuhku ini menjadi autopilot.

"Ngapain aku ke sini??" tanyaku kepada diriku sendiri.

Aku pun mengayuh sepedaku lagi melewati jalan memutar. Di sini aku bisa melihat Museum Brawijaya yang memamerkan tank dan senjata mesin kuno bekas perang kemerdekaan di depannya. Saat itulah aku melihat seseorang yang mungkin aku kenal. Tidak, tidak mungkin itu kan....

"Siska?" sapaku.

Seorang cewek dengan dandanan memakai jeans dan kaos dengan sebuah tas pinggang tampak berjalan di pinggir trotoar di jalan Ijen. Begitu aku panggil cewek itu menoleh ke arahku. Sungguh berbeda, ketika dia memakai cosplay dengan tidak. Aku baru tahu kalau rambutnya sebahu, wajahnya cukup manis. Tapi, tak bisa dibandingkan dengan Keiko-chan.

"Fahmi?!"

Aku menghentikan sepedaku. "Ngapain di sini?"

"Mau tahu aja urusan orang."

Aku tersenyum sinis. Kuangkat sedikit sepedaku agar naik ke trotoar hingga sekarang berjalan di sebelahnya.

"Apaan sih?" dia agak risih kepadaku.

"Aku heran ama kamu," kataku. "Emang salahku apa sih?"

"Salahmu... salahmu adalah kamu adalah otaku. Kalau kamu bukan otaku aku akan bisa dapatkan hidupku lagi mengerti?!"

"What?? Nani?? Itu tidak masuk akal! Apa salahku coba?"

"Kamu terlalu sempurna, kamu terlalu sempurna untuk menjadi seorang otaku. Pergilah! Aku muak kepadamu!"

Siska pun melangkah pergi. Aku mengejarnya. "Tunggu!" Aku pun berhasil mengejarnya hingga berada di depannya.

"Katakan kepadaku! Apakah aku memang tidak menarik bagi perempuan? Katakan kepadaku, kalau misalnya kamu adalah seorang cewek yang suka kepada perempuan aku harus berubah bagaimana?"

"Apaan sih?"

"Apakah kebanyakan cewek-cewek memang tidak suka otaku?"

"Iya."

"Benarkah?"

Siska mengangguk.

"Kamu serius?"

"Dua rius!"

Aku menghela nafas. Siska tampak tersenyum simpul kepadaku. Sebegitu jelekkah seorang otaku di mata para cewek. Tapi dia sendiri apa bukan otaku? Ah, aku pun pergi meninggalkan dia. Aku mengayuh sepedaku ke cafe KOMIK. Setelah melewati beberapa jalan besar, dengan sepeda kecilku aku sampai juga di kafe ini. Hari sudah malam ketika aku sampai di tempat ini. Tak lupa aku ibadah dulu, karena di sini ada mushola kecil.

Mas Didit menemuiku ketika dia melihatku duduk sendiri di lantai dua. Entah kenapa malam itu sepi banget suasana kafenya. Dia memakai seragam kerjanya, kaos hijau, kuning dan biru dengan motif kotak-kotak. Dia juga memakai celemek dan celana jeans. Seragam kerjanya tampak santai kalau dilihat.

"Hei Mas, mau pesen seperti biasa?" tanyanya.

"Ya deh," jawabku. "Tapi, habis itu boleh minta tolong?"

"Hmm??" 


* * *

Aku dan Mas Didit duduk semeja setelah ia memberikan pesananku segelas Minuman Lupus dan Snack Combination. Snack Combination yang terdiri dari pisang Keju, Roti Panggang, Sosis goreng dan Jamur Crispy itu aku lahap mulai dari jamur crispy-nya. Perasaanku sedikit lega setelah dinginnya minuman lupus membasahi kerongkonganku.

"Ada masalah apa sepertinya serius?" tanya Mas Didit.

Aku menghela nafas dan mulai menceritakan tentang diriku sebagai Fahmi Reject. Tentu saja dia ketawa. Ngakak sekeras-kerasnya. Sudah aku duga.

"Jadi, cewek cakep yang dulu itu dosenmu?" tanya Mas Didit.

"Iya," jawabku.

"Hahahahahaha, ya amplop. Lucu juga kamu deketin orang yang udah punya anak, makanya dilihat-lihat dulu kek, diselidiki dulu kek. Hihihihiahahahahaa," dia ketawa sambil pegang perutnya.

Aku melanjutkan memakan snackku. Sekarang bagian pisang kejunya. Rasanya cukup renyah dan manis di mulutku. Setelah aku telan baru aku meminum Lupus. Aku kemudian bersandar di kursi.

"Mas, apa emang orang otaku seperti aku ini nggak disukai cewek yah?" tanyaku.

Mas Didit menghirup nafas dalam-dalam sambil menerawang jauh. Dia lalu melihat ke arahku dan menepuk pundakku. "Mi, terkadang wanita itu menyukai seseorang itu bukan karena hobby yang ia gemari. Terkadang ia menyukai seorang cowok karena sifatnya, karena perangainya. Kamu sendiri pernah nyakiti hati cewek?"

"Nggak pernah. Punya cewek aja belum."

"Nah, persoalannya sekarang cewek-cewek itu nggak suka ama kamu mungkin karena dari look n feel yang kamu punyai. Kamu itu suka ama hal-hal yang berbau Jepang, kenapa nggak coba ubah potongan rambutmu?"

"Huh?" kuraba rambutku.

"Coba lihat tokoh-tokoh anime. Lihat itu potongan si Kuro dalam serial manga Kuro no Basket! Keren kan? Coba lihat lagi tokoh-tokoh yang disukai cewek di serial anime, kebanyakan mereka punya rambut yang kece. Kalau kamu potongan rambutmu lebih mirip dosen. Hahahaha."

"Ini ngeledek lagi ceritanya?"

"Nggak, beneran, coba deh sesekali kamu berubah. Nggak ada salahnya kan?"

"Berubah gimana mas?"

"Mi, sesekali kamu sedikit lebih macho, lebih rapi, lebih klimis, lebih merawat diri. Coba deh, kamu berubah penampilan!"

"Tapi apa aku harus tidak lagi menyukai anime, manga dan..."

"Nggak perlu!" Mas Didit memotongku. "Kamu hanya perlu mengubah penampilan, bukan mengubah kesukaanmu."

Aku mengerutkan dahi. Berpikir keras. Mas Didit memang baik. Dia memang seperti ini, kadang aku sering curhat ama dia. Mungkin karena aku sering di kafe ini dan sering juga sendiri akhirnya kami ngobrol banyak hal. Dia juga suka lho ama anime dan manga. Dia selalu mengikuti serial Naruto dan One Piece sampai sekarang. Banyak sekali dia mengambil filosofi dari dua serial anime itu.

Aku hanya bisa menyunggingkan senyum. Mungkin apa yang dikatakannya ada benernya juga. Mengubah potongan rambutku? Hmm...baiklah, bukan ide buruk lagipula.

Setelah itu aku pergi ke sebuah salon. Nama salon itu Wasabi. Bukan, ini bukan tempat makan. Memang namanya demikian. Aku langsung masuk ke dalam. Kulihat ada seorang mbak-mbak yang menjadi kapster sedang sibuk dengan para pelanggan. Seorang cowok dengan tampang gemulai tampak menyambutku.

"Ada yang bisa dibanting sam?" tanyanya.

"Sampeyan sing dibanting sam," jawabku.

"Hahahahaha, ada yang bisa dibantu?"

Aku melihat gambar seorang model dengan gaya harajuku. Aku langsung menunjuk ke gambar itu. "Aku kepingin gaya harajuku. Bisa??"

"Oyi coy, gampang!" kata mas-mas gemulai ini.

Aku kemudian didudukkan di tempat duduk pelanggan. Kulepas kacamataku. Memang agak kabur pandanganku, tapi cuek. Aku ingin model baru. Mungkin memang sudah saatnya aku berubah. Mengubah penampilanku yang selama ini mungkin terkesan nggak mengikuti mode. Sekali-kali nggak apa-apa kan?

CEKRIK! CEKRIK! CEKRIK!

Gunting pun sudah menari-nari di rambutku potong sana potong sini setelah rambutku dikeramasi. Aku cukup rileks dengan perlakuan kapster ini, bahkan aku tak menyangka sebenarnya aku bener-bener berubah. Rambutku jadi ada poninya, kemudian sedikit jabrik ke belakang. Agak berantakan tapi rapi. Eh gilak, keren juga. Semacam mirip tokoh anime, eh siapa ya??? Lupa. 

Tak berapa lama kemudian.....

"Sudah mas, gimana?" kata sang kapster.

Potongan rambutku aneh, tapi biarin deh. Kayaknya aku bakalan suka model rambut seperti ini. Nggak tahu kenapa, tapi aku suka. Hari itu aku pulang dengan perasaan plong. Saat itulah Mbak Nurul sedang ada di ruang keluarga. Ketika aku masuk ke rumah dia langsung terkejut. Dia seperti melihat hantu.

"Eh, eh, eh! Siapa?" tanyanya.

Aku mengerutkan dahi, sambil memicingkan mata. "Maksudnya?"

"Kamu siapa?"

"Ini serius nggak tahu aku?"

"FAHMI??"

"Iya mbak, Fahmi."

"AMPPUUUUNN, berubah banget. Ini beneran kamu?"

"Bukan, aku artis kesasar. Ya iyalah."

Mbak Nurul cuma melongo aja melihatku masuk ke kamar. Apa aku berubah drastis? Aku lihat lagi di kaca cermin di kamarku. Iya, aku berubah hari ini. Sebenarnya hanya potongan rambutku saja sih. Aku menyalakan laptopku. Ini pertama kalinya aku online lagi dengan potongan rambut baru. Kulihat jam di dinding masih pukul 20.00 berarti di Jepang jam 22.00, Keiko-chan apakah sudah tidur?

Aku pun menekan tombol telepon di Hangout. Kupandangi wajah Keiko dengan rambut bobnya. Cakep yah. Manis. Ah... andai Keiko-chan jadi pacarku,...tapi apa bisa? Apa mungkin? Tak ada respon. Sepertinya Keiko-chan tidak ada di tempat. Apa ada sesuatu dengan dia? Kalau dilihat Skype-nya sih menyala, tapi tak diangkat. Apakah dia sedang pergi? Yah...bisa jadi sih. Dia kan sedang libur musim panas di sana. Kuambrukkan tubuhku di atas ranjang. Aku pun terlelap.


* * *

 Pagi pun tiba. Aku lihat lagi laptopku, tak ada kabar dari Keiko-chan. Apakah dia sibuk? Tapi pagi itu ada sesuatu di ponselku. Seseorang meng-add BBMku. Aku agak terkejut ketika melihat siapa dia. Desi? Kakak kelasku yang dulu itu.

Desi: "Hei Fahmi, apa kabar?"

PING!

Kenapa dia menghubungiku? Kalau mengingat sakitnya hatiku karena dia mempermainkanku dan menjadikanku bahan taruhan maka aku tak akan bisa memaafkan dia. Mau apa dia menghubungiku?


Me: Ada apa?


Tentu saja ini balasan yang sama sekali tidak friendly untuk seseorang yang sudah tidak lama bertemu. Sekedar aku ingin memberitahu dia kalau sakit hatiku masih terasa.


Desi: Kamu masih marah ya?

Me: Nggak.

Desi: Jawabnya ketus ih.

Me: Santai aja lage. Aku mau mandi dulu. Ntar disambung lagi yah.


Aku kemudian meletakkan ponselku di meja kamar. Setelah itu mengambil handuk dan mandi. Hari itu dengan model rambut baru, aku keramas dan merasakan air yang dingin. Setelah mandi aku memakai baju t-shirt dan celana baggy dengan kantong banyak. Aku ambil ponselku lagi. Saatnya mengubah foto profile. Kuambil gambar wajahku dan kuupload di semua media. Dari BBM, WhatsApp, Facebook, G+ dan Skype. Aku tak menghiraukan pesan BBM yang masuk dari Desi. Setelah itu aku turun ke dapur untuk sarapan. Mbak Nurul ada di sana.

"Cieeh, adekku sekarang tambah ganteng. Lagi deketin seseorang ya?" tanyanya.

"Entahlah," jawabku.

Kulihat tak ada makanan di meja makan. "Lho, nggak ada makanan?"

"Yup, nggak ada," jawab Mbak Nurul.

"Kenapa?" tanyaku.

"Soalnya hari ini giliranmu yang masak, oke selamat bekerja chef Fahmi. Masak yang enak yah!?"

Oh iya, hari ini giliranku masak. Aku hampir lupa. Oke deh. Mbak Nurul tampak sedang santai melenggang dan ambruk di atas sofa sambil menonton tv. Aku mengambil sayuran di kulkas. Ada wortel, lobak, tahu, sawi daging, kuambil semuanya. Habis ini aku belanja pastinya. Tinggal ini sayurannya. Aku pun mengambil dua telur dan sekaleng bubuk cabe. Kupotongi semua sayuran itu, setelah itu kusiapkan wajan dan mulai menumis. Tak sampai lima belas menit masakan sudah matang. Sayuran tumisan dengan semua bahan tadi sekarang tersedia di atas wajan penggorengan. Aku menuangkannya di piring saji. Setelah itu kuhidangkan di meja makan.

Aku melihat di magic jar sudah ada nasi. Oh, ternyata Mbak Nurul tadi sudah menanak nasinya. Kuambil dan kutaruh di atas meja makan. Melihatku sudah selesai memasak Mbak Nurul akhirnya ikut makan bersamaku.

"Jujur saja, aku baru kali ini melihatmu dengan potongan rambut baru. Bisa-bisa temen-temen mbak yang datang ke sini bakal naksir ama kamu. Hahahahaha," katanya.

Aku mengangkat bahu, "Ah, sebegitu menariknyakah pesona yang aku miliki?"

"Huuuu...dasar sombong. Tapi sekalipun penampilanmu berubah, kalau kamu masih seperti otaku ya sama saja bohong kan?"

"Aku tak percaya," aku mencibir Mbak Nurul.

"Coba saja!"

Setelah selesai sarapan aku kembali ke kamar. Kulihat ponselku. Kubuka BBM dari Desi.


Desi: Mi, sorry yah. Aku tahu aku dulu salah ama kamu. Aku terpaksa membohongimu. Tapi kalau boleh, mau nggak kamu temui aku??


Menemuinya?? Maksudnya?


Me: Maksudnya?

Desi: Aku ingin ngobrol sesuatu denganmu. Kitakan di kampus yang sama. Temui aku di Fakultas Ekonomi yah.

Me: Kapan?

Desi: Hari ini deh. Mumpung sedang liburan semester. Aku sedang bantu anak-anak ekskul.

Me: Oke tunggu aku.

Desi: Thx.


Aku segera keluar mengambil sepedaku. Sengaja aku tak membawa ransel. Biasanya mahasiswa itu kemana-mana membawa ransel. Entahlah buat apa ransel itu padahal juga nggak ada isinya. Mungkin karena trend bahwa seorang mahasiswa harus membawa ransel, dan biasanya karena bingung aku hanya membawa komik-komikku atau novel-novelku.

Butuh waktu setengah jam untuk sampai di kampus. Aku sendiri tak tahu kalau Desi kakak kelasku itu kuliah di kampus yang sama denganku. Atau aku saja yang tidak perhatian karena fokus belajar? Karena liburan semester otomatis kampus sepi, hanya ekskul yang melakukan kegiatan saja ada di sini, seperti seminar, kegiatan olahraga dan beberapa kegiatan lainnya seperti pelatihan SAR. Beberapa anak yang mengikuti ekskul beladiri tampak sedang berlatih di lapangan. Aku pun melewati sebuah halaman yang luas dengan beberapa bangku yang tampak lengang. Ada seorang cewek di sana sedang duduk merenung, aku langsung mengenali dia. Desi?

Kukayuh sepedaku hingga sampai tak jauh dari dia. Aku pun turun dari sepedaku. Kuhampiri Desi.

"Hai Des," sapaku.

Desi menatap ke arahku. Ia agak terkejut, seperti orang yang tidak mengenaliku. Agak lama akhirnya ia pun nyahut juga, "Fahmi??"

"Kenapa?" tanyaku.

"Pangling! Ini beneran kamu?"

"Aku pulang nih," aku membalikkan badan.

"Nggak, nggak! Gilak, kamu berubah banget!"

Aku kemudian duduk di tempat duduk di sebelahnya. Aku memutar badanku sehingga menghadap ke arahnya. Desi tersenyum. Ciehhh... kalau mengingat dulu aku menyukainya karena senyumannya ini, bikin aku nostalgia. Dia berubah. Ya, Desi telah berubah. Dia kini pakaiannya lebih sopan. Kalau ingat dulu dia sering pakai baju yang ketat dan pendek, sekarang terlihat lebih sopan. Apakah ada sesuatu yang mengubah dia?

"Kamu berubah banget," katanya.

Aku tersenyum. "Benarkah?"

"Iya," setelah itu dia menundukkan wajahnya.

"Ada apa?"

"Kamu mau nemenin aku?"

"Maksudnya?"

"Temani saja aku di sini."

Baiklah, rata-rata cewek itu tingkah polahnya memang aneh. Seperti cewek ini. Aku sampai sekarang tak mengerti apa sih maunya mereka?

"Tapi, nggak mungkin juga kan di sini terus?" kataku ketus.

"Aku hanya ingin ditemani, nggak boleh?"

"OK, baiklah."

Akhirnya kami pun saling diam. Aku menyandarkan punggungku di bangku. Rasanya aneh saja bertemu Desi dengan keadaan seperti ini. Walaupun dia seniorku, tapi aku dulu pernah memilihnya. Walaupun mungkin itu suatu kebodohanku, ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin dilihat, ingin disentuh. Kenapa? Apa yang terjadi dengan Desi? Selama setengah jam aku bersama dia. Sepuluh menit pertama tak ada apa-apa, sepuluh menit berikutnya ia mulai menangis, dan kini sudah dua puluh menit ia menangis.

"Ada apa sebenarnya?" tanyaku membuka pembicaraan. "Kamu bisa katakan sesuatu!"

Dia menggeleng.

"Oh baiklah, asal tahu saja aku juga sibuk. Tak mungkin nemenin kamu di sini seharian. Dan kalau kamu tak memberitahukan ada apa, bagaimana aku bisa memberikan solusi untukmu?"

"Kamu mau jadi pacarku?" tanyanya tiba-tiba, tentu saja hal itu mengejutkan aku.

"Apa maksudnya?"

"Kamu mau jadi pacarku nggak?"

"Des, yang benar aja. Kenapa mendadak seperti ini?"

"Berarti kamu nggak suka ama aku?"

"Bukan begitu. Kenapa tiba-tiba kamu begitu?"

"Jadikanlah aku pacarmu, Mi. Untuk hari ini aja ya, please!" tangan Desi memegang tanganku.

"Aku pergi!" aku segera berdiri menuju ke sepedaku.

"Dasar Fahmi jelek, nggak peka!" katanya.

Aku berbalik. "Gimana mau peka coba? Aku ini manusia biasa, gimana bisa tahu perasaan wanita? Kalau aku peka, mungkin aku dulu nggak bakal nembak kamu. Kamu dulu sudah nyakitin aku, terus sekarang? Kamu mau apalagi?"

"Aku serius"

Aku melihat matanya. Matanya tampak sayu. Dia seperti terluka. Entah karena apa.

"Ayo pergi!" ajakku.

"Ke mana?"

"Kampus ini luas, mau jalan-jalan sampai kaki copot juga bisa kan?"

Desi sedikit tersenyum. Paling tidak ia sudah tidak menangis lagi. Kami pun akhirnya berjalan-jalan di sekitar kampus. Kampus yang luasnya sekampung ini kami jelajahi. Aku tuntun sepedaku sambil berjalan pelan. Baru kali ini aku melihat Desi memakai rok dan baju lengan panjang. Dia masih cantik seperti dulu ketika aku naksir dia.

"Kamu sudah bisa bicara sekarang," kataku.

"Aku putus asa," katanya.

"Kenapa?"

"Mungkin ini kutukan, atau mungkin ini karma karena aku pernah berbuat salah kepadamu. Aku beberapa kali menjalin hubungan dengan beberapa cowok, tapi....mereka semua menyebalkan, bahkan mengkhianati aku. Terakhir kali aku diajak bertunangan dengan seorang cowok. Awalnya aku kira dia baik, bahkan kami pacaran beberapa bulan bahkan kami bertunangan. Sayangnya... aku melihat dia bersama wanita lain. Aku tidak dianggap lagi olehnya. Kemarin aku bertemu dengan dia dan aku buang cincin pemberiannya. Aku tanya siapa perempuan itu dia tidak menjawab. Hanya berkata maaf.

"Aku pun menyadari mungkin ini salahku karena telah mengecewakan seorang lelaki di masa lalu. Kupikir dengan kamu menjadi pacarku, aku bisa melepaskan karma ini. Aku sangat berdosa kepadamu. Kamu mau kan menjadi pacarku? Biar rasa bersalahku hilang?"

Kami berhenti di sebuah bundaran yang di tengahnya ada air mancurnya. Kalau kami berjalan ke utara sedikit pasti ada gerbang keluar dari Kampus ini. Aku menoleh ke arah Desi.

"Kamu yakin ingin jadi pacarku?" tanyaku.

Dia mengangguk.

"Kamu mau menyukai seorang otaku seperti aku? Seseorang otaku yang akan dikatakan aneh, yang mana dulu semua anak cewek di sekolah kita tidak suka kepadaku karena ini? Aku masih nonton anime, aku masih cinta dengan manga, aku juga penggemar JKT48, AKB48, aku bahkan bisa bicara dengan bahasa Jepang tidak sekedar Ohayo, Konichiwa dan arigatou. Aku juga penggemar J-Dorama, semua musik-musik yang aku dengar kebanyakan dari J-POP, apakah kamu mau menerimaku dengan segala hal itu yang disebut orang-orang sebagai hobi anak-anak? Apa kamu akan menertawaiku dan menganggap aku orang aneh ketika aku lebih suka melihat Kamen Rider daripada melihat acara-acara sinetron dan FTV yang nggak jelas? Berikan aku alasan yang tepat agar aku juga bisa menyukaimu lagi!"

Desi terdiam. Dia menundukkan wajahnya. "Aku tak tahu."

"Maafkan aku, tapi tak ada yang menyukaiku di sini. Tak ada satu cewek pun yang menyukai seorang otaku seperti aku. Aku yakin kamu juga demikian," kataku.

"Itu tidak benar, aku akan belajar menyukaimu!"

"Tidak seperti itu." Aku mendekat ke arah Desi. Kuhapus air matanya. "Cinta itu tak bisa dipaksakan. Dan... aku sudah tahu siapa wanita yang aku cintai."

"Eh?? Kamu sudah punya pacar?"

"Belum, tapi aku sekarang tahu siapa dia."

"Maksudmu?"

"Selama ini aku mencari seorang cewek yang sama-sama otaku seperti aku. Aku tak pernah menemukan dia di sini. Tapi aku telah mengenal seorang wanita. Dia bernama Fujiwara Keiko. Ya, mungkin aku menyukainya."

Desi terperangah. Aku kemudian menepuk pundaknya, "Kamu cantik, kamu anggun, bukan salahmu kalau cowok brengsek yang menjadi tunanganmu itu berselingkuh. Itu salah dia. Dan aku sudah memaafkanmu. Dan maaf, aku tak bisa. Karena cintaku ada di negeri Sakura."

Setelah itu aku pun meninggalkan Desi sendirian. Ya, aku kayuh sepedaku pulang. Aku sekarang mantabkan hatiku. Perempuan yang aku cari adalah yang seperti Keiko-chan. Aku akan ungkapkan perasaanku kepadanya bahwa aku mencintainya. Keiko-chan. 


* * *


Keiko-chan sudah menyalakan Hangoutnya. Tampak usernya menyala. Aku pun menyapanya untuk mengajak Hangout. Dia segera menerimanya. Wajah Keiko-chan kini ada di layar monitor.

"Konbanwa Keiko-chan!" sapaku.

"Konbanwa Fahmi-san," jawabnya.

"Bagaimana harimu?" tanyaku.

Dia tersenyum, "Baik-baik saja koq."

Hukum peraturan mengerti wanita bahwa apabila seorang wanita berkata, "Aku baik-baik saja" berarti ada sesuatu yang terjadi.

"Eh, Fahmi-san, kamu berubah!"

"Hehehehe, bagaimana? Aku ingin mengubah penampilaku."

"Keren, keren sekali!" katanya. "Kamu semakin mirip dengan dia." Keiko-chan bergumam.

"Apa kamu bilang tadi?" tanyaku.

"Oh tidak apa-apa. Lupakan saja," katanya sambil menggeleng-geleng.

"Keiko-chan, hari ini.... aku bertemu dengan perempuan yang dulu mempermainkanku," kataku.

"Oh... ada apa sebenarnya?"

"Aku, ingin menceritakan tentang diriku kepadamu. Aku ingin share semua hal kepadamu. Kalau kamu tak keberatan."

"Silakan!"

"Keiko-chan, aku ingin mencari teman sebenarnya. Orang yang bisa menyukai seorang seperti aku. Seseorang yang tidak jijik kepada otaku sepertiku. Di negeriku mungkin tidak sama dengan negerimu. Di sini orang yang menyukai anime, manga, dan tokusatsu dianggap masih anak-anak. Padahal di negerimu mungkin orang-orang sepertiku akan dianggap sebagai orang yang punya kegemaran yang unik, orang yang terhormat. Di sini tidak seperti itu.

"Kamu tahu, ketika aku menonton anime sekalipun dengan rating 17 tahun, akan tetap dianggap anak-anak. Siapa yang tidak kesal dengan hal itu? Keiko-chan. Aku tahu kamu suka anime, suka manga, aku tahu kamu juga otaku. Setidaknya, kamu mau menjadi nakama-ku?"

Bodoh, kenapa tidak bilang langsung daisuki??

Keiko-chan tersenyum. "Kamu lucu Daichi! Eh,...maksudku Fahmi-san. Baiklah, kamu bisa jadi nakama-ku. Mulai sekarang aku akan memanggilmu Fahmi-kun."

"Arigatou ne"

"Hai hai. Oh iya, trus tentang perempuan itu?"

"Ah, aku malu untuk menceritakannya."

"Ayolah, ceritakan kepadaku Fahmi-kun!"

"Hehehehe, baiklah. Aku akan ceritakan kepadamu semuanya tentang diriku. Karena kita adalah nakama."

Aku pun menceritakan semuanya kepada Keiko-chan. Cerita tentang diriku dengan kesukaanku, hingga aku pun mendapatkan julukan Fahmi Reject. Aku juga cerita tentang Desi di kampus tadi. Dan...aku menghentikannya. Sebab aku melihat Keiko-chan menangis.

"Keiko-chan, kenapa?" tanyaku.

"Boku wa....boku wa....," ia tak melanjutkan.

"Baiklah, menangislah, aku akan menemanimu menangis. Teruslah menangis. Aku akan menemanimu."

Lama aku melihatnya menangis. Ya, ada sesuatu yang terjadi padanya. Tapi ia belum bercerita. Dan aku tetap menunggu dia hingga dia meredakan tangisnya.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top