Mengejar Shinkansen

Aku mungkin harus berterima kasih kepada orang-orang anggota komunitas otaku yang ada di Jepang. Mereka menolongku. Seharian mereka mencari-cari keberadaan Keiko-chan. Mungkin memang kesalahanku sehingga aku harus menderita seperti ini. Untuk sementara aku tinggal di rumah Eiji-san. Rumahnya ada di Ikebukuro. Aku pun mendapatkan ijin untuk bisa tinggal sementara di sana. Rumahnya sederhana tidak mewah, untuk masuk ke rumahnya kita harus naik karena lantai satu dipakai oleh keluarga lain. Boleh dibilang ini rumah ngontrak.

"Kamu cukup lancar berbahasa Jepang ya Fahmi-san," kata Eiji.

"Begitulah," ujarku.

Kami berdua menyiapkan sarapan. Terus terang aku juga merasa tak enak kalau numpang di rumah orang tapi tidak melakukan apapun. Eiji-san selalu menolak tapi aku bersikeras membantunya. Paling tidak ilmu memasakku bisa aku terapkan di sini. Ia cukup terkejut ketika aku bisa memasak. Bahkan hasil kreasi masakanku sempat membuatnya heran. Aku sudah bangun pagi-pagi tadi, sudah mandi dan sudah beribadah. Setelah berjibaku di dapur akhirnya kami pun sudah berada di meja makan.

"Aku tak pernah menyangka kamu bisa memasak Fahmi-san," kata Eiji.

"Hahaha, biasa saja. Fujiwara-san juga suka kepadaku salah satunya karena aku bisa memasak," kataku.

"Tapi jujur, memang aku setuju kebanyakan cewek lebih suka ama cowok yang bisa memasak. Makanya banyak chef yang punya istri cantik-cantik."

"Wah, Eiji-san. Jangan-jangan kamu juga ingin jadi chef?"

"Hahahaha, memang sih. Aku ingin bisa jadi chef. Ni-san suka dengan masakanku, bahkan teman-temannya juga memuji masakanku."

Pagi itu kami hangatkan suasana sambil berbicara tentang cita-cita Eiji. Eiji bicara banyak tentang keseharian dirinya, bahkan untuk beberapa saat kami tidak membahas tentang Keiko-chan terlebih dulu. Sampai setelah selesai sarapan, Eiji tiba-tiba memberikan kabar yang mengejutkan.

"Kita sudah tahu siapa yang membawa dompetmu, Fahmi-san," katanya.

"Hontou?"

"Dia sekarang sedang berada di kantor polisi. Kamu mau ikut?"

"Iyalah!"

* * * 

Masih menggunakan JR Pass, aku bisa menaiki kereta Yamanote Line secara gratis untuk menuju ke Shibuya. Di Shibuya kami langsung menuju ke kantor polisi di mana Ando-san, kakaknya Eiji-san bekerja. Hari ini sibuk. Aku bisa melihat orang-orang berlalu lalang di trotoar maupun stasiun. Jarang sekali aku melihat kendaraan pribadi yang melintas di jalan raya.

Dari Ikebukuro, berjejal di dalam kereta listrik monorail hingga akhirnya kembali ke Shibuya. Di sini aku kembali menemui Ando-san. Kantor polisi itu ada yang berbeda. Ada seseorang yang berada di sana. Kami tak kenal dengan orang itu.

"Dare?" tanya Eiji kepada kakaknya.

"Dia bernama Enba," jawab Ando-san.

"Enba?" gumamku.

"Iya, dia yang mencopet dompetnya Fahmi-san kemarin. Sekarang dia mengembalikannya," kata Ando-san.

"Ah, Fahmi-san. Gomenasai!" tiba-tiba orang yang disebut Enba ini membungkuk bahkan sampai bersujud. Artinya ia sangat bersalah dan meminta maaf yang sedalam-dalamnya. Enba ini masih muda, mungkin usianya sekitar belasan tahun. Apa yang mendasarinya melakukan hal itu?

"Memangnya kenapa engkau melakukan hal itu?" tanyaku.

"Akan aku ceritakan. Sebenarnya aku kemarin butuh uang untuk obat haha. Sedangkan kami tak punya uang. Haha sedang sakit, dia butuh obat. Aku berdo'a di Kuil Meiji saat itu untuk kesembuhan ibuku. Saat itu secara tak sengaja aku melihat Fahmi-san yang dompetnya tampak menyembul dari celananya. Saat itulah aku berpikir bahwa ini kesempatanku untuk mencopet dompet itu. Akhirnya aku mencurinya.

"Setelah itu aku membeli obat, memang aku sudah dapatkan obat itu. Namun setelah itu aku jadi bersalah. Aku mengikuti komunitas otaku. Setelah aku melihat di group bahwa ada seorang otaku yang terdampar di Jepang ini dengan nama Fahmi. Aku pun penasaran melihat isi dompet yang aku curi, ternyata itu dompet adalah milik Fahmi-san. Ada fotonya di sana, juga ada foto gadis yang bernama Fujiwara Keiko-san. Jadi...aku yakin telah mencuri dari Fahmi-san. Kedua foto itu aku lihat di situs Fan Page otaku. Mohon maaf Fahmi-san. Begitu tahu cerita tentang dirimu aku segera datang ke kantor polisi ini untuk mengembalikan dompetnya, tapi maaf uangnya sudah aku pakai sebagian. Aku tidak mencuri kecuali dalam keadaan terpaksa. Sekali lagi maafkan aku, dan aku bersedia menerima hukuman," jelas Enba dengan gamblang.

Ando-san kemudian menghampiriku sambil menyerahkan dompet yang dicuri oleh Enba. Aku menerima dompetku. Kuperiksa isinya. Uangku sudah berkurang beberapa tapi masih cukuplah untuk survive di Jepang. Akhirnya aku bersyukur sekali dompetku bisa kembali. Dan karena mendengar cerita Enba, aku pun jadi sedikit kasihan kepadanya.

"Enba-san, kamu tak perlu seperti itu. Setidaknya tak perlu meminta maaf. Aku memaafkanmu, anggap saja aku menolongmu hari ini," kataku.

"Hontou-ni?"

Aku mengangguk. Enba pun langsung memelukku, "]Arigatou Fahmi-san, Arigatou! Orang Indonesia memang baik, orang Indonesia sungguh baik."

Aku senang sekali bahwa Enba-san sekarang bisa terbantu.

"Baiklah. Kalau begitu, kasus ini selesai," ujar Ando-san.

"Aku tidak ditangkap?" tanya Enba-san.

"Kalau kamu berjanji tidak mencuri lagi, maka aku akan lepaskan," jawab Ando-san.

"Arigatou. Minna," jawab Enba dengan mata berkaca-kaca.

Aku menghela nafas lega. Paling tidak satu persoalanku selesai. Semoga saja seperti ini terus-menerus. Sekarang kita tinggal menunggu kabar, kalau ada yang tahu alamat Keiko-chan. Terus terang hal ini membuatku sedikit pusing, apalagi aku khawatir kalau-kalau ayah dan ibuku tahu tentang kebohonganku.

"Nah, Fahmi-san. Sekarang sebaiknya kita kembali mencari dimana rumah Keiko-chan," ujar Eiji.

"Iya, memang seharusnya demikian," kataku. "Waktuku juga tidak banyak."

"Soal itu....," Enba bersuara.

"Ada apa?"

"Aku sepertinya pernah tahu Keiko-chan."

"Heeeeeehh???" kami semua terkejut.

"Di mana? Di mana?" tanyaku antusias.

"Ayo aku antarkan! Aku dulu pernah menjadi bekerja di restoran mie dan jadi pengantar pesanan. Dan aku tak akan lupa kepada seorang cewek yang memberiku tip yang lumayan banyak. Tapi sepertinya sudah lama hal itu berlansung. Tapi aku yakin tidak akan pernah melupakan wajahnya. Ketika melihat videomu dan melihat foto Fujiwara-san, aku yakin itu pasti gadis itu. Aku tahu di mana rumahnya!" jelas Enba.

"Tunggu apalagi? Ayo kita ke rumahnya!" kataku.

"Hei, apa harus sefrontal itu? Bagaimana kalau Keiko-chan kaget atau bagaimana? Kamu tentunya tak ingin menyusahkannya bukan?" tanya Eiji.

"Aku tak peduli, karena aku ada di sini untuk bertemu dengan dirinya!" ujarku. Segera saja aku menarik tangan Enba. "Ando-san, terima kasih. Ja-na!"

Aku, Enba dan Eiji berlari-lari menuju ke Shinjuku. Perasaanku saat ini sangat bahagia, akhirnya pencarianku di Jepang ini tidak sia-sia. Kami akan bertemu lagi. Keiko-chan, kita akan bertemu lagi. Aku sangat merindukannya sekarang, aku tak peduli apa yang akan dia katakan. Aku akan peluk Keiko-chan, aku akan memeluknya. Aku tak peduli seberapa marah ia kepadaku nanti. Keiko-chan, aku sangat mencintaimu.

Ketika sampai di Yamanote Line aku pun tak pernah diam. Aku selalu bergerak, rasanya tubuhku tidak sabar ingin bertemu dengan Keiko-chan. Hal ini bisa dirasakan oleh Eiji dan Enba. Eiji menepuk-nepuk pundakku.

"Tenanglah, kita pasti akan bertemu dengan Fujiwara-san," katanya.

"Iya," kataku. Aku sedikit lebih tenang sekarang. Kuhirup nafas dalam-dalam di antara desakan para penumpang yang ada di Yamanote Line.

Segera setelah pintu monorail terbuka aku langsung keluar. Kuikuti langkah Enba keluar dari stasiun kemudian sampai di Shinjuku Exit. Dari Shinjuku Exit kami pun melewati sebuah jalan dan gang-gang hingga sampai juga di sebuah rumah dengan sedikit pekarangan. Apakah ini rumah Keiko-chan?? Keraguanku pun langsung hilang ketika melihat papan nama di temboknya. Orang Jepang biasanya memajang nama keluarga di pagar rumahnya. Dan di sana tertulis dengan huruf kanji dengan jelas yang berbunyi "Fujiwara".

"Benar, ini rumah keluarga Fujiwara," ujar Eiji.

Aku masih ragu untuk masuk ke halaman rumahnya, karena sepertinya tak ada orang.

"Yakin ini rumahnya?" tanyaku ke Enba.

"Iya, aku yakin!" jawab Enba.

Aku pun maju perlahan-lahan ke depan pagar rumahnya. Digembok? Iya digembok. Aku mencoba untuk membunyikan bel rumah. Tapi tak ada respon. Aku sudah menunggu beberapa saat hingga akhirnya aku mengangkat bahuku.

"Sepertinya orangnya tidak ada di rumah," kataku.

Ada seseorang yang melongok ke arah kami. Dia sepertinya tetangganya Keiko-chan.

"Ano, kalian cari siapa?" tanya orang itu.

"Apakah benar ini rumah Fujiwara Keiko-san?" tanyaku kepadanya.

"Ah, kamu benar sekali. Apakah kalian temannya?" tanyanya.

"Iya, kami temannya," jawabku.

"Ah, sayang sekali. Tadi pagi dia beserta orang tuanya pergi. Adiknya masih keluar," kata ibu-ibu tetangganya Keiko-chan. Syukurlah aku yakin ini rumah Fujiwara Keiko-chan. Aku kemudian mengambil ponselku dan menunjukkan foto Keiko-chan.

"Apakah Fujiwara Keiko-chan yang ini?" tanyaku sambil menunjukkan foto Keiko-chan.

Ibu-ibu itu mengangguk dengan mantab. "Iya, ini Fujiwara-san."

"Syukurlah, trus mereka pergi ke mana?" tanyaku.

"Sepertinya mereka akan mengantarkan Fujiwara-san ke Hiroshima," jawabnya.

"Hiroshima???" kami terkejut serempak.

Hiroshima? Oh iya, Keiko-chan pasti akan kembali masuk kuliah. Ini tidak bagus. Perjalanan dari Tokyo ke Hiroshima sangat jauh, menghabiskan waktu seharian. Aku tak mungkin ke sana. Tapi aku masih punya JR Pass. Kebetulan juga sih tujuannya JR Pass West. Artinya aku bisa mengunjungi Hiroshima dengan naik Shinkansen ke sana.

"Ini tidak bagus," kataku.

"Kita sudah sejauh ini," keluh Eiji.

"Kapan mereka pergi?" tanya Enba.

"Mereka pergi pagi-pagi sekali tadi," jawab ibu-ibu itu.

"Anda tahu mereka akan naik apa ke Hiroshima? Pesawat? Shinkansen?" tanyaku.

"Shinkansen, semua orang Jepang bakal naik Shinkansen anak muda. Buat apa harus ke bandara? Dengan Shinkansen lebih murah dan sama cepatnya."

"Eiji, kamu tahu di mana stasiun tempat Shinkansen berada?" tanyaku.

"Di Shinagawa," katanya.

"Kamu tahu rute ke sana?" tanyaku.

"Tentu saja!" jawabnya.

"Ayo! Kita diburu waktu! Arigatou Ka-san!" kataku sambil membungkuk ke ibu-ibu tadi.

"Hati-hati kalian!" katanya.

Eiji, Enba dan aku berjalan pergi. Selama perjalanan Eiji tampak sibuk dengan ponselnya. Wajahnya kelihatan sedikit sumringah. Apakah ada kabar baik?

"Sepertinya ada kabar baik," kata Eiji. "Coba baca ini!"

Aku menerima ponselnya Eiji. Aku membaca email. Dari Keiko-chan!


From: [email protected]

Fahmi-kun tolong tunggu aku disana...

Fujiwara Keiko.


"Whoa!" seruku. "Ini beneran?"

"Aku menceritakan peristiwa yang kita alami ketika sampai di rumah Fujiwara-san. Dan rumahnya tertutup. Kemudian salah satu dari rekan komunitas otaku bernama Madoka-san. Madoka-san yang bertemu dengan dia. Sekarang dia sedang berada di Yamanote Line menuju Shinagawa," ujar Eiji. "Madoka mengatakan kalau Keiko-chan sekarang ada di Yamanote Line. Dia sekarang sedang dalam perjalanan menuju ke Hiroshima. Dia ingin pulang kembali."

"Trus? Tunggu apalagi? Kita ke sana sekarang!" kataku.

"Sebentar, paling tidak kamu balas emailnya dulu!" ujar Eiji.

"Baiklah!" kataku. Aku pun membalas email Keiko-chan.


to: [email protected]

Keiko-chan, syukurlah... aku hampir gila saat tidak menemukanmu dimana-pun. Bahkan rumahmu tertutup rapat saat aku ke sana kumohon aku ingin bertemu denganmu. Madoka-san sudah menceritakan semuanya. Kau tidak perlu pulang menemuiku, jangan biarkan orang tuamu membenciku karena membuatmu tidak menuruti mereka. Biarkan aku yang datang, aku akan mengejarmu. Tunggu aku.


"Sudah!" kataku.

"Bagus!" jawab Eiji. Kami pun berjalan lagi menuju stasiun Shinjuku. Namun beberapa saat setelah kami berjalan Eiji berhenti.

"Ada apa lagi?" tanyaku.

"Ada pesan dari Fujiwara-san," katanya.

"Apa pesannya?" tanyaku.

Kembali aku membaca email dari Keiko-chan.


From: [email protected]

Fahmi-kun, aku ada di Shinagawa menunggu Shinkansen berangkat ke Hiroshima. Aku akan menunggu semampuku sampai Shinkansen berangkat. Sebab Shinkansen tak bisa ditunda keberangkatannya. Cepatlah! 


"Wah, ini nggak bagus. Ayo!" seru Eiji.

Aku, Eiji dan Enba segera berlari lagi. Kini kami akan kembali ke Shinjuku station. Sejujurnya aku bosan juga sih kembali lagi ke stasiun ini. Bagaimana tidak? Stasiun kereta yang paling sibuk di dunia dengan tiga juta lebih penumpang setiap harinya. Seperti hari ini misalnya. Aku kembali lagi melihat kumpulan manusia di stasiun ini. Manusia dari berbagai kalangan dari berbagai urusan. Kalau di Indonesia biasanya stasiun kereta itu akan penuh hanya pada momen mudik saja, di Jepang, momen mudik itu bisa dilihat hampir tiap hari.

Di Jepang sendiri khususnya Tokyo masih banyak petunjuk dengan huruf alphabet. Jadi misalnya papan penunjuk yang ada di Shinjuku Station ini. Ketika kita akan pergi ke Harajuku, Shibuya atau pun ke Shinagawa misalnya, akan ada petunjuk dengan huruf alphabet yang bisa dimengerti oleh orang di luar Jepang dengan di atasnya ada huruf kanji. Kalau sudah keluar dari Tokyo, maka akan sangat jarang sekali tulisan dengan huruf alphabet. Keunikan lain dari stasiun Shinjuku ini adalah stasiun ini langsung terhubung ke kantor-kantor tempat orang-orang bekerja, sehingga akan memudahkan akses mereka setiap pulang pergi kantor. Dan ya memang, ini adalah stasiun kereta terpanjang yang pernah ada di Jepang, mungkin juga di dunia.

Kami pun akhirnya masuk lagi ke monorail Yamanote Line. Kali ini tujuannya ke Shinagawa Station. Kami berdiri di dalam kereta, karena memang tak dapat tempat duduk. Cara berdiri ini sebenarnya tidak terlalu nyaman, apalagi aku membawa ransel. Jadi seolah-olah badanku tergencet di antara para penumpang lainnya. Selama kurang lebih lima belas menit lamanya kami berada di dalam kereta. Monorail Yamanote dari Shinjuku berhenti di Shibuya, setelah itu meneruskan perjalanan selama beberapa saat ke Shinagawa Station.

"Di mana?" gumamku sambil menoleh kiri kanan.

Eiji dan Enba juga mencari kiri kanan. Tak ada tanda-tanda atau batang hidung Keiko-chan. Saat itulah notifikasi ponsel Eiji berbunyi. Dia membacanya.

"Email, dari Keiko-chan," ujarnya. Aku pun ikut membacanya.


From: [email protected]

Fahmi-kun, kalian lama. Aku sudah menunggu bermenit-menit. Saat ini aku sudah masuk ke shinkansen menuju Nagoya. Kata oka-san dan oto-san kami akan mengunjungi saudara kami di Nagoya sebentar jadi kami akan mampir dulu di sana. Aku akan menunggumu di Nagoya. 


"Nagoya?" gumamku.

"Ah, kalau kamu menuju Hiroshima, kamu akan melewati Nagoya. Kalau kereta yang dipakai oleh Fujiwara-san adalah tipe kodama maka pasti akan berhenti di beberapa stasiun untuk kemudian jalan lagi, tapi kalau memakai kelas nozomi sudah dipastikan tak ada yang namanya berhenti-berhenti. Untuk JR Pass tak mungkin memakai nozomi. Yang pasti hanya memakai tipe kodama," jelas Eiji.

"Oh, begitu yah," gumamku.

"Ini, bawa ponselku!" kata Eiji.

"Huh? Nggak apa-apa?" tanyaku.

"Aku tahu ponselmu tak bisa digunakan di sini. Aku meminjamkannya agar kamu bisa menggunakannya selama di sini. Tapi kembalikan nanti ya!" kata Eiji.

"Arigatou," kataku. Kuterima ponsel milik Eiji.

"Ganbate Fahmi-san!" katanya.

"Hai, ganbate!" sambut Enba.

Aku menggenggam kartu JR Pass milikku. Sebenarnya aku bisa saja memilih untuk jalan-jalan di Nagoya yang memang terkenal dengan museum-museumnya. Boleh dibilang Nagoya adalah tempat yang sangat banyak museumnya. Seperti Tokugawa Art, Railway Park, Toyoya Commemorative Museum, ataupun Nagoya City Science Museum. Di sana juga ada Aquarium yang terkenal. Argh... tapi aku ke sini bukan untuk berwisata.

"Aku pergi. Itemikasu!" kataku. Aku membungkuk kepada Eiji dan Enba. "Arigatou minna!"

"Doutamashite!" jawab Eiji.

Kemudian aku masuk dan melintasi pemeriksaan tiket. Sesekali aku melihat ke arah Eiji dan Enba yang sudah menolongku sejauh ini. Aku melihat di mana kereta shinkansen yang harus aku naiki di papan petunjuk. Begitu melihatnya aku langsung membaca tujuannya:


NOZOMI 251 10:20 Shin-Osaka - Non - Reserved Car no. 1-3

KODAMA 679 10:26 Nagoya – Non - Reserved Car no. 13-15

NOZOMI 119 10:30 Hiroshima – Non – Reserved Car no. 1-3

HIKARI 525 10:33 Shin-Osaka – Non – Reserved Car no. 13-15


Aku sudah tahu kereta mana yang harus aku pakai. Aku pun berlari menuju jalur tempat di mana aku bisa menemukan kereta shinkansen kodama. Tulisan Kodama bisa aku lihat di badan Shinkansen yang sekarang ini akan berangkat. Sekarang jam 10:15 waktu Tokyo. Seorang petugas memeriksa JR Pass milikku kemudian memberitahu di mana tempatku duduk, dia menandainya aku bisa melihat sebuah nomor duduk di tiket JR Passku. Sebentar lagi pasti kereta akan berangkat. Aku buru-buru berlari memasuki kereta shinkansen. Begitu masuk suasana yang aku rasakan sangat berbeda. Kereta badannya besar, bersih dan tentu saja nyaman. Aku mencocokkan tempat di mana aku duduk.

Dadaku sekarang ini berdebar-debar. Bagaimana tidak? Aku sangat excited selain karena pertama kali naik Shinkansen, aku akan bertemu dengan Keiko-chan di Nagoya. Dari pengeras suara informasi aku bisa mendengar suara bahwa kereta akan segera berangkat. Tepat pukul 10:26. Jepang memang terkenal dengan tepat waktunya sehingga aku sekarang merasakan bagaimana shinkansen ini melaju. Rasanya smooth. Kalau di Indonesia yang kereta apinya memakai diesel, akan terasa hentakan ketika melewati rel, tapi ini sama sekali nggak. Seperti naik elevator tapi bergerak horizontal.

Aku kemudian mencoba menghubungi Keiko lagi. Tapi kali ini memakai emailku.


To: [email protected]

Keiko-chan, kamu sudah ada di mana? Aku sekarang naik shinkansen kodama ke sana. 


Sekali lagi aku menunggu emailnya. Aku bisa melihat dari jendela bagaimana suasana negara Jepang ini. Jalur yang ditempuh oleh Shinkansen ini benar-benar steril. Pantas saja shinkansen tidak pernah ada pun kecelakaan seperti menabrak mobil atau manusia. Dalam recordnya shinkansen setiap tahu selalu zero accident. Artinya tak pernah ada kecelakaan tentang Shinkansen.

Dengan ponsel milik Eiji aku bisa mengakses internet. Aku kemudian masuk ke beberapa akun milikku. Saat itulah aku bisa mengakses akun skype milikku. Ternyata berkali-kali Mbak Nurul menghubungiku. Aku segera menelponnya dengan Skype semoga saja ia menjawab. Dan ternyata tak lama kemudian Mbak Nurul menjawabnya.

"Mi!? Mi!? Kamu denger nggak?" tanya mbak Nurul.

"Iya, gimana?" tanyaku.

"Gagal, gagal!" katanya.

"Hah? Maksudnya?"

"Ayah ama bunda nyusul kamu ke Jepang!"

"Hah?!" tentu saja aku terkejut.

"Iya, sekarang mereka sudah mendarat. Kamu kemana aja sih? Dihubungi susah banget?!"

"Sorry mbak, banyak hal yang aku lewati di sini. Mulai dari kecopetan, tidur di emperan toko, tidur di kantor polisi, ketemu ama komunitas otaku. Banyak deh," kataku bercerita singkat.

"Trus? Ketemu ama Keiko?"

"Belum, ini sedang naik shinkansen menyusulnya."

"Duh! Mi, aku khawatir banget ama kamu. Oh ya, tetep online yah. Ntar ayah ama bunda menghubungi kamu lewat akun skypemu! Awas kalau sampai ditutup! Tetep kabari aku!"

"Iya, iya."

"Semoga kalian berdua cepet ketemu dan oh ya, kayaknya ayah sangat marah ama kamu. Marah banget, aku nggak pernah melihat beliau semarah itu," Mbak Nurul nada bicaranya berubah. Nada bicaranya datar. Ayah marah. Aku tahu bagaimana kalau beliau marah.

"Maaf ya, aku udah nyusahin mbak," kataku lesu.

"Sudah, yang penting segera temukan Keiko dan pulang! Kamu itu adikku satu-satunya!"

"Iya deh mbak, iya!"

"Fahmi! Hati-hati!" kata-kata terakhir Mbak Nurul.

Ayah dan ibu sudah ada di Jepang? Ah, rasanya perjalanan ini sebentar lagi bakal berakhir. Shinkansen ini terus berjalan, aku tak tahu sampai di mana sekarang ini kalau aku tidak perhatikan dengan benar nama stasiun tempat shinkansen berhenti mungkin aku akan melewatkannya.

Untuk sampai di Nagoya aku melewati Fuji. Tentu semuanya tahu bagaimana apa yang terkenal di Fuji, yap Gunung Fuji. Gunung Fuji bisa terlihat dari jendela tempat aku duduk. Gunung itu bediri kokoh dengan warna putih di puncaknya. Ya, puncak itu adalah salju yang ada di sana. Katanya kalau ke Jepang tapi tidak sempat mendaki Gunung Fuji maka akan terasa kurang. Tapi aku lebih baik bertemu Keiko-chan daripada harus naik ke sana. Setelah kurang lebih satu jam duduk aku pun sampai di Nagoya. Shinkansen Kodama telah sampai di Nagoya.

Begitu sampai aku langsung keluar dan memeriksa ponselku. Kubaca email dari keiko-chan. 


From: [email protected]

Fahmi-kun, gomene. Aku harus kembali lagi ke Tokyo. Aku sudah menunggumu selama setengah jam di Nagoya. Mungkin Shinkansen jedanya 20 menit, jadi aku merasa maklum kamu terlambat. Kembalilah ke Tokyo. Tunggu aku di Menara Tokyo. Sekali lagi, gomene.


Wha? What?? Kembali ke Tokyo? Yang benar saja! Aku baru saja tiba di Nagoya, baru saja keluar dari Shinkansen! Dari stasiun Nagoya ini aku segera menuju ke papan pengumuman untuk melihat jadwal Shinkansen kembali ke Tokyo. Dari sini ternyata aku cukup beruntung ada kereta yang akan berangkat lagi sekitar dua puluh menit lagi. Aku segera pergi ke jalur tempat di mana kereta itu berangkat. Petugas stasiun kembali memeriksa tiketku dan menandai JR Pass-ku. Kembali aku duduk di dalam shinkansen. Kali ini aku naik Shinkansen Hikari.

Singkat cerita aku duduk lagi, termenung. Untuk setengah jam dari Nagoya ke Tokyo kembali aku akan menikmati perjalanan. Gunung Fuji pun kembali aku lihat. Ia serasa menemaniku selama perjalanan ini. Kembali wajah Keiko-chan terbayang-bayang. Aku sekarang ini sangat merindukan dia. Aku masih teringat terakhir kali kita berada di pantai ketika melihat femonena Greenflash. Aku merasa kebersamaanku dengan Keiko-chan seperti Greenflash itu kalau sampai aku tidak bertemu dengan Keiko-chan. Sebentar. Ah tidak, aku tidak ingin. Aku ingin bersama dengan Keiko-chan.

Setelah satu jam lamanya, Shinkansen pun tiba di Tokyo. Aku menghela nafas, perutku mulai lapar. Kemudian aku keluar, berjalan keluar dari stasiun. Dari Tokyo Exit, aku kemudian berjalan pergi menuju ke menara Tokyo yang bisa aku lihat dari tempat aku keluar dari stasiun. Tak ada cara lain selain berjalan menuju ke sana.

Sekali lagi aku ada di Tokyo. Rute menuju ke menara Tokyo tidak begitu sulit, karena petunjuk jalan di sini sungguh bersahabat. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore ketika aku sampai di menara ini. Menara yang menjadi kebanggaan kota Tokyo bahkan penduduk Jepang ini aku naiki sekarang. Dengan memakai elevator aku pun naik ke atas menara. Di sini ada orang-orang yang melihat pemandangan Tokyo dari atas. Sebagian memakai teleskop yang memang tersedia di atas menara.

Rasa lelah pun sudah menyelimutiku. Aku lalu duduk di sebuah bangku. Hari itu aku ditemani matahari yang terik. Di bulan ini matahari tenggelamnya agak malam. Makanya sudah jam setengah lima matahari masih tinggi saja.

TRING! TRING!

AkuAkun Skype-ku berbunyi. Aku melihat siapa yang menghubungiku. Ayah?? Aduh... celaka. Aku bingung harus mengangkatnya atau tidak. Aku harus mengangkatnya paling tidak aku tidak ingin beliau khawatir. Akhirnya aku menerimanya.

"A-ayah?" sapaku.

"FAHMI!?" bentak ayahku. Aku tidak pernah menyangka dia semarah ini. "Apa yang kamu lakukan? Kamu tahu kami sangat mengkhawatirkanmu? Kamu ini benar-benar bikin susah orang tua. Pergi ke negeri orang tanpa memberitahu kami. Kamu itu maunya apa sebenarnya? Pulang sekarang! Ayah sama bunda sampai menyusul ke Tokyo."

"A-ayah, maaf," kataku.

"Kamu sekarang ada di mana? Ayah mau susul," katanya.

"Eh, ti..tidak usah, aku akan ke tempat ayah," kataku.

"Memangnya kamu tahu Tokyo? Memangnya kamu tahu?"

"I-tu.....," aku menghela nafas. Ayah benar, aku tak tahu tentang Tokyo.

"Kamu ada di mana?"

"Aku ada di Tokyo Tower. Tapi...aku belum ingin bertemu dengan ayah, ijinkan aku beberapa waktu lagi. Aku ingin bertemu dengan seseorang."

"Siapa?"

"Kumohon ayah, sekali saja. Ijinkanlah aku. Ini sangat penting. Setelah aku siap. Aku akan menghubungi ayah. Pliisss... ijinkan aku di sini dulu. Sampai urusanku selesai. Setelah itu aku akan menurut."

"Baiklah, sekali ini. Dan setelah itu aku ingin kamu menurut, kamu tidak boleh membantah!"

"Iya," jawabku dengan lesu. "Maafkan aku ayah."

"Ini bunda mau ngomong," kata ayah.

"FAHMI!? Kamu nggak apa-apa nak? Kamu nggak kenapa-napa?" aku mendengar suara wanita yang sudah akrab aku dengarkan itu. Itu suara ibuku.

"I-iya bund, aku nggak kenapa-napa koq," jawabku.

"Kamu itu lho, koq ya bikin ayah sama bunda khawatir. Untung Nurul ngasih tahu setelah kami paksa. Kamu itu benar-benar bikin susah orang tua. Udah kuliah belum beres, malah pergi ke sini tanpa ijin."

"Maaf," sekali lagi aku bilang maaf.

"Ayahmu akan menjemputmu, kamu harus ke sini. Kami ada di Tokyo sekarang," kata ibu.

"Baiklah, ayah akan menunggumu sampai urusanmu selesai, tapi selesai nggak selesai ayah akan ke sana jam 7 nanti. Jangan kemana-mana!" kata ayah.

"Iya ayah. Maaf," kataku lagi. Setelah itu ayah memutuskan koneksinya.

Aku menghela nafas. Rasanya berat sekali. Berat. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kedua orang tuaku sampai menyusul ke sini. Rasanya semua beban yang ada di dunia ada di pundakku. Aku tetap menunggu Keiko-chan, menunggu dan menunggu di menara Tokyo.

* * *

Hari sudah sore bahkan matahari telah tenggelam. Aku masih belum melihat tanda-tanda Keiko-chan tiba. Perutku makin keroncongan. Bagaimana kalau Keiko-chan tidak datang? Bagaimana kalau perjalananku sampai ke Jepang ini sia-sia? Bagaimana kalau aku benar-benar tidak bisa mengejar Shinkansen? Pikiranku pun berkecamuk. Namun tak lama kemudian aku mendengar suara.

"Fahmi-kun?! Mi-chan Mi-chaaan!" panggil sebuah suara. Aku mengenali suara itu. Keiko-chan!

Aku segera berdiri dari bangku. Aku mencari-cari asal suara itu. Aku pun kemudian melihatnya. Seorang gadis tampak sedang mencari-cari sesuatu, ia menoleh kiri dan kanan. Rambutnya berkibas ke sana kemari, sambil berlari-lari kecil. Jantungku berdebar-debar. Aku melihatnya.

"Keiko-chan!" panggilku.

Keiko melihatku. Dia menangis. Air matanya meleleh. "Mi-chan!"

Tak usah ditunggu lagi, aku langsung berlari ke arahnya dan memeluknya. Keiko-chan kembali dalam pelukanku.

"Gomene Fahmi-kun! Mi-chan Gomene! Gomene! Gomenasai!" Keiko-chan erat sekali memelukku.

"Keiko-chan, gomenasai! Aku minta maaf. Aku sangat bodoh. Maafkan aku," kataku.

"Iya, kamu bodoh. Tapi aku yang lebih bodoh, aku tidak mendengarkanmu. Aku tidak mendengarkanmu. Aku bodoh!"

"Keiko-chan aku tak akan pergi lagi. Aku ingin bisa bersamamu," kataku.

"Aku juga Mi-chan. Aku ingin bersama denganmu selamanya. Jangan pergi, aku tak mau jauh darimu, aku tak mau lagi jauh darimu."

"Keiko-chan....," aku memegang wajahnya dan kulihat matanya yang berair. Tak perlu menunggu lama lagi aku sudah menciumnya begitu saja. Kami berciuman di Tokyo Tower. Lembut bibir Keiko-chan bisa aku rasakan lagi. Bau nafasnya yang harum, kembali aku rasakan lagi. Aku telah menang. Aku kembali bertemu dengan kekasihku. Perasaanku sangat bahagia sekarang ini.

* * * 

"Hei, Mi-chan. Kenapa kamu rela pergi dari rumahmu untuk ke negaraku? Perjalanan yang jauh bukan?" tanya Keiko-chan. "Padahal kamu bisa saja mencari wanita lain selain aku. Di Indonesia juga pasti banyak gadis yang lebih cantik daripada aku."

"Aku tak bisa," kataku. "Aku tak bisa lagi melihat bidadari lain selain kamu Keiko-chan."

Aku dan Keiko duduk bersebelahan di bangku. Dia bersandar di bahuku sambil menikmati langit Tokyo yang tak berbintang karena polusi Merkuri. Hanya lampu-lampu malam yang hidup dan berkeli-kelip menghiasi kota malam ini. Angin pun mulai mengusik rambutku. Aku rindu sekali dengan Keiko-chan, kudekap erat dirinya.

"Keiko-chan, aku menyesal sekali," kataku.

"Tak usah dibahas lagi. Aku sudah tahu semuanya. Kanon-chan yang menceritakannya kepadaku. Aku memaafkanmu. Ketahuilah, aku tak bisa hidup tanpamu Mi-chan," katanya. "Tanpamu hari-hariku hampa, aku tidak ingin jauh lagi darimu."

"Aku juga," kataku.

"Hanya saja... kalau misalnya nanti kita tidak bersama, apakah kamu akan tetap mencintaiku?"

"Maksudnya?"

"Misalnya kita nanti tak berjodoh, apakah kamu akan tetap mencintaiku?"

"Aku tak mengerti maksudmu."

"Misalnya aku nanti pergi, apakah kamu tetap akan mencintaiku Mi-chan?"

"Aku akan tetap mencintaimu. Tak ada lagi yang bisa menggantikanmu Keiko-chan. Tak ada."

"Mi-chan...hiks," Keiko-chan menangis lagi. "Tak ada yang mencintaiku seperti ini selain dirimu. Kamu berkorban semuanya demi aku. Kamu membuatku seperti orang yang spesial. Aku bersyukur telah mengenalmu, menjadi kekasihmu."

"Iya, aku juga Keiko-chan. Aku sangat bersyukur bisa mengisi hatimu."

Keiko-chan kemudian duduk. Mata kami saling menatap.

"Aku tidak ingin hubungan ini seperti Greenflash," kata Keiko-chan.

"Iya, aku juga."

"Tapi..., mungkin hubungan kita akan seperti Greenflash."

"Apa maksudmu?"

"Mi-chan, hikss... aku tahu kamu sangat mencintaiku. Aku yakin sekarang. Bahkan sekarang aku tak akan ragu lagi bahwa kamu mencintaiku dengan setulus hati. Aku tidak akan ragu lagi Mi-chan. Tapi, aku ingin menjelaskan satu hal kepadamu."

"Apa itu?"

"Hari ini oka-san dan oto-san marah besar, ketika aku bilang aku ingin pergi menemuimu."

"Aku akan menemui kedua orang tuamu."

"Jangan! Jangan! Tidak perlu."

"Kenapa tidak?"

"Mereka... telah menjodohkanku dengan seseorang."

"A-apa?"

"Mi-chan, aku tidak mau! Aku tidak mau dijodohkan olehnya. Aku tidak mau. Aku ingin Mi-chan, aku ingin Mi-chan."

"Keiko-chan...."

Lagi-lagi Keiko-chan menangis. Terus terang kata-katanya ini membuatku gemetar. Dijodohkan? Keiko-chan dijodohkan? Apakah perjalananku sampai di Jepang ini telah sia-sia? Aku sudah melihat Keiko-chan, bertemu dengannya dan sekarang ia akan dijodohkan? Kakiku rasanya lemas.

"Mi-chan, ajak aku pergi! Ajak aku pergi ke Indonesia! Bawa aku pergi. Aku tak mau ada di sini lagi!" ujar Keiko-chan sambil memelukku.

"Tapi... Keiko-chan"

"Sudahlah, aku ingin pergi. Aku ingin bersama Mi-chan!"

"Aku juga Keiko-chan tapi...kalau kamu bersamaku bagaimana dengan ibu dan ayahmu? Aku tak mau dianggap jahat karena telah menculik anak gadis mereka."

"Tapi, aku tidak mau dijodohkan dengannya. Aku mau Mi-chan."

"Keiko-chan. Aku akan datang ke orang tuamu, aku akan ambil kamu dengan cara yang baik. Aku akan pergi ke rumahmu."

"Mi-chan....hikss...besok aku akan bertemu dengannya. Dia ada di Nagano."

"Orang Nagano?"

"Iya, tinggal di Nagano. Ayahnya seorang engineer yang memegang hak panten beberapa alat elektronik di Jepang. Dia teman ayahku. Aku harus bagaimana Mi-chan?"

"Keiko-chan...," terus terang aku bingung. Disamping aku sangat ingin memiliki Keiko-chan, dia juga pasti bingung karena dijodohkan oleh orang tuanya.

"Aku harus bagaimana Mi-chan?"

Aku menarik nafas dalam-dalam. Memang aku harus berfikir positif. Kalau memang Keiko-chan adalah jodohku pasti tak akan kemana. Aku mencium keningnya. Setelah itu aku mendorongnya perlahan.

"Pergilah!" kataku.

"Mi-chan...?"

"Pergilah, turuti kemauan orang tuamu."

"Tapi Mi-chan...."

"Kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu? Kamu yakin bukan?"

"Iya"

"Itu sudah cukup bagiku. Bisa mencintaimu itu adalah anugrah terindah bagiku. Tapi membawa larimu itu adalah kehancuran bagiku. Aku tak ingin dikenal sebagai orang yang menculik anak gadis orang. Terkadang kita saling mencintai, tapi...kita tak bisa bersama dengan orang yang kita cintai."

"Hikss... Mi-chan. Aku tak mau... aku tak mau kita berpisah lagi."

"Keiko-chan, turutilah keinginan orang tuamu. Jangan jadi anak durhaka! Mungkin kita memang tidak berjodoh."

"Tapi Mi-chan... aku....aku menyesal sekali pergi darimu, tidak peduli lagi kepadamu.... aku sangat bersalah. Maafkan keegoisanku. Aku ingin menebusnya, aku tak mau kembali ke orang tuaku."

"Keiko-chan... aku juga tak ingin kamu pergi, tapi.... aku tidak mau kamu memberontak dan akan selamanya dicap sebagai anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya. Aku akan berusaha untuk menghubungimu lagi nanti. Yang jelas, kamu jangan melawan orang tuamu."

"Mi-chan...!"

"Keiko-chan....."

Entah berapa lama kami berpelukan, tapi yang jelas kami tak ingin pergi lagi. Kami tak ingin berpisah lagi. Tapi aku bisa merasakan bagaimana perasaan Keiko-chan hari itu. Dia merasa bersalah kepadaku. Tapi aku juga merasa bersalah. Aku harusnya melawan Vindy dulu. Aku harusnya menolak dia dulu. Biar pun itu akhirnya akan membuatku tidak lulus satu mata kuliah. Tapi sekarang, aku malah tidak lulus mata kuliah malah sampai ke Jepang tidak mendapatkan Keiko-chan.

"Pergilah Keiko-chan!" kataku. Bodoh, kenapa aku bicara seperti itu?

"Tapi, Mi-chaan...."

"Pergilah! Aku tak mau orang tuamu mencemaskanmu nanti. Mereka pasti sangat menyayangimu. Jangan korbankan mereka demi aku. Aku sudah bersalah kepadamu. Mungkin memang ini adalah hukuman buatku. Pergilah Keiko-chan! Pergilah!"

"Mi-chan, apakah kita akan bertemu lagi?"

"Kalau engkau adalah jodohku, maka kita akan bertemu lagi."

Keiko-chan menangis, dia lalu berbalik dan pergi meninggalkanku. Aku tahu dia pergi sambil menangis, rasanya seluruh perasannya saat itu tumpah. Ia menangis sambil berlari. Ahh.... jauh-jauh datang ke sini, ternyata harus seperti ini. Tapi aku sungguh, aku tak rela Keiko-chan pergi, tapi aku bisa apa? Sebentar lagi ayahku akan datang. Aku juga tak mungkin mengejar Keiko-chan.

Hiks... kenapa perjumpaan dengan Keiko sangat singkat? Kenapa? Apakah perjalananku hanya cukup sampai di sini?

TRING! TRING! TRING!

Aku melihat ponsel milik Eiji. Tampak ayah sedang menghubungiku. Aku menerimanya.

"Kamu di mana?" tanya ayah.

"Iya ayah. Aku akan turun," jawabku.

Dengan langkah lesu, aku turun. Setelah elevator turun terbuka aku pun keluar. Di sana sudah ada ayahku. Beliau memakai jaket hitam sambil sesekali membenarkan kacamatanya. Aku juga membenarkan kacamataku. Hahaha, sikapnya ini sama seperti aku. Ayah dan anak sama saja. Entah kenapa rasanya aku ingin memeluk ayahku saja hari itu. Ya, aku langsung memeluknya. Aku peluk dengan erat.

"Maafkan aku... ayah."

Beliau pun menepuk-nepuk punggungku. "Ayo, kita ke hotel. Bundamu sangat kangen denganmu."

* * *

Aku berada di sebuah hotel di salah satu sudut Tokyo, entah di daerah mana, yang jelas aku naik mobil bersama ayahku. Beliau menyewa mobil di Tokyo ini. Aku tak begitu tahu jalan-jalan di Tokyo. Yang jelas aku sudah berada di kamar hotel dan diceramahi oleh ibuku. Aku berkali-kali minta maaf. Dan berkali-kali juga aku dijewer oleh ibuku.

Keiko mengirimi aku chat di LINE. Sepertinya dia tidak lagi memblock diriku. Akunnya bisa aku lihat lagi dan bisa menghubungiku.


Keiko: "Cintaku. Maafkan aku. Sekali lagi maafkan aku"

Me: "Kamu tidak salah. Mungkin sudah jadi jalan kita seperti ini."

Keiko: "Tapi aku tidak mau seperti ini...."

Me: "Keiko-chan, selamanya aku akan tetap mencintaimu."

Keiko: "Aku juga Mi-chan, selamanya. Walaupun kita tak bisa bersama lagi. Aku akan terus terus terus terus mencintaimu.... zutto zutto aishiteru..."


Air mataku pun mengalir. Malam itu setelah ceramah panjang kedua orang tuaku, aku pun tidur di kamar sebelah. Akhirnya aku bisa meraskan empuknya ranjang setelah tidur di jalanan, di kantor polisi, dan kemudian tidur di rumah Eiji. Ponselnya pun belum aku kembalikan. Errggh... hari ini aku lelah.

Pagi datang. Aku masih berada di atas kasur. Mataku terbuka tapi tubuhku tak mau bergerak. Aku melihat seorang pria duduk di sampingku. Ayah?

"Ayah?" sapaku.

"Kamu sudah bangun?" tanyanya.

"Iya," jawabku.

"Bangun dan mandilah. Hari ini aku akan mengajakmu untuk bertemu dengan seseorang," katanya.

"Hah? Siapa?"

"Ayah akan menjodohkanmu dengan anak teman ayah," katanya.

"Hah? Sebentar! Sebentar! Dijodohkan? Ayah sama sekali tak bilang apapun tentang perjodohan. Ini...ini terlalu mendadak! Aku belum siap menikah!" kataku.

"Hei, siapa yang bilang langsung menikah? Dijodohkan itu bukan berarti langsung menikah!" kata beliau sambil menoyor kepalaku. Benar juga sih.

Aku menggosok-gosok kepalaku yang tadi ditoyor oleh beliau. "Ayah, nggak bercanda kan?"

"Nggak. Kamu kali ini harus nurut. Ingat kamu sendiri yang bilang. Kali ini harus ikut apapun yang ayah inginkan. Ingat kamu sudah janji!" kata beliau.

"I...itu, iya...," aku menghela nafas kalah.

Ayah kemudian bangkit meninggalkanku. "Di meja itu fotonya, lihat saja!"

"Foto?"

"Foto gadis itu. Kamu pasti suka. Dia gadis yang cantik," kata ayahku.

Aku bangun dan melihat ke meja. Ada sebuah foto tergeletak di sana. Aku mencari-cari kacamataku dan kupasang di tempatnya. Lalu kuambil foto yang ada di meja. Di sana aku melihat foto seorang gadis, sepertinya gadis Jepang. Rambutnya panjang. Errgghh... aku tak kenal siapa dia. Aku merebahkan tubuhku lagi di ranjang. Rasanya benar-benar Keiko-chan tidak akan berjodoh lagi denganku. Dia dijodohkan, aku juga.

Rasanya hari itu langit runtuh di atasku. Keiko-chan....

* * *

Pagi itu segera aku mandi, bersih-bersih dan sudah berpakaian. Aku ingin menghubungi Keiko-chan dan ingin berjumpa untuk terakhir kalinya. Kalau memang kita hanya sampai di sini, setidaknya aku tak ingin pulang ke Indonesia masih dalam keadaan mencintai dia. Aku ingin membunuh rasa cintaku. Aku sudah direject oleh banyak cewek selama ini, paling tidak direject sekali lagi tak apalah. Bicara apa aku ini?

Tapi... inilah pilihanku. Aku ingin bertemu Keiko-chan untuk yang terakhir kali. Aku segera menghubungi Keiko-chan di ponsel milik Eiji.


Me: Keiko-chan, bisakah kita bertemu?


Lama Keiko-chan tidak menjawab. Aku tetap menunggunya sampai beberapa menit, hingga kemudian dia pun menjawabnya.


Keiko: Kenapa?

Me: Ijinkanlah aku bertemu denganmu untuk yang terakhir kalinya. Kalau memang kita tidak berjodoh, maka ijinkanlah aku bisa membunuh semua perasaan cintaku ini. Biarkanlah aku yakinkan diriku bahwa engkau adalah bidadariku, engkau adalah bidadariku yang ada di kayangan. Yang tak akan bisa aku raih lagi. Sebab sampai sekarang aku masih merasakan aku bisa mendapatkanmu.

Keiko: Mi-chan, aku tak mau. Aku akan menyakitimu nanti. Sudahlah.

Me: Keiko-chan, jangan kamu katakan itu. Setiap yang mencintai harus sadar bahwa selain ia akan mendapatkan kebahagiaan, maka mereka juga harus siap untuk disakiti. Engkau juga begitu seharusnya. Bunuhlah perasaan cintamu kepadaku. Biarlah kita lewati waktu untuk terakhir kali sebelum berpisah selamanya. Kamu bisa? Kumohon.


Agak lama Keiko-chan menjawabnya.


Keiko: Baiklah. Kita bertemu di Shinjuku Gyoen.

Me: Baik, kita ketemu di sana. Sekarang aku akan berangkat.

Keiko: Tapi, Mi-chan...

Aku tak memberikan kepadanya kesempatan. Aku segera bergegas keluar dari kamar. Ayah dan ibuku mengetahuinya.

"Fahmi, mau kemana?" tanya ayah.

"Aku ingin mengembalikan ponsel ini ke pemiliknya," jawabku.

"Apa kamu tahu jalan? Kamu tahu kita ada di mana sekarang?" tanya ayah. "Kamu mau kemana? Ke daerah mana? Nanti siang kita akan ke Gyumon. Kita akan bertemu dengan teman ayah yang aku ceritakan tadi."

"Baiklah, aku nanti akan menyusul," jawabku. "Aku akan pergi ke kantor polisi di Shibuya."

"Naik taksi saja biar lebih cepat menuju ke sana," kata ayahku. "Ini uangnya!"

Ayah memberiku uang beberapa lembar lima ribu yen. Ah, beliau tahu kalau aku nggak ada uang. Apalagi untuk naik taksi. Aku gemetar menerima uang itu.

"Jangan seperti itu. Kamu butuh uang itu untuk ke sana!" kata beliau.

"Baiklah," dengan sedikit ragu aku menerima uang itu.

Setelah itu aku menuju ke loby untuk keluar dari hotel. Aku bahkan tak sempat melihat nama hotelnya. Yang penting ada nama Metropolitan gitu. Bangunannya berwarna coklat dengan bentuk persegi. Begitu keluar langsung aku naik taksi yang memang sudah ada di bawah. Setelah itu aku mengatakan kepada sang sopir untuk menuju kantor polisi Shibuya.

Taksi pun akhirnya melaju di atas aspal menembus keramaian jalan menuju ke Shibuya. Aku memang sudah bodoh, kenapa aku harus berjumpa lagi dengan Keiko-chan? Kenapa? Kalau memang dia sudah dijodohkan dengan orang lain ya sudah. Tapi keinginanku bukan untuk mendapatkannya kembali. Aku ingin Keiko-chan dan aku melebur perasaan kami, menghilangkan sampai habis. Aku tak mau Keiko-chan hidup tersiksa karena perasaannya kepadaku, begitu juga aku tak ingin diriku tersiksa.

Kurang lebih setelah setengah jam aku sampai di depan kantor polisi Shibuya. Setelah membayar argo taksi yang menghabiskan 5.000 yen sendiri aku keluar dan segera masuk ke kantor polisi Shibuya. Di dalamnya aku bisa melihat Ando-san sedang ada di sana.

"Ohayo, Ando-san," sapaku.

"Ohayo, Fahmi-san!" serunya.

"Sumimashen, sebelumnya aku berterima kasih kepada Ando-san yang sudah menolongku dan juga aku berterima kasih kepada Eiji-san. Eiji-san tidak ada?" tanyaku.

"Eiji masih ada di rumahnya. Ada perlu apa ke sini?"

"Aku ingin mengembalikan milik Eiji," kataku sambil menyerahkan ponsel tersebut.

Ando-san menerimanya. Aku tersenyum lalu membungkuk. "Arigatou gozaimasu!"

"Doutamashite!" jawabnya.

"Sampaikan salamku kepada Eiji-san. Katakan bahwa aku telah bertemu dengan Keiko-chan," kataku.

"Iya, aku akan sampaikan kepadanya nanti," kata Ando-san.

Setelah itu aku segera pergi. 

* * *

Tak sulit untuk menggapai Shinjuku Gyoen. Satu-satunya taman yang ada di tengah kota Tokyo ini bisa dijangkau dengan mudah. Aku tinggal menuju ke Shibuya Exit, setelah itu aku sudah melihat papan petunjuk ke arah Shinjuku Gyoen. Dan setelah aku sampai di sana aku melihat seorang gadis yang sangat aku kenal, dia memakai syal, jaket warna coklat rok selutut dan sepatu coklat lucu dengan kaos kaki hampir mengenai lutut. Rambut bobnya menjadi penanda bahwa itu adalah dirinya.

Ketika dia menoleh kepadaku, hatiku serasa meleleh. Mampukah aku menghancurkan perasaan cintaku kepadanya? Aku menghampirinya.

"Keiko-chan, ketemu lagi," kataku.

"Mi-chan," katanya. Ia tersenyum kepadaku.

"Kamu siap?" tanyaku.

"Siap apa?"

"Seperti yang aku katakan di LINE tadi, hari ini aku ingin membunuh perasaan cintaku kepadamu. Aku ingin kamu bahagia, aku tak mau ketika kamu sudah bersama orang lain kamu masih teringat akan diriku. Begitu juga aku, ketika aku nanti kembali ke Indonesia, mungkin aku akan bertemu dengan jodohku dan aku tak mau ketika aku sudah menikah nanti aku malah teringat denganmu. Maka inilah harinya. Hari-hari terakhir kita."

"Mi-chan, aku tak sanggup. Kamu tahu perasaanku melihatmu saja sudah senang, dan....ini, aku tak mau makin menyakitimu."

"Keiko-chan. Tak ada yang harus disakiti lagi setelah ini. Justru kalau setelah ini kamu masih mengingatku, maka itu adalah kesalahan. Maka sekarang ini gunakan waktu terakhir kita ini dengan sebaik-baiknya. Dan setelah ini, kita tidak akan memiliki perasaan cinta lagi. Baik aku ataupun kamu."

"Mi-chan...."

"Ayo, kita masuk ke taman saja," kataku sambil menggandeng tangannya.

Setelah membayar tiket sebesar 400 yen, aku dan Keiko-chan masuk ke dalam Shinjuku Gyoen. Mungkin ini adalah hal yang bodoh, perasaanku makin terluka, tapi tak apa. Aku ingin benar-benar menghancurkan rasa cinta yang ada di dalam dadaku ini. Aku ingin melupakan Keiko-chan. Dan aku juga ingin agar dia melupakanku. Ini adalah saat-saat terakhir kita. Dan kami sekarang sudah ada di dalam taman yang akan menjadi saksi perpisahan kami untuk selamanya. Juga bahwa cerita cinta kami hanya seperti Greenflash.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top