Karena Aku Cinta

Pukul 23.30 terakhir kali aku melirik jam waker dimeja sebelah tempat tidurku, mungkin sekitar 30 menit yang lalu. Dan sekarang, sampai saat ini aku belum bisa memejamkan mataku. Beberapa kali kubalik tubuhku kekiri dan kekanan gelisah, entahlah aku merasa tempat tidur yang biasanya hangat ini terasa begitu tidak nyaman, panas, sempit, permukaan spreinya juga terasa lebih kasar dari sebelumnya padahal aku yakin baru kemarin menggantinya dengan yang bersih.

Aku juga tidak tau berada diruangan yang seharusnya paling pribadi dan nyaman bagiku ini menjadi terasa seperti didalam... kubus kecil yang gelap dan sempit. Um bukan, maksudku mungkin ini hanya refleksi dari perasaan yang campur aduk yang bahkan aku sendiri tidak paham apa sebenarnya yang aku rasakan. Senang, marah, tidak percaya, khawatir. Semuanya terasa rumit dan memusingkan kepalaku.

Sejak tadi, sejak aku menyaksikan video terakhir yang diunggah oleh Fahmi-kun dan membaca beberapa komentar dari teman-temannya yang sengaja aku translate menggunakan mesin penerjemah. Entah aku merasa sangat penasaran dengan apa yang mereka bicarakan, dan hasilnya aku jadi mengerti motif Fahmi-kun ke Jepang beserta usahanya untuk menemuiku, aku sedikit tersentuh olehnya. Fahmi-kun ternyata menjual semua Action figure yang pernah ia pamerkan dengan bangganya padaku waktu itu. Action figure yang kutebak harganya sangat mahal dan mungkin membuatnya mengencangkan ikat pinggang selama beberapa bulan untuk bisa membeli satu persatu item-nya, lalu sekarang dia rela menjual koleksi yang amat sangat ia sayangi.

Fahmi-kun rela kehilangan semua koleksinya untukku, berniat menemuiku dan meminta maaf secara langsung dengan pergi ke Jepang. Negara yang pastinya sangat jauh dari asalnya, Negara yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya, tanpa seseorang yang benar-benar ia kenal. Dan sialnya setelah dia berhasil membuatku sedikit tersanjung sekaligus merasa bersalah karena aksinya itu, kini Fahmi-kun malah menghilang seperti dihisap habis oleh black hole dan membuatku terus memikirkannya.

Aku menghela nafas dalam-dalam meraih dan memeriksa ponsel yang berada disamping bantalku, aku juga sudah lupa berapa kali melakukannya semalaman ini, kemudian berdecak kesal sambil melemparkannya kembali dengan frustasi saat tak kudapati satu-pun pesan yang sedari tadi aku tunggu. Kanon-chan yang aku yakini satu-satunya orang yang mempunyai kontak Fahmi-kun tidak membalas pesanku. Saat kutelpon ponselnya tidak aktif, semua media sosial Kanon-chan yang kupunya juga tidak tersentuh olehnya karena dari last update yang kulihat Kanon-chan terakhir memakai media sosialnya dua hari yang lalu.

"Geeeeezzzzz!" Aku meremas kuat-kuat rambut pendekku meluapkan sedikit perasaan yang menggangguku ini. Sekarang aku baru benar-benar menyesal telah mengganti Email dan semua akun, sekaligus menghapus semua kontak Fahmi-kun. Teman-temannya. Dan semua yang berhubungan dengan pemuda itu.

Dan yang membuat kepalaku semakin panas seperti mau meledak, juga menghilangnya Fahmi-kun dari chanel Youtube-nya. Beberapa kali aku memeriksa, menunggunya memposting sesuatu disana, berharap ada sebuah Video dimana dia sedang berada disebuah hotel misalnya. Dikamar hotel yang nyaman dan hangat dengan lampu temaram yang menenangkan, kemudian meninggalkan pesan untukku agar berdandan yang cantik untuk menyambutnya besok.

Tapi ini sudah tengah malam, Fahmi-kun tidak menampakkan dirinya. Bahkan tanganku yang sedari tadi sudah gatal ingin meninggalkan pesan dikolom komentar Videonya kini tak sanggup kutahan lagi, aku tidak dapat menahan diriku untuk mengetikan sesuatu disana. Kuambil lagi ponselku kemudian membuka Youtube dan meninggalkan beberapa pesan disana.

Setidaknya ada lima pesan yang aku tinggalkan dikolom komentar di Video terakhirnya. Pesan untuk menghubungiku, aku juga meninggalkan Email baru beserta nomor ponsel yang aku pastikan tidak akan mati. Tak lupa aku mengirimi pesan pada Andika-san yang kebetulan tadi kulihat dia yang rajin menjawab pertanyaan beberapa orang yang ingin tahu tentang kisah Fahmi-kun yang nekat pergi ke Jepang untuk menemuiku.

Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 02.11, itu artinya sudah lebih dari 5 jam aku mengecek dan menunggui kabar dari siapapu, apapun yang berhubungan dengan Fahmi-kun. Tapi layar ponselku masih tetap sama. Tidak ada notifikasi apapun, dan dari siapapun disana. Berita atau kabar dari Fahmi-kun atau teman-temannya yang aku tunggu-tunggu.

Aku memejamkan mata menghela nafas lagi mencoba berfikir positif, karena kata Ibu kita harus membiasakan berfikir postif saat sesuatu mengusik ketenangan kita. Ya positf, kalau begitu mungkin saja mereka semua memang sudah tidur. Oh! lagipula aku hampir lupa karena terlalu sibuk memikirkan Fahmi-kun, aku lupa kalau ini sudah larut malam. Ya mungkin mereka sudah tidur. Fahmi-kun mungkin juga tidur. Jadi aku tidak perlu merasa sekhawatir ini kan, semarah ini, segelisah ini untuk memikirkan Fahmi-kun, mungkin dia terlalu lelah dan memilih tidur dibalik selimut hangat hotel yang ia sewa daripada membuat Videonya. Toh besok dia akan kembali mencariku. Benar begitu kan?

Hn! Aku tersenyum menertawai diriku sendiri dalam hati, aku jadi merasa sangat bodoh terus memikirkannya sedari tadi. Dan sebaiknya aku berhenti memikirkannya dan lebih baik tidur saja, iya agar besok aku terlihat segar saat menemuinya.

* * *

Aku terbangun saat cahaya terang Matahari menembus sela-sela tirai jendela dan jatuh tepat dikelopak mataku. Meski sudah membuka mata sedikit aku masih merasa malas untuk cepat-cepat bangkit, udara yang dingin membuatku merasa sangat nyaman dan membuatku ingin terus berada dibawah selimut tebalku. Tapi seolah baru pulih dari Amnesia aku berlonjak bangun dan duduk secepat mungkin saat terngat Fahmi-kun. Kemudian dengan panik mencari-cari ponsel yang seingatku aku letakan disamping kepalaku semalaman. Setelah menemukannya dibawah selimut dengan tingkat kesabaran 0% aku memeriksa notifikasi yang masuk dan membacanya satu-persatu.

Aku merasa mulutku sangat kering, wajahku memanas dan hatiku seperti dipukul keras-keras saat tak kutemukan satu-pun notifikasi tentang Fahmi-kun, entah dari Kanon, Andika bahkan Fahmi-kun sendiri yang sudah sangat aku nanti-nantikan. Aku mengehela nafas kecewa, menatap layar ponsel dengan wallpaper bergerak bergambar kelopak bunga Sakura berjatuhan dari pohonnya yang aku pangku diatas paha berselimut kain Flanel yang lembut ini.

Mungkinkah harapanku tentang Fahmi-kun terlalu berlebihan? Membayangkan dia datang kerumahku dan meminta maaf lalu semua akan baik-baik saja, apa itu terlalu berlebihan? Oh bahkan aku lupa, aku tidak mungkin membiarkannya masuk ke rumahku. Setidaknya aku sudah mempunyai gambaran dimana kami akan bertemu tanpa ketahuan kedua orang tuaku.

Lalu apa maksud kedatangannya ke Jepang sebenarnya? Apa Fahmi-kun hanya ingin mengetes betapa hebat dirinya karena sudah bisa membuat Fujiwara Keiko terus memikirkannya, yang pada kenyataannya dia tidak pernah mencintaiku dan pria itu kesini memang punya tujuan lain. Liburan misalnya. Lalu Kanon-chan, Andika-san sebenarnya sudah tau rencana Fahmi-kun. Dan ternyata mereka bertiga berniat untuk mempermainkan perasaanku, tapi apa tujuan Kanon-chan dan Andika-san!

"Huuuhhhf..." aku menghela nafas lelah. Kemudian menekuk kedua sendi lututku lalu kupeluk sambil menyandarkan dan menenggelamkan kepalaku disana. Seingatku aku sama sekali tidak punya masalah dengan mereka, Andika-san, Kanon-chan. Apa karena mereka teman Fahmi-kun mereka mau membantu niat jahatnya untuk melambungkan perasaanku lalu menghempaskannya? Hh... aku tersenyum kecut. Permainan macam apa yang mereka rencanakan?

Mendadak lamunanku buyar akibat pintu kamar yang diketuk sedikit keras. Detik berikutnya Ibu membuka pintu dan masuk kedalam mengucapkan selamat pagi tersenyum mendekat padaku yang sedikit terkejut karena kedatangannya yang tiba-tiba. "Apa kau sudah bersiap-siap Keiko-chan, ini sudah siang. Ayah akan mengantarmu ke stasiun,"

Aku menautkan kedua alisku tak mengerti maksud Ibu. "Si-siap-siap apa?"

Ibu tersenyum dan berjalan kearah jendela kamar kemudian membuka tirai lebar-lebar menimbulkan bunyi 'sreekk!' yang otomatis membuatku mengernyit karena sinar Matahari langsung menerjang wajahku membuat mataku silau karenanya. "Jangan bilang kau lupa hari ini kau harus kembali ke Hiroshima, karena liburanmu sudah berakhir,"jawab Ibu melipat kedua tangannya didepan. Saat berbalik menatapku, ibu memberi isyarat dengan mengangkat alisnya menunjuk jam waker dimejaku. "dan lihat jam-mu, ini sudah siang Keiko."

"Apah?!" Serta merta aku meloncat dari tempat tidur saat melihat angka 08.48 terlihat jelas dilayar LCD jam digital itu. Demi Tuhan aku benar-benar tidak ingat bahwa hari ini aku harus berangkat ke Hiroshima. Seperti kucing yang ketahuan mencuri aku-pun bergegas pergi kekamar mandi, dapat aku dengar dengusan lelah Ibu melihatku kalang kabut seperti itu. Tak lama kemudian terdengar debaman kecil pintu kamarku yang tertutup yang berarti Ibu sudah pergi.

* * *

"Kita tunggu Ayah bersiap-siap, sebaiknya habiskan sarapan kalian lalu juga bersiap-siap," Kata Ibu sambil mengoleskan selai cokelat dan susu pada helaian roti tawar yang disiapkannya untuk Ayah. Aku dan Kaitaro yang sudah mendapat jatah masing-masing di piring hanya mengiyakan lalu memakan sarapan kami dalam diam. Terutama aku yang memang memilih diam sambil terus memikirkan Fahmi-kun.

Jujur saja aku merasa sangat bingung. Hari ini aku harus kembali ke Hiroshima, artinya bisa saja aku melewatkan kedatangan Fahmi-kun yang dijadwalkan hari ini akan menemuiku seperti pesan terakhirnya di Video. Tapi kalau aku menunggunya dan membatalkan keberangkatanku ke Hiroshima aku tidak yakin Fahmi-kun akan datang, lagipula apa yang harus aku katakan pada Ayah dan Ibu?

Belum lagi tiba-tiba saja Ayah dan Ibu berniat mengantarkanku ke Hiroshima. Mereka sudah bersiap-siap dan rapi, bagaimana kalau aku membatalkan niatku kembali ke Hiroshima? Apa tanggapan mereka, apa mereka akan menghukumku. Tuhaaaaan... aku benar-benar pusing memikirkannya.

Bagaimana kalau seandainya aku jujur saja pada Ibu dan mengatakan ada seorang pria yang rela jauh-jauh datang dari Indonesia hanya untuk menemuiku dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah dibuatnya. Aku tau Ibu suka sekali menonton drama setiap sore, hal itu pasti terdengar sangat manis bukan bagi para pecinta drama seperti Ibu? aku yakin ia akan tersentuh dan mengijinkanku bertemu dengan Fahmi-kun.

"Keiko kau baik-baik saja? Kenapa melamun, apa yang kau pikirkan?" tiba-tiba Ibu membuyarkan lamunanku. Menghentikan olesan selainya pada roti tawar yang dibawanya dan beralih menatapku yang terdiam dengan kedua tangan memegangi roti yang baru sempat kumakan sedikit.

"Ah- emh. Tidak Ibu..." aku menggeleng cepat dan menunduk mengalihkan pandaganku pada roti ditanganku. Iya sebaiknya memang aku harus jujur pada Ibu, setidaknya aku akan mencoba. Kalau tidak dicoba siapa yang akan tau hasilnya. Ya sudah kuputuskan, aku sudah mantap melakukannya.

Kemudian aku mengangkat kepalaku berniat mengatakan semuanya pada Ibu, "Ibu ak..."

"Ibu harap bukan pemuda bernama Fahmi itu, bahkan jika gunung Fuji diangkat dan dibawanya kesini-pun Ibu berharap kau tidak akan pernah lagi membuka hatimu untuknya," lanjut Ibu kembali mengoleskan selai pada rotinya setelah sebelumnya menatap tajam padaku.

Aku mengerjapkan mata dan mematung sebentar, Ibu seperti bisa membaca isi dalam otakku. kemudian ausah payah kucoba menelan ludah dan mengangguk pelan pura-pura mengerti, lalu menyibukan diri dengan memandangi roti isi dengan satu bekas gigitan diujung pinggirnya. Hampir saja aku mengambil satu keputusan bodoh yang sia-sia.

"Selamat pagi..." dari arah ruang keluarga Ayah yang sudah tampak rapi dengan kemeja putih datang bergabung di meja makan bersama kami. Setelah mencium pipi Ibu ia langsung duduk disampingnya. Tak lupa Ayah tersenyum padaku dan Kaitaro yang sibuk dengan sarapannya.

"Pagi Ayah,"

"Pagi Ayah,"

Aku menjawabnya bersamaan dengan Kaitaro.

"Kalian sudah selesai?" tanyanya, sebelum menyeruput kopi yang sudah disiapkan Ibu beberapa saat yang lalu.

"Aku... hampir," jawabku pelan.

"Aku sudah selesai!" Kaitaro yang duduk disebelahku menyahut. Kemudian meminum susunya dan tersenyum pada Ayah.

"Kau senang sekali ya hari ini, tidak seperti Oneesan-mu yang seperti menahan buang air," Ayah sedikit melirikku dan terkekeh diikuti Kaitaro. Tentu saja aku yang merasa tersindir langsung mengerucutkan bibir sambil protes.

"Ayah! Tidak seharusnya Ayah bicara seperti itu didepan makanan, dan didepan Kaitaro." Ibu men-deathglare Ayah dengan tatapannya yang mencekam. Merasa mendapat bantuan dari Ibu aku jadi sedikit lega. Tapi Ayah malah kembali terkekeh sambil meminta maaf. Huuh... apa-apaan Ayah itu. Menyebalkan!

Lagipula Ayah tidak tau saja kenapa Kaitaro senang. Tentu saja selain bisa bolos dia juga bisa jalan-jalan naik kereta. Dua hal yang merupakan hal menyenangkan untuknya.

"Lalu kenapa Keiko-chan terlihat muram, kau tidak suka kami mau mengantarmu ke Hiroshima?" tanya Ayah. sambil memakan roti isi selai cokelat dan susu kesukaannya.

"Bu-bukan begitu Ayah..." sanggahku mencoba memberi penjelasan, "aku... hanya masih ingin bersama kalian lebih lama." Dan kurasa jawaban itu sudah tepat, terbukti Ayah dan Ibu menatapku penuh kasih. Bahkan Ayah tersenyum lalu mengangkat tangannya menyebrangi meja untuk mengelus pelan kepalaku dan membuat rambut pendekku sedikit berantakan.

"Kau manja ya Keiko, Ayah juga berharap begitu. Tapi kau kan harus menyelesaikan pendidikanmu, bukannya masuk Universitas Hiroshima adalah impianmu sejak dulu?"

Aku mengangguk pelan. "Iya Ayah... aku mengerti."

"Jadi... nanti kami akan menginap di Flatmu semalam sayang," tambah Ibu tampak berseri-seri.

"Jangan lupa ajak aku ke Aquarium Neechan," Kaitaro tak mau kalah, ia tersenyum tiga jari kearahku dan membuatku gemas ingin sekali mencubit pipinya yang gembil.

"Baiklah kita harus bergegas, karena kereta akan berangkat 25 menit lagi." Lanjut Ayah mengangkat tangan menunjukan jam yang melingkar dipergelangannya, mengingatkan agar sarapan pagi yang hangat ini harus segera diakhiri.

"Iya Ayah..." Dalam hati aku sedikit merasa bersalah. Iya memang aku tidak berbohong tentang keinginanku untuk lebih lama tinggal bersama mereka. Aku sangat ingin malah. Tapi masalahnya sekarang adalah Fahmi-kun yang tidak jelas bagaimana kabarnya, seorang pemuda yang tidak pernah menginjakan kakinya di Jepang. Apa dia baik-baik saja, atau dia sedang tertawa menang sudah berhasil mengacaukan perasaanku.

* * *

25 menit waktu yang dibicarakan Ayah tentang keberangkatan kereta memang tepat, buktinya kami hampir saja tertinggal kereta karena sedikit terlambat. Tapi untunglah kami sekeluarga berhasil masuk kedalam kereta di detik-detik terakhir sebelum pemberangkatan kereta menuju Yamanote Line sekitar satu menit yang lalu.

Dengan sedikit rasa lelah karena berlari-lari sambil membawa ransel akupun mengekor Ayah dan Ibu yang memilih tempat duduk. Setelah menemukan kursi kosong yang bisa kami pakai berempat Ayah memberi isyarat kepada kami untuk duduk.

Kereta ini akan membawa kami ke Yamatnote Line, berikutnya kami harus berganti kereta lagi yang akan membawa kami ke Shinagawa station berganti lagi dengan Shinkansen. Kami memang memutuskan untuk mempersingkat waktu pemberangkatan dengan menggunakan Shinkansen, karena jarak tempuh Tokyo-Hiroshima sekitar 15jam dengan kereta biasa sedangkan Shinkansen hanya butuh waktu 5-6 jam untuk sampai ke Hiroshima. Hemat waktu bukan?

Sebenarnya kami tidak terlalu terburu-buru hanya saja rekan Ayah yang baru datang dari Amerika tiba-tiba mengubungi Ayah saat kami dalam perjalanan ke stasiun. Rekan Ayah ingin bertemu dengannya di Nagoya. Terdengar mengada-ada, masa iya kami harus mampir-mampir ditengah perjalanan? Tapi kata Ayah rekannya sangat penting. Ayah tidak akan mengecewakan rekan baiknya itu dengan menolak keinginannya bertemu, lagipula kata Ayah sembari jalan-jalan.

Rasanya lama sekali aku tidak naik kereta semenjak kunjunganku ke Indonesia dua minggu yang lalu. Setelah duduk dan memangku ranselku akupun seperti anak kecil yang baru pertama kali naik kereta. Aku mulai melirik mengedarkan pandangan menyapu seluruh sudut kereta berharap menemukan hal yang menarik agar aku tak bosan menunggu kereta sampai ke Yamanote Line. Lumayan ramai meski tidak berdesakan, mungkin karena sudah hampir siang juga dimana para pelajar dan pekerja sudah terlebih dahulu berangkat pagi tadi.

Tapi aku masih melihat beberapa anak SMA didepanku sedang berbisik-bisik sambil tertawa malu-malu. Hn mungkin mereka sedang membicarakan pemuda-pemuda yang mereka sukai disekolah. Ada juga para pekerja yang sibuk membaca koran, beberapa orang lagi membaca novel, mendengarkan musik, ada juga yang sibuk sendiri dengan ponsel mereka dan sedang...menatapku.

Menatapku?

Kualihkan pandanganku cepat-cepat saat bertemu pandang dengan dua orang pemuda mencurigakan yang sedang berbisik dengan pemuda yang lain sambil sesekali melihat ponselnya. Aku tidak tau apa yang mereka inginkan dariku, tapi jujur saja aku tidak nyaman ditatap seperti itu. Pasti mereka penjahat wanita, chikan! Huufh! Mengerikan.

Ngomong-ngomong soal ponsel, aku melupakan ponselku. Aku sama sekali tidak menyetuh ponselku setelah sarapan tadi, kupikir sekarang aku membutuhkannya daripada kembali bertatap mata dengan kedua orang mesum itu lebih baik aku mencari ponsel yang tadi aku letakan didalam tas ransel dalam pelukanku ini, siapa tau ada kabar dari Fahmi-kun.

Sibuk mencari ponsel didalam tas aku tidak menyadari bahwa didepanku sudah berdiri dua pasang sneakers berwarna putih. Pertama-tama aku menatap sneakersnya lalu naik keatas menelusri celana jeans berwarna pudar, kemudian kaus kembar bergambar Gundam bedanya kaus yang satu berwarna putih dan satunya lagi berwarna hitam.

Aku menelan ludah saat melihat wajah mereka berdua, mereka adalah pemuda yang menatapku tadi. Apa yang mereka lakukan didepanku, beraninya mereka mendekatiku saat Ayah dan Ibuku berada disana, mereka mau cari masalah?

"A-ano...gomene..." pemuda berkaus putih membuka suara. Kemudian keduanya membungkuk kearah kami berempat dan tersenyum ramah. Aku sempat melirik Ayah dan Ibu, ekspresi mereka mungkin tidak jauh beda denganku. Penuh tanda tanya.

"Si-siapa?" ayah yang merupakan kepala keluarga mengikuti instingnya sebagai pelindung. Iapun berdiri dan bertanya dengan nada yang sedikit tegas.

"Apa itu temanmu Keiko?" Ibu ikut bertanya. Sementara aku hanya menggeleng mewakili pertanyaan Ibu.

"Gomene... saya hanya ingin bertanya, apa benar gadis ini bernama Fujiwara Keiko?" masih tanya pemuda berkaus putih.

"Memangnya kenapa?" tanya Ayah penasaran.

"Apa kau benar kekasih dari Fahmi yang berasal dari Ind-"

"Matte! Aku mengenal mereka Ayah, Ibu. Biarkan aku bicara dengan mereka berdua," mendengar nama Fahmi disebut tidak berfikir panjang lagi aku mengaku bahwa kedua orang yang sama sekali tak kukenal itu adalah temanku. Dadaku seketika berdebar membayangkan banyak hal tentang Fahmi-kun, siapa orang-orang ini. kalau boleh kutebak mereka mengenalku karena Video yang Fahmi-kun buat.

"Bisa kita bicara disana?" aku berdiri kemudan menunjuk perpotongan antar gerbong satu dengan yang lain. Yang kutau disana tampak sepi. Tak lupa aku meminta ijin pada Ayah dan Ibu sebelumnya, "Ayah, Ibu aku minta ijin untuk bicara sebentar dengan mereka," Ayah sempat menatap curiga dua pemuda yang datang tiba-tiba itu, tapi saat menatap wajahku yang memohon Ayah mengangguk pelan mengijinkan.

* * *

"Apa yang kalian ketahui tentang Famhi-kun?!"

"Pssstt..." pria berkaus putih itu memberiku isyarat agar memelankan suara. Karnanya aku melirik kanan-kiri dan ternyata beberapa orang memang sedang menatapku sinis, mengetahui hal itu aku hanya bisa meminta maaf dengan berbisik pelan. oh baiklah, berisik didalam kereta itu memang suatu hal yang tabu. dan aku baru saja melakukannya.

"Fujiwara-san tenanglah, kami dari komunitas Otaku dan teman dari pemuda bernama Fahmi dari Indonesia." orang yang beberapa saat yang lalu mengenalkan namanya sebagai Madoka itu kembali berbicara, "Mungkin ceritanya agak panjang,"

"Dipercepat saja!" jawabku tidak sabaran dan terus menatapnya dengan tegang.

"Baiklah. Fahmi-san kemarin malam kehilangan dompetnya_"

"Apah?!"

"Fujiwara-san biar kami selesaikan dulu,"

"Oh..ba-baiklah,"

Dengan seksama aku mendengar dan memperhatikan mereka berdua bercerita. Mulutku terasa kering, hatiku semakin terasa bercampur aduk mengetahui cerita yang sebenarnya. Sedih, ingin menangis, rasanya mau berlari dan berteriak memeluk Fahmi-kun, memberi tahunya aku sangat mencintainya. Seandainya saja aku mendengarkan Kanon-chan, seandainya aku tidak pernah meragukan perasaan Fahmi-kun. Sekarang apa yang aku perbuat? Aku baru saja membuat seorang pemuda menderita ditempat yang sangat jauh dari rumahnya. Aku pantas disebut kejam?

"Lalu ponselnya juga tidak bisa dipakai. Singkat cerita dia menginap dikantor polisi semalaman, lalu kebetulan Eiji teman kami dari komunitas Otaku bertemu dengannya dan bersedia membantu Fahmi-san untuk menemukanmu. Eiji mengirimkan beritanya kesuluruh komunitas Otaku, dan aku yakin mereka saat ini sedang mencari-carimu untuk dipertemukan dengan Fahmi-san, dan kami sangat bersyukur bertemu denganmu disini."

"Madoka-san, Takashi-san cepat beri tahu aku dimana aku bisa menghubungi Fahmi-kun?!" tanpa sadar aku mengatakannya dengan pipi yang terasa basah. Aku lupa kapan aku mulai menangis mendengar cerita dari Madoka-san dan Takashi-san, yang jelas aku sudah tidak mau lagi mendengar kisah Fahmi-kun. Itu sudah cukup meruntuhkan pertahananku dan aku tidak mau membuat diriku semakin merasa bersalah. Yang aku inginkan saat ini hanyalah bicara dengan Fahmi-kun memberitahukannya untuk tetap disana menungguku.

Madoka-san memberitahuku kalau dia akan mengabarkan pada Eiji kalau mereka sudah menemukanku. Setelah itu ia memberiku nomor ponsel dan Email Eiji-san. Sayang sekali kami masih berada didalam kereta, tidak mungkin aku menghubungi Fahmi-kun sekarang meski aku sangat ingin. Jadi aku harus bersabar dan menggantinya dengan mengirim pesan untuk Fahmi-kun dengan tangan bergetar.


To : [email protected]

Fahmi-kun tolong tunggu aku disana...

Fujiwara Keiko.


Aku bersandar pada dinding kereta dengan suara jantung yang melebihi deru mesin kereta ini ditemani Madoka-san dan Takahasi-san, menunggu kereta ini berhenti kemudian aku akan pulang. Aku tidak tau apa keputusanku untuk kembali ke Tokyo akan diijinkan Ayah dan Ibu, kemungkinan besar tidak akan disetujui. Tapi aku tidak peduli. Aku akan tetap pulang untuk menemui Fahmi-kun, aku tidak akan membiarkan perjuangan pemuda itu sia-sia.

Beberapa saat kemudian ponselku bergetar menandakan sebuah pesan telah masuk. Itu pesan balasan dari alamat Eiji-san.

[email protected]

Keiko-chan, syukurlah... aku hampir gila saat tidak menemukanmu dimana-pun. Bahkan rumahmu tertutup rapat saat aku kesana_"

Aku tertegun membaca balasannya, Fahmi-kun sempat datang kerumah? _kumohon aku ingin bertemu denganmu. Madoka-san sudah menceritakan semuanya. Kau tidak perlu pulang menemuiku, jangan biarkan orang tuamu membenciku karena membuatmu tidak menuruti mereka. Biarkan aku yang datang, aku akan mengejarmu. Tunggu aku.

Basah. Layar ponselku basah oleh titik-titik air yang semakin deras mengucur dari mataku, mulutku terkunci rapat. Dadaku terasa penuh sesak. Sekarang apa lagi? Apa yang akan dilakukan Fahmi-kun untukku? Bahkan dia tidak mau aku menemuinya karna dia fikir aku tidak pantas menemui orang sepertinya, dan dia yang seharusnya menemuiku terlebih dahulu.

Apa aku baru saja membuat orang yang sangat aku cintai ini menderita?



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top