Kabar Darimu
Katanya demi cinta orang akan melakukan apapun. Dari mulai jual diri hingga bunuh diri. Tapi aku bukan orang yang bisa menjual diri atau bunuh diri. Nyawaku masih berharga dan harga diriku masih lebih mahal. Aku telah melakukan sesuatu yang membuat Keiko-chan marah. Terus terang aku bersedih. Aku menggalau selama beberapa hari. Setiap saat, setiap waktu aku pandangi foto Keiko-chan. Ya, cuma itu satu-satunya yang tersisa dari Keiko-chan. Ia benar-benar tidak memaafkanku. Semua kontakku dengan dia diblokir. Kenapa dia tidak mendengarkan penjelasanku? Kenapa? Ah, itulah wanita. Perasaannya bermain lebih dulu daripada logika.
Saat ini aku sudah berada di Haneda Airport. Perjalanan panjang dan melelahkan. Selama kurang lebih 7 jam aku berada di dalam pesawat. Ini one way trip, kebetulan ada promo dari salah satu jawatan penerbangan. Harganya juga cukup terjangkau. Aku harus survive di Jepang ini, karena aku tak tahu negeri yang mempunyai politik dumping ini pastinya akan sangat mahal biaya hidupnya. Aku juga tak tahu harus menginap di mana. Berapa biaya kamar hotelnya? Atau makanannya bagaimana? Aku masih teringat dengan makanan-makanan ekstrem di negeri Sakura ini, gurita hidup, lobster hidup, ikan hidup. Arghh... semoga aku tak memakannya.
Aku merekam video dengan ponselku.
"Hai Keiko-chan, aku sudah sampai di Jepang. Jepang itu ternyata sangat indah ya, aku percaya orang spesial sepertimu terlahir disini, karena Negara ini sangat indah sepertimu."
Aku kemudian menyorot suasana Haneda Airport. Airport yang tersibuk di Jepang. Dulu airport ini hanya melayani penerbangan domestik, kemudian pada tahun 2012 penerbangan internasional dibuka. Sebelumnya untuk penerbangan internasional masyarakat Jepang dan luar negeri menggunakan Narita Airport yang berada di Chiba. Sekarang dengan adanya Haneda Airport kita sudah langsung bisa mendarat di Tokyo. Aku selesai merekamnya kemudian langsung aku posting di youtube. Perjalanan yang melelahkan, penuh perjuangan. Aku bahkan menjual seluruh koleksiku untuk bisa sampai ke sini. Teman-temanku yang menamakan diri mereka geng Pasukan Ginyu cukup berjasa besar.
Aku kemudian melihat peta yang ada di bandara. untuk bisa ke Shinjuku ada banyak cara. Bisa dengan menaiki kereta listrik yang merupakan jalur looping Shinagawa, Tokyo, Ikebukuro, Shinjuku dan Shibuya. Keiko-chan hanya memberitahu kalau dia tinggal di Shinjuku, tapi aku tak pernah tahu letaknya di sebelah mana. Kalau dari peta kira-kira jaraknya sekiar 20 - 30 km dari Haneda Airport. Lumayan jauh.
Bagaimana aku bisa punya uang? Dan yang jelas ayah dan ibuku tidak akan mungkin mengijinkanku pergi ke Jepang. Tapi aku nekat ke sini. Semoga saja mereka berdua tidak marah. Aku bertekad untuk bisa bertemu dengan Keiko-chan dan meminta maaf. Aku tak bisa hidup tanpa dirinya. Apa aku bisa? Ya, aku pasti bisa.
Aku telah merekam diriku sendiri di kamarku, membuat sebuah video perjalanan kisah cintaku dengan Keiko-chan. Video itu aku beri judul Shinkansen o Tsuikyu artinya Mengejar Shinkansen. Aku ceritakan awal mula aku bertemu dengan Keiko-chan, hingga kemudian aku berbuat kesalahan. Aku ingin menebusnya dan kutunjukkan kepada semuanya wajah Keiko. Banyak respon yang mendukungku, ada yang bilang aku kekanakan. Tapi aku tak peduli. Kuharap dengan video ini Keiko-chan bisa mengerti dan aku benar-benar bersungguh-sungguh. Kanon-chan membantuku untuk menyampaikan maksudku kepada Keiko. Semoga Keiko membaca pesanku.
Dua hari yang lalu, mau ke Jepang aku tak ada uang. Jelas, aku tak akan bilang kepada ayah kalau aku butuh uang ke Jepang. Aku sempat bingung untuk mencari uang. Andika katanya akan membantuku tapi dia juga nggak punya uang. Aku hanya punya uang sedikit di tabungan. Itu tak bakal cukup untuk perjalanan pulang pergi ke sana, apalagi sampai bertahan hidup. Di depanku sekarang ada beberapa lembar uang seratus ribu, selembar lima puluh ribu dan beberapa uang receh. Aku punya uang dollar tapi cuma 5 dollar. Dan uang seratus Yen. Kupandangi uang itu. Bertahan hidup dengan uang segini, mana bisa? Harus kerja apa aku agar bisa sampai ke Jepang? Kupandangi koleksi-koleksiku. Saat itu aku tak pernah tahu kalau itu adalah hari terakhir aku akan berpisah dengan mereka.
"Aku harus apa sekarang? Ke Jepang itu tidak mudah. Aku tak punya uang," kataku kepada mereka.
Terkadang aku seperti orang gila bicara kepada mereka. Kadang juga aku curhat kepada mereka. Pusing sekali aku memikirkannya. Apakah aku mencuri saja? Merampok? Nggak-nggak, bisa-bisa aku nggak bakal ketemu dengan Keiko-chan lagi.
"Michan, gambaru!" aku masih ingat ketika Keiko-chan bilang itu. Aku bisa mendapatkan suntikan energi yang entah dari mana datangnya. Pinjam Mbak Nurul? NO WAY! Aku bisa dimutilasi kalau melakukannya.
Kupandangi koleksi action-figure-ku satu-per-satu. Ada Monkey D Luffy yang sedang bersiap memelarkan lengannya. Mungkin kalau aku jadi Luffy, aku akan nekad ke Jepang dengan seadanya. Tapi ini dunia nyata bukan di anime. Di sebelahnya ada Action-figure Naruto, kalau aku jadi Naruto aku bisa juga nekad ke Jepang dengan jurus Kagebunshinnya. Gundam Liberty yang ada di kamarku ini, satu-satunya yang aku sukai. Karena aku mendapatkannya dengan penuh perjuangan, merakitnya satu persatu rangkaiannya hingga bisa seperti itu. Harganya mahal, aku sampai berpuasa tiga bulan gara-gara ingin mendapatkan ini. Mahal...
Mahal...
Mahal...
Ah, aku jual saja action figure ini. Bukankah harganya mahal? Tidak, tidak, tidak. Itu ide konyol. Semuanya ini aku dapatkan dengan susah payah bagaimana aku bisa menjualnya? Demi Keiko-chan?? Kakiku langsung lemas. Aku menundukkan wajahku. Iya, tak ada cara lain. Ini adalah semua hartaku. Keiko-chan...demi cintaku kepadanya aku akan mengorbankan ini. Cinta memang butuh pengorbanan.
* * *
"Whoaaa!? Serius?" Andika terkejut ketika aku ingin menjual semua action-figure milikku.
"Ayolah, kalian bisa membantuku bukan?" tanyaku.
Andika dan kelompok geng Pasukan Ginyu-nya saling berpandangan. Aku menemui mereka di Surabaya. Kumasukkan semua koleksiku ke dalam kardus. Kupacking satu per satu, juga Gundam Libertynya. Koleksi CD-CD dan DVD juga aku packing di kardus. Sekarang kondisi kamarku bersih dari semua koleksiku. Bahkan poster-poster pun aku copot. Aku kemudian pergi ke Surabaya dengan travel. Kusewa sebuah mobil travel untuk mengantarkanku sampai ke Surabaya. Aku dan Andika janjian ketemu di rumahnya. Ini gila, ya gila karena cinta. Kini mereka semua melihat kardus-kardus itu bersamaku.
"Sob?? Beneran ini?" tanya Andika.
"Aku tak punya uang untuk ke Jepang. Dan aku juga tak mungkin meminta dari kalian. Kumohon bantu aku menjual semua ini. Onegai!" Aku membungkuk kepada mereka.
Singkat cerita mereka mau membantu. Dan kelompok Pasukan Ginyu yang terdiri dari tujuh orang termasuk Andika menyebarkan kabar melalui BBM, WhatsApp, Telegram, Email, Forum dan semua yang bisa mereka temui bahwa ada lelang action-figure. Mereka semua bahu membahu untuk mengiklankan. Sengaja rumah kos Andika dijadikan tempat markas kami untuk jualan. Akhirnya satu demi satu para pelanggan datang. Mereka tampak tertarik dengan action-figure yang aku miliki. Terjadi tawar-menawar. Aku tak tahu caranya berjualan, jadi berapapun harganya aku lepas.
Dan ternyata semua koleksiku habis terjual hari itu. Yang paling membuatku berkesan adalah saat penjualan Gunpla Gundam Liberty. Pembelinya seorang anak kecil berusia sepuluh tahun. Ternyata ia juga penyuka Gundam. Berat banget melepas itu. Gundam itu bukan sekedar mainan, itu benar-benar koleksi yang paling berharga buatku.
"Kenapa kakak jual gundam ini?" tanyanya.
"Kakak sedang butuh uang dik," jawabku.
"Hmm? Begitu ya?"
"Namamu siapa?" tanyaku.
"Namaku Adi," jawab anak itu.
"Kamu mau nawar berapa?"
"Aku hanya punya uang satu juta."
Andika dan aku berpandangan. Gunpla Gundam ini harganya sekitar lima juta. Dan aku harus merelakannya untuk dilepas dengan harga sekian. Ya, aku merelakannya. Rasanya nggak tega aja. Duh kenapa aku jadi sedih gini sih?
Demi Keiko, demi Keiko, demi Keiko.
"Jaga baik-baik ya dek!" pintaku. "Jangan Gundam itu dengan hatimu!"
"Beres!" katanya.
Hiks.... habis sudah semua koleksiku terjual. Andika dan teman-temannya sekarang memijat-mijat dan menepuk-nepuk pundakku. Aku tak merasa kalau air mataku sekarang meleleh. Argghh.... sedih. Selama ini mereka selalu menemaniku. Sekarang tidak ada lagi. Keiko-chan, aku berkorban ini buatmu. Aku akan mengejarmu.
Uang yang terkumpul lumayan. Ada sekitar 8 juta. Cukupkah? Kemungkinan besar nggak cukup. Aku sendiri nggak tahu di Jepang nanti harus kemana. Keiko-chan yang aku tahu tinggal di Shinjuku. Tapi Shinjuku sendiri aku tak tahu ada di mana. Kalau dari peta Shinjuku itu ada di sekitar Tokyo. Jadi nanti mungkin aku akan naik pesawat yang turun di Haneda Airport. Setelah itu menuju ke Shinjuku.
Setelah mendapatkan uang itu. Aku pulang ke rumah. Aku packing. Semua barang-barang yang aku perlukan aku bawa. Di Jepang hawanya tentunya tak sepanas Indonesia. Jadi aku juga membawa beberapa baju tebal. Tidak. Kalau aku membawa kopor, terlalu berlebihan. Aku hanya membawa ransel. Baju ganti ada beberapa, aku juga tak tahu nanti nyuci baju di sana bagaimana. Mungkin ada laundry yang bisa aku sewa. Setelah baju-baju aku masukkan, charger ponsel dan beberapa peralatan lainnya aku keluar dari kamar. Oh ya, aku tak lupa membawa visa dan paspor. Semua urusan keimigrasian telah aku urus dua hari yang lalu. Untunglah dulu aku sudah mengurus paspor, jadi aku tak perlu mengurus paspor lagi. Sempat berfikir kenapa aku membuat paspor, ternyata ada juga fungsinya.
Ayah dan ibu sedang tidak ada. Katanya tadi mereka pergi ke Mall. Ibu mau belanja, ayah mengantarnya. Mbak Nurul melihatku membawa ransel dengan memakai pakaian seperti mau pergi jauh.
"Mau kemana kamu?" tanyanya.
"Aku minta tolong ke Mbak Nurul boleh?" tanyaku.
"Apaan?"
"Aku mau ke Jepang."
"Kamu nggak becanda?"
Aku menggeleng. "Serius."
"Heh, ngapain ke sana?"
"Aku ingin menemui Keiko-chan."
"Kamu gila, ya?"
"Keiko-chan salah faham mbak, aku harus menjelaskannya. Aku tak mau kehilangan dia."
"Eh, Mi. Mikir dong, nanti ayah sama bunda kalau tahu gimana?"
"Yahh... tolonglah mbak. Tolong katakan aku ke rumah Andika atau ke mana kek. Kalau aku nanti sudah sampai Jepang bilang aja sejujurnya nggak apa-apa. Tapi kumohon bantu aku kali ini. Sekaliiii ini saja."
Mbak Nurul menggeleng-geleng, "Nggak, aku nggak mau kamu kenapa-napa. Kamu itu adikku satu-satunya. Jepang itu jauh, Mi!"
"Aku tahu, aku tahu. Tapi aku tak bisa di sini terus. Mbak tahu, cuma Keiko yang benar-benar mau menerimaku, cuma dia yang sekarang ini mengisi hatiku. Aku tak mau kehilangan dia. Kemanapun dia aku akan mencarinya."
"Trus ongkos ke sananya?"
"Aku telah menjual semua koleksiku."
"Hah?"
"Ya, kalau mbak lihat kamarku sekarang kosong. Hahahha, jadi mbak nggak bakal menghinaku lagi sebagai anak-anak." Aku tertawa dengan datar.
Mata Mbak Nurul berkaca-kaca, "Kamu begoooo banget!"
"Kenapa?"
Mbak Nurul langsung memelukku, "Jangan kejar dia dek, kamu di sini saja. Mbak nggak mau kehilangan kamu. Kamu koq ya nekat banget sih? Ntar kalau terjadi apa-apa dengan kamu gimana?"
"Sudahlah mbak, aku ini cowok. Aku akan mencoba untuk tegar, yah walaupun mungkin tidak bisa."
"Berapa hari kamu di Jepang?" Mbak Nurul menatap tajam kepadaku.
"Entahlah, seminggu, mungkin lebih."
"Selama itu aku akan bohong kepada ayah dan bunda. Kalau sampai lebih dari itu, aku akan berkata jujur kepada mereka. Seminggu, tidak lebih dari itu! Mengerti!?"
"Iya, makasih mbak!"
Ah, jadi mellow. Mbak Nurul menangis sambil meluk aku, aku juga meneteskan air mata.
"Kalau sampai kamu nggak pulang, mbak bakal marah ke kamu," katanya.
"Yah, aku akan pulang. Aku akan mengejar Keiko," kataku. "Mengejar Shinkansen!"
* * *
Hari itu juga aku sudah memesan tiket pesawat ke Jepang. Pesawat berangkatnya dapat yang malam hari jam 00.00. Aku pergi ke Surabaya masuk ke Juanda Airport. Sendirian? Tentu tidak. Tim pasukan Ginyu mengantarku, bahkan mereka rela menemaniku sampai tengah malam menunggu pesawatnya. Aku sendiri sedikit galau. Bagaimana tidak, ini adalah untuk pertama kalinya aku akan pergi ke Jepang. Bagi Waiboo mungkin tanah Jepang merupakan tempat suci bagi mereka. Aku malah tak peduli sekarang. Aku ke Jepang hanya untuk ketemu dengan Keiko. Sempat juga sih Andika dan teman-temannya titip tanda tangan anggota AKB48. Muke gile.
Entahlah aku sampai sekarang buta dengan Jepang, walaupun aku bisa bahasa mereka, bisa baca tulisan mereka, tapi tempatnya seperti apa, suasananya seperti apa, iklimnya seperti apa masih belum tahu. Yang aku tahu adalah negeri mereka pernah menjajah negeri ini. Itu saja. Dan semua informasi yang aku ketahui tentang Jepang hanya dari internet dan tentu saja koleksi anime-animeku.
Ah muke gile, ternyata ada delay di pesawatnya. Maklumlah harga tiketnya murah, promo juga, kalau terlambat sih sudah biasa di sini. Akhirnya aku dan teman-temanku menginap di bandara malam itu. Sampai kemudian pukul 04.00 pagi. Sepertinya ada pengumuman para penumpang tujuan Tokyo Jepang bahwa pesawat akan segera berangkat.
Aku membuat video dulu sambil menyorot tulisan Juanda International Airport. "Ohayou Keiko-chan... hari ini aku akan berangkat ke Jepang, sekarang aku sudah berada di depan bandara Juanda. 30 menit lagi pesawat akan terbang ke Negaramu, kumohon tunggu aku disana Keiko-chan. Doakan aku, sampai jumpa lagi disana ya"
Dan sekarang, aku dipanggil. Pesawat tujuan Surabaya Tokyo tanpa transit akan segera berangkat. Para penumpang sudah langsung disuruh untuk masuk. Oke deh, aku pamit kepada semuanya. Lucu juga melihat Andika dan teman-temannya berkaca-kaca melepas kepergianku. Jangan buat aku jadi terharu juga nyet!
"Jaga dirimu sob!" kata Andika.
"Ingat lho ya, kalian tutup mulut. Jangan sampai ayah dan ibuku tahu!" kataku.
"Iya, pasti!" kata Andika.
Aku pun berbalik, memunggungi mereka sambil menenteng tiket dan pasporku. Langkahku semakin jauh meninggalkan mereka.
"Semangat Mi! Kejar Keiko! Kami akan berdo'a untukmu!" seru Andika. Aku hanya melambaikan tanganku.
Tak berapa lama kemudian, aku sudah berada di dalam pesawat setelah melewati pemeriksaan. Pesawatnya besar tentu saja, karena pesawat tujuan manca negara. Dari jendela pesawat aku bisa melihat lampu-lampu yang berkeli-kelip di sepanjang landasan pacu. Aku beruntung sekali mendapaktan tempat duduk di dekat jendela sehingga aku bisa melihat keluar. Dadaku berdebar-debar, entah kenapa. Yang jelas bukan karena aku takut naik pesawat, tidak. Aku berdebar-debar karena excited ingin segera ketemu dengan Keiko-chan.
* * *
Jepang negara yang cukup ramah menurutku. Ketika aku sampai di Haneda airport, mataku dimanjakan dengan kebersihan dan keteraturan orang-orangnya. Haneda airport ini konon dibangun oleh salah seorang arsitek terkenal di Jepang, yang mana dirancang tahan gempa. Keberhasilannya, katanya sih ketika gempa dahsyat di Jepang terjadi bandara ini tidak ada satupun bangunannya yang roboh, melainkan hanya salah satu sudut kaca di bagian bangunan yang retak. Dah itu aja. Keren kan?
Hari ini masih bagian dari musim panas. Sebentar lagi liburan musim panas berakhir. Aku harus buru-buru menemui Keiko karena dia pasti akan kembali ke Hiroshima. Aku ke Hiroshima? No way, jauh banget dari Tokyo. Jaraknya saja sampai 800km, seperti jarak Jakarta Bali. Uangku tak akan cukup untuk ke sana. Terus terang aku belum makan semenjak mendarat di Haneda Airport, aku berniat cari makan. Jelas saja di airport ini makanan akan sangat mahal, mungkin aku akan mencarinya nanti setelah keluar dari airport, tapi sungguh aku sangat bingung sekarang ini. Bingung salah arah. Satu-satunya yang bisa menyelamatkanku adalah ponselku.
Well, karena ini petualangan pertamaku di Jepang. Aku kepingin ibadah dulu. Dan aku tak akan percaya kalau tidak melihatnya sendiri. Di Haneda Airport ini ada Mushola! Mushola gaes! Langsung saja aku foto mushola itu dan aku share di aku Facebook dan Gplus. Aku sempat bingung dan tanya-tanya dengan petugas. Aku ditunjukkan ke lantai 3 di sebelah Row L. Aku melongo dengan kebersihan mushola itu. Amat sangat terjungkal kalau dibandingkan dengan mushola yang ada di terminal yang ada di Indonesia. Kadang saja bau sepatu dan kaki masih tercium ini nggak. Keren! Apalagi musholanya dipisah antara laki-laki dan perempuan. Waw.
Setelah sholat di mushola ini aku kemudian mendapati sebuah restoran di lantai 4. Aku menelan ludah jelas. Harganya mahal-mahal. Makanannya paling nggak sampai ¥400. Woi! Mahal amat. Kurs Yen ke Rupiah di hargai sekitar Rp. 120,-. Bisa dikalian saja 120 x 400 = Rp. 48.000. Gila cuma semangkuk nasi ama abon saja segitu harganya. Oh ya, aku tanya-tanya kepada petugas yang ada di sini. Apakah ada makanan halal atau vegetarian? Mereka menjawab tidak ada. What?? Ah baiklah, aku sebaiknya cari seafood saja deh nanti.
Sebelum itu aku ingin mandi tentu saja. Tapi apa ada tempat yang pas buat mandi di bandara ini? Secara mengejutkan ada. Di sini disebut dengan Shower Room. Di Tokyo setiap tempat ada terjemahan bahasa Inggrisnya. Jadi siapapun yang buta dengan huruf kanji, hiragana dan katakana tak perlu khawatir dengan huruf alphabet yang ada di bawahnya. Berjalan tak cukup jauh dari tempatku berada sebelumnya aku sudah mendapatkan Shower Room. ¥ 1000-1500. Mahal yes? Yup Mahal. Tapi daripada badan bau, mending mandi saja deh.
Setelah mandi dan badan segar. Aku pun melanjutkan perjalananku. Keluar dari bandara tidak terlalu sulit. Bahkan Haneda Airport ini bisa langsung terhubung dengan monorail, baik Keikyu atau pun Tokyo monorail. Di tokyo ini ada stasiun loop. Maksud dari stasiun loop ini keretanya akan berputar-putar saja ke beberapa tujuan ini. Dan ternyata kereta-kereta listrik yang ada di Jepang ini tidak beroperasi 24 jam. Tapi mereka akan selesai beroperasi tepat pukul 24.00. Hmm... menarik. Kemudian juga untuk menaiki Keikyu aku harus merogoh kocek sekitar ¥410. Errhh... terus terang dengan ketidak jelasan tujuan dan juga mahalnya transportasi aku jadi enggan untuk mengeluarkan uang sepeser pun. Aku melihat papan tujuan yang ada di stasiun kereta ini, kalau dilihat dari peta sebenarnya tak jauh juga sih Shinjuku. Tapi aku harus memberitahukan kepada Keiko kalau aku sekarang ada di Jepang. Setidaknya sesuatu yang membuat ia percaya. Ah, aku melihat sesuatu di peta itu. Ada patung Hachiko! Patung si Anjing yang setia itu ada di Shibuya bukan?
Di Haneda Airport ini ada JAL office. Di sini ada info-info untuk turis seperti aku. Aku juga baru tahu kalau khusus untuk turis ada yang namanya JR (Japan Rail) Pass. Ini adalah sebuah tiket yang bisa digunakan di berbagai tempat. Untuk mendapatkannya aku hanya tinggal menunjukkan Passpor dan VISA. JR Pass ini banyak gunanya misalnya saja untuk menaiki monorail tadi, seperti Keikyu atau pun Tokyo Monorail aku hanya cukup menggunakan JR Pass ini, maka selama kurang lebih seminggu aku akan free naik wahana ini. Eh, koq wahana? Bukan-bukan maksudku transportasi ini. Aku merogoh duit ¥8.300 untuk membeli JR Pass. Dari pada aku harus keluar biaya lagi, mending ini aja.
Dari Haneda airport aku hanya tinggal berjalan menuju ke Haneda-Airport Domestic Terminal Station. Setelah tadi membeli JR Pass, aku pun ikut mengantri bersama orang-orang untuk masuk ke dalam Keikyu monorail. Tujuanku nanti adalah Shinagawa Station lalu ganti kereta Yamatone Line. Dari Shinagawa aku bisa menuju ke tempat-tempat seperti Akihabara, Ikeburo, Shinjuku dan Shibuya. Karena stasiun ini memang menyediakan kereta loop. Di Shinagawa inilah aku melihat banyak pemandangan unik. Ternyata orang Jepang juga banyak yang suka manga. Bahkan dari percakapanku kepada beberapa orang, mereka memang tak bisa lepas dari manga. Manga dibaca dari mulai anak-anak hingga orang dewasa. Tergantung ratingnya tentu saja. Ada manga yang memang untuk anak-anak, ada juga manga untuk orang dewasa. Aku melihat salah seorang pegawai berdasi, dia naik kereta sambil membaca Weekly Shonen Jump.
Tak terasa, setelah tiga puluh menit berjibaku dengan antrian, berdesakan di dalam kereta, akhirnya aku pun sampai di stasiun Shibuya. Sebenarnya aku bisa saja terus naik kereta hingga ke Shinjuku. Tapi, tak ada salahnya kan aku ingin mampir sejenak ke Shibuya? Lagipula di Shibuya ini aku bisa jalan kaki untuk sampai ke Shinjuku, karena memang tak begitu jauh untuk ke sana. Lepas dari stasiun aku pun mulai mencari-cari letak patung Hachiko. Nggak terlalu susah dong, karena tepat di depan Hachiko Exit di stasiun Shibuya aku sudah bisa menemukan orang-orang berjejal antri untuk selfie dengan patung Hachiko ini.
Aku membuka ponselku untuk merekam diriku sekarang.
"Hai Keiko-chan, aku sudah berada distasiun Shibuya. Kau percaya kan aku benar-benar datang? Aku akan berfoto dengan patung Hachiko," kataku. Kemudian aku berlari-lari kecil menuju ke patung itu. "Aku ada di sini. Aku tidak bohong bukan? Aku akan segera menuju ke tempatmu. Aku tak tahu Shinjuku sebelah mana. Tapi kalau dari peta, aku tinggal menuju ke utara. Sepertinya hari sudah mulai sore, aku tak mau mengganggumu. Besok aku akan mencarimu, hari ini aku akan coba cari tempat untuk istirahat."
Setelah itu aku menyimpan videonya kemudian aku beri judul "Shinkansen o Tsuikyu (Mengejar Shinkansen) part 3 di depan Hachiko". Setelah itu aku berjalan-jalan menyusuri jalanan di Shibuya. Aku bisa melihat lautan manusia di trotoar, mereka semua cuek boleh dibilang. Kebanyakan tenggelam dengan urusannya masing-masing. Di sini aku melihat sesuatu yang agak lain, yaitu menyeberang di perempatan Shibuya. Konon di sini cukup unik. Bayangkan saja, ketika menyeberang kita bersamaan dengan ribuan orang menyeberangnya. Aku sempat dikejutkan dengan orang-orang yang tiba-tiba melakukan flashmob. What??? Ya, flashmob. Mereka entah datang dari mana tiba-tiba joget-joget dengan irama aneh. Perlu diketahui kita bisa menyeberang ketika lampu hijau khusus pejalan kaki menyala, hingga kemudian muncul suara musik yang mengiringi orang-orang menyeberang. Cukup unik, yang jelas di Indonesia tidak ada yang seperti ini. Mereka lebih suka melanggar lalu lintas dengan menyeberang sembarangan. Tapi aku cukup "bangga" koq karena hanya dengan melambaikan tangan kami bisa menyeberang jalan raya. Hahahaha. Koq malah ketawa?
Aku melihat ke sebuah papan nama. Di sana ada tulisan Harajuku Takeshita-Dori. Wow? Nggak buruk ternyata, aku ingin menuju ke sana dulu. Harajuku adalah sebuah nama jalan di mana tempat ini menjadi pusat fashion bagi muda mudi Jepang. Kalau kita beruntung maka akan ketemu orang-orang cosplayer di sini. Tapi aku tidak beruntung hari itu. Selama menyusuri Harajuku ada banyak hal yang bisa aku lihat mulai dari orang yang jualan pernak-pernik, toko baju dan lain-lain. Di Harajuku juga ada Kiddyland Harajuku yang baru saja dibuka tahun 2012 yang lalu. Ini adalah tempat untuk anak-anak.
* * *
Capek juga berjalan-jalan sepanjang Harajuku, akhirnya aku pun mencari makanan. Mencari restoran halal di Jepang cukup susah. Aku pun akhirnya menemukan restoran seafood. Nama restoran ini adalah Hanasakaji-san. Di sinilah untuk pertama kalinya aku mencoba shabu-shabu. Rasanya beda dengan yang ada di Indonesia. Dan alamaaak, ternyata keputusanku untuk tidak makan di bandara tadi harus dibayar mahal. Satu porsi Shabu-shabu seorang diri di restoran ini ¥ 4.000. Baiklah aku ceroboh. Harusnya melihat harga di menu tadi. Uangku berkurang lagi. Tapi sebenarnya harga segitu cukuplah. Sebanding dengan suasana restorannya yang nyaman. Aku duduk di sebuah meja yang panjang. Kursinya cukup empuk dan ketika aku duduk sudah ada sumpit dan piring kecil yang tersedia di atas meja.
Setelah istirahat sejenak, aku kembali ke jalanan Shibuya. Hanya saja aku tidak beruntung kali ini. Aku melewati Meiji Shrine. Ini adalah kuil Shinto. Buka ketika matahari terbit dan tutup ketika matahari tenggelam. Jadi tutupnya tidak mesti karena tenggelamnya matahari di Jepang ini berbeda dengan tenggelamnya matahari yang selalu konstan di Indonesia. Shinto adalah agama yang dianut sebagian besar penduduk Jepang, mereka menganggap dewa matahari adalah dewa tertinggi yang memberikan kehidupan. Selama berabad-abad para samurai menganut agama ini, namun semenjak invasi negara-negara barat, mulailah masuk agama-agama lain ke negeri ini. Sekalipun begitu kuil Meiji ini cukup terkenal dan dikunjungi oleh banyak orang sebagai salah satu tempat daya tarik wisatawan. Di sinilah aku mendapatkan kesialan.
Aku cuma berdiri di depan gerbang kuil Meiji. Menatap artistik bangunannya yang cukup unik. Beberapa pohon sakura tampak ada di sana. Pohon Sakura ini berjenis Edohigan. Sakura yang umurnya lebih panjang. Tapi sepertinya aku tidak beruntung. Musim semi dimulai bulan Maret sampai Juni. Aku telah melewati masa itu sehingga tidak bisa melihat bunga Sakura yang sedang mekar. Namun adalah sebuah rasa syukur aku bisa melihat pohon itu. Pohonnya tinggi, cabang-cabangnya menjuntai seperti tangan-tangan yang ingin mencengkram langit. Ketika aku sibuk melihat pepohonan itulah seseorang menabrakku.
Orang ini memakai penutup kepala seperti kupluk yang dirajut. Ia memakai jaket bergambar Diamond No Ace salah satu serial anime dan manga terfavorit saat ini.
"Sumimasen!" katanya sambil membungkuk. Ia sepertinya masih muda, berusia belasan.
"Ie," kataku sambil membalasnya.
Saat itulah aku sedikit aneh. Kenapa dia menabrakku sedangkan jalanan nggak begitu padat? Berarti ia sengaja menabrakku. Lalu aku meraba kantong belakangku. Dompetku! Aku merogoh kantong di jaketku. Aku menoleh ke arah orang tadi yang sekarang berlari. Aku sadar sekarang kalau aku kecopetan. Segera aku kejar orang itu.
"HEI! TUNGGU!" aku kejar orang itu. Kami saling kejar-kejaran di jalanan, orang-orang menyaksikan kami seperti orang aneh. Tapi harus aku akui larinya sangat cepat. Aku pun kehilangan dia di keramaian Harajuku Takeshita-Dori. Arrgghh!
Dengan nafas ngos-ngosan aku pun panik. Bingung. Di dompetku semua uangku ada di sana. Mana kartu ID-ku juga ada di sana. Tapi beruntunglah aku memasukkan paspor di ranselku jadi tak ikut hilang. Pasporku tentu saja berbentuk buku, tak bakal muat di dompet. Sekarang bagaimana?
* * *
Hari sudah menjelang malam. Aku lapor ke pos polisi kalau aku kecopetan. Polisinya cukup baik menerima laporanku dan akan berusaha menemukan pencopetnya. Ah, sekalipun negara Jepang maju, masih ada juga koq pencopetnya. Kata polisinya jarang terjadi kecopetan di Jepang, mungkin orang yang mencopetku sedang ada masalah sehingga dia harus melakukan kejahatan seperti itu. Aku pun mulai berpikir positif. Dia pasti ketemu, semoga saja. Aku tahu dan yakin polisi Jepang berbeda dengan polisi yang ada di Indonesia.
Permasalahannya adalah aku tak ada uang sekarang. Tidur di mana? Malam ini udara mulai dingin. Bagaimana ini? Aku berjalan di sepanjang trotoar, melewati Takeshita-Dori menuju ke utara. Aku melihat papan petunjuk Shinjuku sekitar 4 km lagi. Cukup dekat. Tapi permasalahan utamanya bukan itu. Permasalahan utamanya adalah aku tak mungkin untuk melanjutkan perjalanan ini. Entahlah, aku bingung sekarang. Aku melewati beberapa rumah makan. Dan sekarang tepat di bawahku adalah rel kereta api alias subway yang mana dilewati oleh Yamatano dan Chou-Sobu. Sebenarnya tak jauh dari tempat aku berpijak ini ada Shinjuku Gyoen National Garden. Sebuah taman yang berada di tengah kota Tokyo. Tamannya cukup besar untuk masuk ke sana hanya merogoh kocek ¥200. Tapi jam segini sudah tutup taman itu. Aku ingin sekali bersama Keiko-chan masuk ke sana. Ah, tapi hanya mimpi.
Kulihat beberapa orang gelandangan sedang duduk di pinggir jalan. Mereka mengamatiku. Seorang dari mereka menatapku dengan tatapan aneh, seperti memelas. Mungkin mereka mengira aku ini punya uang, terlebih aku adalah seorang turis. Aku lalu duduk di sebelah gelandangan ini.
"Kenapa anak muda?" tanyanya.
"Aku baru saja kecopetan," jawabku.
"Kamu bukan orang Jepang, orang mana?"
"Aku dari Indonesia," jawabku.
"Indonesia? Negara mana itu?"
Aku nyengir. Mereka ternyata tak tahu Indonesia. Aku menghela nafas. Beberapa saat kemudian aku menyandarkan tubuhku di rolling dor sebuah toko yang sudah tutup. Ini seperti toko mainan. Aku bisa melihat gambar Ultraman dan beberapa tokoh Tokusatsu terpampang jelas di sini. Nama toko ini Taro Shop.
"Namamu siapa?" tanya gelandangan itu.
"Watashiwa Fahmi desu," jawabku.
"Ah, bokuwa Kappa," jawabnya. Namanya aneh. Seperti nama makhluk legendaris Jepang yang hidup di air. Makhluk ini disebut sebagai makhluk mitologi. Sebagian orang melihat atau menyaksikan makhluk ini tapi itu tak terbukti sampai sekarang. Dia digambarkan seperti katak dengan wajah mirip manusia.
"Aku, Bundai," jawab yang satunya.
"Aku Tohou," jawab yang terakhir.
"Fahumi, Indonesia-jin. Kenapa kamu ke negara ini?" tanya Kappa.
"Aku ke sini ingin bertemu dengan temanku," jawabku.
"Wanita?" tanya Bundai.
Aku mengangguk. Mereka bertiga serempak tertawa.
"Wanita memang begitu," ujar Tohou. "Kamu sial banget, jauh-jauh ke Jepang untuk bertemu dengan seorang wanita tapi kecopetan."
"Kalian sedang mengejekku ya?"
"Nih, kamu sudah makan?" tanya Bundai sambil mengulurkan satu cup mie. "Makan saja, kami sudah makan. Ini konon katanya Made In ndonesia"
Aku tak percaya sebelum menerima dan membacanya sendiri. Ah, beneran. Ini cup noodles merk yang ada di Indonesia dan terkenal! Buatan Indonesia. Aku cukup terkesima melihat produk buatan Indonesia sampai ke Jepang. Harganya berapa ini? Pasti mahal.
"Kamu tak perlu pikirkan berapa harganya, aku memberinya cuma-cuma. Kasihan melihatmu," ujar Bundai.
"Arigatou Bundai-san," kataku.
"Sudahlah, kamu tak punya selimut?" tanya Kappa.
Aku menggeleng.
"Ini ada kardus, ada selimut, walaupun tidak begitu nyaman. Sebaiknya kamu tidur sekarang," ujarnya.
"Kenapa?"
"Kami ini gelandangan. Biasanya nanti jam tiga pagi polisi akan mengusir kami. Kami tak punya tempat tinggal dan gelandangan seperti kami sering diusir oleh mereka. Katanya kami merusak pemandangan Tokyo," kata Tohou.
"Kejam sekali. Kalian tidak salah kan?" kataku.
"Kehidupan terkadang itu kejam. Aku dulu adalah pemilik toko, Bundai dulu adalah seorang pemilik Restoran dan Tohou adalah seorang yang cukup sukses di dalam bidang ekspedisi. Sayangnya tokoku kebakaran, restoran milik Bundai hancur terkena tsunami. Dan perusahaan ekspedisi Tohou bangkrut karena tak mampu bersaing," jelas Kappa.
"Lalu kalian kerja apa?" tanyaku.
"Kami bekerja serabutan. Kadang hanya memberikan brosur, kadang juga menjadi tukang perbaikan jalan. Macam-macam. Selama itu bukan hasil mencuri kami akan melakukannya," jawab Bundai.
"Tapi kami juga tak bakalan mampu untuk bisa tinggal di apartemen. Mahal. Bersyukur saja kalau kami masih bisa bertahan di sini," sambung Kappa.
Aku kemudian mulai menyantap mie yang aku terima dengan memakai sumpit. Ah, rasanya seperti rasa tanah Air. Lampu-lampu di beberapa ruko padam. Pertanda mereka akan tutup. Aku mengobrol banyak hal dengan tiga gelandangan ini. Mereka sangat senang berbagi. Aku menceritakan kepada mereka tentang Indonesia. Keindahan alamnya dan berbagai tempat-tempat yang menakjubkan. Entahlah kenapa sekarang ini aku sedikit menyesal telah sampai di Jepang. Terlebih menceritakan keindahan negaraku. Padahal aku sangat ngebet ingin ke Jepang, sekarang ketika sudah sampai aku malah ingin buru-buru balik. Hahahaha aneh. Tapi aku bisa mengerti, kenapa aku punya perasaan seperti ini. Hal ini karena aku baru saja mengalami kejadian yang buruk.
Hari itu, untuk pertama kalinya aku tidur di emperan toko bersama tiga orang gelandangan. Mereka memberikanku kardus dan selimut yang berlubang. Dari bentuknya selimut itu tak pernah dicuci kurasa. Bodo amat. Tapi terus terang, aku tak dapat tidur. Berkali-kali aku mencoba untuk menutup mata berharap semua ini cuma mimpi, tapi aku tak bisa. Toh akhirnya setelah berjuang menutup mata, aku pun tertidur.
* * *
Bateray ponselku low. Aku tak tahu bagaimana cara mengisi bateray ini. Colokan mana colokan? Duh. Sebenarnya ada colokan di pinggir-pinggir jalan seperti di toko-toko swalayan, tapi aku tak punya uang. Sekali mencolok untuk charger ponsel dihargai 300 Yen untuk setengah jam. Ingat yah, aku nggak punya duit. Dan hari sudah pagi. Pukul empat pagi aku dibangunkan oleh ketiga teman gelandanganku. Katanya mereka akan segera ke tempat proyek mereka yang ada di Ikebukuro. Kalau ingin dapat uang aku disuruh ikut katanya. Tapi aku dengan halus menolak. Pagi itu aku kembali mendatangi pos polisi yang berada di dekat pintu keluar Stasiun Shibuya.
"Ano..maaf, aku yang melaporkan kecopetan tadi siang, apa sudah ketemu?" tanyaku.
Seorang polisi yang saat itu sedang piket mengerutkan dahinya dan memandangku dengan pandangan aneh. "Belum, kamu kira secepat itu bisa tertangkap. Lagipula dari ciri-ciri yang kamu berikan tidak serta merta bisa diketahui siapa dia."
"Oh, maaf. Kukira...," aku menghela nafas. Emang sih, mencari orang sebanyak ini di Shibuya bukan hal yang mudah. "Ano, pak petugas, saya boleh pinjam colokan listriknya?"
Petugas itu mengangguk. Dia menunjuk ke sebuah tempat di pojok ruangan. Aku pun segera menuju ke sana dan mencolokkan charger ponselku. Sementara ini hanya inilah benda yang sangat berharga yang aku punya. Sebentar, bukannya ada peraturan larangan mencolokkan listrik di kantor untuk charger ponsel?
"Ano..., nggak apa-apa kalau aku mengambil listrik di sini?" tanyaku.
"Ah, nggak apa-apa. Pakai saja. Lagipula kamu sedang kesulitan. Aku bisa bilang ke atasanku kalau aku sekarang sedang menolongmu."
"Arigatou," kataku.
"Kamu tidur di mana malam ini?" tanya polisi itu.
"Aku nggak punya uang," jawabku singkat.
"Kalau kamu mau, kamu bisa tidur di kursi itu!" dia menunjuk ke sebuah sofa di ruang tunggu. "Tapi kalau nanti sudah jam tujuh pagi kamu harus keluar. Aku takut komandanku mengetahuinya."
Aku tersenyum. "Ah, baiklah pak. Terima kasih." Aku membungkuk.
"Kamu orang luar, tapi fasih juga berbahasa Jepang," katanya. "Namaku Ando, kamu bisa memanggilku Ando. Namamu Fahmi-san bukan?"
"Hai, desu," ujarku.
Segera aku rebahkan tubuhku di atas sofa di ruang tunggu. Ah, empuk sekali. Berbeda dengan pengalamanku tadi tidur di pinggir jalan.
"Oh ya, Ando-san. Apakah benar polisi sering mengusir para gelandangan?" tanyaku tiba-tiba.
Ando-san yang sedang mengetik di depan komputernya menghentikan aktivitasnya. Ia menoleh ke arahku. "Kenapa kamu bisa tanya begitu."
"Aku baru saja bertemu dengan mereka dan mereka bilang seperti itu," jawabku.
Ando-san melanjutkan mengetikkan sesuatu. Dia lalu menjawab, "Sebenarnya kami tidak sejahat itu. Sebagian di antara mereka memang bandel. Ketika dinas sosial memberikan mereka pekerjaan, tapi mereka tidak mau. Ketika mereka dibantu, mereka kembali lagi menggelandang. Terlebih lagi sebagian gelandangan yang ada di Tokyo ini adalah orang gila."
"Semuanya?"
"Sebagian."
"Ando-san, anda tidak bercanda kan?"
"Tidak. Tapi tidak semuanya."
"Menurutmu siapa yang telah mencopet dompetku? Kamu punya clue?"
Ando-san menggaruk-garuk kepalanya. "Aku tak tahu hampir setahun ini tidak ada kasus kecopetan. Hanya kamu saja yang jadi korban dari setahun ini dan tentu saja selamat buatmu. Omedeto"
"Tidak lucu," kataku sambil cemberut.
"Ngomong-ngomong kamu belajar di mana bahasa Jepang? Apa di negerimu kamu kursus dulu sebelum ke sini?"
"Tidak, aku tidak kursus. Aku otodidak. Aku seorang otaku."
"Otaku? Yang benar?"
"Iya, benar."
"Apa kamu tidak join sekalian di komunitas otaku?"
"Komunitas otaku?"
"Di Jepang ini komunitasnya cukup besar, adikku salah satu anggotanya."
"Adik Ando-san?"
"Namanya Eiji. Dia cukup tergila-gila dengan anime."
"Boleh aku bertemu dengannya?"
"Tentu saja. Nanti akan aku temukan kamu dengannya. Kebetulan ini hari libur, dia pasti akan mengunjungiku untuk membawakan bekal."
"Ando-san sendiri? Tidak pulang?"
"Aku menggantikan temanku, kebetulan dia sakit. Jadi aku dobel shift."
"Oh, baiklah."
Aku pun melanjutkan tidurku. Dari emperan toko, sekarang tidur di kantor polisi. Matahari menyilaukanku ketika pagi sudah menjelang. Dua orang teman Ando-san sudah datang. Aku agak kikuk karena tidur di sofa.
"Kamu mau mandi? Silakan pakai kamar mandi. Tapi yang jelas kamar mandi kami sedikit kotor," ujar Ando-san. Mengejutkanku, karena ia memakai kaos dan celana pendek. Sebuah handuk dililitkan di lehernya. Ia baru saja mandi ternyata. Salah seorang teman Ando-san sudah berpakaian rapi baru saja datang.
"Siapa namamu?" tanya polisi yang lain.
"Fahmi-san desu," jawabku.
"Oh, kamu turis yang kemarin. Namaku Takuya," katanya. "Dan dia rekanku, Kurama. Kamu pasti sudah kenalan dengan Ando-kun."
Aku mengangguk.
"Sepertinya kami tahu siapa yang mencopetmu," ujar Takuya.
"Oh ya? Siapa?" tanyaku.
"Dilihat dari kaos yang dipakainya, kemarin aku melihat rekaman CCTV kamu kejar-kejaran dengan dia," ujar Takuya.
"Eh? Ada?"
"Ada, di setiap sudut jalan ada kamera CCTV yang dipasang oleh toko, ataupun oleh perusahaan jasa sekuriti. Dia tidak salah lagi pelakunya pernah mendapatkan hadiah dari komunitas otaku."
"Komunitas Otaku lagi?"
"Oh iya, komunitas otaku di Jepang ini cukup terkenal dan mereka selalu ada event tiap tahunnya. Pakaian yang dikenakan oleh sang pencopet berasal dari hadiah event tersebut. Nanti kita akan tanya-tanya tentang adik dari Ando-kun."
"Benarkah itu Takuya?" tanya Ando-kun yang sekarang kembali lagi memakai seragam polisinya.
"Begitu menurut hipotesaku," jawabnya.
"Baiklah, aku akan mandi dulu kalau begitu," jawabku.
Kamar mandi di kantor polisi ini nggak buruk. Walaupun ukurannya cukup sempit 1,5x2m. Tapi aku bisa membersihkan badanku agar tak lengket. Setelah mandi aku ganti baju. Aku kemudian pergi ke ruang tengah tadi. Di sana sudah ada anak lelaki yang tampaknya dia yang disebut-sebut oleh Ando-kun. Tampak Ando-kun makan obentonya dengan lahap.
"Ah, Fahmi-san. Hikko, sini! Kenalkan ini adikku. Eiji," kata Ando-san.
Aku mengangguk kepadanya. Ia membalasku. Kami berjabat tangan untuk sesaat.
"Kamu bernama Fahmi?" tanya Eiji.
"Iya," jawabku.
"Turis?" tanyanya.
"Iya, turis."
"Ada keperluan apa ke sini?"
"Ceritanya panjang."
"Ceritakan saja, aku pendengar yang baik koq. Siapa tahu aku bisa membantumu. Kamu otaku juga?"
"Begitulah."
"Hahahaha, otaku dari negeri lain. Keren. Kamu punya koleksi apa saja?"
"Ah, itu dia...."
Aku pun menceritakan semuanya kepada Eiji dan Ando-san. Bahkan kedua rekan Ando-san pun juga mendengarkanku. Aku ceritakan tentang Fujiwara Keiko, tentang kenapa aku sampai berada di Jepang. Memang tergolong nekat sih. Aku juga menceritakan bahwa aku telah menjual seluruh koleksi action figure-ku, CD, DVD dan lain-lain untuk biaya pergi ke Jepang. Dan sialnya dompetku hilang. Aku masih menunggu kabar dari Kanon-chan untuk memberitahu alamat Keiko-chan. Tapi sampai sekarang emailnya belum dibalas. Mendengar ceritaku Eiji tampaknya terharu.
"Aku tak tahu kalau ceritamu setragis ini," kata Eiji.
"Iya, kamu termasuk pemuda yang nekat, pergi dari Indonesia tanpa tahu apapun tentang Jepang," ujar Ando-san.
"Ah, mendinglah Fahmi-san punya tujuan, terlebih untuk wanita yang dia cintai, Daripada Nii-san (kakak) usia sudah kepala tiga tapi masih sendiri," ejek Eiji.
"Jangan meledekku!" kata Ando-san sambil mengancam adiknya dengan sumpit.
"Baiklah Fahmi-san. Kami akan menolongmu," kata Eiji.
"Caranya?"
"Aku akan mengumpulkan seluruh komunitas otaku di seluruh penjuru Jepang untuk menolongmu. Aku akan membantumu untuk bisa bertemu dengan Fujiwara Keiko. Aku akan bantu sebarkan videomu di Youtube. Hari ini kita akan sibukkan seluruh Jepang mencari keberadaan Fujiwara Keiko. Bahkan kalau perlu seluruh Jepang biar bisa tahu siapa Fujiwara Keiko. Mereka juga harus tahu bagaimana perasaanmu ke Fujiwara Keiko."
"Tapi kenapa kamu mau melakukannya?"
"Karena kita sepersaudaraan Otaku." Eiji mengepalkan tangannya ke arahku. Aku kemudian mengepalkan tanganku untuk meninju kepalan tangannya. Ya, hari ini aku punya teman baru. Namanya Eiji-san. Dan dia akan membantuku untuk bertemu dengan Keiko-chan. Keiko-chan, tunggu aku. Sedikit lagi. Sedikit lagi kita akan bertemu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top