Bad Days

Aku mengayuh sepedaku terburu-buru melewati gang-gang sempit, karena jam berbentuk kepala Hatsune Miku ditangan kananku sudah menunjukan pukul 08.20, baik! itu artinya 10 menit lagi sekolahku akan menutup gerbangnya. Aku menambah kecepatan laju sepedaku, rambutku berkibar bebas dan nantinya pasti akan sulit kusisir lagi, belum lagi wajahku yang manis ini pasti terlihat seperti seorang yang sedang menahan buang air besar didepan orang yang disukai karena aku sangat tegang saat ini.

Tapi siapa peduli? aku tidak mau mengambil resiko dihukum kepala sekolahku yang kejam seperti Madara. Semua tau orang tua yang menjadi kepala sekolahku itu sangat kejam, bahkan mantan seniorku yang notabene adalah seorang ketua osis pernah dihukum membersihkan seluruh toilet pria hanya karena lupa memakai pin lencana Sekolah dikerah bajunya, dan karena perbuatannya ketua memutuskan untuk mundur karena terlalu malu.

Tentu saja tidak hanya dia yang mengalami nasib buruk saat berhadapan dengannya, aku juga pernah dihukumnya dan itu sangat memalukan. Aku masih ingat, waktu itu adalah hari dimana guruku yang bernama Hiroma Risa melahirkan. Kelas kami kosong dan kebetulan keesokan harinya adalah ujian kenaikan kelas 12, seperti biasa para guru akan memberikan kami pengarahan sebelum ujian, karena Risa sensei tidak hadir kepala sekolah yang menggantikannya.

Hari itu mungkin aku sedang sial, semalaman aku menonton Anime romantis yang membuatku menangis sedih karena kisahnya yang mengharukan. Karenanya mataku masih sangat mengantuk saat disekolah, sekuat tenaga aku menahan agar kelopak mataku tidak tertutup, semua sudah kulakukan agar aku tetap terjaga, mencubit tanganku yang terlipat rapi diatas meja, menahan uapanku sampai airmataku keluar sambil memperhatikan kepala sekolah dengan wajah kejamnya sedang cuap-cuap didepan kelas.

Tapi sialnya aku kelepasan, aku menguap lebar-lebar merentangkan kedua tanganku keatas untuk melegakan rasa kantukku yang teramat sangat, kupikir aku bisa melakukannya saat kepala sekolah menghadap papan tulis untuk menuliskan sesuatu. Tapi sayangnya saat itu dia langsung menengkok kebelakang, mata elangnya yang tajam langsung menangkap basah diriku yang sedang membuka mulut lebar-lebar. "FUJIWARAAAA!" teriaknya keras membuat sejagad sekolah mendengar suara kejamnya itu, bahkan aku yang terkejut karena tertangkap basah tak sadar masih membiarkan mulutku terbuka membentuk huru O besar.

"Ehehehehehe...." aku Cuma bisa nyengir sambil menggaruk pipiku yang tidak gatal, menutupi degup jantungku yang menggebu, wajahku juga memanas karena salah tingkah, aku yakin wajahku sudah memerah seutuhnya. Aku sempat melirik sekitar, teman-temanku saling berbisik dan tertawa geli mengetahuiku pasti akan dihukum.

"Maju kedepan Fujiwara san!" perintahnya dengan suara tenor yang seolah meremukkan jantungku dan tatapannya yang menyeramkan.

Dengan cepat aku berdiri dan membungkukan badanku, "ha-haik!" walau takut aku tetap berdiri dan menuruti perintahnya. Aku tidak mau kalau hukumanku ditambah gara-gara aku mempersulitnya.

"Menghadap ke teman-temanmu!" ucapnya saat aku berdiri didepan sosoknya yang tinggi besar. Aku menundukan kepala takut-takut. Tanpa menunggu perintahnya dua kali aku menghadap kedepan membiarkan semua teman-temanku melihat wajah merahku, memalukan! rutukku dalam hati!

Meski kepalaku menunduk dengan bibir yang mirip bibir bebek, sesekali aku melirik semua teman-teman didepanku. Mereka masih berbisik-bisik menertawaiku, menyebalkan! Sepertinya mereka senang sekali melihatku seperti gadis bodoh didepan kelas seperti itu.

"Fujiwara san, sekarang aku minta kau mengulangi perbuatanmu tadi didepan kelas!"

"Mma-maksudnya Sensei??" tanyaku menoleh dirinya yang ada disamping kananku.

"Menguap seperti yang kau lakukan tadi! Memangnya apa lagi?" terangnya membuat jantungku seakan ingin meloncat keluar.

"Haaaa??!"

"Ayo cepat lakukan! aku tidak suka saat aku berbicara tidak diperhatikan!"

Dapat aku lihat, wajah teman-teman semakin senang melihatku, mereka itu apa-apaan. Suka sekali melihatku menderita, sebenarnya mereka itu teman apa bukan sih?!

"Hei! kalau kau tidak segera melaksanakan hukumanmu kau akan terus berdiri disitu,"

"Eh? Ba-baik," dengan berat hati aku menerima hukumannya. Sekali lagi aku melihat teman-temanku yang tak sabar melihatku menguap didepan mereka.

"Tegakkan kepalamu! Lihat kedepan!" Siaaaalllll! Apa-apaan orang itu, tega sekali. Aku ingin menangis dibuatnya.

"Ba-baik!" jawabku lagi. Kemudian aku menyiapkan diri dan menghela nafas, lalu menguap. "Hooaahhm!"

"KYAHAHAHAHAHAHAHA!" seketika gelak tawa teman-temanku menggelegar,sedangkan aku hanya berkeringat dingin didepan kelas sambil menahan malu. Cih! Aku tidak akan lupa hal ini!

Oke kalian bisa tertawa dengan puas! Dan aku didepan kelas hanya bisa menatap teman-temanku penuh dendam. Dan kepala sekolahku yang masih menatapku dingin, dia itu apa-apaan? Sudah tua, sudah 53 tahun, tidak pantas bersikap sok keren seperti itu! Menyebalkan!

"Ulangi!" serunya sangat jelas, tapi aku masih saja menanyainya dengan kalimat 'Apaa??!' melalui kerutan didahiku. "Ulangi lagi, itu tidak sama dengan yang tadi!" ulangnya. Dan itu membuatku ingin pingsan saat itu juga.

Tapi baiklah...baiklah....bukankah nama baikku juga sudah sangat tercemar disekolah ini gara-gara kisah cintaku yang selalu merugikan pacar-pacarku saat itu. Dan mereka secara kompak memberiku julukan 'Trouble maker'. Dan sepertinya kejadian hari ini akan memperburuk citraku.

"Kau lama Fujiwara-san," lagi-lagi pemilik suara tenor itu membuatku berjaga dan kembali bersiap.

Kemudian aku membuka mulutku lagi. "Hoooaaaahhhmm...." oke kurasa itu sempurna! Membuka mulut lebar didepan semua siswa dikelasku.

"KYAHAHAHAHAHAH!" Lagi-lagi semua teman-temanku menertawaiku dan menatapku geli. Haaaa.... bagaimanapun ini memalukaaaan! Awas saja ya kalian!

"Itu tidak seperti tadi Fujiwara san," dan pemilik suara menyebalkan itu melipat tangannya didepan dadanya, berjalan mendekatiku dengan tatapannya yang masih tak berubah. Wajahku sudah sangat merah saat itu, ini sangat memalukan! "Ulangi, aku mau kau menguap seperti tadi dibangkumu!"

"Iya Keiko, tidak sama seperti yang dibangku tadi. Aktingmu benar-benar payah!" cibir Saaya, gadis berkuncir dua dengan pita berwarna merah. Aku tau dia tidak terlalu suka padaku karena aku pernah menjadi pacar Renji waktu itu.

"Benar itu tidak sama!" tambah Kitahara, teman satu geng dengan Saaya.

Aku sudah benar-benar mati kutu saat itu, masa iya aku harus menguap untuk ketiga kalinya saat aku tidak ingin. Ini namanya pemerkosaan! Menyebalkan! Belum lagi teman - temanku membuatnya semakin menyebalkan.

Tapi sorot mata kejam dari real Madara membuatku mengerti, tidak ada pilihan lain! aku harus mengulangi kegiatan nikmat yang memalukan ini. Kemudian dengan penghayatan penuh aku bersiap dan memulai, menarik kedua tanganku keatas dan... "HHHOOOOOAAAAAAHHHHMMMM," aku benar-benar menguap saat itu. Bahkan air mataku sampai keluar sedikit. Aku tidak menangis, itu hanya karena aku menguap sungguhan.

"AHAHAHAHAHHAHAAHAHAHAH!" lagi-lagi suara itu memenuhi seantero kelasku. Aku melihat mereka senang sekali dengan kejadian memalukan ini. Aku yakin mungkin wajahku saat itu bukan lagi memerah, tapi sudah kebiruan seperti mau mati.

Haaah... sudahlah, mengingatnya membuatku semakin gugup saja. Kalau dalam keadaan yang menegangkan seperti ini kurasa waktu berjalan dengan sangat cepat, aku harus cepat agar terhindar dari hukumannya! Mungkin aku harus menggunakan mode Chuunibyou-ku agar kecepatanku bertambah, yaah... meski aku bilang sudah sembuh dari Chuunbyouku kadang-kadang hal itu masih sangat aku perlukan. Tapi kan aku sudah dewasa? Siapa peduli?!

Baiklah akan kulakukan!

Kemudian aku memejamkan mataku sejenak, setelah membuka mata aku merasa seperti agen CCG. Yeah! aku adalah CCG yang sedang memburu Ghoul yang tengah melarikan diri dari buruan kami, karena aku harus cepat menangkapnya, aku tidak mau ada korban lagi. Bahkan walau hanya bermodalkan sepeda, jangan salah! sepedaku ini juga mempunyai kekuatan super. Super cepat, dan dilengkapi senjata-senjata pelumpuh makhluk pemakan manusia itu.

Aku mengayuhnya dengan cepat, cepat dan cepat. Bahkan beberapa kali aku menyerempet orang yang lewat dan langsung marah meneriakiku, "hei punya mata tidak?! "hati-hati dasar ceroboh!"

Aku bisa saja menjawab. "Hei! Kalian tidak tau apa aku sedang berusaha menyelamatkan kepunahan umat manusia dari serangan Ghoul?!" tapi tidak kulakukan. Kurasa aku tidak segila itu.

Nyatanya perjuanganku untuk sampai kesekolah semakin mendebarkan, bahkan aku tidak berani lagi melihat jam ditanganku karena aku tidak mau melihat kenyataan bahwa aku terlambat. Belum lagi dijalanan aku bahkan tak bertemu satupun teman-teman sekolahku atau murid sekolah lain, ini menguatkan bahwa aku benar-benar terlambat. Bagaimanapun aku harus cepat sampai, dihukumpun tak apa aku sudah pasrah.

Dadaku berdegup semakin keras, keringat didahiku juga turun menetes dipipiku yang agak tembam ini. Membayangkan nantinya aku dihukum dan ditertawai oleh teman-temanku, belum lagi aku harus menerima omelan dari Guru.

Tapi aku sedikit lega melihat pertigaan dari kejauhan, itu artinya aku hampir sampai. Hanya berbelok kekiri dipertigaan lalu melewati kedai makanan kemudian belok kekanan dan berjalan sedikit aku akan sampai. Aku kayuh sepedaku dengan kekuatan penuh dan dengan kekuatan penuh juga aku berbelok kekiri, tak kusangka didepanku ada seorang pemuda yang sangat aku kenal apalagi penutup hitam dimata kanannya itu, ya aku sangat kenal. Tapi sayang karena jarak kami terlalu dekat, aku berteriak keras-keras karena sekuat tenaga aku mengerem sepedaku-pun sudah terlambat.

"Kyaaaaaaahhh!"

'BRAAAAKKK!'

Aku menabraknya...

"Ugh! Sakit..." aku memejamkan mataku merasakan sakit yang teramat sangat dilutut dan tanganku. Tapi bukan itu masalahnya, masalahnya adalah orang yang aku tabrak dan posisi jatuhku yang sangat memalukan. Aku tertimpa sepeda dan tengkurap dengan rok yang menyingkap keatas, tentu saja pakaian dalamku mungkin bisa dilihatnya. Menyadari hal itu aku langsung membuka mata dan duduk meringis menahan perih.

"Kau lagi," suara datar itu membuatku perlahan memperhatikannya dari ujung sepatu sampai wajahnya. Ternyata dia sudah berdiri dari duduknya karena kutabrak dengan sepeda, tapi wajahnya itu tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Aku jadi tidak enak sekaligus merasa bersalah, lagipula kenapa hatiku harus berdebar saat menatap wajah dinginnya.

Kemudian aku mencoba berdiri meski kurasa semua tulang-tulangku telah patah kali ini, tapi aku harus meminta maaf padanya. "Go-gomene..." ucapku ragu penuh rasa bersalah tanpa menatap matanya.

"Hn?" hanya itu yang keluar dari mulutnya sambil menepuk debu di jas hitamnya. Aku tidak perlu kecewa dengan sikapnya yang seperti itu, karena dia memang seperti itu terlebih lagi aku yang lagi-lagi bersalah.

Namanya Watanabe Daiki, mantan kakak kelasku. Pemuda dengan kharisma yang mampu menghipnotis lawan jenisnya hanya dengan dilewatinya. Pembawaannya yang sangat manly, tubuhnya yang tegap, rambut hitam kebiruan sedikit panjang dibagian belakangnya, ditambah sifat yang sangat cuek membuat gadis manapun akan menjerit saat melihatnya. Meski Daiki mempunyai kelainan dimata kanannya dan mengharuskannya memakai penutup mata sebelah seperti bajak laut, itu tidak lantas membuatnya kehilangan pesonanya, malahan itu terlihat sangat keren untuk sebagian orang.

"Lain kali hati-hati, jangan sampai mencelakakan orang lain lagi," ucapnya datar, dan aku hanya mengangguk saat dia berjalan melewatiku dan meneruskan perjalanannya. Sikapnya yang seperti itu membuat dadaku semakin berdetak kencang.

Jika semua gadis jatuh hati dan dadanya berdetak kencang saat melihat Daiki, tidak denganku. Jantungku berdetak keras karena setiap melihat Daiki aku selalu teringat kembarannya, Daichi. Ya, Daichi. Seorang pria yang sangat baik, seorang pria yang mampu bertahan dengan sifatku yang ceroboh dan berlebihan ini. Daichi kekasihku, yang pergi selamanya meninggalkanku.

Tiba-tiba dadaku terasa amat sakit, aku menundukkan kepalaku dalam-dalam saat Daiki pergi menjauh dari dekatku. Tak terasa air mataku menetes begitu saja dipipiku, aku menggengam erat rok sekolahku untuk menahan tangis yang mungkin akan segera pecah.

"Hei jangan menghalangi jalan!" suara itu mau tak mau membuatku menegakkan kepala dan mengusap air mataku dengan cepat.

"Go-gomene..." ucapku pada seorang Nenek yang tengah mendorong sepedanya membawa berbagai macam sayuran. Aku langsung mengangkat sepedaku dan membiarkan Nenek penjual sayur itu juga berlalu meninggalkanku.

Kemudian aku menatap langit pagi yang biru, dengan awan putih yang indah. Tersenyum, menghela nafas panjang-panjang agar air mataku tak jadi keluar. Itu caraku untuk tidak menjatuhkan airmata lagi, karena kurasa Daichi tidak suka aku menangis. "Bukankah begitu, Daichi-kun?"

Aku kembali teringat bahwa aku harus cepat sampai kesekolah, jam tanganku sudah menunjukan pukul 08.28. Kali ini aku yakin tidak akan terlambat, hanya berbelok kekanan saja setelah melewati kedai makanan didepanku itu.

Aku menaiki sepedaku dan mengayuhnya lagi, meski pertemuanku dengan Daiki kembali menggoreskan luka didadaku yang belum kering dan menghancurkan semua moodku hari ini. Wajah Daichi yang lembut sangat bertolak belakang dengan Daiki kini kembali mengisi penuh kepala dan hatiku, sekuat tenaga aku menahan air mata sambil terus mengayuh sepedaku.

Setelah belokan terakhir aku merasa sedikit lega karena gedung sekolahku sudah terlihat, tapi kelihatannya sekolah sudah ditutup. Aku tidak melihat adanya teman-temanku disana, rasa penasaranku semakin bertambah dan membuatku mengayuh pedalku dengan sedikit kasar.

Saat roda sepeda dan kakiku menginjakkan kaki didepan gerbang yang ditutup, seketika aku menelan ludahku susah payah saat melihat tulisan besar diatas papan yang terpasang didepan gerbang.

'LIBUR MUSIM PANAS, AKAN DIBUKA BULAN DEPAN'

Siaaaaalllll! Aku lupa kalau hari ini libur musim panas sudah dimulai.

Seketika badanku lemas seperti tak bertulang, badanku merosot diikuti sepedaku yang menimpa tubuhku. Dadaku terasa sangat penuh, air mata yang sedari tadi kutahan tak mampu lagi kubendung. Jadi perjuangkanku sedari pagi hanya berakhir seperti ini?

"Hiks.... hiks... hiks...." Aku menangis bersimpuh dengan kedua tangan terkepal diatas pahaku. Butiran air mata juga berlomba-lomba jatuh mengenai rok sekolahku yang berwarna biru tua, aku sangat lelah, aku sangat kesal, aku juga sedih.

"Huaaaa...." aku menangis sejadi-jadinya didepan sekolahku. Tidak peduli beberapa pengendara mobil yang melihat diriku seperti gadis gila disana. Mereka tau apa soal aku? Tidak ada yang mengerti!

Mungkin cukup lama aku terdiam disana, berharap ada yang menolongku dan membuatku diam. Tapi aku sadar, selama apapun aku menangis disana tidak akan ada yang peduli. Satu-satunya yang peduli padaku hanyalah Daichi, aku yakin sendainya Daichi ada disini dia pasti akan membantuku berdiri, kemudian mengusap air mataku dan berucap 'Sudahlah jangan menangis,' sambil tersenyum lebar dengan mata yang hampir tertutup.

Tangisku semakin menjadi saat mengingatnya, meski begitu aku harus tetap bangun sendiri. Aku yakin Daichi tidak suka aku menangis seperti ini. Pesan terakhirnya, aku ingat, aku ingat tidak akan menangis lagi saat dia pergi. Dan aku sudah berjanji tentang itu, tapi tidak apa-apa kan kalau hanya sekali. Aku sudah berusaha untuk tidak menangis, selalu berusaha untuk menjadi wanita yang lebih kuat dari sebelumnya.

* * * 

Aku memutuskan untuk pulang, menuntun sepedaku menyusuri jalanan yang sepi. Sengaja memilih jalanan ini, sejak kejadian tadi perasaanku kacau sekaligus membuatku rindu pada Daichi. Aku berjalan dengan wajah murung, tak bersemangat, melewati area persawahan ini, persawahan yang dekat dengan rel kereta api. Jika ada kereta yang lewat, hembusan anginnya bisa membuat rambutku berantakan. Ya... jalan ini juga merupakan tempatku dan Daichi sering pulang sekolah bersama.

Kami bertemu dijalan ini. Sepulang kegiatan basket sekolah, saat itu langit sudah berwarna jingga, sebentar lagi matahari juga akan tenggelam. Rantai sepedaku saat itu lepas dan membuatku mau tak mau harus membetulkannya terlebih dahulu, tidak mungkin aku berjalan sambil menuntun sepedaku karena jalan ini memutar lebih jauh dari jalan utama. Aku menyesal kenapa harus memilih jalan ini.

Tapi dari arah barat seseorang datang menghampiriku dengan sepedanya, tak dapat kulihat dengan jelas siapa dia karena tubuhnya menghadap matahari yang hampir tenggelam.

"Butuh bantuan?" tanyanya lembut saat tubuhnya semakin mendekat.

"Eh?" Aku masih bertanya-tanya karena mataku masih belum bisa menyesuaikan sinar yang masuk, tapi saat tubuh tegapnya menutupi matahari yang hanya terlihat setengahnya, baru aku bisa melihat wajahnya yang tersenyum tulus kepadaku.

"Hari sudah mulai gelap, sepertinya rantai sepedamu lepas? Biar aku betulkan," lanjutnya. Turun dari sepeda dan mengambil peralatan sepedanya yang mungkin selalu ada dibagian tiang penyangga itu.

"Ta-tapi..."

"Tenang saja tidak merepotkan kok," jawabnya saat itu seolah mengerti isi hatiku.

"Ehehehe... i-iyaaa..."

"Namamu Fujiwara Keiko kan?" tanyanya. Duduk jongkok didekatku yang tengah duduk didepan sepedaku, dengan senyumnya yang sangat manis. Aku pernah melihatnya, tapi entah dimana.

"I-iya," jawabku tidak enak. Entah kenapa aku merasa lain, tidak biasanya aku grogi saat didekati pemuda yang tampan sepertinya.

"Aku Watanabe Daichi, kita satu sekolah kan?" ucapnya lagi. Dan saat itu aku membuka mulutku lebar-lebar, aku merasa sangat bodoh karena pemuda didepanku ini adalah ketua klub memasak disekolah. Iyaaa namanya Watanabe Daichi, saudara kembar Watanabe Daiki anggota klub pedang.

"A-aa-aa... senpai..."

"Kau tidak mengenalku ya?"

"Ehehehe.... bukan begitu, hanya saja..."

"Aku tidak sepopuler Daiki adikku?"

"Ahahahaha.... bukan begitu,"

"Sudahlah, sepedamu sudah kubetulkan,"

"Aaaa... benarkah, cepat sekali,"

"Semua alatnya ada disini," Daichi kembali menunjukkan senyuman lebarnya saat itu, sambil mengangkat kotak kecil berisi peralatan sepedanya. Dan saat itu aku kembali jatuh cinta padanya.

Jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada pemuda bernama Daichi, pemuda yang memiliki senyum lebar yang manis, pemuda yang selalu pulang sekolah berdua denganku saat itu. Pemuda baik hati yang dengan senang hati memaafkan semua kekacauan yang aku buat, pemuda yang tidak marah sama sekali saat aku memasukan 2 sendok garam kedalam kue saat dia mengatakan gula. Pemuda yang tidak marah saat masakan untuk perlombaan antar kelas aku tumpahkan semua karena aku tersandung.

Saat itu Daichi memelukku yang sedang menangis erat-erat, aku takut telah menghancurkan masakannya saat itu. Aku takut karena semua teman Daichi memarahiku, terlebih aku sangat takut kalau sampai Daichi meninggalkanku seperti pacar-pacarku sebelumnya. Tapi apa, ternyata dia memelukku penuh keyakinan, berkali-kali mengusap rambutku agar aku diam.

"Sudah, jangan menangis. Tahun lalu kelas kami sudah menang dua kali, hari ini kalah tidak masalah," Daichi mengucapkannya berkali-kali, tapi itu tak lantas membuatku berhenti menangis. Tangisku semakin menjadi karena aku merasa sangat senang, terharu karena memiliki Daichi. Aku benar-benar jatuh cinta pada Daichi.

Sayangnya kebahagiaanku itu tak berlangsung lama. Sore itu aku dan Daichi pulang sekolah bersama, melewati area persawahan yang saat itu ditanami padi yang hijau. Angin sore menerpa rambut dan pakaian sekolah kami dan membuatnya berkibar sebentar, tinggiku yang hanya sebatas dadanya saja harus sedikit mendongak menatapnya. Ia tersenyum dalam, sangat tampan dan lembut. Aku semakin jatuh cinta padanya.

"Keiko chan," panggilnya pelan sambil terus menatap kedepan.

"Hmmm??" aku memiringkan wajahku lagi untuk melihat ekspresinya.

"Jangan sedih ya kalau aku pergi,"

Degh

Saat itu jantungku hampir berdiri berdetak. Kenapa Daichi bicara seperti itu, apa dia juga ingin memutuskanku seperti bekas pacarku yang lainnya. "Ta-tapi kenapa? Kenapa Daichi kun berkata seperti itu?"

Daichi membalas senyumanku, dengan senyuman yang sangat lepas dan lebar. "kenapa wajahmu tegang seperti itu? Diujung jalan sana kan kau harus berbelok kekanan, dan aku kekiri. Hehehehe...."

Hhh... aku sangat lega mendengarnya, bahkan aku sempat mencubit lengannya karena bercandanya seperti itu. Kemudian setelah kami sampai dipertigaan yang menghubungkan jalan kesekolah aku berbelok kekanan dan berhenti sebentar menatapnya yang berbelok kekiri, Daichi juga berhenti menolehku.

"Sayounara Keiko chan," ucapnya melambaikan tangan kanannya keatas. Tak lupa dengan senyuman yang selalu membuatku mabuk kepayang.

Aku membalasnya dengan melambaikan tanganku juga, aku tersenyum lebar tak mau kalah dengannya. Tapi saat melihat wajahnya itu seperti ada sesuatu yang lain, entah kenapa aku merasa sangat tidak rela berpisah dengannya saat ini. Aku ingin berlari memeluk Daichi, terlebih lagi kalimat perpisahannya itu tak seperti biasa, Daichi biasanya akan megucapkan 'Jaa matta' yang artinya kami akan bertemu lagi dalam waktu dekat, kini mengucapkan Sayonara yang artinya mungkin kami tidak akan bertemu dalam waktu dekat, atau mungkin tidak akan bertemu lagi selamanya.

Aku membuang jauh-jauh pikiran negatifku saat itu, dan memandangi punggung Daichi yang mengayuh sepedanya mulai menghilang dari pandanganku.

Sejak semalaman Daichi tidak memberiku kabar, bahkan pagi ini dirinya juga tidak datang kesekolah. Aku duduk gelisah dibangkuku, beberapa kali aku mengecek ponselku, berharap e-mail yang aku kirimkan padanya dibalas. Bahkan Momoko satu-satunya sahabat yang aku punya ini terus mendampingiku yang terlihat sangat gelisah.

Beberapa kali Momoko menasehatiku untuk tetap berfikir positif, tapi aku masih saja ingin menangis saat itu. Sampai akhirnya Momoko mengajakku bertemu dengan adik kembar Daichi, yaitu Daiki. Dengan keberanian yang tak pernah aku punya sebelumnya aku kekelas Daiki, saat itu dia ada disana, menyendiri dibangku dipojokan sedang membaca bukunya.

Aku lega melihat Daiki datang kesekolah, bahkan saat aku menannyainya tentang Daichi, Daiki hanya menjawab 'bukan urusanmu!' itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku percaya bahwa Daichi ada dirumahnya.

Setelah jam pulang sekolah ponselku berbunyi, cepat-cepat aku mengambilnya dari tasku dan membiarkan buku-buku pelajaranku yang ada dimeja kumasukkan nanti. Setelah membaca email yang masuk itu aku lega, itu adalah Email dari Daichi.

'Maaf Keiko chan, aku tidak enak badan. Semalaman aku tidur, dan saat terbangun aku memilih membalas pesanmu saat kau pulang sekolah. Sebagai permintaan maaf, kau mau kan menemuiku sepulang sekolah nanti ditempat biasa? Kita makan ramen di dekat sekolah, aku sudah menunggumu disini,'

Aku tersenyum senang membaca pesan darinya, sangat lega. Dan tanpa menunggu nanti-nanti aku segera melesat menemui Daichi setelah sebelumnya aku memasukkan seluruh bukuku dengan serampangan didalam tas.

"Keiko chan jangan dijalur yang itu," Daichi tampak mengkhawatirkanku yang saat itu bermain keseimbangan diatas rel kereta api. Dia beberapa kali memperingatkanku karena kereta bisa saja datang dijalur yang masih aktif itu.

"Hihihih...ini menyenangkan sekali kau tau?!" aku tertawa cekikikan diatas rel, membawa boneka anjing berwarna cokelat yang sesekali kuciumi . Aku sangat bahagia bisa bermain bersama Daichi hari ini. Dia mentraktirku ramen dan memberiku boneka anjing yang hanya sebesar kepalan tanganku saja.

Angin tiba-tiba berhembus sangat kuat, aku masih tertawa-tawa bahagia mengingat kejadian yang aku alami dengan Daichi hari ini. Sampai aku lihat Daichi berdiri dan meneriakan sesuatu, aku tidak terlalu mendengarnya karna angin kencang saat itu. Paling-paling ia hanya meneriakiku takut ada kereta yang lewat.

Tak lama kemudian Daichi berlari datang kearahku, aku senang melihatnya akhirnya mau menemaniku bermain keseimbangan dipinggir rel kereta api. Aku tidak mengerti kenapa Daichi sangat ingin memelukku sampai dia berteriak-teriak dari kejauhan sambil merentangkan kedua tangannya.

Belum sampai tangannya memelukku, malahan dengan kasar Daichi mendorong tubuhku kebelakang. Kupikir kenapa Daichi begitu tega memperlakukanku seperti itu, tapi saat sesuatu yang sangat besar melewatiku, aku baru tersadar itu sebuah kereta.

Beberapa detik kereta lewat didepanku, aku menungguinya cepat enyah dari hadapanku. Karenanya aku tidak dapat melihat Daichiku diseberang sana.

Saat kereta telah menjauh, orang-orang tampak berkerumun jauh dari tempatku berdiri. Aku mencari Daichi disekitar namun tak aku temukan, perasaanku sangat tidak menentu saat itu. Kemudian aku berlari mengikuti orang-orang yang berkerumun, mungkin Daichi ada disana ikut melihat apa yang terjadi.

Aku tidak sabaran, beberapa lapisan orang-orang yang berdiri disana aku singkirkan dengan tanganku karena aku sangat ingin tau apa yang sebenarnya terjadi.

Aku mematung saat itu, dadaku terasa sangat penuh, rasanya dunia ini akan kiamat, aku melihat kekasihku Daichi terbaring tak bernyawa disana. Tubuhku benar-benar terasa sangat lemas, aku terjatuh meraung-raung menangisi kepergiannya.

Daichi kekasihku yang sangat baik, Daichi kekasihku yang sangat mencintaiku, Daichiku yang tak pernah marah kepadaku pergi meninggalkanku selama-lamanya karena kecerobohanku, karena salahku.

Saat ini, aku masih berdiri disini. Tepat dimana kereta itu membawa tubuh kekasihku, aku menangis mengingatnya. Kalau saja saat itu aku dan Daichi tidak berpacaran, Daichi tidak perlu pergi selama-lamanya hany untuk menyelamatkan nyawa gadis sepertiku.

Setelah insiden itu aku benar-benar shock. Aku merasa bagian dalam diriku ada yang lepas. Hubunganku dengan Daichi lebih dari sekedar teman dekat. Ia lebih berarti bagiku. Hanya dia yang sanggup menenangkanku dari segala keburukan hari-hariku. Aku ingin melupakannya, tapi aku tetap tidak bisa. Bahkan aku harus membiarkan diriku untuk selalu sibuk, kegilaanku menonton Anime menjadi, aku menghabiskan semua waktuku untuk menonton tayangan 2 dimensi itu, menonton video konser grup kesukaanku sampai aku benar-benar lelah dan tertidur. Karena aku sama sekali tak ingin mengingat Daichi.

Tapi nyatanya tak selalu semudah itu, sering kali aku menyalahkan diriku sendiri. Seharusnya saat itu akulah yang ditabrak oleh kereta. Bukan Daichi, karena Daichi terlalu baik padaku. Kehilangan seorang kekasih, kehilangan seseorang yang sangat disayang. Tak pernah ada yang mau mengerti tentang hal ini. Sekalipun banyak pemuda yang membuatku tertarik, aku tetap tak bisa melupakan Daichi. Dia terlalu spesial bagiku. Mungkin aku terlalu mencintainya

'jangan menangis...Aishiteru Keiko chan,' hembusan angin itu membuat lamunanku buyar, suara yang dibawanya itu aku yakin suara Daichi yang tak ingin aku bersedih mengingatnya. Bukankah aku sudah berjanji untuk tidak menangis saat dia pergi.

Kemudian aku tersenyum, angin membelai wajahku dengan lembut. "Aishiteru mo Daichi kun," bisikku.

Saat tiba dirumah dan memarkir sepedaku didepan, aku ingin langsung masuk kedalam rumah. Tapi ternyata dikunci, mungkin Ibu sedang ada di kafenya. Untung saja aku selalu membawa kunci cadangan, setelah sebelumnya mengganti sepatuku dengan sendal aku masuk kedalam rumah.

Tujuan pertamaku adalah kulkas, ya aku sangat haus mungkin sekaleng cola bisa menghilangkan dahagaku. Tapi saat ingin membukanya ada note kecil dari Ibu.

'Keiko chan, Okaasan pergi kerumah Bibi Hana di Kyoto bersama Tousan dan Kai. Mungkin kami akan pulang minggu depan, kau jaga kafe ya...hehehe... dari Ibu.'

"Huaaaaah...." aku menghela nafas dalam-dalam. Jadi mereka pergi ya, dan tidak mengajakku? Baik hari ini aku benar-benar sial! Semakin sial kalau isi kulkas ini juga kosong, Ibu tidak mungkin sekejam itu. Lantas aku membukanya.

"Apaaaa??!" kurasa Ibu tak sesayang itu denganku ya, aku jadi ingin menangis lagi melihat isi kulkas yang kosong. Kemudian aku membaca note Ibu lagi, ada lanjutannya ternyata.

'Oh iya, Ibu lupa berbelanja. Kau makan ramen instan saja ya, atau belanja sekali-kali kepasar,"

Okeee... sempurna! Sangat sempurna! Bangun kesiangan, bersepeda seperti orang gila, menabrak orang, kemudian menangis mengingat Daichi dan sekarang harus tinggal sendiri tanpa makanan??!

Baiklah lebih baik aku kekamar dan menonton Anime kesukaanku, siapa tau semua kesialan ini hilang!

* * *

Aku bosan... hanya menatap langit-langit kamarku yang putih. Kedua Anime juga sudah kutonton sejak siang, Momoko juga tidak membalas Emailku. Sekarang sudah jam 20.05 sebaiknya aku tidur saja daripada tidak punya kerjaan.

"Huuuufffhh.." aku menghela nafas memejamkan mataku dan menghembuskannya. Kemudian meraih ponselku, membuka akun 755-ku, membuka ameblo, G+. Menyebalkan semua teman-temanku memposting foto bersama pacarnya, kadang itu membuatku iri, tapi saat ini aku belum bisa melupakan Daichi. Lagipula sepertinya pria jepang sudah tidak ada yang tertarik padaku.

Aku membuka mataku lebar-lebar. "Kalau pria jepang tidak tertarik padaku, kenapa tidak coba berkenalan dengan pria dari negara lain?" iya aku akan coba. Mereka, pria luar negeri suka sekali memakai facebook, aku masih punya kalau tidak salah akun facebook.

Kemudian aku mendownload aplikasi Facebook diponselku, aku tidak terlalu menyukainya. Karena selain bahasanya yang memakai bahasa inggris dan membuatku pusing, aplikasi itu juga tidak terlalu populer dijepang. Kami lebih suka memakai jejaring sosial buatan negara kami sendiri.

Setelah aku berhasil log in di jejaring sosial berlogo F besar itu ternyata banyak sekali pemberitahuan, permintaan pertemanan yang mencapai 4.900. waaaahh... aku percaya wanita jepang itu sangat diminati pria luar negeri.

Aku iseng saja membuka daftar permintaan teman itu, beruntung sekali bukan pria yang terakhir menambahkan aku sebagai temannya? Karna kalau dia terlambat, bisa saja dia tidak bisa menambahkanku. Karena jumlah temanku hanya 100.

Lalu sebelum aku menerima requestnya terlebih dahulu aku harus memeriksanya berasal darimana.

INDONESIA??

"Ummm Indonesia ya," gumamku agak bingung. Ilmu geografiku buruk, kalau tidak salah Indonesia itu tempat JKT48 berada. Sister group dari AKB48, SKE48, HKT48, NMB48 yang ada dijepang? Lalu pulau Bali. Dan yang paling aku ingat, di Indonesia setiap buang air harus mencucinya dengan tangan, memangnya tidak ada Tissu ya. Eeuuu... itu terdengar sedikit aneh.

Tapi kurasa tidak akan jadi masalah. Baiklah aku tidak boleh memilih-milih teman, lagipula profilku tidak lengkap, tidak akan berbahaya untukku. Langsung saja aku terima. Tidak banyak, hanya 20 orang. Dan lagi-lagi orang Indonesia yang bernama Fahmi ini yang beruntung, saat aku membuka pesan, dia yang mengirimiku untuk yang terakhir. Dia mengajakku berkenalan menggunakan bahasa jepang? Iyaaa... aku tersenyum, kudengar orang Indonesia itu cepat sekali belajar.

Aku melihat foto profilenya, kemudian memiringkan bibirku sedikit mencibirnya. Wajahnya.... model rambutnya sangat tidak keren, sepertinya dia tipe pria yang kurang mengikuti tren, ditambah lagi dia memakai kacamata tebal. Nerd, kutu buku. Sama sekali tidak menarik.

Aku mendegus pelan dan ingin langsung mengabaikannya, tapi saat aku kembali menatap wajahnya aku melihat ada hal yang menarik. Senyumannya itu.... "Oh tidak!" aku membuka mulutku lebar-lebar, kenapa pemuda itu bisa tersenyum seperti itu? Aku seperti melihat sosok Daichi dalam senyumannya. Kenapa dadaku berdebar-debar? Daichi... kenapa ada sosok Daichi di orang ini??

Atensiku berpindah pada vas bunga didepanku, kenapa ada orang lain yang mempunyai senyuman seperti Daichi. Kemudian aku ingat sesuatu, Kamisama tidak sejahat itu padaku, mungkin semua ini sudah diaturnya, bisa saja jodohku tidak berada di Jepang, tapi di luar sana. Aku tersenyum dan mengklik tulisan Replay, Fahmi... aku coba kenalan saja. Kemudian aku ketikkan sesuatu dikolom balasannya, "Hai' Fujiwara Keiko desu, yoroshiku ne!" balasku seramah mungkin.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top