03. Chapter 03 🎬
"Irene!" Airin baru bisa mengucap nama itu setelah beberapa saat sebelum tangisnya pecah. Polisi dan tenaga medis yang tengah bertugas memperhatikan Airin yang histeris. Mata mereka menatap wanita yang sudah terduduk lemas di depan mayat yang tergeletak. Sepersekian detik Wanita itu tampak seperti orang kesurupan di depan jasad adiknya.
"Irene!" teriaknya lagi. Semua orang yang berkumpul kini beralih memperhatikan korban bunuh diri, termasuk Dewa yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Dia menoleh ke arah kerumunan, saking keponya dia lantas mendekat.
"Airin?" tanya Dewa terkejut. Ia segera berlari melewati kerumunan orang yang tidak terlalu padat itu.
"Airin!" Dewa segera menarik lengan Airin yang masih terduduk lemas. "Kamu kenapa?" Dewa terlihat khawatir. Dia panik melihat partner kerjanya hari itu. Sekilas Dewa menoleh ke atas sekelilingnya. Namun, tak ada satupun yang dia kenal. "Ayo! Bukan begini caranya dapat berita!" pekik Dewa lirih.
Airin menepis tangan Dewa dengan kuat. Ia masih tak percaya apa yang dilihatnya. Pandangannya masih pada sosok gadis yang sudah pucat pasi. Tiba-tiba ponsel Dewa berdering. Ia mengambil barang berwarna hitam itu dari saku seragamnya. Melihat nama Pak Dores yang merupakan ketua tim bagian penyiaran, tengah menghubunginya.
"Aish," umpatnya segera menjauh. Ia menjawab panggilan itu segera.
"Dewa! Kenapa belum disiarkan juga?" Suara Dores seperti tengah naik pitam. "Mau diurutan nomor berapa kita? Cepat! Apa belum juga siap?" Nada suara Dores terbilang tinggi. Dewa kembali melirik ke arah Airin. Perempuan itu masih sibuk di depan mayat yang akan diliputnya. Dewa kembali mendekat ke arah Airin.
"Ayo! Pak Dores sudah marah," bisik Dewa.
"Wa, Wa, dia ... "Ucapan Airin terbata. Dia terus terisak.
"Apa?" tanya Dewa mendesak.
"Adik aku," ujar Airin lemas. Dewa membulatkan matanya. Dia segera menoleh ke arah jasad di depannya. Ia meneliti inchi demi inchi wajah gadis malang itu.
"I ... Ire ... Irene?" tanya Dewa terbata. Langsung tubuhnya bergetar. Saking terkejutnya dia sampai lemas.
"Apa yang terjadi?" Dewa benar-benar terkejut. Dia mengenal Irene karena beberapa kali mereka pernah bertemu, dan lagi Irene sering sekali diceritakan oleh Airin.
Dewa menjauh. Dia membiarkan Airin di sana. Ia membuka ponsel dan menghubungi atasannya.
"Apa lagi?" tanya Dores kesal
"Pak, kita dalam masalah." Dewa panik.
"Apa? Hah!" Suara Dores semakin meninggi. "Masalah apa?"
"Apa ada reporter pengganti?" Sepertinya Dewa kini mengerti. Orang di depan Airin adalah kerabatnya. "Airin tidak bisa saat ini," ucapnya datar. "Cari pengganti dia," ujar Dewa.
"Apa? Katakan pada dia, apa dia mau dipecat!" seru Dores kesal. "Cepat, siarkan sekarang juga! Saya tidak mau kita kalah rating dari stasiun sebelah!" Dores terdengar sangat kesal.
"Tapi, Pak ..." Dewa berusaha menjelaskan. Namun, dia sangat tahu jelas watak Dores seperti apa. Dari pada dia terkena masalah, lebih baik dia mengontrol lapangan malam itu juga.
"Baiklah," ujar Dewa mengalah. Dia menyesal memiliki atasan yang begitu kejam. Sepertinya Dores puas dengan jawaban Dewa. Dia segera memutuskan panggilan telepon sepihak.
Dewa kembali berjalan ke arah kerumunan. Dia terlalu terkejut melihat itu. Bagaimana bisa dia tak mengenali gadis itu.
"Airin, ayo!" ujar Dewa pelan.
"Apa Anda mengenalnya?" Seorang petugas polisi menanyakan hal itu kepada Airin. Sedari tadi Airin sudah menghalangi jalannya olah tempat kejadian perkara. Polisi bingung atas sikap Airin yang terus berteriak.
"Iya, dia Adikku," jawab Airin lemas. Dewa ikut terlihat lemas. Dia mematung mendengar jawaban Airin. Iba, itu yang dirasakannya sekarang.
"Heh. Adik Anda?" Polisi itu tak percaya. "Apa Anda yakin?" Polisi meyakinkan.
Airin mengangguk lemas, hingga akhirnya dia tak sadarkan diri. Segera dilarikannya dia ke klinik sekolah. Kebetulan di sana masih ada dokter yang bertugas. Dewa segera kembali mengambil ponselnya, dia menghubungi kembali Dores.
"Halo, Pak!" Suara Dewa terdengar cemas. "Sepertinya, kita tidak menyiarkan secara langsung sekarang." Panik, hal itu yang dirasakan Dewa hari ini. Dia tak tega melihat Airin terbaring lemas sekarang.
"Apa lagi? Ada masalah apa?" Dores yang tengah sibuk di depan layar televisi berukuran besar di ruangannya terlihat sangat kesal. "Di mana Airin? Saya mau bicara," ujarnya tegas.
"Korban bunuh diri adalah adiknya. Tidak mungkin dia akan menyiarkan berita ini, Pak." Suara Dewa sangat putus asa."Airin pingsan," jelas Dewa.
"Apa?" Dores juga tampak terkejut.
"Kita harus menggunakan reporter lain, setidaknya kita masih bisa menyiarkan secara langsung saat korban masih di sini." Dewa memberi saran.
"Yang lain tidak bisa! Semuanya sudah memiliki tugas di luar! Katakan pada Airin, tahan!" ujar Dores tegas.
"Pak! Tapi ..." Dewa tak menyetujuinya. Dia sangat tahu watak keras Dores. Laki-laki paruh baya itu tak mungkin bisa mengalahkan stafnya.
"Apa dia mau dipecat?" tanya Dores kesal. "Saya nggak mau tahu, siarkan sekarang juga!" Telepon terputus. Dewa harus menelan ludahnya yang pahit. Ia kembali masuk ke ruangan klinik sekolah. Mendapati Airin masih terbaring lemas.
Tak mungkin bagi dia memaksa Airin untuk tetap bekerja hari itu. Perempuan itu masih belum juga sadar. Seorang dokter tengah berusaha menyadarkannya.
"Dok, tolong jaga dia. Aku harus ke TKP," ucap Dewa sopan. Dokter itu mengangguk sebagai jawabannya.
Dewa kembali ke tempat kejadian perkara. Dia sudah melihat banyak stasiun televisi lain sudah menyiarkan berita tentang bunuh diri itu.
Lantas dia menghampiri rekannya. Menyeret jalannya tak berdaya. Dia lemas dan juga ingin sekali pergi dari tempat ini.
"Ger, bisa bantu aku?" Laki-laki yang tengah membenarkan letak kabel-kabel pada monitor menghentikan tugasnya.
"Apa?" Gery bingung. Dia mengerutkan kening. "Apa kita batalkan saja?" Gery mengerti kondisi saat ini.
Dewa menggelengkan kepala. "Aku yang akan menyiarkan langsung. Kamu yang rekam semuanya."
"Gila! Enggak, lah. Minta bos buat cari pengganti!" Gery tak setuju. Dewa menggelengkan kepala pasrah. Tubuhnya ikut lemas. Padahal di tempat itu sangat ramai oleh petugas polisi dan wartawan dari perusahaan lain.
"Konyol banget," ujar Dewa lirih. Gery mengembuskan napas pasrah.
Keduanya tampak terdiam. Hingga akhirnya Dewa memutuskan untuk meliputnya sendiri.
"Cepat! Kita harus bersiap," ujar Dewa mempersiapkan diri. Gery mau tak mau setuju dengan perintah Dewa.
Pria itu bersiap di depan kamera. Mencari tepat yang pas agar semuanya terekam dengan jelas.
Berita disiarkan, semuanya sudah terekam. Begitu juga Dewa yang sangat fasih dalam membawakan berita. Dari mulai mewawancarai pihak kepolisian, sampai dengan jelas menyorot mayat Irene.
Jasad Irene dibawa ke rumah sakit. Airin terus mengikuti. Pihak kepolisian pun tak repot untuk menghubungi keluarga pasien karena kehadiran Airin. Dia menghubungi ibunya segera. Malam itu benar-benar membuat dunia Airin hancur. Dia terus menangis, badannya lemas.
Polis meminta jasad Irene untuk di otopsi. Airin hanya terdiam. Masih memandang tubuh yang sudah ditutupi dengan kain hingga wajahnya. Setelah beberapa saat mematung. Dia akhirnya mengiyakan permintaan polisi.
Sesampainya di rumah sakit. Airin hanya terdiam. Terduduk lemas di bangku. Dia sama sekali tak menyangka adiknya pergi begitu cepat. Tangisnya kembali pecah ketika ibunya datang dan histeris. Kedua wanita itu saling memeluk dan menguatkan.
______
Acara fanmeeting yang diselenggarakan oleh perusahaan hiburan Brian, sembilan puluh delapan persen sudah siap. Aktor yang tengah dirias di ruang tunggu artis seakan tak mempunyai rasa lelah, setelah serentetan jadwal memenuhi harinya.
"Brian, sudah siap?" Seorang laki-laki dengan lembaran kertas di tangannya masuk tanpa mengetuk pintu. Dia adalah Dodi yang merupakan produser acara hari itu.
Brian hanya melirik. Ia tak ingin riasannya rusak karena bergerak.
"Sebentar lagi," jawab orang yang tengah memoleskan sedikit pelembab bibir pada aktor itu.
"Dengar, acara ini dibuat untuk promosi film baru kamu. Hanya ada dua ratus orang yang beruntung. Jadi, selama itu kamu akan menandatangani dan melakukan kontak langsung dengan para penggemarmu, mengerti?" Dodi menjelaskan. Brian memutar kursinya setelah selesai pada sesi make up. Kini gerakannya lebih leluasa. Brian hanya mengembuskan napas. Ia menarik jas yang masih tergantung, dan memakainya.
Ia mengambil bahan script yang masih berada di tangan Dodi. Membaca satu persatu susunan acara yang sudah dibuat.
"Apa aku juga harus bernyanyi?" protes Brian. Dodi mengangguk.
"Itu satu-satunya cara biar penggemarmu terkesan," ujar Dodi pasti.
Laki-laki tampan itu hanya menghela napas. "Apa hubungannya karir aktingku dengan bernyanyi," ujarnya ketus.
Dodi melirik jam tangannya. "Oke, sepuluh menit lagi, persiapkan dirimu." Dodi menepuk bahu Brian dan keluar dari ruangan itu.
Laki-laki berdagu tirus itu menghela napas. Dia berdiri dan merapikan kemeja putih yang sudah dikenakannya. Melihat ke arah cermin dan menatap dirinya lekat.
"Sudah sempurna, Anda bisa langsung menemui penggemar di luar," ujar wanita yang telah menyelesaikan tugas meriasnya. Brian mengangguk, dia kembali menghela napas.
Baru akan melangkah, managernya masuk dan menghentikan langkahnya.
"Sudah siap?" tanya Laki-laki berbaju hitam. Brian mengangguk.
"Oke, persiapan sudah seratus persen. Smile!" perintah Dava sembari tersenyum.
"Kak, ini hanya berlangsung selama dua jam, kan?" tanya Brian. Seperti tak bersemangat dia melakukan pekerjaan ini.
"Tentu, jangan khawatir. Aku berada di samping panggung, mengerti?" Seperti Dava memberikan keamanan. Brian mengangguk.
Area panggung sudah dipenuhi oleh penggemar, dua ratus kursi juga sudah penuh ditempati oleh mereka. Bahkan ada penggemar yang rela berdiri di barisan paling belakang di balik garis yang sudah dibuat. Mereka hanya ingin melihat Brian, mengambil foto laki-laki itu dari jarak lumayan jauh. Ada juga barisan para wartawan yang akan meliput acara itu.
Brian menaiki panggung yang hanya setinggi setengah meter dari permukaan. Dia menebar senyum indahnya dan melambaikan tangan. Sorak tepuk tangan dan jeritan kagum dilontarkan untuk memuji ketampanannya hari itu.
"Halo! Kita bertemu lagi di sini." Brian membuka percakapan dengan para penggemarnya. "Maaf, karena hanya dua ratus orang diantara kalian yang beruntung yang bisa naik ke sini. Tapi, jangan khawatir, aku akan membuat acara fanmeeting lebih besar dari ini, sehingga kalian bisa bertemu langsung denganku." Suara Brian betul-betul meyakinkan. Membuat para penggemarnya berteriak histeris. Hanya ada Sepasang mata menatapnya sinis, dialah Airin.
"Pembohong! Sombong! Arogan!" gumamnya kesal. Ken yang masih bersiap dengan kamera di tangannya hanya menyenggol lengan Airin.
"Oke, pertama! Aku mau tanya sama kalian. Apa kalian akan terus mencintaiku?" tanya Brian.
"Ya," jawab semua penggemar yang hadir di sana. Brian tersenyum.
"Terima kasih, aku juga akan terus mencintai kalian." Brian tersenyum lebar kali ini.
Brian menyanyikan sebuah lagu milik Rizky Fabian dengan judul Kesempurnaan Cinta. Dia sangat menghayati lagu itu, membuat para penggemarnya berteriak histeris.
Acara inti dimulai, di mana Brian harus berinteraksi langsung dengan satu per satu penggemarnya. Dia melakukan highfive dan berbincang sedikit dengan penggemarnya. Laki-laki itu menggoreskan tanda tangan dan tanda hati pada buku yang sudah disediakan di sana. Berakhir dengan sempurna, tak ada hambatan apapun saat acara berlangsung. Brian pamit tepat setelah dua jam. Walaupun jelas, di wajah penggemarnya kecewa karena sangat sebentar bertemu dengan idolanya itu. Brian meninggalkan panggung. Pewara yang bertugas hari itu mengucapkan terima kasih, dan mengatakan bahwa para wartawan boleh ke ruangan yang sudah disediakan untuk melakukan sesi wawancara.
Brian menyapa semua wartawan yang sudah hadir. Dia tersenyum manis.
"Karena tadi sebagian besar sudah saya jelaskan di panggung mengenai film yang akan saya bintangi. Jadi, mungkin nggak perlu banyak pertanyaan, kan?" Brian mengungkapkan dengan nada candaan. Membuat para wartawan dan kameramen yang hadir tersenyum.
"Sombongnya!" umpat Airin.
"Diam!" perintah Ken sedikit berbisik.
Setelah sesi wawancara, Brian meninggalkan tempatnya. Dia melambaikan tangan sembari tersenyum sangat manis di depan kamera dan para wartawan.
Laki-laki itu menghela napas lega saat sampai di ruang tunggu artis. Dia merebahkan tubuhnya pada sofa yang tersedia di sana.
"Terima kasih atas kerja kerasnya hari ini," ujar Dava dan duduk di samping Brian. Aktor terkenal itu tak menjawab. Ia hanya memejamkan matanya. Tangan kanannya meraba saku celana, entah apa yang dicarinya.
"Ah," ujar Brian. Dia membuka matanya segera. "Sepertinya aku melupakan sesuatu," ujarnya.
"Apa?" Dava terkejut.
"Ponselku," jawabnya.
"Ceroboh banget! Di mana?" Dava khawatir.
Brian menggelengkan kepala, ia pun pergi tanpa pamit.
"Biar aku yang cari," ujar Dava. Namun, Brian sudah menghilang dari balik pintu.
Brian kembali ke tempat di mana para wartawan mewawancarainya. Dia yakin tempat itu sudah kosong dan belum dibersihkan. Menghela napas lega ketika netranya melihat barang berwarna hitam miliknya tepat di samping kursi yang tadi digunakannya untuk duduk. Ia berjalan untuk mengambil ponselnya, namun kakinya terhenti ketika menginjak sesuatu.
"Oh," ujarnya. Sebuah Id Card ia temukan. Dia pun mengambilnya.
"Secret?" Brian melihat nama perusahaannya. Namun, ketika dia melihat siapa pemilik Id Card itu matanya terperanjat. "Airin Arunika?" tanyanya Tek percaya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top