Jakarta, 01 Januari 2018.
Satu hari sebelum hari kematian.
Dering telepon terus berbunyi. Menambah bising ruangan yang berisi barisan meja-meja dengan pegawai yang sudah menempati tempat duduknya. Lagi-lagi telepon itu berdering, padahal sang empunya meja tak berada di sana. Seorang laki-laki dengan berat hati menyeret kursi yang didudukinya dan menjawab panggilan itu.
"Selamat siang, ini kantor redaksi Daily News. Ada yang bisa dibantu?" jawabnya ramah.
"Maaf, bukankah ini meja Airin?" Si penelepon menanyakan pemiliknya.
"Ah, benar." Dia celingukan mencari sosok Airin, mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan besar itu. Namun, sama sekali tak menemukan targetnya. "Tapi, Airin tidak ada di mejanya. Ada yang bisa dibantu?" tanyanya ramah.
"Oke, tolong katakan bahwa Ken menghubunginya." Suara laki-laki di seberang tampak jelas.
"Oke, ada yang lain?"
"Tidak," jawab Ken lagi. Setelah mendapat jawaban, dia mengakhiri panggilannya.
Airin muncul dengan sebuah cangkir di tangannya. Laki-laki yang baru saja menerima telepon menghentikan aktivitasnya menyeret kembali kursinya.
"Rin, tadi Ken telepon," ucapnya menyampaikan amanat.
Airin mengangguk. "Thanks you," jawab Airin, lalu menyeruput minuman dalam cangkir yang mungkin masih panas. Dia duduk pada bangkunya. Meraih ponsel yang tergeletak manis di atas laptop yang sudah tertutup. Benar, banyak sekali panggilan tak terjawab dari Ken, bahkan laki-laki itu juga mengiriminya pesan. Airin segera melihat sekilas telepon meja kantornya. Dia menghela napas sebelum akhirnya kembali fokus pada ponselnya.
-Ada yang aneh dari Irene- Pesan itu yang dikirim oleh Ken untuk Airin.
"Irene?" Airin mengerutkan kening. Apa yang aneh dari sikap adiknya itu. Dia mengingat kejadian tadi pagi biasa saja. Hanya sarapan bersama dan setelah itu berangkat untuk aktivitas masing-masing.
Wanita itu segera menghubungi nomor Ken. Tak lama panggilan dijawab.
"Ken, ada apa?" Airin penasaran.
"Rin, apa Irene baik-baik aja?" tanya Ken. Suaranya terdengar panik.
"Tentu, dia makan dengan lahap tadi pagi. Kenapa?" Airin penasaran. Tak biasanya Ken menanyakan kabar Irene hari itu.
"Tapi, aku melihat dia menangis tadi. Kebetulan aku lagi liput berita di sekolah dia. Tapi, aneh. Dia menangis sendirian di gudang belakang. Apa kasus bullying?" Ken terus menduga-duga.
"Bullying? Enggak mungkin, dia itu cewek paling kuat di dunia. Lihat saja, kalo ngomong udah kayak sound sistem orang hajatan. Kenceng!" Airin mengembangkan senyumannya.
"Benar, tapi kenapa dia menangis?" Ken merasa penasaran. Dia juga cukup mengenal Irene yang merupakan adik dari Airin. "Oke, aku tutup, nanti kamu tanya saja sama dia, ngerti?" Ken bersiap pada kamera yang dibawanya lagi.
"Iya," jawab Airin singkat.
Langit sudah berubah warna menjadi abu-abu. Itu artinya sebentar lagi hujan turun. Terlebih angin dan gemuruh sudah mulai menyapa semesta. Airin menghela napas. Lega karena hari ini bisa pulang tanpa menikmati hujan. Pekerjaannya sudah selesai sejak tadi pukul empat. Wanita berbusana warna biru tua itu sudah berjalan menuju halte di mana letaknya sekitar dua ratus meter dari gerbang perusahaannya bekerja.
Bus yang akan mengantarnya menuju tempat tujuan, tak lama datang setelah dia baru saja sampai di halte. Sepertinya hari ini sedang beruntung, pikirnya. Airin tersenyum, tanpa basa-basi naik dan mencari tempat duduk.
Kesehariannya memang menggunakan bus sebagai akomodasi dari rumah ke kantor. Dia enggan kalau harus menggunakan sepeda motor dalam jarak tempuh yang lumayan jauh. Jalanan terlihat ramai lancar. Mungkin para pengendara ingin cepat sampai di rumah sebelum hujan turun.
Airin sampai di halte dekat daerah perumahannya. Dia tersenyum lega. Wanita itu lantas berjalan menuju rumah orang tuanya. Hanya memakan waktu kurang dari sepuluh menit, dia sudah sampai di pelataran rumah bernuansa putih. Seperti biasa di halaman depan selalu disambut oleh bunga Bougenville yang tengah mekar. Bunga yang sudah berserakan karena terbawa angin. Memasuki rumah berukuran cukup luas, tanpa mengetuk pintu. Dia sangat yakin ibunya kini tengah duduk menonton siaran berita di televisi. Sejak anak sulungnya itu menjadi reporter di stasiun televisi, wanita paruh baya itu sering menghabiskan waktu menonton berita tanah air hanya untuk melihat putrinya membawakan berita.
"Aku pulang," ujar Airin sedikit berteriak. Benar, seorang wanita berusia empat puluh delapan tahun tengah duduk di depan televisi, dia menyambut kedatangan anaknya dengan senyum.
"Tumben pulang cepet," ujarnya lembut.
Airin mengangguk dan tersenyum. "Irene mana?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Di kamar, sejak tadi pulang sekolah belum keluar lagi. Mungkin lagi tidur," ucap Hilda.
"Ah," ujar Airin mengangguk. "Aku mandi dulu," ucapnya, berjalan menuju kamarnya.
Alih-alih membersihkan diri, Airin malah menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia menghela napas, dan menatap langit-langit kamarnya. Bibirnya mengulas senyum manis untuk menghilangkan lelahnya.
"Ah, coba setiap hari pulang cepet kayak gini," ucapnya. Tangannya direntangkan agar otot-otot dalam tubuhnya mengendur.
Suasana makan malam kali ini sedikit berbeda. Walaupun tetap hanya berisikan tiga wanita cantik yang mengisi meja makan minimalis itu. Ayah dari Airin sudah lama meninggal karena serangan jantung. Ibunya kini hanya bergantung dengan putri sulungnya itu.
"Irene, kamu enggak apa-apa, 'kan?" tanya Airin tiba-tiba. Gadis berambut panjang yang hari itu dikuncir kuda menoleh sebelum benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Kenapa?" tanyanya ragu.
"Enggak," jawab Airin singkat. "Lain kali jangan menangisi ..." Ucapan Airin terhenti. Dia melirik sekilas ke arah Hilda. Sepertinya ibunya tak mengindahkan ucapannya baru saja.
"Kak, kenapa Kakak enggak liput berita di sekolahku tadi siang?" sela Irene.
"Menangis?" Hilda menimpali. Ternyata dia mencerna ucapan Airin. Dia merasa kedua putrinya menyembunyikan rahasia.
"Enggak, aku enggak nangis. Kakak ngaco," ujar Irene beralasan.
"Ah, berita itu? Bunuh diri?" Airin mengingat.
"Bunuh diri? Siapa?" tanya Hilda penasaran.
Irene mengangguk. "Padahal dia cewek paling cantik di sekolah, kaya, dan juga pendiam." Irene mengenang. "Tapi, tiba-tiba meninggal dalam keadaan bunuh diri." Penjelasan itu cukup menarik perhatian Hilda dan Airin.
"Orang pendiam itu bisa jadi lebih berbahaya. Mereka tidak bisa mengekspresikan emosi mereka, menyimpan masalahnya sendiri, bagi mereka untuk berbagi cerita adalah sebuah beban untuk orang lain." Airin berpendapat.
Hilda mengangguk setuju. Sepersekian detik netranya menyerbu ke arah si bungsu. "Kamu harus bercerita sama Mama dan Kakak, apapun itu." Hilda menatap nanar putrinya. Irene hanya mengangguk pelan.
"Tapi, kenapa dia harus bunuh diri?" tanya Hilda masih penuh dengan rasa penasaran.
"Enggak tahu, polisi lagi proses penyelidikan."
Airin mengangguk mengerti, seolah dia tahu situasi yang terjadi. "Kakak harus menyelesaikan dokumen penting untuk pengajuan promosi Kakak, jadi kemarin Kakak enggak tugas di luar." Wanita cantik itu menjawab pertanyaan Irene sebelumnya. Gadis itu mengangguk, disambut juga dengan anggukan kepala dari Hilda.
"Kak, apa di kantor Kakak tidak meliput berita selebritis?"
Mendengar pertanyaan adiknya, Airin hanya mengerutkan kening.
"Apa? Selebriti?" Airin menggeleng. "Hanya selebriti yang sedang bermasalah dengan hukum dan menyita banyak perhatian publik," jawab Airin.
Setelah melakukan makan malam, Airin seperti biasa memanjakan matanya di depan televisi, menonton acara paling digemarinya. Dia bisa tertawa terbahak-bahak sembari memakan cemilan yang diambilnya dari kulkas.
Tiba-tiba netranya melihat Irene keluar dari kamarnya. Ia lantas melirik jam dinding, tepat pukul delapan malam. Wanita itu mengerutkan keningnya bingung.
"Mau ke mana?" tanya Airin penasaran.
"Mau jalan-jalan, nyari udara segar." Irene menjawabnya dengan datar.
"Jalan-jalan? Di jam segini?" Airin tak percaya. "Kakak temenin," ujar Airin bangkit dari duduknya.
"Enggak perlu, aku cuma pengen ke minimarket." Irene menolaknya dengan segera. Airin pasrah, dia mengembuskan napas dan kembali duduk.
"Oke."
Irene berjalan menelusuri jalanan yang malam itu sudah sepi. Namun, ada yang aneh dari cara dia berjalan. Langkah yang terlalu cepat, wajahnya juga terlihat gelisah. Berkali-kali dia menoleh ke sekitarnya. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti. Netra indahnya melihat sosok yang sangat ingin dia temui, seketika air matanya terjatuh saat melihat orang itu menggandeng seorang wanita berpakaian seksi ke dalam mobilnya.
"Ini enggak benar, 'kan?" ujarnya lirih. Dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Matanya melihat mobil di depannya melesat dengan cepat. Hancur, itu yang dirasakan oleh Irene.
[[]]
Airin mengangkat malas panggilan dari produser di kantornya. Wanita itu sangat yakin jika ada siaran mendadak.
"Halo," jawabnya datar.
"Rin, rumah kamu dekat dengan SMA Harapan, 'kan?" tanya seorang laki-laki tanpa basa-basi.
Airin mengerutkan keningnya. Ia mengangguk walaupun si penelepon tidak melihatnya, SMA harapan adalah sekolah di mana Irene menimba ilmu.
"Iya, kenapa?" tanyanya penasaran.
"Tepat, di sana ada yang bunuh diri. Tim sudah menuju TKP, kamu bertugas malam ini, mengerti?" perintahnya segera.
"Bunuh diri? Bukankah kasus itu memang sedang diselidiki?"
"Tidak, ini baru, dan secepat mungkin kita harus menyiarkannya, cepat menuju lokasi sekarang."
Airin hanya menghela napas. "Baik," jawabnya tak bersemangat.
Setelah mengakhiri pembicaraannya di telepon, wanita itu segera beranjak. Mengambil baju seragam yang masih tergantung di belakang pintu kamarnya.
"Kenapa anak jaman sekarang, menghadapi masalah dengan bunuh diri?" gerutunya kesal. Ia bergegas keluar dan mengambil sepatu dari lemari bagian atas. Sebelum ia benar-benar keluar rumah, ia menoleh ke arah pintu kamar ibu dan adiknya. Percuma saja meminta izin, karena pasti mereka sudah terlelap, pikirnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Sebelum lima belas menit, Airin sudah sampai pada gerbang sekolah. Benar, di sana ada dua mobil polisi, beberapa mobil milik penyiar televisi juga sudah nampak di sana. Airin mencari di mana tempat kejadian perkara. Baru akan memasuki halaman belakang, seorang pria memanggil namanya.
"Airin!" panggil laki-laki itu. Airin menoleh dan mendapati rekannya dengan perangkat untuk penyiaran.
"Ayo!" Mereka berdua sedikit berlari menuju tempat itu.
Sepasang mata Airin melihat kerlip lampu mobil ambulan. Benar, TKP sudah dipenuhi oleh banyak orang. Laki-laki yang bersama Airin mencari tempat untuk melakukan siaran langsung.
"Kak Dewa, aku cari informasi dulu," ujar Airin. Dewa yang tengah sibuk menyiapkan alat perekam hanya mengangguk tanpa menoleh.
Airin menerobos kerumunan polisi yang tengah bertugas. Di sana sudah ada reporter lain yang tengah meliput. Airin mencoba menggali informasi. Namun, dia juga penasaran korban bunuh diri malam itu.
Tepat di depan mayat, Airin mematung. Tubuhnya bergetar hebat, kedua netra membulat seolah tak percaya, dan bibir miliknya tak bisa berkata apapun. Terasa kaku sekujur tubuhnya, hingga ia menjatuhkan ponsel yang ada di tangannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top