🌸8. Yang Telah Berlalu dan Sedang Terjadi🌸

"Bangun, Putera Mahkota!"

Raga benci suara berat itu, juga tak suka dipanggil dengan sebutan seperti itu. Terlebih lagi, dia benci pemilik suara itu. Hari liburnya harus diisi dengan...

"Ayo temani Kakak Ipar sprint!"

Raga tak sudi membuka kelopak matanya meskipun begitu, dia yakin kakak iparnya itu tidak akan menyerah begitu saja. Benar saja, tak lama kemudian, kakinya ditendang oleh Lintang. Raga bangun sambil meringis.

"Bisa tidak, Kakak Ipar jangan ganggu aku di saat aku libur?" tanyanya memelas. Lintang, pria bertubuh atletis itu mengedikkan bahunya.

"Bujangan tak ada istilah hari libur!"

"Vangke!!!"

"Get up! Ayo kita lari keliling komplek!"

"Aku ingin sekali menghajarmu, Bang!"

Lintang yang sedang bersandar pada tepi pintu kamar, kini melipat tangannya dan menatap adik iparnya dengan serius.

"Ah, aku senang sekali kalo beneran bisa latihan tinju bareng denganmu. Berhubung aku lebih tua darimu, kau dilarang memukul yang lebih tua," tukasnya.

Raga mendengkus jengkel.

"Tidak ada peraturan seperti itu dalam ring."

"Coba bilang pada Rimba. Kudengar, kau selalu mengeluarkan alasan itu jika berada di ring bersamanya."

Bantal yang dilempar oleh Raga berhasil ditepis oleh Lintang.

"Kutunggu kau di luar. Putera Mahkota wajib menerima tantangan ini," tukas Lintang sebelum meninggalkan kamar Raga meninggalkan pria itu yang menatap punggung kakak iparnya dengan kesal. Namun dia tahu, kalau lari keliling komplek tak bisa dihindarinya pagi ini. Raga bukan benci sprint, ia hanya benci mengakui kalau Lintang lebih punya stamina darinya. Hampir 75% dari keseluruhan sprint yang mereka lakukan, dimenangkan oleh Lintang. Raga kesal karena usia Lintang jauh lebih tua darinya, tapi memiliki power yang lebih bagus darinya. Dalam keluarga Theo, tak ada satu pun yang dapat mengalahkan Raga dalam hal stamina, bahkan Rimba juga tidak pernah menang melawannya.

Dua puluh menit kemudian, Raga menemui Lintang yang melakukan pemanasan dengan melakukan jumping jack di depan teras rumah. Raga yang mengenakan pakaian olah raga merk Puma berwarna putih tanpa lengan senada dengan warna celananya, menerima sorotan mata tajam dari Lintang yang hanya mengenakan kaus olah raga bertuliskan running 20K Bali. Baju itu kenang-kenangan waktu Lintang ikut lari 20K tahun lalu.

"Mau fashion show?"

"Diam! Ini namanya sprint with style!"

Lintang terbahak. Namun Raga sudah lari duluan meninggalkannya. Tampaknya ia memang sengaja melakukan kecurangan itu, agar ia bisa menang dari Lintang kali ini.

"Oiii, vangkeeeee!"

Raga tak menoleh, terus berlari tanpa menoleh. Dia tak peduli dengan ejekan Lintang tentang pakaiannya. Pakaian bagus hanya kamuflase agar ia bisa menang.

Lima belas kemudian di tempat yang sama.

"Bangsat!!! Kau curang!!!" maki Lintang. Nafasnya terengah karena pada detik-detik terakhir berusaha menyusul Raga. Raga cuek berjalan menuju teras rumah lalu rebahan di atas rerumputan yang sengaja ditanam oleh Elita Jo. Lintang memburunya lalu menendang kakinya.

"Biarin!!!" teriaknya sambil menghindari tendangan Lintang sambil tertawa bahagia. Jarang-jarang dia menang dari kakak iparnya.

"Awas kau!"

"Apa kalian baru sprint?"

Raga bangkit mendengar seruan Rimba sekaligus menghindari tendangan dari Lintang. Lintang pun menoleh ke arah Rimba.

"Aku melewatkan sprint, ya?" tanyanya pura-pura sedih, tapi Raga tahu kalau adik sepupunya ini pasti senang sekali.

"Dia kalah!" seru Raga sambil menunjuk wajah Lintang sambil tersenyum lebar. Lagi-lagi Rimba memasang wajah pura-puranya.

"Sedih mendengarnya," sahutnya pelan.

"Bajingan kalian!" maki Lintang. Raga dan Rimba tertawa bersamaan. Mereka senang mengerjai suami Kirana ini.

"Minggu depan, kita lari bersama," janjinya. Raga pura-pura tak mendengar dengan bersiul-siul lagu yang tak diketahui judulnya, sementara Rimba mencari-cari sesuatu di dalam ransel adidasnya.

"Ga, ini titipan buatmu," tukas Rimba sambil mengeluarkan undangan dari dalam ranselnya. Raga menaikkan alisnya menatap undangan warna pink yang diletakkan Rimba di atas rerumputan. Adik sepupunya itu tidak berani menyerahkan ke dalam tangannya. Raga belum sempat mengambilnya, tapi sudah disambar Lintang.

"Ehm, Rika sudah balik, ya?" tanyanya sambil membaca undangan itu. Raga mengangguk, matanya menerawang jauh ke jalanan di depan rumahnya.

"Beberapa hari lalu, aku bertemu dengannya," jawabnya. Senyum terlukis di wajah jantan milik Lintang.

"Telat, Ga?" sindirnya. Raga cuek.

"Aku dengar dari Rana, kau minta kawin."

"Bang, bisa nggak kau bilang itu dengan cara yang lebih manis?"

Rimba tertawa terbahak-bahak tapi begitu diplototi oleh Raga, ia langsung mengunci mulutnya.

"Balikan kau sama Rika?"

"Nggak!"

"Jadi kawin sama siapa? Kambing?"

"Bang!"

Lintang terkekeh. Dilemparkannya undangan yang diberikan oleh Rimba ke rerumputan.

"Rika ultah, tuh."

Raga hanya mengedikkan bahunya. Rimba bersumpah, ia akan melakukan apa saja untuk mengetahui isi kepala Raga saat ini. Ia ingin tahu, apakah hati sepupunya itu masih terisi oleh mantannya. Mantan yang sangat berkesan baginya. Satu-satunya yang pernah diajak serius, sampai mereka putus karena Rika yang terlalu nyaman dengan hidupnya, menolak untuk kembali ke tanah air.

"Ngapain kau terima undangannya?" tanya Raga dengan nada kesal pada Rimba.

"Aku mana tau, kau nggak sudi berhubungan lagi dengannya. Waktu itu, kau..."

Kalimat Rimba terhenti ketika tatapan membunuh Raga tertuju padanya.

"Buang saja!"

"Apa yang dibuang?" tanya Kirana. Raga langsung duduk melihat kedatangan kakaknya yang cerewet. Lintang memberi kode kepada istrinya tentang undangan Rika dan Kirana langsung menyambarnya karena kuatir akan direbut Raga.

Wanita berwajah cerdas itu tertawa begitu membaca undangan itu.

"Menarik! Menurutku, kau harus pergi. Ah, kau pasti pergi," tutur kakaknya. Raga menatap Kirana dengan tatapan malas.

Kirana berdehem.

"Pestanya di Rumah Makan Memori," lanjutnya. Raga langsung mengambil undangan itu dan buru-buru membukanya.

The drinks are poured
And the table is set
for a birthday party
You'll never forget!
Please join me for my 25th birthday
RM Memori
....

Raga mengangkat wajahnya menatap Rimba. Yang ditatap mundur selangkah karena rasa bersalah dan bersembunyi di belakang Kirana.

"Kau Rimba?" tuding Raga.

"Foni yang menerima, Ga. Bukan salahku. Lagipula itu bagus buat bisnisnya!" seru Rimba membela diri. Namun tetap saja ia takut pada kemarahan Raga.

"Cari mati kau!"

"Sudah!" teriak Kirana sambil menepuk bahu adiknya.

"Rimba benar! Ini bisnis yang bagus buat Foni," tambahnya.

"Siapa yang tau! Mungkin saja Rika punya alasan lain kenapa pestanya harus di Memori!" bantah Raga keras kepala. Kirana menjitak kepalanya.

"Kau terlalu menganggap tinggi dirimu! Kau pikir wanita itu masih mengharapkanmu? Ih, buat apa orang sepertimu dia ajak balikan?" sindir Kirana sambil menunjukkan wajah ingin muntah. Lintang tertawa melihat istrinya dan mendukungnya.

"Betul, tuh!"

"Bang!" protes Raga. Ia merasa selalu dipojokkan oleh Lintang.

"Ga, aku bukan tanpa pertimbangan waktu membawa Rika ke tempat Foni. Gimana pun Rika itu selebgram. Segala yang dia posting pasti dilihat oleh banyak orang. Itu bagus untuk promosi gratis. Begitulah cara media sosial bekerja sekarang," sahut Rimba untuk membenarkan tindakannya. Raga diam untuk waktu yang lama karena memikirkan kata-kata Rimba. Kirana merangkul bahunya.

"Pergilah. Lihatlah apa yang terjadi. Kadang-kadang kita butuh hal-hal di luar rencana," bisik Kirana. Raga menepis tangan kakaknya. Dia benci diperlakukan seperti anak kecil. Lalu pria itu berdiri dan berjalan ke dalam rumah.

"Mau ke mana, Ga?"

"Mandi lalu menemui calon istriku. Daripada mendengar omong kosong kalian semua!!!"

🌸Mengejar Jodoh🌸

April 2019.

"Tante Foni, ada yang bisa kubantu?" tanya Kayla ketika melihat tantenya di dapur sambil memegangi perutnya yang nyeri sejenak. Foni menunjuk ke panci.

"Bantuin Tante aduk itu!"

"Baik, Tante!"

"An, orang yang mendekorasi taman, tolong sediakan makanan untuk mereka," perintah Foni pada pegawai remaja kesayangannya sambil mengusap perutnya.

"Siip, Boss!"

"Haiii! Aku datang. Ada yang perlu bantuan?"

Ah, mendengar suaramu saja sudah membuatku bersemangat!

Bibir Foni membentuk senyuman melihat sosok bermata indah itu masuk ke dapur.

Raga Aditya Theo. Pria itu datang membawa paper bag berisi beberapa cup kopi dari Starbucks.

"Sibuk ya, Beib?" tanyanya sambil mengeluarkan cup kopi dari paper bag.

"Sudah selesai, kok. Tinggal menyusun menu dinner-nya di meja depan. Berharap tidak hujan. Tapi seandainya hujan, kita sudah mengantisipasinya dengan tenda. Masakannya tak akan kena hujan," sahut Foni.

"Dia hampir tidak bisa tidur seminggu ini," tukas Sonia, ibunya Foni yang pada saat itu masuk ke dapur bersama neneknya Foni. Ia lalu menarik sebuah kursi agar dapat diduduki ibunya.

"Benar. Foni susah tidur. Nenek pernah bangun dini hari dan mendapati dia sedang memasak apa gitu. Ternyata dia mencoba semua menu yang diminta oleh orang yang berulang tahun. Dia takut masakannya tak sesuai harapan," tambah Nenek. Raga menatap Foni, merasa bersalah seolah kesepakatan Rika adalah karena dirinya.

"Sebenarnya aku nggak suka kau begini," tukas Raga lirih. Foni tertawa dan mengibaskan tangannya.

"Ini mauku. Siapa yang menolak bisnis bagus? Lagipula ini sudah selesai. Aku besok mau libur, bolehkan Nek?" tanyanya. Nenek tersenyum dan menjawab, "Tentu. Besok libur. Kau boleh jalan-jalan sama Nak Raga."

"Nenek... Foni pengen liburan sama Nenek dan Mama ke Jepang!"

"Ah, aku ikut Tan!" seru Kayla bersemangat. Foni mendelik ke arahnya.

"Siapa bayarin tiketmu?"

"Ih, Tante...."

Foni tidak memperdulikan keponakannya. Ia membersihkan tangannya lalu mencari sesuatu dari dalam saku apronnya. Amplop berwarna cokelat itu ia berikan pada neneknya.

"Hadiah buat Nenek dan Mama."

Sonia meraih amplop itu karena penasaran. Segera dibukanya dan isinya adalah tiket pesawat dan voucher hotel Jepang. Sonia seolah tak percaya.

"Foni..."

Foni tersenyum.

"Mama dan Nenek sudah lama tidak liburan. Karena bisnis kita bagus, kenapa nggak liburan ke Jepang?"

"Tapi Nak..."

Sonia mengeluarkan tiket itu.

"Tiketnya hanya dua."

Lagi-lagi Foni tersenyum.

"Foni nggak ikut, Ma. Rumah makan biar Foni yang urus. Sayang kalo bisnis bagus nggak diurus. Visanya juga sudah Foni urus. Lusa Mama dan Nenek tinggal angkat koper."

"Foni...."

Sonia memeluk anak satu-satunya yang ia miliki.

"Oh, Foni lupa bilang. Oom dan Tante juga ikut. Karena Kak Mel yang bayar jadi dia juga pergi bersama dengan Kakak Ipar."

Sonia melepaskan pelukannya dan menatap Raga yang sedari tadi diam melihat kejadian itu.

"Tolong jaga putri Tante, ya selama Tante pergi," pintanya.

"Mama!"

Raga mengangguk.

"Iya, Ma. Raga janji."

Mama? pikir Foni dalam hati.

Ia tidak tahu kapan Raga memanggil ibunya dengan panggilan mama.

Foni melirik Raga dengan tajam. Raga pura-pura tak tahu.

"Tante Foni, itu anu yang punya pesta perlu Tante di luar katanya ada yang dia ingin bicarakan pada Tante," beritahu Satya, keponakan laki-laki Foni yang masuk ke dapur dengan terburu-buru.

"Perlu kutemani, Fon?" tanya Raga sebelum Foni meninggalkan dapur. Ia kuatir kalau Rika akan mempersulit Foni nantinya. Jika saja Foni tak mencegahnya, pastilah Rimba sudah dihajarnya karena hal ini.

Wanita yang masih mengenakan avron itu berbalik dan tersenyum pada Raga.

"Tak perlu, kok. Kau ganti baju saja sana. Kau juga tamunya," tukasnya. Raga membalas senyuman itu dan mengangguk, meskipun begitu ia lebih rela berada di dapur membantu Foni daripada berada dalam pesta itu.

🌸Mengejar Jodoh🌸

Foni mengintip suasana pesta taman itu dari jendela dapur rumah makan. Suasana pesta cukup ramai dengan tamu-tamunya yang pemilik pesta yang kebanyakan adalah orang-orang berusia sama dengan latar belakang keluarga berada, terlihat dari cara berpakaian mereka dan gaya mereka memperlakukan orang dengan agak arogan. Namun sejauh yang Foni lihat dari dapur, tidak ada insiden yang terjadi. Rimba beberapa kali menemuinya untuk menyampaikan kalau para tamu menyukai masakannya meskipun menunya adalah makanan rumahan. Sebenarnya Rimba telah mengubah pernyataan, mereka mengatakan masakan kampung tapi enak. Pria kurus itu kuatir kalau Foni tersinggung jika ia menyampaikan yang sebenarnya.

Rimba mengajak Foni keluar dari dapur dengan alasan untuk melihat bagaimana pesta itu sukses tapi wanita itu menolak karena dia bukan tamunya Rika. Wanita yang sedang berulang tahun itu dengan tegas menyatakan kepada Foni sebelum tamu pertamanya muncul, kalau ia tak mau Foni menampakkan batang hidungnya di pestanya. Kecuali ada hal yang penting. Namun Foni tak merasa perlu memberitahukan Rimba dan Raga mengenai hal ini.

Di sinilah ia berada sekarang, di dapur dan tetap berusaha memastikan kalau pestanya berlangsung dengan baik, para tamu menyukai makanannya.

Sedangkan Raga, Foni berusaha mencari sosoknya, tetapi kenyataannya agak sulit menemukan pria itu di antara kerumunan orang sementara dia hanya bisa mengintip dari jendela.

Foni menarik sebuah kursi dan duduk di depan pantry island. Di depannya tersedia kopi Asian Dolce dan roti srikaya yang dibeli Raga belum disentuhnya. Diambilnya cup berisi kopi itu dan diteguknya tanpa menggunakan sedotan. Ketika kopi itu berada di tenggorokannya, ia merasakan perutnya terasa sakit di sebelah kiri.

"Duh!"

Foni mengaduh dan menyandarkan badannya ke sandaran kursi. Beberapa hari belakangan ini, perutnya sering nyeri, seperti ada gas di dalamnya. Ia pikir besok, sebelum ibu dan neneknya berangkat, Foni akan menyempatkan diri ke dokter.

"Di sini kau rupanya!"

Foni menoleh dan melihat Raga ada di pintu masuk dari taman ke dapur. Dapur itu memang memiliki dua pintu, satu yang menuju ruang keluarga, biasanya tertutup untuk pengunjung dan pintu satunya lagi menuju taman di mana pengunjung bisa melihat keadaan dapur jika mereka tertarik melihat kegiatan Foni dan krunya.

Raga melangkah mendekati wanita itu, sedangkan Foni berusaha menenangkan degup jantungnya. Ia selalu merasa kalau pria itu berada di dekatnya maka seperti ada aliran listrik yang mengalir dalam darahnya, padahal rumahnya tidak dekat dengan trafo atau berada di bawah arus listrik tegangan tinggi.

"Kenapa kau bersembunyi di sini?" tanya Raga sambil menarik kursi lainnya dan duduk di seberang pantry island.

"Tidak suka pesta," kilah Foni. Raga mencibir.

"Bohong!"

"Kok, bohong?"

"Tidak suka pesta atau tidak nyaman berada di pesta yang ini?" cecarnya. Foni tidak enak ditanya begitu dan ditatap langsung ke matanya. Ia meraih srikaya bun lalu melahapnya untuk menutupi kegundahan hatinya.

"Kamu kenapa nggak di pesta, malah duduk di sini?"

"Malas!" jawab Raga pendek. Foni menautkan alisnya dan menatap Raga.

"Kenapa?"

"Nggak ada yang perlu dirayakan," jawabnya. Melihat bahasa tubuh Raga yang tak nyaman seperti malah membuat Foni merasa lucu. Suka atau tidak, dirinya memang memiliki hubungan khusus dengan pria ini, meskipun tidak seperti pasangan lain pada umumnya yang baru mengakui status jika ada pernyataan cinta. Namun bagi Foni, Raga sudah menjadi orang yang istimewa baginya. Sudah mengakui di khalayak ramai kalau Foni adalah calon istrinya, sudah bertemu dengan ibunya, dan sudah memanggil ibu Foni dengan sebutan Mama. Lucu sekali kalau munculnya mantan Raga bukan membuat Foni merasa tidak nyaman, justru pria itu yang sepertinya tidak suka kalau masa lalunya muncul, padahal Foni tak pernah tanya.

"Beib..."

"Ya..."

Raga meraih jemari tangan Foni dan menatapnya lurus dari seberang meja.

"Lain kali kita pergi bersama, ya," tukasnya.

Ke mana?

Pertanyaan itu tak terucapkan dari bibir Foni. Ia hanya balas menatap Raga.

"Ke Jepang."

"Aku belum pernah ke Jepang," sahut Foni pelan.

"Aku pernah tapi pasti menyenangkan pergi bersamamu," balas Raga dengan nada lembut. Pupil matanya membesar menatap wanita itu penuh cinta.

"Ya."

Raga suka cara Foni menjawab dirinya dengan kalimat pendek tapi tidak pura-pura menolak.

"Beib..."

Foni belum menjawab, Raga sudah berada di sampingnya. Tak sadar, wanita itu segera berdiri, tapi Raga menghalangi pergerakannya dengan memerangkap Foni dengan kedua tangannya. Foni terdesak di pantry island dan terhalang tubuh Raga.

"Raga!"

"Ya, Beib!"

Foni gugup, diselipkan rambutnya ke belakang telinga tapi tetap berusaha menatap pria itu.

"Ngapain dekat-dekat?"

Raga tersenyum lalu menunduk dan berbisik dengan nada provokatif, "Masa nggak boleh dekat-dekat?"

Kau dekat, aku tak aman.

Raga mengangkat tangan kanannya untuk menahan bagian belakang kepala Foni sehingga wanita itu tetap mendongak. Lutut Foni lemas dan bertanya-tanya dalam hati tentang hal yang bisa dilakukan Raga padanya. Jantungnya berdebar-debar kencang, perutnya juga sakit. Raga benar-benar menunduk dan mengecup bibirnya pelan.

"Ga..." panggil Foni serak.

"Ssttt..." bisik Raga. Bibirnya bergerak lagi mengecup bibir Foni dengan lebih pelan. Kedua tangannya kini memegangi leher Foni, jemarinya turut bergerak menyusuri pipi wanita itu. Foni bingung dengan dirinya karena di satu pihak, ia ingin memejamkan matanya menikmati ciuman dari lelaki itu, tapi di lain pihak, ia kuatir ketahuan oleh pegawai atau keluarganya sedang bermesraan di dapur.

"Say... kenapa kamu cantik sekali?"

Dia bilang apa?

Sudah! Diam saja!

Kali ini, Foni yang memulai. Dengan berjinjit, diciumnya Raga, agak kasar dan tergesa-gesa, tapi Raga membalasnya dengan panas. Ujung lidahnya menyapu bibir Foni, lalu memagut dan menggigit bagian bibirnya.

"Ehem!"

Spontan Foni mendorong Raga agar menjauh, sementara lelaki itu tampak kesal karena kegiatannya diinterupsi oleh orang yang baru masuk. Dengan kesal ia menoleh.

"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya dengan nada malas. Bahkan sebelum menoleh, ia tahu siapa yang berdiri di depan pintu.

"Sejak tadi aku meminta Rimba mencarimu, ternyata kau ada di sini," tukas Rika pelan. Sedapat mungkin ia berusaha agar suaranya tetap tenang, meskipun sangat kesal dengan keadaan seperti ini.

"Ya. Ada apa?"

"Kalau urusanmu sudah selesai, bisakah kau ke luar? Foto-foto?"

Raga menatap Foni dan wanita itu memberi kode kalau ia tak keberatan. Padahal Raga berharap agar wanita itu mencegahnya. Dengan enggan dilepaskannya tangan Foni lalu mengikuti Rika ke luar.

🌸Mengejar Jodoh🌸

Foni masih mengintip dari balik jendela. Pria yang biasanya selalu memamerkan senyum indahnya itu merasa tidak nyaman berada di pesta mantannya. Berulang kali duduk di sudut sambil menikmati minuman.

Foni menarik nafas panjang dan berusaha menebak ada alasan apa yang membuat keduanya putus. Ia yakin tak bisa mengorek apa pun dari Raga, jadi ia memutuskan jika ada orang yang bisa ditanya, orang itu adalah Rimba.

Wanita itu mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mengetik beberapa kata.

Foni : Jangan cemberut! Nanti langit pun ikut mendung.

Dari balik jendela, Foni melihat Raga mengeluarkan ponselnya lalu tersenyum begitu membaca nama yang tertera.

Raga : Pergi yuk, Say.

Foni : Ke mana?

Raga : Kencan. Kan, menunya sudah beres semua.

Foni menggigit bibirnya yang masih terasa perih bekas gigitan pria itu tadi. Ia ragu, otaknya memerintahnya untuk tinggal, tapi hatinya ingin pergi kencan dengan Raga.

🌸Mengejar Jodoh🌸

🌸Aku bingung kenapa bisa menulis part ini sampai begitu. Jangan salahkan aku.

🌸Komen dong, Beib!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top