🌸6. Salahkan Alkohol 🌸
Menurut Kirana, adiknya itu childish. Rimba setuju, begitu juga pendapat Elita Jo, ibu kandungnya Raga sendiri. Raga uring-uringan sepulangnya dari rumah makan Memori hanya karena mendengar janji pernikahan yang dilakukan oleh dua orang yang masih anak-anak saat mengatakannya.
Sekalipun Foni bilang iya, itu tidak sah! Mereka bukan nikah sungguhan.
Itu hanya perkataan anak-anak!
Kalo iya, Foni sudah pasti jadi istrinya saat ini.
Tiga orang itu, bukannya memberi dukungan padanya, malah mengomelinya. Raga makin kesal. Dihubunginya beberapa rekan kerjanya dan mengajak mereka minum di salah satu bar dekat bandara. Rimba sempat menghubunginya, tapi Raga mengabaikannya, sebab ia tahu kalau sepupunya itu hanya akan mengomelinya. Menjawab telepon sepupunya, hanya akan membuatnya makin kesal.
"Kusut mukamu, Bro! Ada masalah dengan cewekmu?" tanya Tristan. Raga melirik seniornya dengan tatapan malas. Tristan selalu jadi senior favoritnya, meskipun mereka tidak berada dalam satu departemen yang sama. Pria jangkung berhidung mancung itu baru saja memiliki seorang putra dari pernikahannya. Kisah perjalanan cintanya itu membuat heboh para karyawan di KNO. Bagi siapa pun yang mengenal Tristan, pasti tidak akan menduga kalau pria itu menikahi wanita yang lebih tua darinya dan sudah memiliki dua orang anak remaja. Namun begitulah ceritanya. Pria idola karyawan KNO dan pramugari berbagai maskapai itu mengakhiri masa lajangnya.
"Aku mau tanya...."
Raga baru saja membuka mulut tapi tiba-tiba ponselnya bergetar dari dalam saku celana jeansnya.
Ddrrtt!
Chat masuk. Raga membaca nama yang tertera. Dari Foni. Agak kesal, Raga melemparkan ponselnya ke meja tanpa membaca isinya. Ia berharap Foni segera menghubunginya jika menyadari Raga tidak membaca pesannya. Lalu pria itu melanjutkan pembicaraannya dengan Tristan. Namun Tristan sempat membaca nama yang tertera di layar ponsel sebelum layar otomatisnya padam.
"Itu tadi... uhm, waktu kau pacaran sama istrimu, Bang? Pernah nggak dia masih berhubungan dengan pria lain?"
Tristan mengedikkan bahunya.
"Masih! Mantan suaminya," sergah Tristan acuh. Raga berjengit lalu menyenggol lengan seniornya itu.
"Seriuslah, Bang! Aku ingin tau!" raungnya. Tristan tersenyum sampai mata ujung pisaunya itu berbentuk segaris.
"Sejak kapan kau punya pacar? Biasanya juga gonta-ganti!"
"Punya! Aku punya!" balas Raga. Disambarnya ponselnya yang tergeletak di meja, ia berniat menunjukkan foto Foni pada Tristan. Namun ia ingat kalau sebenarnya ia tidak punya foto Foni kecuali hasil tangkap layar dari akun instagram wanita itu.
"Mana?" gertak Tristan. Raga mengurungkan niatnya menunjukkan foto hasil tangkap layar. Memalukan baginya, mengaku pacar tapi tidak punya foto. Raga mengingat dalam hati agar lain hari ia akan mengambil foto Foni, bila perlu dari kamera profesionalnya.
Melihat Raga meletakkan ponselnya kembali ke meja, membuat Tristan tergelak.
"Nggak ada bukti, hoaks!"
"Diam!"
Tristan makin tergelak melihat kekesalan Raga. Ditegaknya birnya seteguk.
"Maaf aku nggak bisa temeni kau minum lebih lama lagi. Aku mau pulang. Kau telepon pacarmu, suruh temani," tukas Tristan.
"Bang! Kau tidak bisa dijadikan teman!"
Tristan bangkit, menyambar jaket kulitnya dan merangkul Raga sebelum meninggalkannya.
"Jangan menggenggam terlalu kuat, Raga. Cinta itu ukurannya mesti pas. Sesuai."
Seusai berkata begitu, Tristan pergi meninggalkan Raga yang bengong memikirkan kalimatnya.
Jangan menggenggam terlalu kuat.
Raga mengamati ponselnya yang belum berbunyi lagi sejak Foni mengiriminya pesan WA.
Ukurannya mesti pas.
Diambilnya ponselnya dari atas meja lalu ia berjalan ke luar. Ia tak mau ketahuan sedang minum dan dicoret dari daftar calon suami potensial untuk Foni. Begitu berada di luar ruangan, Raga menghubungi Foni. Bukan voice call tapi video call. Ia harus bertanya soal teman masa kecil Foni, kalau tidak tanya maka Raga tak bisa tidur nyenyak.
Sosok Foni memakai piyama rilakkuma muncul di layar ponselnya.
"Apaan? Video call. Aku mau tidur."
Kamar Foni yang sederhana terlihat dari ponsel Raga. Didominasi oleh wallpaper warna pink, lemarinya berwarna putih, ada meja rias mungil yang lebih banyak diisi buku daripada kosmetik. Raga mencoba mencari ada foto tergantung di dinding kamar. Mungkin ia beruntung bila menemukan foto dirinya ada di sana. Namun tidak ada. Tidak ada foto di dalam kamar itu. Setidaknya tidak juga foto pria lain.
"Masih bisa tidur? Kau nggak pernah cerita soal temenmu yang Kak Mel bilang," tukas Raga dengan bibir cemberut.
"Buat apa cerita?"
Kita tidak sedekat itu.
Eh, benarkah tidak sedekat itu?
"Aku cemburu!"
"Ngapain cemburu? Astro hanya temanku," tukas Foni cepat.
"Astro?"
Kening Raga berkerut. Berharap dia salah dengar.
"Siapa namanya? Astro?"
Raga tertawa. Setelah marah untuk waktu berjam-jam akhirnya ia bisa tertawa karena sebuah nama.
"Kukira hanya sepupuku punya nama-nama aneh. Rimba, Cosmo, sudah cukup aneh. Ini masih ada Astro."
Raga tertawa lagi.
"Kukira tadi kau lagi ngambek!"
"Siapa? Aku? Uhm tidak! Hanya merasa tidak aman. Karena kau bilang hanya teman, aku percaya," tukas Raga serius.
"Tadi juga sudah kubilang hanya teman."
"Kapan? Tadi? Kau nggak bilang apa-apa waktu kutanya, Beib!" raung Raga.
"Kau terlanjur ngambek waktu kubilang tentang Astro. Kelihatan kok, dari wajahmu, kau ngambek sampai nggak mau pamit waktu pulang."
Raga mengerutkan keningnya sambil berpikir apa benar ia lupa pamit.
"Aku tidak ngambek sampai lupa pamit. Aku cuma.... lupa," alasannya. Namun tidak meyakinkan.
Memang benar, dia tidak pamit waktu pulang dari rumah makan tadi, ia hanya pamit pada nenek dan tidak mau menatap Foni.
Cemburu. Bisa dibilang begitu. Padahal Raga juga masih belum tahu bagaimana hubungan Foni dengan teman kecilnya itu. Bisa jadi memang hanya sekedar teman saja. Hanya saja mendengar kalau Foni pernah dilamar oleh pria lain membuatnya merasa tidak aman.
"Beib..."
"Ya."
Raga tersenyum walaupun tahu Foni tak melihatnya. Ia tersenyum karena wanita itu menerima panggilan sayangnya.
"Nonton, yuk?"
"Film apa dulu?"
"Aku sih pengen film horor..."
"Tidak mau!" sergah Foni.
"Lalu, kamu mau nonton film apa, Beib?"
Foni yakin kalau Raga bicara dengan nada bicara seperti ini kepada wanita mana pun, wanita itu akan merasa seperti dia sekarang, lututnya lemas, jantungnya berdebar-debar tak karuan rasanya.
"A...ku tutup teleponnya, ya."
"Beib, film apa?"
"Bye..."
Kalau video call tak diputus maka Foni tak akan bisa bicara lagi. Namun ia juga masih ada dalam layar ponsel Raga.
"Besok, aku jemput, ya. Sepulang shift."
"Ya. Selamat malam."
"Tidur yang nyenyak dan mimpi indah."
Klik!
Di seberang sana, Foni langsung merasa lemas pada kedua lututnya. Dia yakin, Raga akan muncul dalam tidurnya.
🌸 Mengejar Jodoh 🌸
Kenyataannya setelah Foni tidur sebentar, ponselnya berbunyi. Telepon dari Raga tapi bukan suara pria itu yang didengarnya.
"Aku temen Raga. Dia mabuk. Bisa nggak kau datang menjemputnya? Aku nggak bisa anterin dia pulang."
Asem, pikir Foni.
Dia mengomel panjang karena Raga yang mabuk tapi merepotkan dirinya. Ia mencoba menghubungi Rimba tapi teleponnya tidak aktif. Foni mencoba untuk tidak peduli. Raga sudah dewasa dan kalau dia mabuk, itu bukan urusan Foni. Lalu ia mencoba untuk tidur. Ia lelah setelah bekerja seharian. Ia berhak untuk istirahat.
Namun lima menit kemudian, ia mengendarai mobilnya menuju alamat yang diberikan oleh temannya Raga sebelumnya. Ibunya berteriak bertanya kepadanya mau ke mana malam-malam begitu.
"Mau bantuin teman!" jawabnya asal.
Tempat Raga minum memang tidak jauh dari bandara. Foni kembali menghubungi ponsel Raga ketika ia sudah tiba dan disambut oleh temannya Raga. Katanya Raga ada di dalam. Walau awalnya Foni berharap agar temannya Raga itu membawa pria itu keluar tapi akhirnya ia masuk juga. Teman yang menghubunginya itu menunggunya di pintu masuk dan langsung mengenalinya karena Foni tampak canggung berada di tempat asing.
"Cari Raga?"
Foni menggangguk. Orang itu menunjuk ke arah pentas di mana pria bermata indah itu ada di sana, berdiri menyamping dari pandangan Foni. Lampu sorot membuat sosok itu tampak paling bersinar dibanding dengan orang lain di sekitarnya. Raga belum sadar kalau Foni sedang memandangnya. Ia menyanyikan sebuah lagu. Lagu yang bahkan Foni tidak tahu liriknya tapi sangat easy listening.
Kau begitu sempurna
Di mataku kau begitu indah
Kau membuat diriku akan s'lalu memujamu
Di setiap langkahku
Kukan slalu memikirkan dirimu
Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa cintamu
Janganlah kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa
Pria yang bersama Foni itu berdehem karena wanita itu bengong menatap Raga bernyanyi sambil bermain piano. Foni agak malu karena terlalu lama diam karena terbius oleh suara dan penampilan Raga.
"Maaf merepotkanmu. Dia mabuk dan aku nggak bisa anterin dia karena masih harus jagain tempat ini," tukas pria itu. Foni mengangguk. Mengertilah wanita itu kalau pria berperawakan tinggi dan bertatto bunga mawar di lengan kanannya adalah pemilik klub ini.
"Uhm, biarkan dia selesaikan lagunya dulu. Pelangganku kayaknya suka dengan suaranya," ujarnya sambil mempersilahkan Foni duduk di salah satu kursi yang kosong.
"Aku nggak tau kalo dia bisa nyanyi sebagus itu," katanya sebelum meninggalkan Foni.
Kau genggam tanganku
Saat diriku lemah dan terjatuh
Kau bisikkan kata dan hapus semua sesalkuu
Janganlah kau tinggalkan dirikuu
Takkan mampu menghadapi semuaa
Hanya bersamamu ku akan bisa
Kau adalah darahkuu
Kau adalah jantungkuu
Kau adalah hidupkuu
Lengkapi dirikuu
Oh sayangku, kau begituu
Sempurna... Sempurna...
🌸 Mengejar Jodoh 🌸
"Bangun, Young Man!"
Raga memaksa membuka matanya sedikit. Sementara Foni berusaha menarik tubuhnya ke luar dari mobilnya. Pria itu merasa terganggu tidurnya karena ditarik seperti itu.
"Aaaku di manaaa?"
"Kau mabuk! Sekarang, ke luar dari mobilku!"
Mata Raga terasa berat, begitu juga kepalanya. Dipaksanya tubuhnya ke luar dari mobil daripada harus ditarik oleh Foni. Ia masih belum dapat berpikir bagaimana ia bisa ada di dalam mobil Foni. Sempoyongan karena dibangunkan dengan paksa. Foni yang diharapkan Raga menolongnya ternyata tidak banyak membantu karena tak sanggup menahan berat badan Raga.
"Ke...napaaa ak...ku di siniii?" tanyanya ketika berhasil keluar dari mobil. Yang dilihatnya adalah ayunan di taman walau belum menyadari tempat apa itu.
"Aku tak bisa mengantar sampai rumahmu dalam keadaan kau mabuk! Jadi... kau bisa istirahat sampai pagi di sini," tukas Foni. Raga menepuk kepalanya lalu mencoba berjalan ke arah ayunan. Dia perlu duduk. Namun ayunan itu agak susah didudukinya karena berubah menjadi dua dan tiga. Foni membantunya dengan menahan ayunan itu sampai Raga berhasil duduk di atasnya. Pria itu menyandarkan kepalanya pada penahan kursi ayunan.
"Kauuu mem...bawa...kuuuu ke rumaah... makannn... Memoriii? Hiks!"
Foni menarik nafas panjang.
"Yaa... ke mana lagi kalau tidak ke sini?"
"Hiks! Aaaku... nggakkkk pernahhh mabuk!"
"Ya."
"Aaku jaraaanggg maabuk!"
"Iyaaa."
Raga cemberut. Dengan kesal dihentakkannya ayunan sampai berayun.
"Kauuuu taak percayaa? Hiks!"
"Percayaaaa..."
"Wajahmuuuu bilaangg sebaliknyaaa."
Foni menggaruk kepalanya sebab ia sendiri tak mengerti apa yang dikatakan wajahnya pada pria itu.
"Jangan berayun lagi. Kepalamu pasti sudah cukup pusing. Diam saja!" perintah Foni judes.
"Yesss, Mam!"
Foni duduk di samping Raga, sedetik ayunan itu bergoyang karena bertambah beban, dan kepala Raga juga ikut bergoyang.
"Aduh!"
Foni menghela nafas, lalu menarik tangan Raga. Raga menariknya kembali karena tidak menduga alasan Foni menarik lengannya padahal dalam keadaan normal, dalam keadaan tidak mabuk, ia akan senang sekali kalau wanita itu menarik lengannya untuk dijadikan sandaran.
"Sini!"
Foni menarik lengan pria itu lagi, lalu memijit bagian di antara ruas telunjuk dengan jempol.
"Nenek bilang kalau berat di kepala, harus memijit bagian yang ini... begini..." Foni berkata sambil terus memijit ruas jari Raga. Awalnya pria itu merasa tidak nyaman dan meringis, tapi itu memicu Foni makin kuat memijit.
"Auwh! Auwh!"
"Apaa sih! Nggak sakit! Tenang dulu! Nah, begitu... tenang..."
Not bad! pikir Raga begitu menikmati pijatan itu. Foni tidak lagi menekan ruas jarinya dengan kuat.
"Bukan berarti pijatan ini cocok untuk orang mabuk," tukas Foni. Raga menggangguk-angguk saja, walau kepalanya masih nyeri. Namun rasa ingin muntahnya sudah mulai berkurang.
"Jangan coba-coba muntah di ayunanku. Kalo kau muntah di sini, kau harus membersihkannya!"
Glek!
Raga menelan ludahnya seolah dengan melakukan itu, ia bisa menahan rasa mualnya. Wanita ini masih tetap judes meskipun melihat dirinya dalam keadaan mabuk.
"Aaku nggak mau... minum alkohol lagi..."
"Bagus, karena ini pertama dan terakhir kalinya aku membantumu dalam keadaan mabuk," balas Raga. Raga menggangguk seperti anak kecil. Foni menghentikan pijatannya di saat Raga sudah mulai nyaman membuat pria itu memikirkan cara agar pijatan itu tak berhenti. Ia pura-pura memijat kepalanya dan ketika tidak berhasil, ia meringis. Caranya berhasil, Foni mengasihani dirinya dan mulai melakukan pijitan lagi.
"Jangan membuatku cemburu lagi kalo tak ingin aku seperti ini," bisik Raga, sangat dekat dengan pipi Foni. Wanita itu bahkan bisa merasakan hembusan nafasnya yang masih berbau alkohol.
"Jangan karena alkohol, omongan jadi suka-suka," balasnya dengan nada bergetar. Raga tersenyum.
"Janji, ya."
Kalau tadinya Foni tak merasakan apa-apa ketika memijat tangan Raga, sekarang ia mulai merasa kesetrum. Baru sekarang ia memperhatikan jari-jari tangan pria itu yang panjang dan kokoh, lengannya kuat dan Foni bisa membayangkan dirinya dipeluk olehnya.
Oh ampun! pikirnya. Ia bahkan tidak lagi bisa memahami diri sendiri karena bisa membayangkan rasanya dipeluk lengan itu.
"Aku sih, senang-senang saja kalau aku begini dijemput olehmu. Lagi pula, teman-temanku selalu mengejekku, kata mereka kalo aku jomblo tak laku," ucap Raga sengaja. Ucapannya sebenarnya ditujukan untuk diri sendiri tapi sekalian ingin melihat reaksi Foni. Wanita itu menyipitkan matanya dengan menyiratkan tatapan horor.
Awas saja kalo berani merepotkanku!
"Kepalaku rasanya berat...."
Raga menyandarkan kepalanya di bahu Foni membuat wanita itu bergerak menjauhinya.
"Sebentar saja, please..." tukas Raga dengan nada memohon. Tanpa perlu mendengar balasan dari wanita itu, Raga kembali menyandarkan kepalanya. Ia yakin masih dalam pengaruh alkohol, tapi sakit kepalanya memang sudah berkurang dan Raga sengaja mencari-cari alasan supaya bisa bersandar. Itu saja. Dia suka dengan harum pelembab wanita itu yang mengingatkannya akan wangi yogurt. Walaupun bukan berarti ia suka minum yogurt. Dirinya merasa energinya sedang diisi saat ini hanya dengan bersandar begitu.
"Fon..."
"Ehm... ya..."
"Kau suka cowok ganteng, nggak?"
"Pertanyaan apa ini?"
"Jawab saja. Kan aku lagi mabuk. Besok juga aku lupa pernah tanya."
"Oh ya ya!"
"Jadi..."
"Iya suka," jawab Foni. Ia mengatakan itu supaya Raga tidak bertanya yang aneh-aneh lagi. Raga memejamkan matanya dan bertanya lagi, "Aku ganteng, lho. Jangan sia-siakan."
Foni tertawa terbahak-bahak sampai bahunya terguncang dan membuat Raga tidak nyaman bersandar. Pria itu cemberut.
"Apa sih?"
"Kau memang lucu atau karena alkohol?" tanya Foni masih tertawa.
"Ketawa terus nanti kau kucium!"
Foni tak mendengar ancamannya karena suara tertawanya yang lumayan kencang.
Cup!
Seketika tawanya terhenti karena Raga mendaratkan kecupan ringan di kepalanya. Matanya mendelik lalu dia berkedip sekali untuk membuat dirinya tetap sadar. Dia pikir bibir Raga yang panas itu pasti akan meninggalkan bekas di keningnya. Pasti.
Raga menatapnya dengan perasaan sayang. Sementara ia hanya bisa melotot menatap pria itu, tidak menyangka dirinya akan dicium seperti ini. Jantungnya berdetak kencang sampai ia merasa Raga pasti dapat mendengarnya.
"Kalian berdua apa nggak terlalu kekanak-kanakan, malam-malam main ayunan?"
Foni dan Raga sama-sama menoleh ke arah suara. Melodi bersama nenek ada di depan pintu rumah, sementara suaminya Melodi berada di samping mobil. Kelihatannya Melodi dan suaminya baru akan pulang ke rumah mereka dan nenek mengantar mereka ke luar.
"Malam, Nek. Aku datang lagi, Kak! Tampaknya aku harus menginap di sini malam ini karena motorku ketinggalan di tempat temanku."
"Apaaa?" pekik Foni. Ia yang masih belum habis dari rasa syok karena dicium Raga, yang Foni sendiri curiga kalau adegan itu dilihat oleh nenek dan kakak sepupunya itu, kini harus mendengar pria itu meminta ijin pada nenek ia mau memginap. Dirinya melirik Raga yang tersenyum. Pria itu bangkit dari ayunan. Kesadarannya memang susah kembali tapi ia memang tak berniat pulang. Lalu tiba-tiba saja terpikir untuk minta ijin menginap pada neneknya Foni. Ketika Foni meloncat turun dari ayunan, Raga sudah berdiri di hadapan nenek dan Melodi.
"Maafkan Raga, Nek. Minta ijin menginap," tukasnya sopan. Foni buru-buru berdiri di samping Raga sementara pria itu mengira ia akan dihalangi, tapi ternyata Foni berkata, "Anu Nek.... Raga sakit. Masuk angin jadi tadi.... Foni menjemputnya. Motornya ditinggal di rumah temannya."
Raga menatap Foni penuh arti. Ia tahu alasan wanita itu berdusta pada neneknya, karena tidak ingin beliau tahu kalau Raga habis minum-minum sama temannya. Foni kuatir neneknya akan berpikir kalau Raga adalah pria yang suka mabuk-mabukan.
"Menginap saja, Nak. Kamar tamunya sederhana tapi Nenek harap kau nyaman. Fon, ganti seprainya."
"Baik, Nek."
Sekilas Foni melirik Raga.
Awas kalo ini terulang!
Pria itu tersenyum jahil.
Kalau ada yang perlu disalahkan, salahkan saja alkohol.
Ketika Foni melangkah ke dalam rumah, ia mendengar nenek berkata pelan, "Sekalian siapin sup hangat supaya mabuk alkoholnya hilang."
Foni tak bisa membayangkan wajahnya saat itu. Pasti merah seperti kepiting rebus. Buru-buru ia menghilang ke dalam rumah dan berteriak, "Maaf, Nek!"
🌸 Mengejar Jodoh 🌸
🌸 Maaf karena telat update. Abis liburan ada kejadian yang menimpa keluarga jadi harus ngurus ini itu.
🌸 Waktu liburan juga tiba-tiba kepikiran ide menulis science fiction. Ingin kolab tapi nggak tau mau ajak siapa.
🌸 Kadang merasa tulisanku pasti sangat buruk karena jarang dapat krisan 😓
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top