🌸 5. Pohon Keluarga 🌸

Elita Jo menyiapkan meja makan untuk berempat dibantu Raga. Foni menawarkan diri membantunya tetapi Elita malah meminta Rimba menemaninya di ruang tamu yang dibatasi oleh partisi dengan ruang makan. Pada dinding yang berada di sebelah kiri, ada foto keluarga Raga. Elita Jo dan ayahnya Raga duduk di sofa, sedangkan Raga berdiri di belakang ibunya. Ada seorang wanita dengan senyum yang tak kalah menawan berdiri di samping Raga dan di sebalahnya berdiri gagah seorang pria berusia kira-kira 40-an bermata teduh. Lalu di sampingnya ada seorang remaja pria seusia Satya yang sepertinya adalah keponakan Raga. Semua anggota keluarga Raga memiliki senyum yang khas bak bunga di musim semi.

"Kak Kirana, kakaknya Raga. Kakak sepupuku dan yang itu suaminya," tukas Rimba sambil menunjuk pria berpenampilan rapi dalam foto itu. Ketika Rimba baru mau menunjukkan keponakan Raga yang di dalam foto keluarga, disadarinya kalau wanita itu tertarik dengan model pesawat yang dipajang di meja televisi. Model kuno pesawat tapi berbahan dasar kaleng minuman bekas Coca Cola. Foni pernah melihat pesawat seperti ini dulu waktu ia masih sekolah dijual di toko yang menjual barang-barang unik dan seingatnya harganya mahal.

"Itu buatan Raga," tukas Rimba ketika menyadari kekaguman Foni pada pesawat buatan itu.

"Dia terobsesi ketika melihat salah seorang temanku memiliki benda seperti ini. Temenku itu mendapatkannya dari pamannya yang tinggal di luar negeri. Dan pengumpulan kaleng bekas Coke dimulai," tambah Rimba. Dia ingat pada saat itu, Rimba benci Raga. Sebab sepupunya itu membeli banyak minuman kaleng dan memaksanya menghabiskannya, sampai keduanya muak dan lebih memilih mencari bekas kaleng itu di tempat sampah milik tetangga. Namun semua itu terlunaskan ketika Raga berhasil mewujudkan rencana gambar pesawat itu menjadi pesawat tempur mini. Sebagai balasan untuk Rimba yang turut andil dalam mengumpulkan kaleng bekas, Raga membuatkan Vespa mini dari kaleng yang tersisa.

"Ini bagus sekali. Aku pernah melihat model seperti ini dijual di toko barang unik," puji Foni sambil terus menatap model pesawat mini itu dengan penuh kekaguman.

Rimba tersenyum lebar dan mengangguk. Rasanya ia ingin menceritakan kalau pesawat buatan Raga ini pernah ditawar oleh teman ayahnya Raga yang seorang kolektor barang unik tapi sepupunya itu tak mau menjualnya. Ada yang meminta Raga membuatnya lagi untuk dijual tapi sepupunya itu menolak dengan alasan sudah tidak ada hasrat.

"Uhm..."

"Beib..."

Baik Rimba maupun Foni yang merasa risih dipanggil Beib oleh Raga menoleh ke arah Raga yang kepalanya muncul di antara sela partisi penyekat ruangan.

"Makan malam sudah siap!" tukasnya riang sambil mengedipkan sebelah matanya pada Foni. Rimba menunjukkan mimik mau muntah tapi bukan Raga, kalau tidak mengacuhkannya.

"Ayo! Lain kali, aku tunjukkan kepadamu rongsokan Vespa yang dia bikin untukku. Kalo saja dia bukan sepupuku, sudah kubuang sampah kaleng itu dari dulu."

Meskipun berkata demikian, Foni yakin Rimba pasti tidak tega membuang Vespa mini itu, karena pria itu mengatakannya dengan mata menunjukkan bahwa benda itu sangat berharga baginya.

Ketika berada di ruang makan dalam rumah itu, bersama Rimba, Raga, dan Elita Jo membuat Foni merasa gugup. Elita kelihatannya seperti ibu-ibu pada umumnya, banyak tanya dan hangat. Rimba dan Raga tampak selalu cekcok untuk hal-hal kecil, seperti misalnya menurut Raga, ayam panggang buatan Elita Jo terlalu asin, sedangkan menurut Rimba, rasanya sudah cocok. Kedua pria dewasa itu bagai anak TK, bahkan rebutan tempat duduk, sampai Elita Jo harus mendehem keras dan memberi tatapan membunuh kepada keduanya.

"Papanya Raga lagi sibuk ngurus pengangkutan. Sampai malam begini belum pulang. Lain kali kalo sama Oom, kita makan di luar ya, Nak Foni," tukas Elita Jo sambil mengambilkan nasi untuk Rimba.

"Yah, kalo sama Papa, kita sekalian makan di rumah makannya Foni. Sekalian kenalan sama keluarga Foni. Iya kan, Beib? Aduh!"

Bersamaan kaki Raga ditendang oleh Foni dan Rimba. Elita Jo menatap putranya yang tampak kesakitan karena lututnya ditendang di bawah meja. Untung saja meja makan itu tidak transparan hingga Rimba bisa cengar-cengir menatap tantenya dengan pandangan pura-pura bego.

"Iya, yah. Ajak Papamu makan di sana. Masa punya pacar tapi orang tuanya sendiri nggak dikenalin. Ini juga karena Mama yang minta, baru anak durhaka itu mau membawamu makan malam di sini."

"Ma, anak ganteng gitu dibilang durhaka," omel Raga cemberut. Rimba terbatuk-batuk. Namun Raga sengaja mengacuhkannya.

"Iya, nanti mama mau sama Papa ke sana sekalian kenalan sama orang tuanya Foni."

Wajah Foni agak berubah ketika Elita menyebut orang tua. Dia pikir mungkin Raga sendiri belum tahu soal kedua orang tuanya yang sudah cerai waktu Foni masih kecil tapi ia tak ingin menyembunyikan fakta itu. Meskipun mereka tidak dibilang pacaran.

"Maaf, Tante. Papa saya nggak ada," ucap Foni. Disadarinya begitu mengatakannya semua mata menatapnya. Ia menyesalinya, harusnya tak perlu mengatakannya sekarang. Harusnya mulutnya diam saja dan keberadaan ayahnya itu nanti saja baru dibicarakan.

"Maksudmu, papamu sudah meninggal?" tanya Elita Jo. Diliriknya putra dengan ujung matanya tapi Raga juga sepertinya tidak tahu.

Foni menggeleng. Tidak ada hal yang memberatkan hatinya membicarakan tentang ayahnya seumur hidupnya, Foni memang sudah mengganggap pria itu sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Ia pernah berharap untuk bertemu tapi seiring waktu, ia menyadari kalau semua mimpinya hanya sekedar bunga tidur dan mengecewakannya. Ayahnya memang sudah melupakan kalau ia memiliki seorang putri. Jadi ia berhenti berharap. Cintanya kepada ayahnya perlahan berubah benci ketika ia tahu kenyataan bahwa ayahnya meninggalkan ibu dan dirinya karena perempuan lain. Lalu kebencian itu pun berubah menjadi tak peduli. Ia tak peduli dan tak lagi mencari tahu tentang pria itu daripada mengetahui kenyataan yang akan membuatnya makin membenci ayahnya, jadi lebih baik berasumsi pria itu sudah mati.

"Kedua orang tua saya berpisah, Tante. Sudah lama sekali," tukas Foni. Ia berusaha mengucapkan dengan nada yang biasa, tak ingin seorang pun mengasihani dirinya. Namun tangan Raga meraih jemarinya di bawah meja. Foni menolehkan matanya menatap mata indah yang selalu bersinar bagai bintang kejora. Sekali ini, pria itu menatapnya dengan teduh. Foni ingin sekali terus menerus seperti ini, digenggam tangannya, diberi tenaga meskipun ia tak memerlukan energi lebih untuk menceritakan keadaan keluarganya. Tidak ada yang salah dalam dirinya jika dia memiliki ayah yang meninggalkannya.

Elita mendehem, membuat Foni tersadar kembali kalau ia masih bersama dengan ibunya Raga dan Rimba.

"Maaf, Tante nggak tau kalo begini keadaannya. Tapi..."

Raga hampir memotong kalimatnya tapi langsung diam ketika Elita Jo menatapnya tajam.

"Tante tak ambil pusing. Iya kan, Raga?" tukas Elita riang. Raga tersenyum karena ia tahu pasti, meski dari keluarga yang tidak sempurna, Foni akan diterima oleh Elita.

Kirana Larasati Theo, adalah suatu alasan yang kuat kenapa Raga yakin ibunya tetap akan menerima Foni walaupun berasal dari keluarga broken home.

"Kirana, putriku menikah dengan seorang duda. Iya, awalnya aku dan papanya Raga tidak setuju. Kirana masih sangat muda waktu itu. Tapi Lintang membuktikan kepada kami kalau tidak semua orang dengan catatan pernah gagal akan terus mengalami kegagalan. Raga pernah cerita soal kakaknya kepadamu, kan?" tanya Elita membuat Foni kelabakan.

Dia tak pernah cerita apa pun. Kami baru kenalan.

Namun Foni tak mungkin bisa mengatakan kalau mereka berdua baru kenal beberapa hari kepada Elita.

"Ma, kalo bisa, Kak Rana jangan kepo mau kenalan sama Foni sebelum hari H. Capek ngurusnya."

Rimba yang baru mengunyah ayam langsung tersedak. Sementara Foni menendang kaki Raga di bawah meja karena pria itu menyebut hari H walau wajahnya menunjukkan ekspresi datar.

"Ah, kakakmu itu memang gitu. Suka heboh sendiri. Tapi Mama yakin kalo dia pasti menyukai Foni," tukas Elita. Rimba senyum-senyum sendiri membayangkan Kirana yang super heboh bertemu dengan Foni. Food blogger itu berani jamin, Kirana pasti akan bertingkah seperti yang diramalkan Raga.

Sementara itu, Foni memandang lurus menembus penyekat ruangan ke foto keluarga yang tergantung di dinding karena penasaran dengan sosok kakak dalam keluarga ini. Wanita dengan senyum hangat itu.

🌸 Mengejar Jodoh 🌸

Rasa penasaran Foni terlunaskan ketika beberapa hari kemudian Sang Kakak, Kirana Larasati Theo muncul di rumah makan Memori bersama Rimba. Foni langsung bisa mengenalinya karena Rana memiliki senyum yang lebar dan hangat. Bentuk matanya tidak seperti Raga tapi keluarga Theo semuanya memiliki kesamaan yaitu mereka memiliki tatapan mata yang bersinar seperti bintang kejora.

"Siang, Simfoni!" sapanya riang. Suaranya nyaring bila bersama dengan Melody, mereka bisa membentuk grup vokal dengan tipe suara berbeda.

Foni bahkan tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadap kakaknya Raga ini. Di saat ia kebingungan, muncul bala bantuan dari kakak sepupunya yang sebenarnya juga tidak tahu siapa tamunya ini. Namun Kirana memiliki penampilan yang terlalu menarik perhatian. Ia memiliki aura untuk menjadi pusat perhatian dengan senyum hangatnya yang lebar.

"Selamat siang. Pasti Anda baru pertama kali ke sini. Rumah makan kami ini sudah dikelola oleh tiga generasi. Nama saya Melodi Virgo," ucap Melodi memperkenalkan diri setelah sebelumnya menyikut lengan Foni karena kelamaan terbengong.

Kirana melipat tangannya kelihatannya angkuh tapi bibirnya tersenyum. Senyum yang mirip dengan senyum mirip Raga.

"Aku tau. Aku kakaknya Raga, calon suaminya Foni."

Nadanya tenang dan ramah. Ia bukan sombong, hanya memang begitulah gayanya. Tampak elegan dan klasik. Foni yakin bahwa Elita Jo, pastilah sudah banyak cerita tentang dirinya pada wanita itu.

"Eh, kakaknya Raga? Ah!"

Kirana tertawa lebar melihat Melody terkejut mengetahui fakta kalau dirinya memiliki hubungan darah dengan Raga. Sementara Foni masih heran dengan tingkah semua anggota keluarga Theo yang selalu enteng mengakui kalau ia adalah calon istri Raga. Rimba yang sedang berdiri di samping Kirana tersenyum secara tersembunyi. Dia agak dipaksa Kirana untuk menemaninya berkunjung ke rumah makan Memori dan sempat bertanya alasan Kirana mengajaknya, bukan Raga. Namun sebenarnya Rimba senang bisa menjadi saksi bertemunya Kirana dan Foni.

"Fon!" Melody langsung memberi kode dengan matanya.

Apa?

Melody memberinya kode agar segera masuk ke dapur. Di dapur ia mengomel kenapa Foni tidak memberitahukannya kalau kakaknya Raga mau datang, setidaknya, Melody tidak berpakaian selusuh itu. Foni mengabaikannya. Pakaian sama sekali tidak penting. Melody bukannya hendak ikut fashion show. Pakaian yang dipakai sepupunya itu cukup pantas. Baju t-shirt putih dengan rok lipit panjang selutut.

Foni membiarkan Melody mengomel, sementara ia mengeluarkan ponsel dan mengirimkan chat kepada Raga.

Foni : Kakakmu ada di sini. Apa yang harus kulakukan?

Raga membalas tak lama kemudian.

Raga : Ya. Hutan Rimba sudah telepon tadi. Tahan dia di sana. Aku ke sana sebentar lagi.

Foni terpaku menatap isi chat itu. Kirana sepertinya juga bakal lama di sini, tanpa perlu Foni berusaha menahannya. Diintipnya sosok kakaknya Raga yang penuh percaya diri bicara dengan Melody di depan. Kelihatan dari gerak-geriknya mereka sudah cukup akrab. Melody bahkan memperkenalkan Kirana pada neneknya. Sekarang nenek duduk bersama dengannya dan Rimba.

Foni mencoba menyibukkan diri dengan menyiapkan menu para tamu tanpa memperdulikan kehadiran Kirana. Ia menyiapkan udang mentega yang menjadi salah satu menu andalan rumah makan itu sambil memikirkan Raga yang berjanji akan datang. Entah kenapa sejak pria itu muncul dalam hidupnya, Foni merasa dunia jadi lebih penuh dengan bunga-bunga musim semi. Tiada hari tanpa Raga meneleponnya, atau chatting hal yang tidak perlu, seperti hanya menanyakan apa yang Foni masak hari itu. Bibir Foni tanpa sadar tersenyum mengingat bagaimana Raga mengirimkan foto bandara ketika matahari terbit, dengan ucapan selamat pagi, Simfoni dalam lagu kehidupanku.

"Ada yang bisa kubantu?"

Kirana tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Foni. Foni yang tak menduga, terkejut dan hampir menjatuhkan spatula tapi refleksnya masih bagus sehingga alat masak itu tak sampai jatuh ke lantai.

"Mikir Raga, ya?" goda wanita berbibir seksi itu. Wajah Foni langsung merona karena dituduh begitu.

"Eh, nggak, Kak."

Apa yang harus kulamunkan tentang dirinya?

Foni berharap Kirana tak sampai tahu kalau ia berdusta.

"Raga memang ngangeni!" bisiknya seolah takut terdengar para pegawai dapur. Lalu ia cekikikan sendiri sementara Foni tampak kikuk.

"Eh, ada yang bisa kubantu?" tanya Kirana lagi. Lengan baju kemeja warna merah muda itu sudah digulung sampai ke siku tangannya. Rambut sebahunya juga sudah diikat ke atas.

"Kak Rana duduk saja sama Rimba. Nanti kalau makanannya sudah siap, saya panggil."

"Ehm ehm!"

Kirana menggerak-gerakkan telunjuknya, menolak keinginan Foni.

"Aku sengaja datang menemuimu agar aku bisa belajar memasak. Boleh, ya?"

Suara Rimba yang tertawa muncul dari arah pintu membuat Foni dan Kirana menoleh. Pria berkaki panjang itu bersandar di pintu sambil melipat tangannya dengan gaya santai.

"Jangan tertawa, Rim!" teriak Kirana judes. Mendengar teriakan kakak sepupunya, Rimba berusaha menahan tawa tapi sulit. Ia tertawa lagi. Suaranya pecah. Foni heran alasan Rimba tertawa sekencang itu.

"Kak Rana nggak bisa masak!" teriaknya masih berusaha menahan tawa.

"Diam, Rim!" gertak Kirana.

"Satu-satunya yang bisa dimasaknya hanya telur rebus. Itu pun kulitnya pecah!"

"Rimba!"

Kirana merebut spatula dari tangan Foni dan memburu Rimba. Sedangkan yang diburu, secepatnya mengambil langkah seribu tapi masih sambil tertawa. Sebelumnya, sejak Foni mengenal Rimba, belum pernah ia melihat sosok Rimba yang begitu tengil. Penampilan pria jangkung itu biasanya cool dan tidak banyak bicara. Hari ini, Foni baru melihat sosok Rimba yang sebenarnya.

"Hei, Cantik!"

Suara nyaring itu muncul bersamaan dengan wajah secerah mentari pagi mengintip lewat jendela dapur.

Yeah! Datang juga yang satu lagi, pikir Foni. Ia tersenyum tanpa bisa dicegah.

Sepertinya Rumah Makan Memori hari ini bakal ramai.

🌸 Mengejar Jodoh 🌸

Ketika Foni selesai membereskan kotak makanan berisi udang mentega untuk dibawa pulang Kirana, ia melihat keluarga Theo duduk bersama nenek dan Melody di meja dekat jendela. Nenek menunjukkan album foto keluarga mereka pada Kirana. Kakak Raga itu tampak tersenyum melihat foto-foto nenek ketika masih muda.

Foni meletakkan kotak tupperware di atas meja.

"Kak Rana, ini udang mentega boleh Kakak bawa pulang," tukasnya.

"Wah, trims, Fon. Senang sekali mengenalmu. Diajari bikin bento oleh Mel. Meskipun aku tetap gagal masak," ujar Kirana dengan wajah antara kesal dan juga senang.

Nenek terkikik geli.

"Foni dan Mel, dari kecil memang sudah bakat masak," tukasnya bangga.

"Jangan bilang begitu, Nek. Kalau Rana sering main ke sini, nanti sama Nenek juga pinter masak jadinya. Atau jangan-jangan udah bisa gantiin Foni kalau nanti cuti hamil!"

"Kak Mel!" protes Foni kesal. Sementara Raga tersenyum geli.

"Eh, lihat, Ga! Ini Foni kecil!" pekik Rana ketika nenek membalikkan album foto lamanya. Rana menatap foto itu sambil tersenyum.

"Cucu nenek cantik sejak kecil," pujinya. Foni ikut melirik foto mana yang dilihat Rana. Setidaknya, ia ingin tahu foto mana yang menurut Kirana, ia sudah cantik sejak kecil. Raga ikut berdiri dan melihat foto itu.

"Ini siapa, Nek? Yang di sebelah Foni?" tanya Raga sambil menunjuk seorang anak lelaki yang lebih tua dari Foni kecil di foto lama itu.

"Ah itu. Itu anak lelaki tetangga kami. Mereka sudah pindah ke Jepang," jawab nenek.

"Anak itu dari kecil katanya mau menikahi Foni. Terakhir ketika dia pulang ke sini sekitar 5 tahun lalu, dia masih mau menikah dengan adikku tapi Foni waktu itu tidak mau," tambah Melodi. Kerongkongan Raga tercekat. Matanya mendelik menatap Foni.

"Bukan itu saja. Dia janji kalo sampai usia 32, Tanteku belum nikah, dia akan datang untuk menikahi Tanteku," tukas Satya yang muncul sambil membawa tray berisi makanan kecil dan minuman kaleng.

"Nanti kaleng bekasnya, jangan dibuang," pesan Foni buru-buru.

Ketika remaja berusia tujuh belas tahun itu meletakkan tray di meja, Raga mendekati Foni dan mencengkram lengannya lalu berbisik, "Kau tidak mengiyakan janji itu, kan?"

Foni membeku menatap mata yang berubah kelam itu.

Tidak...

Tidak juga!

Ahk, entahlah. Foni lupa, dia bilang iya atau tidak pada teman kecilnya itu.

🌸 Mengejar Jodoh 🌸

🌸 Kelamaan update. Maafkanlah diriku. Sibuk gym tapi tetep nulis sedikit setiap hari.

🌸 Sekarang, malas ngetik di laptop jadi agak lambat ngetiknya tapi positifnya bisa kuketik di mana pun.

🌸 Sengaja update malam minggu biar malam minggumu berbunga seperti bunga bougenville di taman rumah makan Memori. 😛

🌸 Menerima komen dan like, krisan tapi tidak spoiler End Game meskipun aku udah nonton 😂

🌸 Kisah Raga-Foni ini belum selesai kutulis, kalo mau baca kisah lainnya, silakan cek works, ya. Tangkiu, kamsahamnida, xie xie, arigatou.

Christina Suigo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top