🌸4. Kangen! Telepon saja!🌸

Lama, pria dengan senyum menawan itu duduk di teras rumah sambil memandangi layar ponsel. Raga sudah menemukan akun instagram milik wanita judes yang ia sukai itu dan sekarang mengintip foto-fotonya di media sosial. Foni lebih banyak memamerkan keahlian memasaknya di akunnya tapi ada satu foto, di mana ia duduk di ayunan di taman dekat bunga-bunga bougenville, membuat dada Raga penuh dengan rasa rindu yang mendadak datang.

Di-copy-nya nomor telepon yang ada di akun itu. Tidak semua orang suka menuliskan nomor telepon di akunnya tapi Raga tahu, nomor telepon di instagram Foni adalah untuk keperluan pemesanan tempat di rumah makan Memori. Ia mengabaikan kemungkinan kalau nantinya telepon itu dijawab oleh pegawai Foni. Raga berdehem begitu mendengar nomornya tersambung, sebelum akhirnya dijawab oleh pemilik wajah jutek itu.

"Halo."

"Hm..."

"Siapa ini?"

"Raga. Aku mencari nomormu di akun instagram. Kangen," ucapnya dengan nada dalam.

"Kalau tak ada yang penting, aku tutup, ya."

"Tungguuuu... ini penting!" potong Raga cepat. Ia bernafas lega karena Foni belum menutup teleponnya.

"Aku telepon karena ingin mendengar suaramu mengucapkan selamat malam padaku."

Terdengar hembusan nafas Foni di telepon. Raga tersenyum geli, membayangkan muka cemberut wanita itu sekarang. Memang tidak sopan telepon malam-malam begini cuma untuk bilang dia kangen. Apalagi tadi siang mereka baru bertemu.

"Aku tak ada waktu dengerin gombalanmu! Selamat malam!"

Klik!

Raga tersenyum sebab biar telepon ditutup wanita pujaannya, Foni tetap mengucapkan selamat malam untuknya. Dirinya yakin akan bisa tidur nyenyak malam ini. Ia menatap ponsel yang lampu display-nya sudah padam lalu tersenyum.

"Ehem!"

Suara deheman Elita Jo, ibunya Raga membuatnya buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam saku celana jeansnya.

"Ma, belum tidur?" tanya Raga. Elita Jo tersenyum lalu mengajak putra satu-satunya itu duduk di kursi yang ada di teras rumah. Raga masih tinggal bersama orang tuanya. Baru tahun lalu mereka pindah ke kompleks perumahan itu, suasananya tenang meskipun rumahnya tidak terlalu besar ukurannya.

"Ada yang Mama ingin bicarakan?" tanya Raga sambil menatap mata Elita Jo. Ibunya Raga, wanita yang berusia 50-an itu tersenyum sambil balas menatap putranya dari balik kacamatanya.

"Bukankah sebaliknya, kamu yang ingin bicara pada Mama?" tanyanya. Raga mulai deg-degan. Keningnya berkerut dan alis tebalnya menyatu.

Tentang rumah keluarga!

"Ituuuu, Ma, aku..."

"Kapan kau baru akan mengenalkan calon istrimu pada Mama dan Papa?"

Raga yang awalnya kuatir, jadi bisa tersenyum sebab yang ingim dibicarakan ibunya adalah tentang calon istrinya, bukan tentang warisan. Tanpa sadar, ia menarik nafas lega.

"Bukankah kemarin bilang katanya mau nikah? Dikenalkan dulu ke Mama."

"Tentang itu, Ma.... calon istriku agak pemalu. Sama aku saja malu-malu apalagi sama Mama," jawab Raga.

"Permisi. Malam, Mam!"

Raga mendongak. Ia tahu sepupunya ada di sini. Rimba, selalu menganggap rumah Raga adalah rumahnya juga, Elita Jo adalah ibu angkatnya sebab ibu kandungnya sendiri adalah wanita karir yang sangat sibuk sampai tak sempat mengurus rumah tangga.

"Rimba? Kok jam segini baru datang? Sudah makan dirimu, Nak?" tanya Elita Jo. Rimba tersenyum manis sampai Raga ingin muntah melihatnya. Dia selalu saja mau merebut perhatian ibu kandungnya Raga.

"Sudah, Mam. Aku datang hanya untuk antar martabak ini buat Mama. Tadi di-endorse sama pemilik lapak martabak," jawab Rimba sambil menyodorkan kotak martabak buat Elita Jo. Mimik wajah perempuan itu menunjukkan kalau ia sangat senang karena kebagian martabak. Pekerjaan Rimba memang mengharuskan dirinya untuk menyediakan diri melahap semua jenis makanan. Elita Jo selalu memgatakan betapa beruntungnya anak itu, sudah dapat makanan, rekening bank terisi, tapi sayangnya meski sering makan, Rimba tidak gemuk juga. Slim dan tinggi.

"Sini duduk, Rim," ajak Elita Jo. Rimba mengantungi kunci mobil BRV-nya lalu duduk di salah satu kursi di antara Elita Jo dan saudara sepupunya.

"Kami baru membicarakan calon istrinya Raga sebelum kau datang," tukas Elita Jo ketika Raga mulai membuka bungkus plastik martabak. Rimba mendehem.

"Dia punya calon istri? Siapa?" pekik Rimba kaget. Perasaannya mulai was-was, matanya menyipit menatap sepupunya itu. Sementara Elita Jo tidak curiga, ia malah berkata kepada Rimba, "Itulah katanya Rim, calon istrinya masih malu dan belum mau ketemu Mama."

Raga tersenyum tengil membuat Rimba ingin menjejalkan martabak itu ke mulutnya itu.

"Memang ada yang mau jadi istrinya, Mam?"

Raga langsung mendelik ke arah Rimba.

Mau mati kau?

"Rimba nggak tau yang mana calonnya? Biasanya kalo ada apa-apa, pasti Rimba duluan tau daripada Mama."

Rimba tampak berpikir keras. Rasanya ada yang aneh memang. Betul, kata Elita Jo, Rimba pastilah akan menjadi orang pertama yang tahu jika ada hal-hal sepenting ini terjadi pada Raga tetapi sepupunya itu tidak pernah bicara apa pun tentang calon istrinya.

Siapa?

Rimba melirik Raga. Orang itu malah senyum-senyum mengejek.

Tiba-tiba Rimba teringat.

Alisnya tertarik naik sebelah sambil menatap Raga dengan penuh selidik.

"Simfoni Virgo," ucapnya pelan. Bibir Raga mengkerut seperti cemberut tapi dia bukan cemberut. Dia senang mengejek Rimba. Rimba menggertakkan giginya. Kesal dibuatnya. Sedangkan Elita Jo begitu mendengar nama seorang wanita disebut langsung tampak sumringah. Dipegangnya lengan Rimba dengan erat.

"Rimba kenal sama calonnya Raga, kan? Coba Rimba berusaha meyakinkan dia kalau ia tak perlu malu sama Mama," ujar Elita Jo dengan nada berharap.

"Tuh, dengerin Mama," gertak Raga. Sekesal-kesalnya Rimba tetap saja ia tidak berani menolak kemauan Elita Jo.

"Ya, Ma. Nanti kusampaikan pada Foni."

Nama Foni sulit diucapkan sampai ia merasa aneh ketika nama itu keluar dari mulutnya.

Simfoni Virgo? Calon iparku?

Ditatapnya Raga dengan tatapan kau harus memberi penjelasan padaku.

Namun yang diminta penjelasan malah dengan santainya melahap martabak cokelat yang dibawa Rimba.

🌸 Mengejar Jodoh 🌸

"Nenek, jangan mengerjakan itu lagi. Nanti, Foni yang kerjakan," tukas Foni buru-buru meletakkan tray berisi teh untuk nenek lalu melepaskan avron-nya. Nenek Rita tersenyum melihat cucunya membawakan secangkir teh hangat dan kue kering untuknya.

"Tidak apa, Fon. Nenek bisa, kok."

Nenek seperti anak umur lima ketahuan melahap permen yang sebenarnya tidak boleh dimakan.

"Nenek baru saja operasi katarak. Jangan mengerjakan pembukuan," tukas Foni sambil duduk dan merebut buku tebal dan bon dari tangan nenek.

"Terus kalo semua dikerjakan olehmu, nenekmu ini kerja apa?" tanya Nenek. Foni tersenyum memamerkan gigi kelincinya.

"Nenek awasi saja para pekerja di dapur. Mereka lagi membersihkan ikan yang diantar tadi. Gimana?"

Nenek menarik nafas panjang. Daripada diomelin cucu judesnya ini, mending setuju saja. Nenek pun mengangguk.

"Nenek ke dapur dulu, ya sekarang."

"Ingat, Nek. Hanya mengawasi, ya. Nenek duduk saja," pesan Foni sebelum nenek menghilang ke dapur. Ia menduga nenek pasti sengaja tak mendengar perkataannya agar bisa bersibuk ria bersama para pegawainya. Foni merencakan dalam waktu sepuluh menit, ia akan melakukan audit ke dapur untuk mengecek neneknya.

Maaf, kami belum buka," tukas Foni tanpa mengangkat wajahnya dari bon di atas meja ketika menyadari ada sosok yang memasuki rumah makan.

"Uhm..."

Hati Foni berdesir aneh mendengar gumaman itu. Diangkatnya wajahnya, menatap lurus pada tamu yang baru saja masuk yang ternyata adalah pria dengan senyuman menawan.

"Aku datang bukan untuk makan," tukasnya pelan. Disodorkannya paper bag bertuliskan Starbucks Coffee kepada Foni. Wanita itu membeku, diam tak bergerak menatap Raga. Yang ditatapnya cengar-cengir, salah satu tangannya mengusap tengkuknya.

"Kakak Ipar bilang kau suka Asian Dolce, jadi sebelum aku masuk shift, aku singgah sebentar...."

...untuk melepaskan rasa kangenku.

Kaki Foni lemas, meskipun ia sedang duduk di kursi. Ditatapnya paper bag itu, tidak tahu harus bilang apa.

"Ih, pagi-pagi ada Babang Tampan. Beruntung banget dirimu, Dek."

Suara serak-serak seksi itu, tentu saja milik Melody si tukang kepo kreak. Foni meliriknya tajam, seolah ingin membunuhnya dengan satu tatapan saja.

"Kakak Ipar, aku juga bawakan Caramel Macchiato untukmu," tukas Raga riang sambil berdiri menyambut Melody.

"Siapa Kakak Iparmu?" tanya Foni sengit. Melody mendekat lalu mengacak rambut Foni sampai adik sepupunya itu memasang muka masam pada kakaknya.

"Bilang makasih, gitu. Raga sudah sarapan? Kakak siapin, ya?"

"Kita belum buka, Kak!" bantah Foni. Melody tak menggubris hanya menunggu jawaban Raga.

"Sudah, Kak. Aku datang hanya nganter kopi saja. Sekarang mau nguli dulu," jawab Raga.

"Oh, jadi mau ngatur lalu lintas ini? Oke, deh! Selamat bekerja! Semangat!"

Teriakan Melody membuat Foni harus menutup telinganya. Suara kakaknya itu begitu khas, tak perlu teriak, sudah bisa membuat telinga orang dalam radius sepuluh meter rusak.

"Kerja dulu ya, Beib! Besok, kalo selesai shift, aku datang lagi," pamit Raga enteng. Melody bertepuk tangan.

"Nah, bagus! Foni mau ke kota. Kau bisa sekalian anterin dia! Belanjaannya banyak," sahutnya cepat.

"Kak!" protes Foni.

"Oh, ok!" jawab Raga riang.

Foni ingin sekali memberi Melody pelajaran atas mulut embernya tapi ketika ia melirik Raga yang tampak menawan, ia urung mengomeli kakak sepupunya.

🌸 Mengejar Jodoh 🌸

Pria itu duduk sambil menyandar di sandaran ranjang, menatap layar ponselnya, tersenyum sendiri lalu mengetik chat.

Raga : Kujemput jam empat, ya. ❤️ (emoji love)

Tidak sampai menunggu lama, chat-nya dibalas.

Cewek judes : Aku belum bilang mau diantar olehmu. Nggak perlu kirim emoji love.

Bibir Raga tanpa sadar membentuk senyuman. Lagi, dia membayangkan wajah judes itu di benaknya dan hanya dengan itu, Raga merasa ingin segera menemuinya. Membayangkan selanjutnya rasa tubuh seksi itu berada dalam pelukannya. Ia menggeleng pelan.

Cukup! Itu nanti! Akan ada waktunya jika Foni sudah mau menerima lamarannya.

Raga segera mengetik lagi dengan cepat.

Raga : Daripada pergi sendiri. Kan, lebih baik ada aku yang bantuin kamu belanja, Beib. ❤️

Dikirimnya chat lalu tertawa geli sendiri. Seperti biasanya, wanita itu akan menggertakkan gigi kelincinya yang lucu itu. Raga menyukai gigi wanita itu, juga bibirnya. Bibirnya pasti sangat manis.

Stop, Raga! Stoppp!!

Diacaknya rambutnya agar kembali fokus dan tidak berpikir yang tidak-tidak. Raga lelaki normal dalam usia produktif tentu saja jika bertemu dengan wanita yang tipikal hot seperti Foni akan membuatnya terus merasa kepanasan.

Ddrrtt!

Foni : Aku nggak suka dipanggil BEIB!!!

Raga : Lalu kau mau dipanggil apa? Say? Love? Manis. Nanti jadi kayak kucing kalo Manis walaupun kau memang manis, sih.

Foni : typing

Raga : typing mulu. Aku telepon, ya.

Belum dijawab, Raga langsung mengklik tanda telepon. Dijawab Foni setelah berdering dua kali.

"Apa?"

"Galak."

"Ngapain telepon-telepon?"

"Kangen. Sebelum tidur harus dengar suaramu."

"Sinting! Tutup, ya!"

"Mimpi indah, ya Beib. Muach!"

Klik!

Raga tersenyum dan menatap layar ponselnya lama. Sebelum akhirnya ia tertidur dengan senyum lebar di wajahnya.

🌸 Mengejar Jodoh 🌸

Keesokan harinya, Raga mendatangi rumah makan Memori. Ia muncul dengan mengenakan t-shirt putih dan celana jeans biru yang di bagian kakinya dilipat ke atas sehingga ujungnya tampak menggantung. Waktu dia tiba, kebetulan Sonia, ibunya Foni sedang ada menyiram bunga di taman. Sementara nenek sedang duduk santai di sana. Keduanya tampak terkejut melihat sebuah mobil Honda BRV hitam memasuki halaman parkir. Waktu itu menunjukkan pukul empat sore, rumah makan sudah tutup pada jam segini. Sonia menatap sosok asing itu sampai bengong.

"Siang, Tante, Nenek. Saya pacarnya Foni. Raga Aditya Theo," sapa Raga sopan. Ia sengaja tidak mengaku kalau dirinya adalah calon suami Foni, takut ibu dan nenek syok. Sementara itu, kedua orang dekat Foni itu sama-sama bengong sambil melemparkan pandangan satu sama lain.

Kapan anak itu punya pacar?

"Saya datang mau jemput Foni, katanya mau ke kota," beritahu Raga.

"Oh ya, ya. Foni memang bilang mau beli barang. Sebentar ya, Tante panggilkan. Duduk dulu sama nenek."

Namun, belum sempat Sonia masuk ke dalam untuk memanggil putrinya, Foni sudah ke luar melalui pintu dapur rumah makan. Ia mengenakan kemeja berwarna navy dipadu dengan rok bunga-bunga kecil berbahan ringan. Raga tampak berseri-seri melihat kemunculan wanita itu. Sementara Foni, meskipun sudah janjian dengan Raga tapi tetap saja ia terkejut melihat pria itu ada di taman bersama ibu dan neneknya. Hatinya berdesir, rasa hangat menjalar ke seluruh bagian tubuhnya sampai ke jari-jarinya. Didekatinya ketiga orang yang berada di taman menunggu dirinya sambil menenangkan degup jantungnya.

"Ma, Nek, Foni mau ke kota, ya. Ada yang perlu dibeli," katanya pelan. Ibunya menatapnya dengan tatapan menyiratkan ia dan nenek ingin tahu siapa pria ini.

Nanti aku jelaskan, Ma."

"Perginya sama Nak Raga, ya?" tanya Sonia pelan. Foni mengiyakan. Sonia beralih pada teman putrinya.

"Kalau gitu, Tante titip Foni, ya Nak Raga."

"Eh iya, Tante," tukas Raga sambil mengangguk hormat pada Sonia dan nenek. Nenek yang sedari tadi diam memberi kode agar Foni mendekat padanya. Setelah cucunya mendekat, nenek berbisik, "Ini yang Kayla bilang, ya?"

Foni sebenarnya ingin bertanya pada nenek, apa yang dibicarakan keponakannya itu, tapi niatnya itu diurungkan, sebab tidak memungkinkan bicara tentang Raga di saat orangnya ada di tempat.

"Pergi ya, Nek," pamit Foni sambil mencium pipi nenek dengan sayang. Namun sekonyong-konyong, ia melihat nenek tersenyum penuh arti padanya.

Apa sih, Nek?

Foni duluan melangkah diikuti Raga. Pria itu sama sekali tidak menunjukkan sikap berlebih-lebihan dengan mencoba membuka pintu mobil misalnya dan Foni merasa bersyukur. Ia bukan gadis usia 15 tahun yang suka diperlakukan demikian. Lucu saja, menurutnya jika ada wanita yang masih mengharapkan hal itu. Sama halnya jika dua orang yang pacaran, jika bicara di telepon yang ditanya adalah sudah makan.

Diam-diam, Foni tersenyum sendiri. Dulu, ia pernah ikut dalam fase itu. Pacaran dengan Bayu Adiyaksa, empat tahun. Lalu pria itu menikahi partner di firma hukum. Awalnya, dia sakit, patah hati, membenci pria itu, tapi akhirnya, dia lega karena tidak harus menjalani kehidupan yang membosankan seperti itu.

"Apa kau senang sekali pergi denganku sampai kau senyum-senyum sendiri?" tanya Raga mengandung arti sarkas. Pelan-pelan Foni menoleh ke arah samping, di mana pria tampan yang cocok untuk iklan sikat gigi itu menyetir dengan santainya.

"Nggak ada hubungan denganmu!" sembur Foni. Raga terbahak.

"Tuh, balik lagi judesnya," tukasnya. Foni merengut. Pria ini memang suka memprovokasinya menjadi emosi. Biasanya ia juga tidak suka marah-marah apalagi pada pelanggan rumah makan.

"Jadi... kita ke Cemara dulu, ya Beib. Mau beli apa di sana?"

Meskipun mendengus karena kurang suka dipanggil Beib, tapi Foni memberi jawaban juga, "Biji kopi."

Raga melirik jam tangan sporty berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sambil bergumam sendiri, "Macet nggak ya, jam segini kita ke sana?"

"Lha kan, kamu bukannya polisi pengatur lalu lintas? Aturlah kalo ada macet!"

Kontan Raga tertawa terbahak-bahak. Foni sangat lucu mengira dirinya adalah polantas. Waktu mengajak mengajak Foni nikah, wanita itu pernah bertanya tentang pekerjaannya dan Raga bilang dia bekerja sebagai pengatur lalu lintas. Foni pasti mengira polisi.

"Apa, sih?" tanya Foni bingung. Raga mengibas-ngibaskan tangannya, masih tertawa, mata kejoranya hanya kelihatan segaris.

"Raga! Kalo kau masih tertawa, aku akan turun di sini!"

"Ini jalan tol!"

"Biar!"

"Oke! Oke! Aku cuma mau bilang, kamu sangat lucu! Aku bilang kerjaku pengatur lalu lintas. Kamu langsung kepikiran polantas. Kamu memang...."

Raga mengacak-acak rambut Foni yang berombak sebahu. Wanita itu kurang senang diperlalukan seperti anak-anak dan berusaha menepis tangan Raga.

"Jangan mengacak rambutku. Aku bukan anak-anak!" protesnya. Raga masih tertawa.

"Berapa usiamu?"

"Nggak sopan tanya usia! Tapi coba tebak!" tukas Foni dengan semangatnya. Raga kelihatan berpikir. Sebelumnya pria itu memang tak pernah mencari tahu tepatnya berapa usia wanita yang diajaknya menikah ini. Pokoknya dalam usia produktif, seperti dirinya.

"Uhm, mungkin.... 27," tebaknya pelan. Raga ingin bilang 28 tapi ia terlalu malu mengakui kalau Foni lebih tua setahun darinya. Sedangkan Foni, setelah mendengar tebakan dari pria di sampingnya, tersenyum-senyum bahagia.

"Salah?"

Foni cekikikan. Terpaksa meski tidak suka, Raga bilang, "Dua puluh delapan."

Suaranya terdengar tidak yakin. Namun Foni menggeleng masih cekikikan.

"Bukan? 29 atau 30?"

Suara Raga makin tidak yakin. Ia ragu apakah mungkin Foni jauh lebih muda. Foni makin geli. Merasa senang juga karena Raga tidak bisa menebak usianya, artinya dia awet muda.

"Tau nggak, waktu kamu lagi masih ngompol di popok, aku sudah mau masuk TK," ujar Foni nakal. Raga tampak tidak percaya, keningnya berkerut, dan alisnya bersambung. Ia tidak mau menerima kenyataan kalau wanita yang diincarnya jauh lebih dewasa darinya.

"Plis, katakan saja usiamu yang sebenarnya! Jangan suruh aku menebak-nebak!" protes Raga kesal. Foni tertawa sambil menutup mulutnya, mata lebih sipit dari biasanya.

"Masih mau ngajak nikah, Dek?" godanya sombong dengan hidung terangkat tinggi. Raga tersenyum, bibir bawahnya jadi agak turun ke bawah. Dia menggelengkan kepalanya, bukan karena menyesali perbuatannya mengajak Foni menikah, tapi karena ingin menyangkal usia wanita itu yang terpaut jauh di atasnya.

"Fon..." panggil Raga serius. Foni jadi ikut-ikutan serius.

"Nikah, yuk! Lebih cepat, lebih baik! Mengingat usiamu...."

Sepanjang perjalanan menuju tempat yang dituju, lengan Raga habis dipukuli Foni.

🌸 Mengejar Jodoh 🌸

Ngakunya lapar, Raga mengajak Foni makan malam, tapi tempatnya harus pilihan pria itu. Foni sendiri juga merasa lelah dan lapar, jadi ia bilang terserah. Walaupun kadang jawaban terserah itu bikin Raga keki, tapi sekali ini ia bersyukur karena Foni menjawab begitu.

Agak curiga awalnya karena mobil yang dikendarai Raga menuju kompleks perumahan baru. Foni pikir mungkin ada cafe yang baru dibuka di sana, apalagi Raga dekat dengan Rimba, food blogger tenar kota Medan.

Namun... Foni merasa aneh karena Raga masuk ke salah satu cluster rumah lalu menghentikan mobilnya di depan rumah bercat putih abu-abu. Foni mencari ke sana-sini, di mana cafe atau rumah makan tetapi dia tidak bisa menemukannya.

"Di mana kita makan malam?" tanyanya. Raga tersenyum aneh tampak misterius dengan tatapan aneh begitu.

"Di sini," jawabnya.

"Tapi tidak ada cafe di sini," tukas Foni cepat. Raga terbahak.

"Siapa bilang kita akan makan di cafe, Beib? Orang mau nikah, harus ketemuan sama orang tua dulu."

Foni bengong, lidahnya kelu mendengar Raga mengatakan kalau mereka akan makan malam bersama orang tua pria itu. Seumur hidup, dia belum pernah diajak bertemu dengan orang tua pria yang dekat dengannya, bahkan ketika pacaran dengan Bayu selama empat tahun, Foni belum pernah bertemu orang tua pria itu yang tinggal di Jakarta.

Jujur, Foni tidak tahu harus berbuat apa. Dia diam di mobil tetapi Raga sudah mematikan mesin. Ia cemas, menggigit bibirnya sendiri. Raga menoleh dari luar mobil dan melambaikan tangannya. Pria itu memberinya senyuman yang menenangkan.

Ampun! Dia bukan siapa-siapaku! Kami tidak pacaran. Ajakan nikah itu cuma keisengannya.

Sementara itu, pintu rumah vila bercat putih abu-abu terbuka. Dari dalam muncul seorang pria, seusia Raga. Foni menyipitkan matanya, berusaha untuk melihat lebih jelas sosok tinggi berkaki panjang itu. Sedangkan Raga tampak tidak senang dengan kemunculan Rimba.

"Ngapain datang? Aku dan Mama ada acara, lho," teriak Raga sambil cemberut.

Rimba tertawa melihat kekesalan sepupunya.

"Mama mengundangku. Aku kan, anak angkat keluarga ini," ejeknya sengaja memanas-manasi Raga. Rimba lalu melambaikan tangannya ke arah Foni, memintanya untuk segera turun dari mobil. Raga menepiskan tangan Rimba.

"Jangan sok akrab sama pacarku!"

"Eh, hasil akhirnya belum ditentukan!"

Kedua pria yang sama-sama ganteng itu berdiri berhadap-hadap, siap untuk perang. Sampai sosok wanita keibuan keluar dari rumah dan mencairkan suasana.

"Kapan kalian akan mengajak calon mantuku masuk?"

🌸 Mengejar Jodoh 🌸

🌹Catatan :

3 ribuan kata. 😂

Tadinya saya cuma iseng nulis ini. Teringat nenek dan keluarga papa, ketika menghadiri acara pernikahan anak dari kakak sepupu. Papa saya berasal dari keluarga besar. Waktu kecil, kami sering ngumpul pas di liburan sekolah. Main, bertengkar, makan bersama di rumah nenek.

Tapi kisah Mengejar Jodoh ini bukan berasal dari keluarga Papa, kok. Murni pemikiran saja.

Dulunya saya tidak yakin bisa nulis yang jauh dari janda, duda, karena nulis yang pelakor di Romeo Pinjaman saja bikin pusing. Tapi Raga bikin saya nagih nulis. Sehari pasti ada yang saya tulis. Semoga, tak lama bisa tamat. Karena you know, semua tulisan saya tak lebih dari 12 chapter. Yang selalu baca tulisan saya, pasti tahu.

Ok, sekian chapter ini. Tankis, ya! Komen kalo mau.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top