🌸3. Kalau Judes, Jodohnya Jauh🌸

Elita Jo hanya mengira anak laki-lakinya mabuk dan memilih mengabaikan perkataannya. Ia juga menyalahkan Rimba karena telah mengajak Raga minum bir di siang bolong. Tak ada gunanya Rimba membela diri karena sejak melihat Foni, Raga memang jadi kurang waras.

"Mau pesan apa?" tanya Foni. Bahasa tubuhnya cukup jelas kalau ia tak ingin melakukan kontak mata dengan Raga yang sedang tebar-tebar pesona dengan memegang bibir bawahnya. Rimba cukup puas karena Foni tak menunjukkan rasa tertarik pada Raga. Dulu, Rimba pernah suka pada Foni tapi karena wanita itu tak pernah memberi kode, akhirnya ia menyerah dan memutuskan hanya menyukai makanan di rumah makan itu.

"Siapa namamu?" tanya Raga sambil mendongak menatap Foni yang menunggunya memesan hidangan.

"Simfoni. Simfoni Virgo," jawab Rimba. Raga dan Foni sama-sama mendelik padanya.

"Sini Fon, biar aku yang tulis mau pesan apa," tukas Rimba sambil merebut kertas dari tangan Foni dan menulis dengan cepat. Pekerjaanya sebagai food blogger membuatnya hapal luar kepala menu best seller di tempat ini. Rimba lalu menyerahkan kertas itu kembali pada Foni. Ketika Foni meninggalkan meja itu, Raga masih senyum-senyum sendiri. Tangan kanan mengusap-usap pipinya.

"Ngapain kau cengengesan kayak orang gila?" tanya Rimba sebal.

Raga kalau tersenyum bibir bawahnya jadi kelihatan jatuh, terlihat seksi apalagi kalau ia memamerkan barisan giginya yang bagus. Wanita mana pun pasti meleleh dibuatnya.

"Kau sudah sering ke sini, ya? Kau kenal baik dia?" tanyanya. Tatapan matanya mencuri pandang ke arah dapur, seakan ia senang hanya dengan melihat pucuk kepala Foni dari jendela kecil. Rimba memijat keningnya. Kepalanya mendadak pusing.

"Nanti kita sering-sering ke sini, ya," ucap Raga pelan.

Mampus!

🌸 Mengejar Jodoh 🌸

Pria tampan berbibir seksi itu datang lagi. Foni melihatnya sedang memarkirkan motornya Yamaha-nya di depan rumah makan Memori. Kali ini dia datang sendiri tanpa temannya yang food blogger itu. Foni mengakui kalau sebenarnya pria itu cukup tampan. Matanya bersinar tajam, hidung mancung, rahang yang kokoh, dan bibir yang seksi kalau bicara bibir bawahnya tampak jatuh, juga dahi lebar yang menunjukkan kalau dia pemikir yang cerdas. Hanya saja pertemuan pertama mereka agak kurang mengesankan. Foni kesal harusnya setelah menabraknya, pria itu wajib meminta maaf. Dirinya menunggu beberapa detik, memberinya kesempatan setidaknya basa-basi, tapi pria itu tak juga melakukannya. Jadi Foni dengan cueknya bilang sorry dengan nada tajam tanpa menoleh. Wanita itu tahu kalau Rimba, pria yang satunya lagi itu menyembunyikan senyum di ujung bibirnya.

"Lihat apa, sih?"

Foni terkesiap karena kegiatan mengintip pria tampan dari jendela dapur juga diikuti oleh kakak sepupunya Melodi. Melodi mengibaskan rambutnya dan ikut memanjangkan lehernya untuk melihat ke luar.

"Eh tamu, ya?"

Foni pura-pura acuh seolah bukan pria itu yang dilihatnya dari balik jendela dapur tadinya. Tangannya pura-pura sibuk mempersiapkan kuali.

"Eh, tamunya ganteng, ya. Aku nggak pernah melihat dia sebelumnya," tukas Melodi heboh.

"Apa semua tamu kita harus kau lihat sebelumnya?" balas Foni tajam. Melodi berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ckckckck! Katanya kalo judes jodohnya makin jauh semeter, lho," goda Melodi jail. Foni mendelik kesal.

"Biarin! Dekat atau jauh bayarnya sama!" balasnya masih ketus. Melodi tertawa cekikikan seperti nenek sihir yang berhasil meracuni Putri Salju tapi sayang Foni bukan putri. Foni ikut tertawa walaupun ujung matanya masih mencuri pandang ke arah pemuda yang telah memasuki rumah makannya.

"Aku keluar dulu ya, Dek. Mau tanyain tamu itu sekaligus liat dari dekat tamunya beneran ganteng nggak," tukas Melodi genit. Foni menunjukkan wajah ingin muntah.

"Kulaporkan kau kepada Kakak Ipar!" ancamnya. Melodi pura-pura takut dan gemetar ketika suaminya disebut.

"Ouch! Jangan-jangan!"

"Jijay!!! Pergi sana kau!!!"

Melodi tertawa lalu cepat-cepat membawa bokong montoknya meninggalkan dapur sebelum Foni muntah di wajahnya. Namun ia sempat mendengar teriakan Foni yang memintanya mengikat rambut berantakannya. Ia meraih buku menu, mengikat rambutnya lalu mencari sosok tampan yang baru saja diintipnya dari dapur. Melodi sekarang berusia 35 tahun sudah punya sepasang anak dalam usia remaja tapi kalau melihat wajah tampan tetap saja ia suka. Ia tidak macam-macam dengan pernikahannya, hanya sekedar suka memandang saja. Atau kalau boleh, ingin dijodohkan dengan Foni.

Tahun ini usia Foni sudah 31 tahun dan belum berniat menikah. Ngakunya lagi punya pacar tapi belum dikenalkan kepada keluarga. Sebagai sepupunya, Melodi menguatirkan keadaannya. Foni adalah produk dari kegagalan rumah tangga. Ibunya bersaudara dengan ayah Melodi, ditinggal pergi suaminya saat Foni masih kecil. Ayahnya pergi bersama perempuan lain. Foni membenci ayahnya dan tidak mau mengakui ayahnya sampai sekarang. Melodi kuatir kalau kegagalan rumah tangga orang tuanya mempengaruhi pola pikir Foni. Sepupunya itu bukannya tak laku. Ia pernah menjalin hubungan dengan beberapa pria. Hanya saja tak pernah sampai ke jenjang yang lebih serius. Paling yang serius cuma sama Bayu Adiyaksa tapi pria itu memang bangsat. Malah nikah sama perempuan lain.

"Halo!"

"Selamat siang. Mau pesan apa, Pak eh Babang Tampan? Duh!"

Melodi menggaruk-garuk kepalanya dengan pulpen. Salah tingkah karena disapa duluan oleh tamu tampan. Biasanya kalau tampan suka sombong tapi ini beda.Dari gaya dan bahasa tubuhnya, ia ramah dan beneran ganteng dilihat dari dekat.

"Makasih sudah dipanggil Tampan. Aku pesan menu andalan rumah makan ini. Semur telur, sup bakso ikan, dan satu porsi nasi," ucap pria ganteng itu cepat tanpa susah-susah melihat buku menu. Karena ini, Melodi langsung menduga kalau dia sudah pernah datang sebelumnya, makanya sepupunya itu mengintip pria ini dari balik jendela dapur.

"Oke, porsi kecil atau besar?"

"Sebenarnya mau yang porsi besar tetapi takut nggak bisa habis kecuali ada yang mau bantuin habisin...."

Mata pria tampan berbibir seksi itu melirik tembus ke arah di belakang Melodi dan wanita itu langsung sadar kalau Foni muncul dari dapur. Tanpa sadar pria itu tersenyum dan membuat Melodi ikut meleleh.

"Porsi kecil, ya. Ditunggu kira-kira 20 menit," tukas Melodi dengan manis. Pria tampan itu mengangguk dan masih saja memamerkan senyum hangatnya tapi masih saja curi-curi pandang ke arah Foni. Melodi sangat penuh pengertian. Ia melambai pada Foni tapi diacuhkan oleh sepupunya itu dan membuat Melodi geram karena malu pada pria tampan ini. Ia berjanji dalam hati kalau nanti ia akan menjambak rambut adiknya itu.

Nggak apa, kok. Dia lagi jual mahal.

Melodi mengangguk lalu pamit ke dapur untuk menyiapkan pesanan tamu tampan itu. Bukan dia yang masak tapi tantenya alias ibunya Foni. Kadang Foni juga yang masak. Sejak kecil Melodi bantu-bantu di rumah makan milik neneknya. Kata nenek, kalau tidak membantu maka anak-anak tidak mendapat makanan.

Dulunya Melodi dan Foni mengira, nenek serius dengan ancaman itu. Namun ketika dewasa, keduanya sadar kalau sebenarnya nenek hanya ingin mewariskan ilmunya dan mengajarkan untuk mandiri. Keduanya merasakan kalau ajaran nenek ada gunanya, Foni sekarang bisa mengurus rumah makan dan Melodi juga punya usaha bento untuk anak sekolah.

Dua puluh menit kemudian.

"Pesanan tamu meja delapan!"

Foni mencari pegawainya yang sedang tidak mengerjakan apa-apa tapi ternyata tak ada satu pun yang sedang menganggur.

"Kak! Kak! Bawakan ini untuk meja nomor delapan!"

Melody melirik pesanan ini lalu melengos.

"Bawa sendiri! Aku sibuk!" jawabnya sambil tetap sibuk mengaduk-aduk sup yang sebenarnya sudah tak perlu diaduk.

Foni kesal padanya tapi Melody dengan cueknya bersenandung kecil.

Cause girls like you
Run around with guys like me
'Til sundown, when I come through
I need a girl like you, yeah yeah

Rasanya ia ingin mencekik kakak sepupunya ini saking kesalnya. Diliriknya pesanan itu, lalu menarik nafas panjang. Foni harus mengantarkannya ke meja delapan sebelum pesanan itu menjadi dingin. Sedari dulu nenek menekankan kalau jangan sampai pesanan menjadi dingin ketika sampai di meja tamu.

Sudahlah, pikirnya.

Meskipun enggan bertemu dengan pria itu, pesanan itu harus sampai di meja tamu. Foni akan mengantarkannya kemudian bilang selamat menikmati dan buru-buru pergi. Itu saja.

Foni mengangkat tray berisi pesanan dan melangkah mendekati meja di mana pria itu duduk dengan santai menghadap langsung ke pintu dapur. Jadi ketika Foni muncul, pria itu tersenyum padanya. Kaki Foni agak goyah melihat senyuman seksi dan sinar mata jenaka itu. Diletakkannya pesanan satu persatu ke atas meja dan tamunya itu memperhatikan terus. Tangannya sedikit goyang.

Bisakah nggak kau jangan terus-terusan senyum seperti itu?

"Selamat menikmati."

"Apa kau selalu judes pada tamu?" tanya Raga dengan nada tengil. Foni mendelik. Matanya yang besar makin melebar menatap pria muda itu.

"Judes?"

Bibir Raga tampak merengut dan ia mengangguk. Foni menyipitkan matanya menatap Raga dengan sebal. Ia tidak pernah sekalipun ribut dengan tamu. Namun pria ini tampaknya senang membuatnya marah.

"Tapi meskipun judes, kau tetep cantik, kok," tambahnya buru-buru. Foni seakan tak percaya mendengar rayuan gombal tamu rumah makannya sampai ia mengerjap-ngerjapkan matanya menatap pria itu.

"Apaaan, sih?"

"Tidak apa-apa. Aku makan dulu, ya. Nanti kita bicara lagi," tukas Raga lembut.

Siapa bilang aku sudi bicara denganmu lagi?

Foni tidak mau membalas perkataan tamunya langsung melangkah meninggalkan meja itu dan kembali ke dapur. Ia bertekad tak mau keluar lagi dari dapur meskipun tak ada satupun pegawainya yang bisa mengantarkan pesanan. Biar saja itu jadi urusan Melody atau ibunya daripada harus menghadapi tamu sinting macam pria itu.

"Ihh, ada yang melamun...."

Melody sengaja menyikut lengan Foni. Lalu mencubit pinggangnya.

"Siapa cowok tadi? Kenalan baru, ya? Cakep! Sudah punya pacar?"

"Tanya sendiri sana!"

Melody tertawa geli.

"Masih judes. Nanti jodohnya menjauh semeter, lho," godanya. Foni sengaja tidak mau mendengar candaan Melody dengan menyibukkan diri mencari-cari ikan di kulkas. Namun Melody tetap memburunya.

"Kalian pernah bertemu sebelumnya, kan Dek?"

"Entah! Aku lupa!" jawab Foni ketus.

"Masa lupa? Tamu ganteng gini tak gampang dilupakan," sindir Melody. Foni angkat bahu, masih saja menyibukkan diri di depan kulkas.

"Kakak tanya saja sendiri!" tukas Foni sambil membanting pintu kulkas. Melody tertawa dalam hati melihat bahasa tubuh adik sepupunya.

Positive! Mereka pernah bertemu sebelumnya!

"Dek, tuh cowok kayaknya lagi nyariin kamu, Dek," tukas Melody sambil mengintip dari jendela dapur. Foni pura-pura tak mendengar. Kalaupun pria itu mau membayar, ada ibunya di depan meja kasir.

"Dek!"

"Kak, tamu yang di taman itu katanya dari foodblogger. Mau ketemu Kakak, katanya," pesan pegawai perempuan bernama Anita. Pegawai muda berwajah tirus itu masih duduk di bangku sekolah, tepatnya kelas 12. Setahun lalu ia datang meminta pekerjaan ditemani ibunya yang juga bekerja di rumah makan Memori. Waktu itu, Anita baru kehilangan ayahnya. Ia sendiri ingin berhenti sekolah dan ingin bekerja membantu ekonomi keluarga, tapi Foni bilang padanya kalau ia boleh bekerja di tempat ini part time dan tetap harus menyelesaikan sekolahnya. Anita menurutinya.

Setahun telah berlalu, gadis ceria itu sekarang menjadi salah satu pegawai kesayangannya, karena ia rajin dan mau belajar. Kadang-kadang saat Foni ke kota, ia suka membawakan buku-buku tentang tanaman untuk gadis itu karena katanya ia tertarik dengan dunia flora.

"Kak, tamunya..."

Foni memandang ke arah taman di mana duduk beberapa orang yang diundangnya untuk memberikan review masakan di rumah makan Memori. Di era digitalisasi seperti sekarang ini, jasa food blogger memang sangat diperlukan oleh bisnis di dunia kuliner karena itu seminggu yang lalu ia menghubungi beberapa orang food blogger dan mengundang mereka makan siang di tempatnya.

"Kakak handle, ya. Trims, An!" ucap Foni sambil menepuk bahu Anita sebelum meninggalkan dapur. Ditemuinya grup beranggotakan lima orang terdiri dari tiga pria dan dua wanita berusia kira-kira 30-an ke atas itu dengan memberikan senyum terbaiknya.

"Selamat siang. Bagaimana makanannya? Saya Simfoni Virgo, pengelola rumah makan ini."

🌸 Mengejar Jodoh 🌸

Setelah membayar bill atas pesanannya, Raga belum juga beranjak dari tempatnya semula karena ia menunggu Foni. Ia bisa melihat wanita itu menemui tamu rumah makan di taman. Kelihatannya pekerjaan mereka sama dengan pekerjaan Rimba, sebab ada yang memotret masakan dan ada yang sibuk mengetik di ponsel. Wanita itu menjawab pertanyaan dari tamu-tamunya itu dengan ramah. Raga agak iri, sebab Foni tak pernah tersenyum padanya.

Bagaimana seorang wanita bisa tidak tertarik padaku? pikir Raga gusar. Ia menduga pastilah daya tariknya sudah berkurang sekarang, karena tak sekalipun Raga merasa pernah diabaikan sebelumnya. Bisa saja dia pergi dan melupakan Foni begitu saja, tetapi hatinya terlanjur suka pada wanita itu. Jadi ia menunggu. Menunggu Foni meninggalkan tamu-tamu rumah makannya.

Ketika orang-orang itu mulai berberes dan menyalami Foni, Raga merasa kesempatannya datang. Disambarnya jaket bombernya dan melangkah dengan cepat mendekati wanita itu.

"Hai! Bukankah aku bilang tadi kalo kita akan bicara?" Raga berkata dengan suara rendah dekat dengan Foni yang sedang membereskan piring-piring kotor di atas meja. Wanita itu terkejut dan hampir saja menjatuhkan piring kotor tapi Raga membantunya dengan menahan tangan yang hampir menjatuhkan piring.

"Hati-hati, Beib!"

Apaa!!!

Sudah mengejutkan orang dan sekarang dipanggil Beib. Foni menggertakkan giginya. Giginya agak besar tapi dia cantik dengan gigi kelinci begitu.

Kini, Foni berdiri berhadapan dengan Raga. Pria itu tampak berdiri dengan santai, tangan kirinya dimasukkan ke saku celana, sementara tangan kanannya menyampirkan jaketnya di bahu.

"Kamu maunya apa?"

Dia judes lagi.

Raga tersenyum nakal.

"Nikah, yuk!"

Kerongkongan Foni tercekat, jantung pun rasanya mau copot. Tangannya menekan dadanya, seakan ia bisa menghentikan detakan yang lebih cepat seratus kali lipat dari sebelumnya. Matanya mendelik, menatap Raga seolah pria itu gila.

Karena tidak dijawab, bibir Raga cemberut. Tangan kirinya mencolek lengan Foni. Wanita itu menepisnya dengan kasar tapi ia sadar tangannya sendiri gemetar dan berkeringat dingin, berharap Raga tak menyadarinya.

"Kau mabok!"

"Aku melamar, kok dibilang mabok? Serius! Nikah, yuk!" tukasnya enteng.

Hanya orang mabuk yang melamar seenteng ini. Melamar orang yang belum dikenalnya, mungkin nama pun belum tahu. Kalau tidak mabuk, pasti sinting.

Foni memukul dadanya sekali, mencoba untuk lebih tenang. Ia menelan ludah lalu menatap Raga dengan tatapan menantang. Pria ini harus segera diusir sebelum Melodi, ibu, dan neneknya tahu soal lamaran.

"Siapa namamu? Berapa usiamu? Apa pekerjaanmu sampai kau berani mengajakku menikah?"

Raga menegakkan badannya lalu tersenyum, senyum yang teramat manis sampai Foni merasa sangat nyaman. Nyaman dan lumer juga.

"Kenalin namaku, Raga Aditya Theo. Umurku 27 tahun. Pekerjaanku pengatur lalu lintas."

"Polantas kok bisa kulitmu putih gitu, ya?"

Gawat! pikir Foni. Tanpa membalikkan badannya, ia tahu kalau kakak sepupu kepo dan cerewet itu ada di belakangnya. Dirinya mulai berprasangka kalau kakak centil itu mendengar semua pembicaraan mereka sebelumnya. Tentang lamaran. Otak Foni mulai cari-cari cara agar Raga segera pergi dan berharap Melody tak perlu banyak beramah-tamah dengan pria yang baru saja melamarnya itu.

"Hai! Halo! Kakak cantik ini siapanya calon istriku?"

Mampus!

Yang ditanya ketawa cekikikan dan pura-pura malu karena dipanggil Cantik. Foni menatap Melody dengan tatapan membunuh.

Apa Kakak nggak ada kerjaan di dapur?

Calon istri?

Melody mengucapkan itu tanpa mengeluarkan suara. Foni wajib menjelaskan ini. Ada seorang lelaki tampan bertubuh tegap mengaku kalau Simfoni adalah calon istrinya, dan sebagai kakak sepupunya yang tiap hari bertemu dengannya, Melodi sama sekali tidak tahu.

Dengan gaya sok akrabnya, Melody mendekati Raga dan Foni. Sekarang berdiri di tengah-tengah keduanya.

"Aku kakak sepupunya, rumahku di sana. Di ujung jalan itu," Melody memperkenalkan diri tanpa canggung. Raga menganggukkan kepalanya sedetik.

"Kakak Ipar, halo! Namaku Raga," sapanya sambil memperkenalkan diri tanpa malu-malu.

"Apa di antara kalian berdua ada yang bisa jelasin kenapa aku tiba-tiba jadi kakak iparnya pria tampan ini?"

"Mihhhhhh!!!! Kami sudah pulang!"

Melody yang masih menunggu jawaban dari Raga dan Foni berjengit mendengar teriakan anak perempuannya. Sebagai ibu, ia menduga kalau anak perempuannya itu dalam taraf kelebihan hormon remaja, berbeda dengan kakak laki-lakinya yang agak diam.

"Mih, kami dijemput Papih! Mamih janjinya mau jemput tadi. Kok, jadinya Papih? Eh, ini siapa, Mih?"

Anak remaja berkacamata, rambutnya diekor kuda agak berantakan menyadari kalau ada seorang pria asing sedang bersama dengan ibu dan tantenya. Ia sebenarnya sering bertemu dengan orang asing di rumah makan neneknya tapi yang ini agak sedikit berbeda karena ia sadar kalau sebelum ia teriak memanggil ibunya, mereka sedang terlibat dalam pembicaraan.

"Anu, Kalya, dia itu...."

Melody berbisik di telinga anak perempuannya.

"Calon suami Tantemu."

Kalya, remaja yang baru menginjak 15 tahun itu mendelik, menatap tantenya, lalu menatap pria asing di depannya.

"Oom!"

Sebab tak ingin lagi ikut serta dalam adegan-adegan absurd selanjutnya, Foni memilih pergi meninggalkan tempat itu sambil membawa piring kotor, dibantu oleh keponakan laki-lakinya yang masih memakai seragam sekolah putih abu-abu.

"Lho, Fon? Kok, Raga ditinggal, sih?" tanya Melodi bingung.

"Calon istriku ngambek, Kak," sahut Raga sedih. Melody menarik nafas panjang, ia berniat menghibur Raga tetapi sudah diambil alih oleh anaknya.

"Oom, Oom jangan sedih gitu. Biasanya Tante ngambek nggak lama, kok."

Melody mendelik ke Kalya, ternyata anak remaja bertubuh subur dan berkacamata minus ini sudah menyukai Raga meskipun tantenya sendiri, wanita yang dikejar pria ganteng itu masih saja cuek. Dipandanginya punggung Foni yang berjalan masuk ke dapur. Foni memang mengaku punya pacar, tapi tidak menutup kemungkinan kalau yang satu ini adalah jodohnya. Adalah tugas Melody sebagai kakaknya untuk membuka jalan bagi Raga untuk mendekati Foni. Dilihat dari penampilannya, Raga kelihatan baik dan jikalau dia nantinya tidak baik, Melody adalah orang pertama yang akan menyingkirkannya.

Melody mengangguk pasti.

🌸 Mengejar Jodoh 🌸

Foni mengintip Raga dari jendela dapur. Pria itu berdiri di taman di antara tanaman bunga bougenville merah muda yang ditanam oleh Anita, sedang bicara dengan Melody dan Kalya. Tampaknya ia sedang pamitan sebab setelah itu, Raga memakai jaketnya dan mengambil motornya Yamaha CBR hitam yang terparkir tak jauh dari sana.

"Dia siapa, Tante?" tanya Satya, kakak lelaki Kayla. Remaja jangkung dan kurus itu berdiri di belakang Foni dan ikut mengintip.

"Orang mabok!" jawab Foni sekenanya.

🌸 Mengejar Jodoh 🌸

🌸 Saya lagi rajin, jadi langsung update chapter 3.
🌸 Silakan menikmati dan kasih komen.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top