🌸2.Jodoh Ada di Mana-mana🌸
Raga membuka jaket bomber sebelum menghempaskan tubuhnya di kursi Starbucks Coffee. Dia baru selesai shift pagi dan butuh segelas Americano untuk mengembalikan kesadarannya. Kemarin malam pria itu sulit memejamkan matanya karena berusaha mencari jalan keluar atas surat wasiat Oma. Ia masih belum memberitahu orang tuanya tentang isi surat itu padahal isinya sangat penting dan menyangkut seluruh keturunan Theo. Raga tidak bisa memberitahukan mereka karena tak ingin mereka ikut sibuk memikirkan penyelesaian wasiat yang sebenarnya gampang. Raga hanya perlu nikah. Namun dibilang gampang, tidak juga. Ibunya, Elita Jo pasti sangat senang kalau putranya mengatakan mau menikah walaupun tak punya calonnya, Raga yakin ibunya bisa menyediakannya.
"Kenapa wajahmu muram, Ga?"
Raga menoleh. Adik sepupunya Rimba Theo ada di belakangnya dengan cengiran khasnya.
"Bisa nggak, kalo muncul jangan tiba-tiba?"
Rimba tak menjawab malah cengar-cengir tak jelas.
"Kusut Bro. Kenapa? Diputusin pacar?"
Selesai berkata demikian, Rimba sadar bahwa tak mungkin sepupunya itu diputusin wanita. Yang ada malah Raga yang mematahkan hati para wanita itu, lalu ada sekali dua kali, mereka curhat ke Rimba. Meski usaha itu sia-sia. Raga mana mau tahu, putus ya putus saja.
Raga menarik nafas panjang ketika Rimba duduk di hadapannya. Lelaki itu langsung tahu kalau sepupunya ini pasti sedang ada masalah. Raga sebenarnya bukan jenis orang yang gampang curhat tentang masalah pribadi tapi jika ia benaran mau curhat, maka Rimba adalah orang yang dicarinya di tempat teratas. Karena mereka berdua hampir sebaya dan Rimba juga dekat dengan orang tuanya Raga.
"Ga, kerjaanmu ok, kan?"
Rimba mulai menduga bahwa Raga memintanya menemuinya di bandara adalah karena masalah pekerjaan. Mungkin saja Raga mulai bosan dengan rutinitas pekerjaannya yang begitu-begitu saja. Sepupunya memang tipikal gampang bosan jadi tak heran Rimba menganggapnya begitu.
Raga memijit keningnya dengan telunjuk kanannya lalu mengetuk meja dengan jari kiri. Rimba makin penasaran dibuatnya sebab Raga hanya diam dan menatap lurus ke arahnya tapi tatapannya kosong.
"Raga!"
Lelaki itu terkesiap mendengar teguran yang agak keras itu.
"Maaf. Aku lagi banyak pikiran. Itulah sebabnya aku mengundangmu ke sini untuk membicarakan masalahku yang sedikit-banyak juga berhubungan denganmu."
Rimba menatap Raga sambil mengerutkan kening. Mata sipitnya jadi tinggal segaris. Ia mulai berpikir kalau ini lebih serius dari dugaannya semula karena sepupunya itu mengatakan kalau masalahnya juga berhubungan dengannya.
"Jadi... Ga, kau mau mulai cerita kenapa masalahmu ini ada menyangkut aku juga?"
Raga mengangguk lalu melipat tangannya dengan kaku. Ia mendesah pelan, kakinya bergoyang tandanya gelisah.
"Rumah keluarga Theo milik Oma. Kau ingat kita selalu ada di sana setiap malam menjelang Imlek?"
Rimba tersenyum mengingat masa kecilnya bersama Raga dan sepupu-sepupu yang lain bersama Oma yang mereka sayangi, yang selalu bijaksana melerai cucu-cucunya jika ada yang bertengkar. Bukan sekali dua kali Rimba pernah berkelahi dengan Raga karena berebut mainan atau makanan tapi Beliau selalu bisa jadi penengah yang baik. Keduanya dihukum lalu karena dihukum bersama, Raga dan Rimba baikan lagi.
"Imlek sebentar lagi. Oma sudah pergi hampir setahun..."
Tanpa disadari ujung bibir Raga membentuk senyuman. Dia kangen Oma, dia rindu masa kecilnya.
"Rumah itu.... sudah dibacakan wasiatnya? Itu jadi milikmu, kan?" tanya Rimba hati-hati. Sebenarnya ia ragu mengajukan pertanyaan mengenai surat wasiat Oma karena kuatir Raga akan menaruh curiga kalau Rimba juga menginginkan rumah itu. Rimba merasa tak pantas saja jika diberi tanggung jawab mengurus rumah besar itu.
Raga mendesah pelan saking pelannya Rimba jadi curiga kalau memang ada sesuatu yang penting berhubungan dengan rumah warisan itu.
"Ga... ada apa dengan rumah itu, Ga? Kau mau cerita soal itu, kan?"
"Rumah itu akan jadi milikku kalo aku menikah. Kau percaya? Oma. Oma kita melakukan ini padaku. Memaksaku menikah supaya aku bisa memiliki rumah itu. Kau kan tau, kalo aku nggk mau nikah muda tetapi aku tentu saja nggak bisa membiarkan rumah itu jatuh ke tangan Eric! Apa pun caranya rumah itu harus jadi milikku!"
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Raga sementara Rimba bengong. Mulutnya mengeja nama Eric tanpa suara.
"Yang harus kulakukan adalah menikah!"
Raga sudah berpikir semalaman bahwa satu-satunya cara menyelamatkan rumah itu adalah dengan pernikahan.
Persetan siapa calonnya! Kurus, gemuk, pendek, tinggi, cantik... jelek... Kalau bisa cantik.
Rimba tetap tenang dan mencoba berpikir jernih tentang alasan Oma mewariskan rumah dengan persyaratan pernikahan kepada Raga. Dia tahu bahwa Oma sayang pada Raga. Ia sayang kepada semua cucunya tanpa kecuali. Namun memang jika Rimba harus menggali kenangannya, rumah itu mestinya jatuh ke tangan Raga.
"Serius kau mau nikah?" tanya Rimba pelan. Raga menarik nafas lalu menggangguk.
"Serius kau?" ulangnya karena ia tak yakin dengan anggukan kepala sepupunya.
"Iyalah!"
"Mana calonnya? Siapa maksudku? Yumita yang baru kau putusi itu? Atau jangan bilang Tante Helena, dia emang naksir kau tapi kan dia masih ada suaminya!"
"Bangsat kau! Mau kubunuh?"
Rimba tergelak.
"Louise Novella?"
"Darimana kau tau aku pacaran dengannya?" pekik Raga. Matanya membulat tapi tetap saja bersinar-sinar nakal. Rimba mengangguk.
"Waktu kau pinjam mobilku, ada tertinggal charger hp bertuliskan namanya. Jadi aku tahu kau ngedate sama dia," tukas Rimba.
Raga mengusap-usap tengkuknya sambil tersenyum. Ia suka pada Louise tapi untuk menikah dengannya, sepertinya tidak. Raga bisa membayangkan nanti hidupnya akan diisi terus dengan wanita yang sibuk dengan bulu mata palsu. Ia tidak sudi.
"Carikan satu Rim. Buat dijadikan istri!"
Rimba diam karena Raga sama sekali tidak menunjukkan kalau ia sedang bercanda. Tatapannya tajam dan rahangnya juga ikut tegang.
"Ga, kau tau kenapa Oma ingin kau yang mewarisi rumah itu?" tanya Rimba. Kali ini dia juga menunjukkan sisi seriusnya. Raga menatapnya lurus tapi tidak menjawab.
Semua cucu Oma besar di sana tak terkecuali Raga dan Rimba. Mereka semua dekat dengan Oma. Semua merasa nyaman di rumah Oma di mana cucu-cucu dimanjakan dengan masakan enak. Tidak semua menantu Oma pintar masak tapi biarpun bisa masak, tak ada yang bisa menandingi masakan Oma.
"Ga... hanya kau yang terikat dengan rumah itu."
Raga tersenyum kecut. Rimba pasti bohong kalau ia mengaku tidak suka rumah Oma. Sepupunya itu pasti sengaja mengatakan itu supaya tidak membebani dirinya.
"Jangan bilang kau tidak suka rumah Oma!"
"Aku tidak bilang tidak suka!" sergah Rimba tajam. Suaranya cukup keras sampai membuat orang-orang di samping kursinya menatapnya dengan perasaan terganggu. Raga juga menaikkan sebelah alisnya menatap Rimba.
"Aku bilang kau terikat dengan rumah itu. Bukan aku tidak menyukai rumah Oma," ucap Rimba memelankan suaranya.
Raga mengerutkan keningnya pertanda ia meminta penjelasan pada Rimba. Sedangkan Rimba sedang mempersiapkan diri menerima amukan dari orang di hadapannya. Raga memang orangnya begitu, suka berdarah panas, gampang emosi. Namun sebenarnya hatinya baik dan penyayang. Dan nenek mereka tahu bagaimana sifat Raga, makanya dia dipercaya atas rumah tua itu.
"Kita lahir dan besar di sana, Ga. Tak ada yang memungkiri kalo kita menyimpan kenangan bersama Oma di dalam hati. Tetapi kau berbeda. Aku selalu ingat kau selalu bilang pada Oma, kau akan mengurus rumah itu."
"Aku ada bilang begitu?"
Rimba tersenyum dan mengangguk. Mengenang Raga kecil berlari-lari menyongsong Oma dan berteriak bangga kalau dia meraih peringkat satu di kelas. Sesuai dengan janji Oma kalau dia juara kelas maka nanti rumah Oma akan diberikan kepadanya saat dia dewasa.
"Berkali-kali waktu kita kecil. Dan Oma percaya kau bisa melakukannya."
"Aku tidak ingat," kilah Raga. Rimba tersenyum tipis.
"Tidak penting, Sepupu. Yang penting Oma ingat."
Raga angkat bahu. Diusap lagi tengkuknya, gerakan khasnya kalau sedang galau.
"Kalo gitu, kasih aku saran. Aku mau menikah tapi nggak punya pacar."
Rimba tergelak. Raga memang sinting. Sejak dulu dia tahu kalau Raga punya otak yang tak beres. Waktu sekolah, dia sering bolos. Waktu ketahuan ternyata ia pergi menjadi guru les matematika supaya bisa mendapatkan banyak uang yang digunakannya untuk membeli peralatan merakit RC pesawat. Waktu kuliah, Raga juga menolak kuliah karena ayahnya menginginkannya kuliah di Medan mengambil jurusan Manajemen. Ia pergi ke Jakarta, sendirian dengan uang hasil menang di berbagai lomba merakit RC pesawat dan mendaftar di universitas jurusan pengatur lalu lintas udara. Ayahnya sendiri bingung dengan pilihannya. Namun tak bisa ditentang karena Raga bilang bila tidak di sini maka ia tak akan kuliah. Ibunya Raga marah dan tak mau bicara dengan Raga selama beberapa bulan karena hal itu. Oma juga yang jadi penengah.
Inilah Raga Aditya Theo. Keras kepala, berkemauan keras, childish, tapi penyayang. Khusus sifat yang terakhir itu diturunkan dari nenek yang mereka sayangi.
"Ga, sebenarnya gampang sih, kalo pengen rumah itu tanpa harus memenuhi persyaratan Oma," tukas Rimba pelan. Serasa menemukan kunci jawaban dari permasalahannya, bibir Raga mulai bisa tersenyum. Memang terkadang bicara dengan Rimba seperti bicara pada dirinya sendiri karena sepupunya itu seperti bayangan di cermin. Rimba sama gilanya dengan Raga, sama-sama cerdas, sama-sama player.
"Cepat katakan bagaimana caranya, Bro!"
Rimba menangkupkan kedua tangannya di depan wajahnya dan berkata, "Biarkan Eric memiliki rumah itu. Kelak dia pasti akan menjualnya karena butuh uang buat judi."
"Bangsat kau!" maki Raga kesal. Mungkin Rimba harus merasa untung karena tumbler starbucks tak sampai mendarat di wajahnya. Namun semua anggota keluarga Theo pasti tahu kalau Eric akan menjual rumah Oma cepat atau lambat. Jika dia kalah di meja judi, apapun akan digadaikannya termasuk harga dirinya yang tak seberapa itu.
"Aku serius, Ga. Kenapa kau pusing memikirkan pernikahan sementara kita sama-sama tau kalo kau tak akan menikah dalam waktu dekat? Mengapa tidak kau tunggu saja ketika Eric mulai kehabisan amunisi dan membeli kembali rumah itu? Itu jauh lebih mudah namun membutuhkan kesabaran," tukas Rimba. Penilaiannya tidak salah tapi tentu saja itu jadi berbeda karena kemauan Oma bukan itu. Rimba sadar goal dari surat warisan bukanlah rumah menjadi milik Raga, tapi cucunya itu bisa hidup lebih baik dengan berkeluarga. Semasa hidupnya Oma cukup pusing memikirkan Raga yang suka gonta-ganti pacar. Oma pernah membicarakan itu dengan Rimba. Hanya saja sekarang ketika Beliau sudah tiada, Rimba akan kesulitan menjelaskannya pada sepupunya.
"Aku mau menikah."
"He-eh!"
Bibir Raga merengut melihat reaksi Rimba yang tak peduli.
"Carikan aku jodoh!"
Rimba terbahak.
"Kau tak perlu susah-susah mencari jodoh, Ga! Sumpah! Jika memang jodoh, kau bahkan bisa menemukannya di mana-mana!"
"Sok tua kau!"
"Aku lapar ngomong bak orang tuamu. Bayarin aku makan enak! Perkara cari jodoh, nanti kita bicarakan kalo aku sudah kenyang!" raung Rimba sambil memegangi perutnya dan berlagak bagai orang yang sudah tidak makan berhari-hari.
"Mau makan di mana kau?"
"Nah!"
❤️ Mengejar Jodoh ❤️
Jodoh seperti kata Rimba. Tak perlu dicari karena bisa muncul di mana saja, di jalan, di tempat kerja, mall, warung kopi, rumah makan.
Rimba mengajak Raga makan di sebuah rumah makan sederhana yang masih dekat dengan bandara dan dikelola turun-temurun oleh tiga generasi.
Menurut Rimba, menu yang dihidangkan mereka adalah menu sederhana, tidak seperti menu restoran mewah tetapi tempat ini hampir mirip dengan rumah kenangan mereka. Raga cukup merasa penasaran dengan kata-kata sang sepupu. Namun ketika mereka sampai di tempat itu, Raga mau tak mau memang harus percaya.
Rumah makan itu terletak di jalanan kampung. Tanahnya luas, ada dua bangunan. Satu berfungsi sebagai rumah makan dan satu lagi adalah tempat tinggal pemiliknya. Di depan rumah ada taman bunga dan berdiri tenda-tenda kecil bagi para tamu yang ingin makan di luar. Raga lebih memilih ruangan ber-ac karena panasnya cuaca siang itu.
"Gimana? Kau suka tempatnya?" tanya Rimba ketika disadarinya kalau Raga sedang mengagumi tempat itu.
"Biasa saja," jawab Raga. Rimba menyembunyikan senyumnya. Raga Aditya Theo, jika mengagumi sesuatu maka ia tak akan dengan mudah mengakuinya. Namun apa yang ditunjukkan raut mukanya sudah lebih dari cukup untuk membuat Rimba percaya kalau Raga suka suasana rumah makan itu.
"Aku cuma heran kalo aku nggak tau ada tempat seperti ini di dekat tempat kerjaku," tukasnya. Rimba mengangguk-angguk seolah ia setuju.
"Kau sih hedon! Makannya mana mau di tempat seperti ini," sindir Rimba.
"Diam kau!"
Rimba terkekeh lalu meraih buku menu yang ada di meja. Sebenarnya hanya bergaya melihat buku menu, ia sudah tahu mau pesan menu yang mana saja.
"Kuserahkan padamu menunya. Mau numpang toilet dulu," tukas Raga sambil bangkit berdiri.
"Beres, Bro! Pasang mata, yah. Mungkin jodohmu ada di sekitarmu!"
Raga yang baru melangkah terhenti mendengar sindiran Rimba, ia membalikkan badannya yang atletis dan mengeluarkan sumpah-serapah.
"Hei Jing! Mau kumatikan kau di sini?"
Rimba terkekeh. Raga melangkah tanpa melihat ke depan dan ....
"Duh!!"
Raga menabrak seorang wanita.
Rimba sama terkejutnya.
Wanita itu berparas judes, tingginya tidak sampai sebahunya Raga, matanya indah. Ia tidak tersenyum tapi Raga tahu, kalau wanita itu tersenyum pastilah sangat manis. Hatinya berdesir halus. Jauh di lubuk hatinya, Raga tahu kalau ia harus mengejar jodohnya yang ini.
"Hai Fon! Senang melihatmu! Itu yang baru menabrakmu adalah sepupuku."
❤️ Mengejar Jodoh ❤️
"Maaaaaa....."
Raga menaiki dua anak tangga sekaligus.
Ibunya, orang yang sedang dicarinya ada di kamar sedang menggulung rambutnya.
"Maaaa, aku mau menikah!"
Ibunya Raga, Elita Jo melongo memandangi putranya semata wayang sambil memegang gulungan rambutnya.
❤️ Mengejar Jodoh ❤️
🌸 Hai! Saya kembali dengan part 2. Gimana? Suka? Sebel? Benci? Kecepetan alurnya?
🌸 Kalian penasaran siapa Fon ini? Pengen kenalan nggak? 😛 Iyalah! Raga aja langsung tancap gas.
🌸 Komen ya. Apa pun itu.
Luv yaaa
CS
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top