👆Play mulmed.
"Jangan pergi, Dani! Kumohon ... bagaimana dengan anak kita?"
Foni masih menguap ketika sayup-sayup terdengar suara Nora, ibunya dari teras rumah. Pelan-pelan diseret langkahnya untuk melihat dengan siapa ibunya berbicara dengan nada memohon. Namun belum mencapai pintu, terdengar suara seorang lelaki. Suara yang cukup akrab di telinganya walaupun ia lupa siapa pemiliknya.
"Kita pisah. Sejak dulu kau sudah tau kalau aku tak pernah mencintaimu."
Foni heran. Selama ini ibunya memang orang tua tunggal dan tidak ada yang tahu ke mana suaminya. Semua rahasia tentang pria itu terkunci rapat dalam diari hatinya. Foni bahkan tak pernah ingat bagaimana wajah ayahnya. Ia pernah sangat merindukan lelaki itu. Kadang di hari ulang tahunnya, ia berharap lelaki itu muncul untuk sekedar mengucapkan selamat ulang tahun. Setidaknya mengingat kalau di hari itu, ia telah memberi bagian dari dirinya dalam diri Foni.
Foni terus berharap, setahun demi setahun akan kemunculan ayah yang telah menghadirkan dirinya kehidupan, tetapi pria itu tak pernah muncul. Sampai Foni lupa kalau ia punya ayah. Lupa kalau pernah berharap kalau ia pernah ingin bertemu.
"Benarkah kabar itu? Kalau kau sudah menikah lagi?"
Foni mendorong pintunya sedikit untuk mengintip. Ia tak berani muncul karena takut akan dihukum ayahnya kalau berani mencampuri urusan orang dewasa. Seperti yang lalu, ayahnya tak terlalu suka kalau Foni sering bertanya.
"Bukan urusanmu!"
"Mas meninggalkan kami karena ....."
"Sudahlah... Aku benar-benar tak sanggup lagi hidup denganmu. Aku benci hidup bersamamu. Terutama anak itu."
"Mas! Apa Foni bukan anakmu juga? Foni itu darah dagingmu sendiri!"
Foni tertegun mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Pantas selama ini, ayahnya tak pernah memeluknya atau menatap wajahnya, ternyata ia dianggap pembawa sial.
"Jangan pergi .... setidaknya pikirkan anakmu ..." isak ibunya. Namun suaminya tetap meninggalkannya tanpa menoleh. Bahkan ketika Foni memanggilnya.
"Anak Sial!"
Foni menoleh dan mencari siapa yang memanggilnya 'sial'. Ia memandang marah pada anak tetangga seberang jalan yang sedang tersenyum mengejek ke arahnya.
"Kau bilang apa? Ulangi!"
"Aku bilang kau anak sial. Papamu sendiri yang bilang! Dia juga bilang Mamamu pembawa sial. Usahanya bangkrut karena kau lahir."
"Bagus! Sekarang aku punya alasan!"
"Alasan apa?"
Foni langsung menjambak rambut anak itu dengan kasar sampai anak itu berteriak meminta tolong. Sampai ibunya Foni sendiri keluar dari rumah dan berusaha memisahkan keduanya.
"Hei, anak kurang ajar, kenapa kau menjambak anak orang seenaknya?"
"Tanya sendiri padanya!"
"Eh, kurang ajar kau!"
"Foni ..." Ibunya Foni memegangi kedua pundak anaknya dan menatapnya dengan serius. "Ada apa ini? Mama tak pernah mendidikmu untuk menjadi anak sekasar ini!"
Foni tak berani menatap wajah ibunya. Hanya terisak mengingat betapa kasarnya perkataan anak tetangganya itu. Baginya tidak apa-apa dirinya dihina, asal jangan ibunya.
"Mama ... kita pindah saja. Pindah ke rumah Nenek. Bukankah rumah di sebelah rumah Nenek masih kosong. Kita pindah ke sana. Aku benci tinggal di sini."
"Foni?"
"Anak sial!" desis ibu dari anak tetangga yang mengejeknya. Wajah wanita itu berubah menjadi wajah mantan pacarnya Raga. Wanita cantik itu tertawa dengan tatapan menghina.
"Mama ... kita pergi saja ... Kita tinggal sama Nenek."
Airmatanya berderai dan mulai menangis dengan suara keras.
"Foni ... anakku ..."
"Tante ..."
Foni menahan isak, tapi akhirnya tangisnya pecah. Dipeluknya ibunya. Ia benar-benar ingin tahu apakah dirinya memang pembawa sial seperti kata ayahnya. Namun mulutnya tak bisa berucap hanya menangis.
"Tante ... bangun!"
Foni merasa ibunya mengguncang-guncang tubuhnya tapi ia masih terisak.
"Tante ... bangun Tante. Tante nangis?"
Bukan suara ibunya tapi suara seorang lelaki muda.
Tapi siapa?
"Raga!"
"Tante ..."
Raga tak memanggilnya tante karena pria itu bukan keponakannya. Itu pasti Satya.
Perlahan Foni membuka kedua kelopak matanya. Yang dilihatnya adalah keponakannya sedang menatapnya dengan wajah kuatir.
"Tante tidak apa-apa?" tanyanya sambil mengusap kening Foni. Diambilnya tisu dari meja nakas lalu dihapusnya airmata tantenya.
"Mama memintaku melihat keadaan Tante. Tante tau nggak kalau semua orang kuatir setelah Tante pingsan di kamar mandi?"
"Aku pingsan?"
Satya mengangguk. "Kapan terakhir Tante makan?"
🌸Mengejar Jodoh🌸
Ketika angin semilir menerpa wajah cantiknya, Foni mendesah pelan. Pikiran terus terbayang wajah Raga saat berada di puing bangunan hancur milik omanya. Dia ingin sekali menghubungi Rimba hanya sekedar bertanya apakah pria itu baik-baik saja. Namun pertanyaan tentang keadaan mantannya tak perlu diajukan, karena wajah Raga sudah menunjukkan kalau keadaannya tidak baik.
Pria mana yang baik-baik saja ketika menerima kabar kalau pacarnya menghilang lalu rumah warisan neneknya terbakar?
Foni sadar kalaupun menghubungi Raga, bisa jadi pria itu tak mau menjawab teleponnya. Dia yang meninggalkan lelaki itu tanpa pesan dan seolah-olah pergi karena kembali pada mantannya. Andai saja waktu bisa diputar ulang, dirinya tak akan pergi tanpa pesan. Lebih baik ia menuntut penjelasan tentang syarat rumah warisan yang akan dimiliki Raga dan menemaninya menghadapi segala permasalahan.
Andai saja ....
Semuanya tak bisa diperbaiki lagi sekarang. Karena itu dia pingsan. Pikiran Foni tertuju pada Raga sampai lupa makan, sulit tidur. Ketika memejamkan mata, perasaan bersalah menderanya.
Foni mengusap matanya yang perih. Bukan bawang yang dikupasnya penyebabnya tapi ...
"Tante kalau ada hal yang masih mengganjal, kenapa Tante tak mencari jawabannya sendiri?"
"Apa ..."
Foni yang sedang mengupas bawang di taman penuh dengan bunga bougenville mendongak dan mendapati keponakannya, Satya berdiri tegak sambil membawa minuman berwarna ungu. Ia langsung menebak kalau isinya adalah butterfly pea lemon juice. Seminggu belakangan ini, Kalya sedang tergila-gila membuat minuman berwarna biru keunguan itu.
"Tante belum menghubungi Oom Ganteng yang ngaku sebagai pacar Tante?" tanya Satya sambil meletakkan dua minuman buatan Kalya ke meja. Foni mengerjapkan matanya berkali-kali untuk menghilangkan rasa perih, baru setelah itu ia mengambil salah satu dan menegak isinya, berharap kalau Satya melupakan pertanyaannya barusan.
"Apa taman kita kebanyakan bunga lonceng sampai setiap hari harus membuat minuman yang sama?" tanya Foni berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Tante tak usah pura-pura, deh. Nggak usah pura-pura ngupas bawang. Satya tau kok, Tante sedih. Tante bisa berusaha kalau tak terjadi apa-apa di depan nenek dan semua orang. Tapi semua juga tau, Tante sering nangis sendirian. Tante juga lupa makan sampai pingsan. Kue buatan Tante jadi berbeda rasanya karena Tante tak bisa lagi membedakan mana tepung mana tepung gula."
"Kepo!" tukas Foni seketus mungkin.
"Tante menyajikan roti belum matang pada tamu!"
"Stop it!"
Satya mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja dan tetap menatap tantenya dengan pandangan yang menguatirkan keadaan Foni.
"Tante mungkin menganggapku masih anak bau kencur. Tapi kalau aku jadi Tante, aku akan kejar lelaki itu untuk meminta penjelasan. Apalagi kan cowok cantik itu udah melamar walau belum melamar secara resmi. Kenapa Tante malah menghindar dengan menghilang dan main kucing-kucingan?" tanya Satya sambil menarik napas panjang. Foni diam. Dia baru saja memikirkan hal yang baru ditanyakan keponakannya tadi, sebelum remaja itu duduk bersamanya.
"Terutama soal surat warisan dari neneknya," lanjut Satya. Foni mengerutkan keningnya sambil bertanya dalam hati darimana Satya bisa tahu sebanyak ini.
"Jangan heran, Tante. Aku banyak menguping pembicaraan Mama. Jangan, Tante!" teriak Satya sambil melindungi kedua telinganya dengan tangan, sebelum Foni sempat menjewernya. Namun dia lupa kalau sekarang keningnya adalah sasaran empuk.
"Aduh, Tante! Tante terlalu kekanak-kanakan!" protes Satya sambil mengelus keningnya yang baru dijentik Foni.
"Nggak usah teriak, Anak Jelek! Kau ingin semua orang tahu kalau Tantemu sedang patah hati!"
"Nggak usah sok kuat!" protes Satya tapi suaranya ditahan. Putra sulung Melody itu juga seperti kuatir kalau suaranya terdengar sampai ke dalam dan menimbulkan kehebohan keluarga. Nanti, ujung-ujungnya Foni akan disidang. Bukan itu tujuan utama Satya bicara pada tantenya.
"Kamu sok tau! Sok bijak!"
"Satya memang masih kecil tetapi .... Satya lebih bijaksana dari Tante dan Mama atau Papa!"
"Oh ya?"
Satya melipat tangannya dengan angkuh sambil menatap Foni dengan dagu terangkat tinggi.
"Satya nggak suka Tante lemah seperti sekarang! Satya mau Tante Foni yang judes dan suka teriak-teriakkayak dulu, Tante Foni yang sekarang bagai roti tawar tanpa rasa."
Foni melemparkan bawang ke Satya. Bawang merah kupasan itu mengenai sasaran lalu jatuh ke lantai. Anak itu kemudian memungutnya sambil mengomel, "Ini mahal, Tante. Nenek juga tak senang kalo bawang dilempar-lempar. Tante saja nggak suka perasaan dilempar 'kan?"
Setelah perbandingan yang sangat buruk, menyamakan Foni dengan roti tawar, dilanjutkan lagi dengan bawang dan perasaan. Satya memang minta dihajar.
"Perasaan siapa dilempar?"
"Yah, perasaan cowoknya Tante. Masa perasaan Satya."
"Memang Tante melempar perasaannya?" tanya Foni lirih. Satya mengangguk.
"Ya iyalah. Ngapain coba main kabur segala? Nggak dewasa, nggak bijak!"
"Tante bisa nggak bersikap lebih bijaksana?" tanya Satya dengan nada serius.
"Caranya?"
"Bukankah Tante lebih tau daripada Satya?"
Foni melengos jengkel.
"Nyesel Tante nanya!"
Satya memasang wajah cemberut. Foni baru saja merencanakan untuk menjentik kening remaja itu lagi, lalu Satya kembali melanjutkan kalimatnya.
"Jujur, awalnya Satya tak suka pada Oom Cantik itu. Satya lebih suka Oom yang satunya lagi. Jangan bilang Tante nggak tau kalau Oom Rimba juga naksir Tante!"
Foni melongo mendengar Satya bicara tentang Rimba.
"Oom food blogger itu terlalu bodoh. Sejak pertama Tante mengundangnya dengan tujuan mereview rumah makan kita, Satya sudah tau kalau Oom kurus itu suka pada Tante. Bodohnya dia mundur dan mengalah pada sepupunya. Tanpa perlu Satya mencari tau, sepupunya itu tipe playboy yang seharusnya bukan tipe yang disukai Tante."
Satya masih bercuap-cuap tentang Raga dan Rimba, sementara tantenya masih bengong dan mencerna kalimat Oom food blogger yang suka pada Foni.
"Jadi ketauan benernya Satya kalau pacar Tante itu playboy karena mantan pacarnya datangi Tante."
"Tunggu ... tunggu ... maksud Satya apa? Yang Satya bilang Oom food blogger itu Rimba kan?"
Satya mengangguk, matanya melebar ketika ia mendekatkan kepalanya ke arah Foni.
"Jangan bilang Tante baru tau kalau ..."
Foni meringis seolah membenarkan teori anak itu.
"Tapi sekarang bukan itu masalahnya. Satya mau kasih masukan saja."
Foni menopang dagu di atas tangannya, menunjukkan ia tak sabar mendengar masukan dari keponakan tampannya.
"Tante ... kalau masih ada rasa sedikit saja ... bisa nggak segera ambil tindakan. Jangan sampai Tante nyesel. Selama ini apa nggak capek berusaha menunjukkan wajah ceria seolah Tante tidak apa-apa berpisah dengan Oom Ganteng itu. Apa ada manfaatnya, Te? Sementara semua orang di keluarga ini tau kalo Tante nggak baik sejak berpisah dengannya."
Baru kali ini di keluarganya ada yang bicara jujur, yang lucunya itu berasal dari seorang anak remaja yang umurnya belum genap 19 tahun. Pacaran saja belum pernah, tapi Satya benar soal perasaannya yang tak pernah baik lagi sejak Raga pergi. Foni memang tidak pernah bertanya tentang keadaan Raga pada Rimba, tapi Foni mengecek semua aktivitas pria itu di media sosialnya. Kemarin pria itu baru saja memposting mural di dinding pada waktu malam dengan menggunakan efek cahaya pada kamera. Wanita itu bisa menebak kalau mantan pacarnya sedang berada di Penang, sebuah kota kecil di Malaysia. Kadang di kala rumah makan sedang libur pada masa tahun baru tionghoa, ia dan Melodi sering pergi ke sana hanya untuk menikmati wisata kuliner. Mereka punya beberapa foto di depan mural sepeda yang khas tersebut.
Pasti Raga telah menyelesaikan urusan rumah Omanya dan sekarang ingin melepaskan rasa penatnya. Pria itu tak ragu lagi akan melupakan Foni atau mungkin sudah. Bukan tak mungkin ia pergi bersama mantan pacarnya yang travel blogger itu juga. Seorang penulis blog travel memang tugasnya merangkum kisah perjalanannya apalagi ditemani oleh sang kekasih.
Foni merasa hatinya makin perih, membayangkan kedua insan itu sedang merajut kasih yang dulu pernah terputus. Lalu didorong oleh perasaan ingin tahu, ia mengeluarkan ponselnya dan mencari aplikasi di mana semua selebgram memamerkan foto-fotonya.
Instagram. Search. Ketik nama mantannya Raga. RikaGo.
Foni merasa jantungnya hampir copot. Ia menggigit kukunya sendiri sambil menatap foto di feed instagram Rika. Tidak ada Raga di sana. Yang ada hanya foto jendela pesawat.
Dua hari lalu.
Mereka pasti pergi bersama.
Satya ikut melirik layar ponsel dan berkomentar, "Satu foto tak bisa menggambarkan situasinya"
"Lalu ..."
"Pergilah Tante. Minta penjelasan. Tante berhak menuntutnya dari pacar Tante."
"Nggak bisa!"
"Kenapa?"
"Karena Tante ini pembawa sial!"
"Tante!"
Foni bangkit dan meninggalkan Satya. Anak itu pasti bingung karena tiba-tiba tantenya terbawa emosi dan menyebut dirinya sendiri sebagai pembawa sial. Keponakannya pasti tak tahu apa-apa soal ayah kandung Foni. Hanya kebetulan dirinya bermimpi lalu teringat kembali akan kenangan pahitnya.
Foni terburu-buru masuk ke kamarnya, hampir menabrak Melodi. Kakak sepupunya bingung dengan kelakuannya. Namun ibunya Foni muncul dan segera menyusul putrinya ke kamarnya.
Foni sedang tidur telungkup di atas ranjang ketika ibunya masuk. Sang Ibu menepuk-nepuk punggungnya dengan sayang sambil bertanya, "Masih kurang sehat, Nak?"
Foni menggeleng tapi tetap menyembunyikan wajah dari ibunya.
"Kalau kurang sehat, ya cari dokter. Biar tahu penyakitnya apa."
"Nggak apa-apa, Ma. Foni nggak apa-apa," tukas Foni masih menyembunyikan wajahnya.
"Nggak apa-apa tapi pingsan. Kamu kenapa, Nak? Karena Nak Raga, ya?" tanya ibunya. Ini merupakan pertanyaan pertamanya yang menyangkut Raga sejak putusnya hubungan Foni dengannya. Pertanyaannya tak dijawab putrinya, si ibu membelai kepala anaknya dengan sayang.
"Nggak mungkin nggak apa-apa. Diam juga tidak menyelesaikan masalah, Anakku."
"Lalu aku harus bagaimana, Bu? Apa aku harus kejar-kejar dia cuma untuk tanya kenapa menyembunyikan hal itu dariku sementara ...."
Foni tak melanjutkan kalimatnya. Mengingat Raga dan mantannya pergi bersama membuat luka hatinya serasa disiram cuka.
"Kalau memang dia memang begitu, kau layak mendapatkan jawaban. Andai jawabannya tak membuatmu puas, kau tinggal melupakannya. Setidaknya kau mendapatkan jawaban atas pertanyaanmu."
Foni berusaha menyembunyikan airmatanya dengan menghapusnya sebelum diketahui ibunya. Lalu ia duduk dan berhadapan dengan wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya sendiri.
"Ma ..." panggilnya. Pertanyaan yang sudah hampir keluar dari bibirnya kemudian ia telan kembali karena ragu kalau ibunya akan memberikan jawaban yang bisa memuaskannya.
"Ya?"
Ibunya Foni mengerti bahwa ada yang ingin disampaikan oleh putri satu-satunya. Foni memandang ibunya dengan ragu. Namun pertanyaan akan rekam masa lalunya itu menjadi salah satu penghalangnya untuk hidup tenang, termasuk dalam langkah selanjutnya yang akan diambilnya. Sambil menelan ludahnya, ia meneguhkan diri kalau satu-satu yang harus dilakukannya adalah ...
"Apakah Papa membenciku?"
Sang Ibu tertegun. Mata dan wajahnya menyiratkan betapa terlukanya hati wanita itu. Hatinya pilu.
"Aku mengingatnya, Ma. Hari di mana dia meninggalkan kita. Sejak itu dia menghilang dan kita tak pernah tahu kabarnya lagi. Aku kira sudah melupakannya tapi kemudian mimpi itu datang ...."
Ibunya Foni menarik napas panjang. Kalau bisa memilih, ia akan memilih untuk tidak mengingat kejadian itu lagi. Hanya menggores luka di atas luka. Bertahun-tahun Foni tak pernah membahasnya, jadi dalam pikirannya mengira kalau putrinya telah melupakannya.
"Ma ... maafkan Foni bila bertanya. Jika memang Mama keberatan membahas, kita lupakan saja. Selanjutnya ..."
Ibu mengangkat tangannya agar Foni diam lalu sambil menarik napas, ia berkata, "Kita bicara, Foni. Supaya tak ada ganjelan lagi dalam hidupmu."
Lalu disentuhnya tangan putrinya dan digenggamnya erat-erat sebelum memulai ceritanya. Satu babak paling menyedihkan dalam hidupnya dan anaknya. Ditinggalkan suami yang seharusnya menjaga mereka.
"Papamu pergi setelah usahanya bangkrut. Bukan salahmu, Nak!" Si Ibu buru-buru bicara karena Foni berniat memotong kalimatnya.
"Waktu itu ada yang bilang dia menikahi wanita lain."
"Mama tahu apakah dia masih hidup?"
Ibunya Foni menggeleng lemah. "Malam ia meninggalkan kita adalah kali terakhir Mama melihatnya. Hanya ada kabar dia menikah. Mama masih berharap untuk mendengar kabarnya demi dirimu. Tapi setelah kita pindah kembali ke rumah Nenek, kau pernah sakit demam tinggi. Lalu kau melupakan sosok papamu begitu saja. Kau tak lagi mengungkitnya seolah ia tak pernah ada."
"Foni ... lupa dia pernah ada, karena itu Foni tak pernah bicara tentangnya."
Ibunya menggangguk paham.
"Tak pernahkah sekalipun, Mama mendengar kabarnya?"
Ibunya menggeleng.
"Tak ingin mendengar kabarnya?"
Ibu menggeleng lagi. "Mama menyesal tidak mencegahnya lebih keras. Andai saja ...."
Foni menggeleng. "Dia akan tetap meninggalkan kita."
"Tapi mungkin juga tidak."
"Mama akan menderita hidup bersama dengan orang yang tak pernah mencintai kita," tukas Foni.
Ibu merangkul Foni dengan penuh cinta. "Tidak juga karena walaupun dia tidak mencintai Mama, dia telah menghadirkan kau sebagai putriku. Mama tak pernah menyesalinya."
Foni menyandarkan kepalanya di bahu ibunya sambil memejamkan mata, menikmati hangatnya tangan wanita tua itu. Dia merasa beruntung memiliki ibu walaupun tanpa kehadiran ayah. Tapi masih ada pertanyaan dalam dirinya yang belum terjawab.
"Kenapa dia membenciku?"
Ibu melepaskan pelukannya dan menatap Foni dengan serius. "Bukan salahmu, Anakku. Ketika kebetulan kau lahir, usaha Papamu mundur sampai bangkrut. Itu karena Papamu yang kurang bijak dalam mengurus keuangan," desahnya lirih.
"Bukan aku?"
Ibu menggeleng.
"Aku bukan pembawa sial?"
"Anak bodoh! Mana ada pembawa sial?" tukas Ibu cepat.
"Rumah warisan Raga habis setelah kami berencana menikah, Ma," ujar Foni. Ia masih dihantui perasaan bersalah bahwa benar dialah yang menyebabkan kesialan menimpa Raga.
"Apakah Raga yang bilang begitu?" tanya Nora yang langsung direspon oleh Foni dengan menggeleng. Lalu ibunya Foni tersenyum.
"Kenapa kau tak tanya padanya dan mendengar apa yang dikatakannya tentangmu?"
"Dia melihatmu di antara puing-puing itu, Mama tapi dia tidak mengejarku," jawab Foni dengan nada sedih. Nora tersenyum mendengar jawaban putrinya. Ia meraih tangan anak perempuannya dan menepuk punggung tangannya pelan.
"Itu karena selama ini dia sudah mengejarmu dan inilah saatnya untuk membalikkan situasi. Ada kalanya pria seperti Raga ingin dikejar. Bukankah selama ini tampak jelas kalau dia terus yang nguber-nguber kamu. Dia mungkin sedang kelelahan, Nak. Tapi dia perlu tahu kalau kamu ingin mempertahankannya. Kalau kau tidak memberitahukannya, dia tak tahu."
Foni menggigit bibirnya sendiri. Ibunya benar soal ketimpangan dalam hubungannya dengan Raga. Sejak keduanya berkenalan sampai pria itu melamarnya, Foni berada pada pihak yang pasif. Dialah yang selalu menjadi penerima sementara Raga memberi. Setidaknya ia harus memberikan umpan balik. Tentang mantan pacarnya lelaki itu, nanti saja dipikirkan. Kalau memang dirinya tak lagi diinginkan, ia tak akan penasaran kalau ia sudah dengar sendiri dari pria itu.
Baiklah.
Akhirnya ia bisa bernapas dengan nyaman lagi setelah dua beban terangkat sekaligus. Foni harus mengambil tindakan. Selama ini dirinya dikenal dengan sebutan judes. Kejadian seperti saat ini, tak akan menghancurkan jati dirinya.
"Kelihatannya kau sudah mengambil keputusan."
Foni mengangguk yakin. Namun sebelum ia berkata, dari luar terdengar Satya memanggil.
"Tante Foni, ada tamu, nih!"
Raga.
Foni segera berlari meninggalkan kamarmya. Nora mengikutinya dari belakang untuk memastikan siapa tamu putrinya.
Wajah Foni yang ceria karena mengira Raga yang datang menghilang seketika ketika berada di taman bunga bougeville.
Raga tak ada di sana. Yang berdiri di sana adalah pria yang pernah menghadiahkan copy surat warisan omanya.
Erick Theo.
"Ada perlu apa Anda datang?"
🌸Mengejar Jodoh🌸
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top