🌸13. Tanpa Tujuan.🌸
Melihat Raga yang tampak menyedihkan di antara puing-puing bekas kebakaran rumah omanya membuat hati Foni ikut hancur. Pria bermata teduh itu menggunakan masker untuk menutupi mulut dan hidungnya, api masih ada dalam skala kecil dan otomatis masih ada asap. Foni tidak tahu kenapa alasan Raga berada di sana. Sejak pagi ia menunggu di depan rumah pria itu dan Raga muncul kemudian pergi ke lokasi kebakaran. Mulanya Foni hanya ingin memastikan Raga baik-baik saja, tapi setelah melihat sosoknya malah membuatnya makin kuatir, dan di sinilah ia berada sekarang. Menjadi penguntit.
Foni berada di dalam mobil pinjaman dari temannya agar Raga tak mengenalinya, mengenakan kacamata hitam dan berusaha untuk menjaga jaraknya dengan puing-puing rumah.
"Sekarang... kau sedih karena rumah atau aku, Ga?" desahnya tanpa bisa menyembunyikan kepedihan dalam hatinya.
Pria yang sedang diperhatikannya hanya berdiri di antara rumah yang sudah menjadi abu, tidak berbuat apa-apa. Berbicara dengan Rimba yang menemaninya. Mungkin keduanya sedang bermusyawarah tentang bagaimana membereskan semua puing-puing itu.
🌸Mengejar Jodoh🌸
Raga sedang memikirkan, bagaimana caranya dia bisa membangun kembali rumah kenangannya ini. Ibu dan kakaknya mengomel, dia baru keluar dari rumah sakit karena dehidrasi dan kebanyakan menghirup asap, tapi masih berkeras melihat bangunan yang hancur. Dia sengaja melakukan untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa sedih ditinggal Foni, hanya dengan memikirkan cara membangun rumah secepatnya seperti sedia kala dapat membuatnya untuk melupakan wanita itu. Rumah bahkan bukan haknya lagi karena telah menjadi milik Erick tapi mengharapkan sepupunya sama saja dengan mengharapkan hujan di gurun pasir. Sampai hari ketiga peristiwa kebakaran terjadi, Erick tak pernah kelihatan muncul untuk melihat rumahnya.
"Aku akan membeli rumah ini," tukas Raga pada Rimba yang mendapat tugas dari Elita untuk menjaganya.
"Dari Erick? Jangan kuatir, Ga. Setelah ini, dia akan merengek untuk menjual tanah ini," ujar Rimba yakin.
"Aku akan membangun rumah ini seperti sedia kala. Aku menyimpan semua foto-foto koleksi Oma. Kau punya teman yang bisa menggambar cetak biru 'kan?"
Rimba menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kemauan sepupunya.
"Kau baru keluar dari rumah sakit!" ujarnya melengking. Raga mengangkat kedua bahunya.
"Hanya ini yang bisa mengalihkan perhatianku, Rim," tukasnya. Rimba menghela nafas. Belum pernah ia melihat rupa Raga yang begitu putus asa. Sejak kecil, Raga selalu terlihat bersemangat.
"Aku akan mengorek keterangan lagi dari kakak sepupunya. Sabarlah, Ga. Kita pasti akan menemukan Foni."
Raga kehilangan kata-kata bila berhubungan dengan Foni. Ia sudah ikhlas melepaskan wanita yang lebih mempercayai Erick daripada meminta penjelasan darinya. Jadi Raga lebih memilih menyibukkan dirinya ketimbang memikirkan wanita yang pernah berada di hatinya dan sialnya sampai sekarang pun masih.
Raga menjepretkan kamera di ponselnya kemudian sibuk mengingat kembali bangunan kuno rumah Oma ke dalam ingatannya. Ia ingin semua dibangun sama persis seperti sedia kala. Ia tetap pada tujuan semula, rumah kuno ini akan difungsikan sebagai ruang serbaguna untuk meeting, pernikahan, atau acara keluarga. Pria bertubuh tinggi itu bergerak, membalikkan badannya menghadap ke arah pagar, ia berniat memotret dari tempatnya sekarang tapi Raga dikejutkan dengan gerakan tiba-tiba sebuah mobil putih yang tergesa-gesa pergi. Ia tak mungkin salah melihat sosok di dalam mobil, meskipun mengenakan kacamata hitam dan topi, Raga yakin kalau Fonilah pengendara mobil putih itu. Raga segera berlari menyusul mobil Jazz sambil meneriakkan nama Foni tapi wanita itu sama sekali tak menghentikan mobilnya.
"Ada apa, Ga?" tanya Rimba. Raga dengan nafas terputus-putus menunjuk mobil yang meninggalkan debu di belakangnya.
"Diaaaa ...."
Rimba tak bertanya lebih jauh lagi karena mimik wajah Raga telah memberitahukan kalau pengendara mobil putih itu adalah orang yang sangat dirindukan sepupunya selama ini. Ditepuk punggungnya pria itu sebab dilihatnya Raga kesulitan bernafas. Ia menekuk tubuhnya dengan kedua tangan bertumpu di lutut.
Kenapa kalian berdua membuatnya jadi sulit? batin Rimba cemas.
"Telepon saja, Ga!"
Raga mendongak menatap Rimba. Rimba mengangguk berusaha meyakinkan sepupunya.
"Dia ... tak mau mengangkat telepon dariku!" jawab Raga putus asa. Kalau Rimba merasa dirinya hanya diam dan tak berbuat apa-apa untuk meraih Foni, sepupunya itu pasti salah. Walaupun merasa kesal pada awalnya karena ketidakpercayaan Foni padanya, Raga pernah mencoba menghubungi wanita itu tapi nomornya sudah diblok. Atau dia memang sudah menonaktifkan nomornya.
"Kalian dua orang paling tolol yang pernah kukenal! Kalo Foni tak peduli padamu, Ga, buat apa dia datang melihatmu dari jauh lalu pergi? Dia kuatir padamu tetapi dia tak ingin kau tahu! Dan kau bodohnya tidak mau melihat kenyataan itu! Kau dengan egomu yang setinggi langit itu! Kau bilang kalau dia mencintaimu harusnya dia percaya padamu. True!!!! Aku tidak bilang kau salah! Kau cuma salah karena kau juga tidak jujur padanya soal rumah ini. Kau tidak bilang alasan kau ingin nikah cepat adalah waktu yang diberikan dalam surat wasiat. Bayangkan jika kau jadi dia. Saat tahu kalau lelaki yang kau cintai ingin menikahimu karena ingin menguasai rumah omanya. Raga, kau terlalu polos atau dungu!"
"Aku bahkan tidak ingat dengan rumah ketika aku melamarnya. Rumah ini menjadi tidak penting lagi!"
Rimba mendelik, menatap Raga dengan marah.
"Bilang padanya! Bilang! Bilang padanya kalau rumah ini tak ada artinya tanpa dia. Bilang kalau kau merasa kosong. Bukankah memang itu yang kau rasakan selama ini? Ragaaaa!"
Raga bergeming, tak juga memandang Rimba. Ketika mulutnya terbuka, kalimat yang keluar membuat sepupunya merasa sesak.
"Aku lelah, Rim. Ayo, pulang."
"Raga?"
Aku capek mengejar cintaku, Sepupu. Tidakkah kau rasa bahwa selama ini aku yang terus mengharapkannya. Kini saatnya aku diam dan dia yang harus mendatangiku.
Mengejar Jodoh.
Rimba memandangi foto dirinya sewaktu berusia lima tahun bersama dengan Raga. Di balik foto itulah Oma menuliskan pesan untuknya. Raga dan Rimba lahir di tahun yang sama, hubungan mereka berdua lebih erat dibanding dengan sepupu lainnya. Mereka masuk di sekolah yang sama dari TK sampai SMU. Raga tak pernah membiarkan seorang pun mengganggu Rimba, begitu pun sebaliknya.
Itulah artinya keluarga.
Raga sering mengatakannya berulang-ulang ketika ia bersama Rimba menghadapi teman sekelasnya yang gemar membully. Berbeda dengan sepupunya yang memiliki tubuh atletis, Rimba tidak memiliki kelebihan seperti Raga. Ia kurus walaupun tinggi, sering sekali di masa sekolahnya menjadi sasaran empuk bagi anak-anak nakal. Meskipun begitu, ia tidak bertindak pengecut dengan melarikan diri dari anak-anak bengal. Raga selalu marah bila melihat Rimba dipukuli.
Rimba memandangi foto masa kecilnya sekali lagi, lalu dengan tekad yang kuat tangannya mencari nomor kontak di layar ponselnya, menghubungi Erick.
"Erick? Bisa kita bertemu?"
Rimba menggigit bibirnya ketika suara Erick mengungkapkan kalau ia ingin bertemu dengan Raga, bukan dirinya.
"Raga tak bersedia bertemu denganmu sekarang. Aku akan mewakilinya. Suka atau tidak, kau menghancurkan keluarga kita. Kau tak punya pilihan lain. Besok. Akan kukirim tempat pertemuan kita."
Rimba menggigit bibirnya menyadari betapa putus asanya nada suara Erick ketika memohon padanya agar ia bisa bertemu langsung dengan Raga.
"Aku tidak yakin, tapi ... aku akan berusaha. Dia tak menerima telepon darimu? Wajar ... nomormu diblok! Kau kira setelah perbuatanmu, Raga masih bisa menganggapmu keluarga?"
Sebelum Rimba menutup sambungan telepon, dalam hati bertanya apa yang menjadi alasan suara Erick terdengar putus asa dan ingin menemui Raga. Erick tak mungkin menyesali perbuatannya tanpa sebab. Pastilah telah terjadi sesuatu padanya.
🌸Mengejar Jodoh🌸
"Terima kasih."
Ucapan Erick bahkan hampir tak terdengar oleh siapapun yang berada dalam kamar rumah sakit. Rimba hanya membaca gerak mulutnya. Seorang pria yang dengan melihat wajahnya saja, orang sudah tahu kalau dirinya brengsek. Erick terlahir cukup tampan karena mewarisi wajah kakek mereka, hidung mancung, mata tajam, dan rahang yang kokoh. Didukung oleh tubuh tinggi dan atletis, tak dipungkiri, ia adalah sosok yang menghiasi mimpi para wanita. Jika saja Erick tidak jatuh dalam jurang perjudian, ia adalah pria yang sempurna. Namun tetap saja, para wanita menyukainya. Salah satunya adalah seorang wanita cantik yang sedang bersamanya saat itu. Mata indah milik wanita itu tampak tak bisa menyembunyikan rasa kuatir tapi juga menampakan kalau ia berterima kasih pada Raga.
"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan jika tidak ada kau ..." desah Erick pelan. Wajahnya menunduk, ia yang terbiasa angkuh dan meremehkan lawan bicara, menekuk lehernya, malu menatap Raga. Begitu juga yang dilakukan wanita di sampingnya, berusaha untuk tak memandang wajah penolongnya.
"Tidak ada orang yang mau meminjami aku uang. Kalau tidak ada kau ... anakku ... anak kami ..."
Erick masih menunduk, tapi suara yang keluar tetaplah suara serak dalam penyesalan. Atresia Ani, membutuhkan penanganan operasi, sedangkan ia tak memiliki cukup uang untuk membayar biayanya. Uang yang diberikan oleh wanita jahat untuk merusak hubungan Raga dan pacarnya telah ia habiskan di meja judi. Tak tahu lagi ke mana harus mencari uang untuk biaya anaknya, sedangkan orang tua dari Dina pacarnya, sudah tak mengakui putrinya itu, Erick terpaksa harus menghubungi Raga lewat Rimba.
"Bang ..."
Raga memanggil Erick pelan. Disadarinya kalau dia tak pernah memanggil kakak sepupunya dengan panggilan yang layak. Entah sudah berapa lama Erick tak dipanggilnya dengan sopan. Sedangkan Erick, pria yang dipanggil itu, mengangkat wajahnya, untuk menatap orang yang telah menolong hidup anaknya.
"Aku tak berharap keponakan tidak punya akte lahir, Bang. Cepat menikah secara resmi," desah Raga pelan sambil memegangi kedua bahu Erick.
"Ya," jawab Erick pelan. Nadanya pelan tapi sarat dengan janji yang akam dibayarnya.
"Oma kita pernah bilang kalau ... darah lebih kental dari air," kata Rimba. Dia maju beberapa langkah dan merangkul kedua saudaranya.
Maafkan aku, Raga ....
"Apa yang bisa kulakukan untukmu, Saudaraku agar aku bisa membayar hutangku padamu hari ini. Katakan ... apapun juga akan kulakukan."
Raga mendesah dan menatap Erick dalam-dalam. Dengan keadaan sekarang mereka sedang menunggui bayi yang baru selesai dioperasi, tentu tidak enak membicarakan masalah rumah dengan kakak sepupunya. Namun Erick memandangnya dengan serius, menunggu Raga mengatakan sesuatu.
"Kalau kau serius, Rick. Jual rumah itu kepadaku. Akan kubayar lebih tinggi dari harga pasar," ucap Raga. Erick memegang bahu Raga dan mencengkramnya erat-erat. "Hanya itu?" tanyanya. Padahal ia berharap Raga meminta lebih.
"Ya," jawab Raga terdengar lemah. Sementara Rimba sedang menahan keinginan untuk menendang lutut Raga.
Segala perseteruan antara Raga dan Erick akhirnya selesai pada hari itu juga. Raga kembali merangkul Erick sebagai keluarga, sesuai dengan pesan Oma. Rumah keluarga Theo akhirnya kembali ke tangan Raga, setelah Erick menjualnya kepada sepupunya itu. Dia sangat malu menerima uang penjualan rumah, karena telah merampas hak atas rumah dengan cara yang licik, tapi kedua sepupunya terus mendesaknya untuk menyimpan uang itu. Raga bahkan berkeras kalau kegagalan pernikahannya bukanlah karena Erick mengirimkan surat warisan pada Simfoni, melainkan karena kurangnya kepercayaan antara mantan pacarnya.
"Kau bisa menyelesaikan pembangunan rumah itu sampai aku kembali 'kan?" tanya Raga ketika Rimba mengantarkannya ke bandara Kuala Namu. Pria dengan senyum indah itu berkilah kalau dia butuh liburan setelah menyelesaikan pembelian tanah dengan Erick. Sebagai saudara dan juga sahabat, Rimba mengajukan diri untuk menemaninya, tapi langsung ditolak.
Aku ingin menyendiri, alasan Raga.
"Jangan kuatir. Aku yakin dua minggu lagi kau balik pasti sudah ada perubahan," janji Rimba.
"Kalau ada apa-apa ..."
"Tidak akan!"
"Kau bisa kuandalkan."
"Pasti. Ga .... anu Foni ..."
"Aku masuk dulu. Gateku sudah open."
"Baiklah," jawab Rimba sambil menepuk pundak Raga. Ia mengurungkan niatnya untuk mengatakan isi hatinya lalu membiarkan pria jangkung itu pergi yang dia sendiri tak mengerti tujuan dari perjalanannya kali ini. Raga hanya berusaha menghindar dan melupakan Foni. Ia kira telah menemukan sebuah ending dalam satu babak kehidupannya, tapi ternyata jalan itu tak berujung.
Raga mungkin tak pernah sadar, tapi Rimba tahu, bahwa sejak Foni tak mengisi lembaran hari-harinya, pria itu kehilangan senyumnya. Ia tak lagi menemukan alasan yang membuatnya tersenyum, padahal Raga telah memilikinya jauh sebelum mengenal Foni.
🌸Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top