🌸12.Painful🌸
Raga naik ke lantai dua rumah peninggalan neneknya sambil bertelanjang kaki. Ia ingin merasakan kayu damar laut itu di kakinya, meskipun lantainya agak berdebu, Raga tak peduli. Ia menuju kamar paling depan dengan penerangan yang paling sempurna. Perabotan kuno seperti tempat tidur dari bahan besi dan lemari pakaian masih ada di sana. Beberapa album foto diletakkan pada salah satu nakas dekat tempat tidur. Tangannya meraih salah satu album yang terletak paling atas. Dibukanya lembar demi lembar kenangan bersama para sepupu bersama Opa dan Oma. Ada Rimba sedang memanjat pohon belimbing di taman belakang, tamannya sudah tidak ada berubah menjadi ruang makan yang lebih luas dari sebelumnya. Ada Erick yang sedang bermain kembang api membuat Raga mendengkus kesal.
Buat apa Oma menyimpan foto Erick? pikir Raga sebal. Ditariknya keluar foto Erick dari album. Ingin merobeknya tapi ketika membalikkan foto kenangan itu, Raga melihat tulisan Oma di balik foto Erick.
Kepada : Erick.
Ketika engkau membaca tulisan ini, Oma pasti sudah tak ada lagi di dunia. Oma tidak yakin siapa yang lebih dulu menemukan surat ini, kau atau Raga.
Raga memutuskan untuk berhenti membaca. Ini ditujukan kepada Erick, tidak sopan rasanya membaca surat untuk sepupunya, tetapi jika Oma menulis untuk Erick yang bukan cucu biologisnya, Beliau pasti juga menyiapkan surat untuk Raga, cucu yang paling disayanginya.
Raga membolak-balikkan album mencari foto dirinya. Satu persatu ditarik keluar hanya untuk menemukan pesan Oma di balik foto. Dia menemukan foto Rimba dengan pesan Oma, juga untuk Astro, untuk Kak Kirana juga. Beberapa untuk sepupunya yang sudah tinggal di luar Medan, Raga akan mengirimkannya lewat pos nanti.
Pasti ada untukku, pikirnya.
"Cari apa, Nak?" tanya Pak Syahril muncul di depan pintu sambil membawa nampan berisi teh manis.
"Pesan dari Oma. Sini, Pak. Bantu saya cari."
Pak Syahril masuk dan meletakkan cangkir teh manis di nakas di sisi lainnya lalu mengambil salah satu album berisi foto yang belum diperiksa Raga. Ia ikut membantu Raga mencari pesan dari Oma. Sampai pada salah satu foto Raga berdiri pada pintu rumah Oma, pesan dari Oma ditemukan.
"Nak Raga! Ini!"
Raga merebut foto dari tangan Pak Syahril. Ia ingat, foto ini adalah favorit Oma. Oma bilang kalau Raga gagah dengan pose ini, seolah dialah pemilik dari rumah. Raga membalikkan foto dan ada tulisan sambung milik Oma yang khas di sana. Sebelum mulai membaca, ia berkata pada Pak Syahril, "Pak, tolong tinggalkan saya sebentar. Saya ingin sendirian sambil membaca pesan Oma."
Pak Syahril kelihatan mengerti keadaan Raga, mengangguk mengerti dan segera keluar dari kamar utama. Sepeninggalan Pak Syahril yang baik hati itu, Raga duduk pada lantai kayu dan bersandar pada tempat tidur. Matanya tertuju pada tulisan Oma.
Kepada cucu yang paling dekat denganku : Raga Aditya Theo.
Kau adalah cucu yang paling dekat denganku, meskipun semua cucuku menyayangiku. Kau yang paling mirip denganku. Karena itu aku mewariskan rumah ini padamu.
Tapi kau pasti heran kenapa aku mewariskannya dengan syarat pernikahan. Oma harus jujur padamu, Raga sebab Oma mulai enek dengan sikap playboymu. Kau sama seperti Opamu dan itu membuat Oma kuatir. Oma takut kalau kau tak bisa menemukan cinta sejatimu. Jadi dalam waktu singkat ini kau harus menemukan cintamu, bila tak ingin kehilangan rumah kenangan ini ke tangan Erick, tentu sangat menyulitkanmu.
Raga berhenti membaca dan menarik nafas panjang.
"Sama sekali tidak, Oma. Raga menemukannya. Hanya sekarang dia tidak ingin bertemu dengan Raga."
Kau harus ingat, Oma melakukan hal ini karena ingin kamu belajar bahwa darah lebih kental dari air. Dibanding kau, Erick lebih membutuhkan rumah ini dari siapapun cucu Oma. Bantu dia ketika dalam kesulitan. Oma yakin kau bisa melakukannya. Tertanda Oma.
"Dia baik-baik saja, Oma karena sebentar lagi akan mendapatkan rumah ini. Dia pasti menantikan momen ini,"desah Raga. Dalam hati ia merasa kecewa pada Oma. Nenek Raga itu pastinya sudah memperkirakan hal ini akan terjadi setelah Beliau meninggal, tetapi tetap menuliskan syarat berat untuk Raga agar dapat menguasai rumah tua ini. Akan lebih baik bagi Raga dan Erick jika Oma menuliskan dengan jelas kalau nilai rumah dibagi rata antara dua orang cucunya. Raga akan mencari uang untuk menebus bagiannya Erick jadi rumah tua ini bisa menjadi miliknya 100 persen. Ia memandangi album foto yang berserakan di lantai dengan perasaan kecewa pada Oma, walau Raga sadar bahwa tak boleh memiliki perasaan yang demikian pada orang yang sudah meninggal. Namun ia masih belum mengerti alasan usaha Oma menuliskan surat wasiat padanya.
Pelan-pelan dibereskannya semua album foto dan dikumpulkannya menjadi satu. Pak Syahril yang sebelumnya meninggalkan kamar utama agar Raga bisa sendirian, kini muncul dan membantu tuan mudanya membereskan foto-foto yang berserakan.
"Aku akan menyimpan album ini semuanya. Erick tak membutuhkannya. Foto yang berisi pesan Oma kepada semua cucunya, tolong kirimkan kepada mereka, Pak!"
"Baik, Nak!" jawab Pak Syahril sigap.
🌸Mengejar Jodoh🌸
Raga merasa kosong memandangi album foto milik Oma yang kini tergeletak di meja di kamarnya. Album foto lama itu mengeluarkan bau tidak sedap karena lama tak terkena matahari, sementara ia sendiru belum punya keinginan untuk menjemur album foto itu di luar jadi kamarnya jadi ikut berbau tak sedap. Beberapa hari terakhir sejak rumah Oma telah sah menjadi milik Erick, Raga diam di kamar dan tak melakukan apa-apa. Ia mengajukan cuti selama seminggu dan ketika Rimba tahu kalau sepupunya itu cuti, ia berusaha mengajaknya keluar rumah.
"Kau tau Oma menuliskan apa untukku?" tanya Rimba sambil menyandarkan kepalanya pada sandaran tempat tidur. Raga menggeleng lemah, sebenarnya apapun pesan Oma untuk Rimba, itu bukan urusannya, sebab kepalanya merasa pusing setiap detiknya karena merindukan Foni. Sia-sia berusaha membenci wanita itu karena telah meninggalkan Raga untuk memilih teman kecilnya. Raga tetap sulit percaya Foni meninggalkannya tanpa penjelasan. Dia yakin kalau kakaknya Foni telah berbohong padanya, tapi Raga tak bisa melakukan apa-apa karena Foni tak bisa ditemukan.
"Oma berpesan agar aku membantumu ketika kau kesulitan," tukas Rimba pelan. Raga masih tak peduli, pandangan matanya kosong menatap ke luar jendela tanpa tahu apa yang dilihatnya.
"Aku nggak tau Raga apakah bijaksana memberitahu kepadamu tentang Foni."
Nama Foni disebut Rimba dan membuat Raga tertarik. Setidaknya ia mengangkat wajahnya dan memandangi sepupunya.
Kau tau apa?
"Aku meminta temanku yang juga blogger, memancing Melodi. Kau mungkin tak perlu mendengar perjuangannya mendapatkan informasi tentang Foni. Tapi satu hal yang penting Raga kalau kabar kau melamar wanita itu menjadi suatu hal yang demikian pentingnya bagi sepupu kita."
Raga membeku di tempatnya duduk, mendengar dan berusaha memahami apa yang hendak disampaikan Rimba padanya.
"Sehari sebelum Foni pergi, seseorang mengirimkan copy-an surat wasiat Oma pada Foni. Ini hanya dugaanku, Ga. Satu-satunya orang yang berkepentingan atas pernikahanmu adalah..."
"Erick."
"Erick Theo. Siapa lagi kalau bukan dia."
Raga menggertakkan rahangnya. Seharusnya ia sudah bisa menduga hal busuk yang bisa dilakukan sepupunya. Kakaknya benar dalam hal ini, Raga wajib memberitahu sebelum orang lain yang berniat tidak baik menyampaikan pada Foni. Namun juga bukan semua salahnya Raga, sebagai calon istri, Foni harus mempercayai calon suaminya daripada copy-an surat wasiat Oma.
"Ga..." panggil Rimba pelan. Raga menatap kosong ke luar jendela lalu membuka mulutnya untuk berkata, "Aku tidak bisa melakukan apapun untuknya kalau dia tidak mempercayaiku. Foni seharusnya lebih mempercayaiku daripada orang lain, Rim."
Rimba mendesah pelan, menganggap Raga benar dalam pemikirannya. Foni tidak harus pergi begitu saja, dia wajib bertanya pada Raga sebelum marah. Kalau wanita itu bersikap kekanak-kanakan, sudah pasti dia tidak akan cocok membina rumah tangga dengan Raga. Rimba menyesalinya, karena dirinya Raga bertemu dengan Foni.
"Kalo itu keputusanmu, Ga, lalu kenapa kau sangat sedih?"
Raga masih memandangi jendela dengan tatapan kosong.
"Kau sedih kehilangan rumah atau sedih karena kehilangan wanita itu?"
Raga berkedip sekali setelah mendengar pertanyaan dari Rimba, tapi masih tetap tak bergerak dari tempatnya semula.
"Aku kehilangan kedua-duanya. Semula kupikir begitu. Foni adalah sebuah paket dari rumah Oma," kata Raga lemah. Rimba mendecak.
"Raga, kau masih bisa memiliki rumah Oma jika Erick butuh uang. Kau tau kalo dia tak pernah merasa cukup dengan uang bila sudah berjudi!"
"Itu dia, Rimba! Aku tau kalo aku masih bisa memiliki rumah Oma. Tapi Foni tidak bisa kumiliki lagi meskipun rumah itu jadi milikku," potong Raga dengan nada putus asa. Rimba terkejut dengan kalimat Raga barusan. Ini merupakan pernyataan Raga yang paling jujur yang pernah dia dengar dari mulut sepupunya.
"Raga? Kau bilang..."
Pria yang biasanya selalu menunjukkan ekspresi riang itu kini memandangi Rimba dengan perasaan sedih.
"Ya, nyatanya aku merasa kehilangan Foni, meskipun aku berusaha untuk menolak pemikiran itu," ujarnya lemah.
"Raga, sebagai orang yang paling dekat denganmu dari kecil, aku tidak tau harus berkata apa..."
"Kalo begitu jangan berkata apapun!"
Rimba bangkit, berdiri di samping Raga dan menepuk bahunya, berjanji dalam hati untuk membantu sepupunya dalam bentuk apa saja yang bisa ia lakukan.
"Ga..."
Ddrrtt.
Pak Syahril calling.
Rimba mencari ponsel Raga yang tergeletak di atas tempat tidur lalu menyerahkannya kepada pria yang masih duduk diam di depan jendela kamarnya.
"Ya?"
"Nak, maaf! Rumah kita kebakaran!"
Wajah Raga pucat mendengar suara pekerja rumah peninggalan Oma, ponselnya terlepas dari genggamannya. Rimba sendiri membaca situasi dan mengambil ponsel yang terjatuh kemudian bicara pada Pak Syahril.
"Pak Syahril, ada apa?"
"Rumah kita... dilahap api."
Rimba, sama halnya dengan Raga, syok mendengar kabar rumah kenangan mereka kebakaran. Sementara Raga sudah menyambar jaketnya dan lari keluar.
"Raga, tunggu!"
Pria itu sudah hilang bersama motornya membelah jalan raya menuju rumah masa kecilnya, meninggalkan Rimba yang masih harus menjelaskan segala kejadian pada orang tua Raga.
Motor Raga dicegat oleh pemuda setempat ketika memasuki jalan menuju lokasi kebakaran dengan alasan untuk mempermudah jalur mobil pemadam kebakaran. Raga meninggalkan motornya di pos polisi lalu berlari menuju lokasi. Pak Syahril sudah menunggunya di depan rumah yang setengahnya sudah habis dilahap api.
"Nak! Jangan masuk!" teriaknya ketika dilihat orang tua itu, Raga ingin berusaha masuk melalui pintu depan. Setidaknya ia ingin memcoba memadamkan api agar tidak sampai menjilat bagian yang belum tersentuh oleh jago merah. Atau menyelamatkan barang-barang kuno peninggalan Opa dan Oma.
"Jangan, Nak!" cegah Pak Syahril sambil menarik lengan Raga. Lelaki yang ditarik lengannya oleh orang tua pengurus rumah itu berusaha melepaskan diri darinya. Kedua matanya memerah oleh karena asap dan bayangan api tergambar di sana.
"Lepaskan aku! Aku harus melakukan sesuatu!"
Pak Syahril yang sudah tua dibantu oleh beberapa pemuda di sana berusaha mencegah Raga untuk masuk ke dalam. Dua orang pemuda sampai harus mencekal tangan Raga supaya ia tidak nekat menerobos api yang sudah menjilati seluruh isi rumah.
"Lepaskan!"
"Raga!"
Suara ibunya. Raga menoleh sambil menyipitkan matanya. Asap kebakaran rumah membuat kedua matanya sulit untuk melihat ibunya sendiri.
"Nak! Sudah! Relakan! Jangan bahayakan nyawamu, Nak."
Suara isakan Elita Jo menusuk sampai ke ulu hati Raga.
Rela?
Dia tidak bisa rela.
"Ga, jangan!"
Suara Rimba, tapi Raga sama sekali tidak tahu yang mana Rimba, semua terlihat sama. Pandangannya kabur karena asap, Raga juga kesulitan bernafas.
"Raga, meskipun rumah ini habis, kau masih memiliki kami."
Raga jatuh pingsan, karena asap dan sulit bernafas.
Keesokan harinya, ia bangun di rumah sakit dengan tangan diinfus dan Kirana menjaganya semalaman.
"Ga..."
Foni, di mana kau? Aku butuh kau.
🌸Mengejar Jodoh🌸
Sementara itu, di pulau lainnya, Simfoni Virgo terbangun dari tidurnya karena mimpi buruk.
Raga.
Foni resah, tak bisa melanjutkan tidurnya, iseng mengambil telepon genggam dan membaca berita, sampai pada link berita dari kota kelahirannya tentang kejadian kebakaran dengan latar rumah tua. Foni mengigit bibirnya sendiri membaca isi berita, seban yakin kalau itu adalah rumah yang pernah ia datangi bersama Raga, di mana pria itu meminta dirinya menjadi istrinya, rumah peninggalan Omanya Raga yang menjadi sumber permasalahan lelaki itu dengan sepupunya.
Foni ragu apakah harus menghubungi Raga atau mengabaikan rasa kepeduliannya pada pria itu. Foni mendesah pelan. Dia tak bisa mengambil keputusan kalau sedang bingung. Dihubunginya nomor Melodi, tapi kemudian dimatikannya lagi. Melodi pasti tak akan setuju kalau ia menghubungi Raga. Kakak sepupunya itu dalam semalam sudah berbalik membenci pria yang pernah menjadi pacarnya Foni.
Foni memejamkannya matanya lalu menghembuskan nafasnya kuat-kuat.
"Apa yang harus kulakukan?"
Ketika memejamkan matanya, Foni melihat wajah Raga yang sedih. Tidak ada yang bisa menghiburnya. Raga kehilangan senyum riangnya.
"Aku harus melihatnya, memastikan kalau dia baik-baik saja."
Foni membuka matanya lalu mengangguk. Dia mulai mencari tiket pesawat menuju ke Medan, hari itu juga. Untuk kebaikannya sendiri, ia mesti memastikan Raga baik-baik saja, baru ia bisa melanjutkan hidupnya. Lelaki itu mungkin menganggap dirinya adalah syarat untuk mendapatkan rumah, tapi baginya, Raga pernah mengisi hatinya. Dia mencintai Raga dan sekarang pun masih. Biarlah lelaki itu brengsek, yang penting dirinya bukanlah manusia yang berhati dingin.
Sekali ini saja, Foni ingin melihat Raga.
🌸Mengejar Jodoh🌸
Author's noted :
Setelah lama beku, akhirnya aktif lagi otak Cici di sini. Ahayyyyy!
Cici lagi editing Max sekaligus Ethan, lho. Mana duluan dibukukan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top