🌸10. Naga dan Burung Hong🌸
Dua hari kemudian.
Ketika Raga beserta Rimba mengantarkan Foni kembali ke rumah setelah wanita itu diperbolehkan keluar dari rumah sakit, keduanya sama-sama terkejut ada tiga orang yang menunggu di depan gerbang rumah makan. Foni menatap Raga dengan tatapan bingung karena ia sama sekali tak mengenal ketiga orang itu. Ketiganya pria dan berpakaian rapi, berusia kira-kira pertengahan 40-an.
"Selamat siang! Ada yang bisa dibantu?" sapa Raga karena dilihatnya Foni masih bengong di tempatnya. Salah seorang dari mereka yang memakai kacamata itu maju selangkah dan bertanya,"Apa di sini rumah makan Memori?"
"Ah benar. Tapi kami tidak buka sebab ownernya liburan, Pak," jawab Raga ramah. Dalam hati Foni berteriak sebenarnya siapa pemilik rumah makan sekarang.
"Oh begitu. Sayang sekali. Tadinya kami berniat makan di sini karena kami dalam perjalanan menuju bandara."
"Oh. Mau berangkat ke mana ya kalo boleh tau?" tanya Raga lagi.
"Kami kerja di perusahaan asing. Ke Medan dalam rangka perjalanan bisnis. Ini mau balik lagi ke pusat," jawab lelaki berkacamata itu.
"Aduh! Sayang sekali."
Rimba selangkah dan berkata, "Maaf, Bapak-bapak sekalian. Jika berkenan lain waktu jika melakukan perjalanan bisnis ke Medan, sudi kiranya Bapak-bapak singgah ke sini. Kami pasti akan menjamu Bapak dengan baik."
Waw, pikir Foni. Dua pria ini benar-benar, deh.
"Baik."
"Fon, kartu. Kartu," bisik Rimba pelan. Foni segera mencari kartu nama rumah makan Memori yang ada di dalam tasnya dan menyerahkannya kepada tamu itu. Bapak yang menerima membacanya sekilas lalu memasukkannya ke dalam saku kemejanya.
"Kau orangnya, ya? Foodblogger itu? Istriku suka melihat foto-fotomu," tanya bapak yang sejak tadi berdiri di belakang pada Rimba. Yang ditanya tersenyum dan mengangguk.
"Kalau begitu, hari ini kami mesti cari rumah makan yang lain, ya," guraunya. Raga tersenyum.
"Sekali lagi, maaf, Pak. Sekali lagi Bapak berkunjung, kami pasti akan menjamu dengan istimewa," janjinya. Lagi-lagi Foni merasa kalau kepemilikan rumah makan sudah berpindah.
"Baiklah kalau begitu. Kami pamit dulu."
Ketiga bapak itu pergi setelah menyalami Raga dan Rimba, sedangkan Foni hanya menganggukkan kepalanya. Ketika mobil Alpard membawa mereka berlalu, Raga berkata, "Yang kulakukan ini sudah benar, kan?"
Rimba tertawa.
"Aku sempat melihat badge nama perusahaan asing yang dipakai oleh salah satu bapak itu. Mereka dari perusahaan Jerman," tukasnya.
"Apaaa?"
Rimba mengangguk.
"Sayang sekali rumah makan tidak buka hari ini dan aku baru keluar dari rumah sakit, kalo tidak...."
"Satu hal, Beib. Aku malah yakin sekali bapak-bapak itu akan datang kembali," sahut Raga masih sambil menatap ke arah di mana mobil itu menghilang di antara mobil-mobil lainnya.
"Aku juga yakin," sahut Rimba. Ketiganya sama-sama menatap ke arah jalanan.
Raga melirik Rimba di sampingnya. Ada yang ingin ia katakan tapi urung karena Foni ada di sampingnya.
🌸Mengejar Jodoh🌸
"Kau yang melakukannya?" tanya Raga kepada Rimba ketika Foni sedang menikmati secangkir teh dan kue kering di taman. Mereka berdua berdiri agak jauh dari Foni, Raga memastikan wanita itu tak mendengar pembicaraan keduanya.
"Melakukan apa maksudmu?" tanya Rimba bingung.
"Ketiga tamu itu. Kau yang meminta mereka datang," tukas Raga. Rimba tertawa sambil menyandarkan tubuhnya ke pohon mangga yang ada di dekatnya.
"Aku tidak pernah melakukan itu," sahutnya. Raga menatap lurus padanya.
"Tidak, he-eh?"
Rimba menggeleng dengan wajah seserius mungkin.
"Tidak, Broh! Hanya saja aku memang lebih rajin membagikan foto-foto tentang rumah makan ini. Bukan hanya menunya tapi juga tempatnya. Aku juga meminta beberapa kenalanku melakukan hal yang sama."
"Oh, terima kasih!"
Rimba, lelaki yang memiliki mata kecil itu menatap Raga dengan sebal.
"Hanya itu yang bisa kau ucapkan?"
Raga menghela nafas panjang. Rimba menduga kalau si sepupu ini akan mulai mengomeli dirinya. Jadi sebelum diomeli maka akan lebih baik baginya kalau ia menyerocos dulu.
"Ada baiknya kau bertemu dengan Rika untuk membicarakan hal ini. Aku agak kuatir, dia akan melakukan hal yang lebih dari ini," saran Rimba. Raga meletakan kaleng coca cola yang sebelumnya ia sembunyikan di balik tubuhnya.
"Apa yang bisa dia lakukan lagi? Aku dan dia sudah selesai sejak dulu," balas Raga tanpa ragu sedikitpun.
Bagimu, Broh! Dia belum tentu.
"Eh, kali ini kau mau bikin apa?" tanya Rimba sambil meraih kaleng coca cola yang baru diletakkan Raga. Ia melupakan tentang Rika karena kaleng coca cola itu lebih menarik minatnya.
"Masa depan."
"Apa!"
"Kalian berdua! Kalo berdiri terus kayak lagi lihat boyband Korea!" teriak Foni dari tempatnya. Suaranya terlalu kencang untuk orang yang baru menjalani operasi dua hari lalu sampai Raga menaikkan alisnya.
"Apa harus teriak-teriak gitu, ya?" protesnya sambil berjalan mendekat lalu karena teringat kaleng minumannya ia menoleh ke Rimba.
"Habiskan minum itu sebanyak-banyaknya," pintanya.
"Berapa banyak yang kau butuhkan?" tanya Rimba. Raga angkat bahu.
"Tidak tahu. Sebanyak yang bisa kau habiskan," jawab Raga seenaknya. Rimba menyambar coca colanya dan segera menyusul Raga. Dirangkulnya bahu sepupunya itu lalu bergabung dengan Foni.
"Kalo teriak-teriak pakai otot perut, bisa menimbulkan nyeri, lho."
"Kata siapa?" balas Foni judes. Raga dan Rimba bertukar pandang dan tertawa bersama-sama.
"Satu-satunya dokter dalam keluarga Theo," jawab Raga sebelum keduluan oleh Rimba.
Rimba terbahak dan membuka mulutnya, "Dr. Maxim Theo."
Foni menatap keduanya serius, berusaha mengingat rupa dokter itu. Ia sempat bertemu dengan dokter itu tapi tak begitu mengingat wajahnya karena waktu itu bukanlah saat yang bagus untuk saling mengenal.
"Aku yakin kalo kalian berdua lahir di Korea, pasti jadi member boyband."
🌸Mengejar Jodoh🌸
Mobil yang dikendarai oleh Raga itu berhenti di depan rumah dengan bangunan yang kuno. Foni menebak bangunan itu telah dibangun bahkan sebelum Raga lahir. Jaraknya sekitar 20 menit bermobil dari rumah makannya. Masih berada di jalur jalan menuju bandara Kuala Namu. Ia tidak tahu alasan Raga mengajaknya ke rumah tua ini. Lelaki itu hanya mengatakan ingin cari angin.
Raga membunyikan klakson dan tak lama kemudian dari dalam rumah muncul seorang bapak berusia kira-kira 50an. Ia segera membuka pintu gerbang begitu melihat Raga menurunkan kaca mobilnya.
"Nak Raga!" panggilnya ketika Raga dan Foni turun dari mobil. Pria tua itu agak terkejut melihat ada seorang wanita yang turut menemani Raga.
"Pak Syahril nggak usah terkejut gitu. Ini pacarku, Pak!" tukas Raga sambil tertawa dan mengenalkan Foni pada pengurus rumah itu.
"Ini Pak Syahril, Fon. Pengurus rumah ini sejak kakek dan nenekku masih hidup."
Foni mengganggukkan kepalanya pada pria tua itu. Pak Syahril tampak memberi kode pada Raga dan pria itu tampak menggangguk.
"Masuk, yuk, Say!" ajak Raga sambil menggenggam jemari Foni dan mengajaknya masuk ke rumah itu. Bangunan itu memang tampak kuno tapi tampak masih kokoh. Pintu terletak di tengah di antara dua jendela dengan model lama. Kedua jendela itu terbuka dan Foni bisa mengintip ke dalam rumah. Namun, ia tak perlu mengintip lebih lama lagi karena Raga membuka pintu itu dan mempersilahkannya masuk. Foni menyapukan pandangannya ke seluruh sudut ruang tamu itu. Ada kursi kayu dan meja di tengah ruangan. Lemari kayu berisi pajangan tea set dengan ukiran naga dan burung hong. Foni tahu kalau naga dan burung hong adalah mitologi dalam kebudayaan Tiongkok. Neneknya pernah berkata kalau naga adalah keberuntungan dan burung hong adalah keharmonisan. Jika keduanya bertemu maka akan ada keharmonisan dalam pernikahan.
Pernikahan....
Wajah Foni langsung bersemu merah tapi karena takut diketahui Raga, ia mengalihkan pandangannya ke arah foto-foto lama. Ada beberapa foto hitam putih di dalam pigura itu. Seorang wanita mengenakan kebaya encim dan pria di sampingnya yang meskipun fotonya tampak buram, memiliki wajah yang mirip dengan Rimba.
"Opa dan Oma," kata Raga. Tangannya terulur membuka lemari dan mengambil foto lama itu. Terlihat nyata kalau ia merindukan mereka. Tangannya mengusap foto itu dan bibirnya tersenyum. Kenangan masa kecil itu terulang kembali di dalam pikirannya seperti potongan-potongan video yang terekam dalam ponselnya. Saat semua keluarga berkumpul di malam menjelang Imlek. Semua anak, menantu, dan cucu berkumpul di ruang keluarga, bicara tentang apa saja. Para cucu senang bermain congklak. Oma sering bilang segala masalah keluarga diselesaikan di ruang itu.
Raga menarik nafasnya dan tersenyum lagi. Nenek benar dalam hal ini. Masalah keluarga kenyataannya selesai di ruang itu saat makan bersama. Salah satu pamannya pernah berselisih dengan papanya berkaitan dengan bisnis keluarga dan Oma mendamaikan keduanya di sana.
Ini juga akan selesai di sana.
"Yuk," ajak Raga. Foni diam saja ketika tangannya ditarik Raga masuk ke ruangan lain. Mereka melewati sebuah ruangan di belakang ruang tamu.
"Ini ruang kerja Opa. Bukan ini yang ingin kutunjukkan padamu. Nanti saja," tukas Raga buru-buru. Foni mulai merasa curiga dengan gelagat aneh ini. Raga tampak agak canggung. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
"Kamu kenapa, sih? Tiba-tiba membawaku melihat rumah keluargamu," tanya Foni.
"Ehm..."
"Apa, Ga?"
Langkah Foni terhenti ketika kakinya baru selangkah masuk ke ruang keluarga. Di ruang yang masih tetap mempertahankan desain chinese peranakan itu, Foni melihat balon berwarna merah muda dan putih menyentuh langit-langit ruangan itu. Dua kursi saling berhadapan dipisahkan oleh meja yang di atasnya diletakkan sebotol wine dan dua gelas berkaki.
"Ini kode yang kau berikan pada Pak Syahril tadi, ya?" tanya Foni sambil melangkah mendekati meja itu. Raga tersenyum sumringah.
"Tersentuh?" tanyanya dengan mimik nakal.
Sejak awal bukannya memang seperti itu?
Namun Foni tak mengucapkan hal itu karena bila diungkapkan, Raga akan tersenyum lagi dan kalau ia tersenyum, Foni merasakan perutnya sakit, bukan karena usus buntu tapi ada kehangatan yang menjalar di sana.
Raga menarik kursi kayu itu agar bisa diduduki Foni. Kursi yang masih dipertahankan olehnya. Kayu tapi masih terawat. Baru-baru ini, ia meminta Pak Syahril mencari orang yang bisa mengecat kursi itu dengan warna fernis dan hasilnya tidak mengecewakan.
"Apa kau masak sendiri untuk makan malam ini?" tanya Foni dengan nada menggoda. Mata nakalnya menyiratkan kalau Raga tidak akan bisa memuaskan seleranya atas makanan.
"Jangan senang dulu! Aku tau kok, gimana kemampuanku. Jadi, makan malam ini aku pesan melalui aplikasi," jawab Raga.
"Okay! Apa pun itu! Ini saja sudah menyenangkan, kok," balas Foni. Raga meraih botol wine dan membuka penutupnya dengan pembuka yang sudah disediakan lalu menuangkannya ke dalam gelas berkaki.
"Ini Pinot Noir. Karena harganya mahal, kau cuma boleh minum segelas," tukas Raga dengan serius membuat Foni langsung cemberut.
"Pelit!"
"Jiah! Nggak tega. Maxim bilang cuma boleh segelas karena kita merayakan sesuatu," cetus pria bermata indah itu dengan serius. Foni meraih gelas yang telah berisi anggur merah tapi dicegah oleh Raga.
"Kita merayakan apa?" tanya Foni.
Raga mundur untuk mengambil sesuatu dari lemari lalu kembali dengan sesuatu di tangannya. Mata Foni terpaku pada benda di tangan pria itu. Kaleng coca cola itu telah berubah bentuknya menjadi bunga.
"Ga..."
Makin dekat, Foni makin gemetar apalagi matanya menangkap ada sinar berkilauan di tengah bunga yang terbuat dari kaleng bekas itu.
Ada cincin berlian terselip di situ.
Raga tidak main-main, pria itu serius menatap wanita yang beberapa bulan terakhir ini terus mengganggu tidurnya itu. Kejadian baru-baru ini malah membuatnya semakin ingin melamar Foni.
"Mari kita menikah, Simfoni Virgo. Aku sudah pernah mengajakmu menikah tapi kau bilang aku sinting. Aku tahu sarapan pagiku tidak seenak buatanmu, tapi aku berharap kau bisa mengajariku membuat sarapan yang enak hingga sesuai dengan seleramu. Aku ini pria yang suka belajar, keluargaku baik, aku juga sayang kepada keluargamu. Kalau kau tak menerimaku sebagai suamimu, Simfoni, aku akan pergi ke Korea lalu mendaftar jadi anggota boyband. Aku pastikan kau akan menyesal dan bunga-bunga di taman rumah makan tidak akan bersemi lagi tanpa kehadiranku..."
"Stop Raga! Stop!"
Foni tertawa meskipun begitu matanya kabur. Tidak akan ada seorang pun yang bisa seperti Raga, melamar dengan cara angkuh begitu.
"Jadi?"
"Aku takut kalau bunga-bunga di tamanku tak lagi bersemi, Raga. Karena ketidakhadiranmu akan membuat semuanya tak lagi sama."
Foni tak bisa lagi melanjutkan kata-katanya terutama bagian boyband Korea. Intinya, dia tidak sudi Raga jadi anggota boyband dan digilai fans yang kebanyakan berjenis kelamin perempuan.
"Iya, Ga. Aku terima meskipun omlette-mu tidak enak."
Cukup!
Raga tak mau mendengar apa pun lagi. Kalau Rimba sebelumnya yakin kalau Foni akan menerima setelah melihat ketulusan Raga, tapi pria itu sendiri masih kuatir dirinya akan ditolak. Apalagi karena beberapa kejadian akhir-akhir ini.
Raga membungkukkan tubuhnya dan mencium Foni di keningnya.
"Untuk menerimaku yang banyak kekurangan ini, terima kasih."
Raga mencium Foni kembali di bibirnya. Pelan dan hangat. Tangannya menelusuri pipi wanita itu lalu turun ke lehernya.
"Ehm, Ga. Kapan aku boleh mengenakan cincinnya?" tanya Foni ketika Raga berhenti menciumnya. Pria itu tertawa dan mengambil bunga buatan tangannya itu dari Foni. Lalu ia mengambil cincin berlian itu dari bunga itu dan memasangkannya ke jemari Foni.
"Nah, sekarang. Mari kita bicara tentang masa depan kita."
🌸Mengejar Jodoh🌸
Author's Noted :
Hari ini, saya up dua cerita. Yang satunya lagi cerita baru Dr. Maximillian dan gadis kecilnya. Pastikan kamu juga baca, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top