8 - Sesuatu Bernama Jarak

Diam-diam Lila mulai meninjau ulang posisi Gio di hatinya. Apakah benar cukup sebatas sahabat?

---

Setelah pesta ulang tahun Gina, Gio tidak pernah menemukan lagi momen kebersamaannya dengan Lila. Cewek itu semakin sering pulang malam, demi mematangkan persiapannya untuk bersaing di tingkat provinsi. Sementara Gio sendiri, sudah dua minggu kembali aktif latihan bersama tim basketnya untuk menghadapi turnamen antar kampus. Sudah tiga kali ia izin terlambat masuk kerja, dan sekali tidak masuk sekalian. Kendati Tante Hania tidak pernah mempermasalahkan, Gio merasa tidak enak dengan karyawan yang lain. Karena itu, secapek apa pun setelah beraktivitas di kampus dan tempat latihan, ia tetap berusaha menunaikan kewajibannya, seperti saat ini.

Gio mengisi salah satu kursi tinggi di depan konter, bertopang dagu sambil menunggu hidangan selanjutnya yang harus diantar ke meja tujuan. Ia kangen direcoki Lila. Kalau dipikir-pikir, bukan hanya karena faktor kesibukan yang membentangkan jarak di antara mereka saat ini. Sepertinya ada yang lain. Gio bisa merasakan perubahan sikap Lila. Cewek itu selalu menjawab seadanya jika Gio mengajukan pertanyaan basa-basi. Ia juga langsung ke atas kalau pulang, tidak menyelonong ke dapur atau sekadar 'ngerusuh' di depan konter seperti biasanya. Lila tampak menghindar. Tapi kenapa? Apakah Gio punya kesalahan yang tidak disadari?

"Kayaknya bentar lagi kamu bakal pensiun, deh," celetuk Sandi sambil melompat ke kursi di samping Gio.

"Maksudnya?" Gio mengernyit.

"Anak bos pulang diantar cowok lagi tuh. Kemarin juga, dengan cowok yang sama."

Gio langsung melompat turun dari kursinya. Siapa cowok itu? Pasalnya, selama ini Lila paling anti diantar pulang sama cowok.

Gio berhasil tiba di depan pintu kaca sesaat sebelum cowok itu pergi. Ternyata Devan. Mereka bertukar senyum, kemudian Lila melambai saat Devan mulai melajukan motornya.

Gio ingin aktivitas mengintip itu tidak ketahuan, tapi terlambat. Lila langsung menemukannya begitu cewek itu berbalik dan melangkah hendak masuk.

Agar tidak terlalu mencurigakan, spontan Gio berinisiatif membukakan pintu untuk Lila, seolah ia berdiri di sana memang untuk itu.

"Sejak kapan kamu beralih tugas jadi doorman?"

Gio hanya cengar-cengir sambil menutup kembali pintunya.

Merasa tidak perlu menunggu penjelasan yang tidak penting, Lila melanjutkan langkahnya.

"Mau minum sesuatu?" kejar Gio.

"Cuma mau istirahat, Gi, capek!" Lila bahkan tidak menoleh saat berkata begitu. Maka Gio berhenti, membiarkan cewek itu berlalu. Gio mematung, menempelkan tatapannya di punggung Lila, hingga cewek itu menghilang di balik tembok yang menyembunyikan tangga menuju ke lantai dua.

***

Beberapa hari ini kesehatan Hania menurun. Alih-alih istirahat, ia masih saja menyibukkan diri di kafe. Pikirnya, sakit itu akan semakin parah jika dimanja. Tapi kemarin, menjelang siang ia terpaksa menanggalkan egonya setelah menumpahkan sup yang baru diangkatnya dari kompor karena tiba-tiba pusing. Untung tidak ada yang tersiram sup panas itu.

Pagi ini Hania masih terbaring lemas di kamarnya. Lila sudah membujuknya agar mau dibawa ke rumah sakit, tapi Hania menolak. Katanya, berada di rumah sakit hanya akan memancing pikiran negatif menjejali otaknya. Tadi malam ia hanya meminta dokter langganannya untuk datang memeriksa kondisinya. Katanya, tekanan darahnya tidak stabil karena kurang istirahat.

Untuk beberapa hari ini Hania disarankan untuk membuat dan mematuhi jadwal tidur dan menjaga pola makan. Sebenarnya hal itu agak berat bagi perempuan aktif seperti Hania, tapi mengingat Tamalatea membutuhkannya, ia akan menjalankannya.

Mumpung hari Minggu, Lila tidak berencana ke mana-mana. Ia ingin menemani mamanya. Ia sudah menghubungi Devan dan pihak pembimbing eskul, meminta maaf sekaligus memohon pengertian mereka agar meniadakan latihan untuk hari ini. Pagi-pagi Lila sudah turun menemui Mbak Mia, meminta tolong memasakkan sarapan untuk mamanya. Lila diminta menunggu sebentar.

"Kamu sama Gio lagi marahan, ya?" tanya Mbak Mia sambil mencuci kacang hijau yang akan direbusnya.

Lila yang diinstruksikan menyiapkan air panas, terkesiap. "Nggak, kok!" jawabnya kemudian sambil mikir. Ia tidak yakin.

"Kok, nggak pernah 'cakar-cakaran' lagi? Kamu juga udah jarang mampir ke sini."

"Akhir-akhir ini kegiatan di sekolah padat banget, Mbak. Jadinya kalau pulang badan terasa remuk dan pengin cepat-cepat istirahat," terang Lila sambil menyalakan kompor.

"Gio uring-uringan, tahu. Bolak-balik nanyain kamu. Dikira aku baby sitter kamu kali." Mbak Mia terkekeh.

Lila berhenti sejenak dari aktivitasnya. Senyumnya tersungging tipis, hanya karena mengetahui Gio sering menanyakannya. Berarti kegelisahan yang mendera akhir-akhir ini menyerang Gio juga.

Setelah merebus air, Lila tidak paham harus melakukan apa lagi. Ia memilih menepi, duduk di bangku plastik di dekat lemari pendingin sambil menonton aksi Mbak Mia. Ia siap siaga kalau perempuan berwajah oval itu kembali memintanya untuk mengerjakan sesuatu.

Diam-diam bayangan Gio berkelebat di benak Lila. Entah dari mana asal muasal jarak yang tiba-tiba terbentang di antara mereka. Lila tidak marah sama Gio, cowok itu tidak punya salah apa-apa. Ia hanya tidak siap kalau nama Mega tiba-tiba muncul di tengah kebersamaan mereka. Cukup di malam ulang tahun Gina yang terakhir, karena rasanya teramat sakit. Dan sejak saat itu, meski agak takut, diam-diam Lila mulai meninjau ulang posisi Gio di hatinya. Apakah benar cukup sebatas sahabat?

***

Kalau lagi sehat, Hania bisa menandaskan bubur kacang hijau bikinan Mia dua porsi sekaligus. Tapi kali ini, baru tiga kali Lila menyuapinya, ia sudah menggeleng. Setelah capek membujuk, Lila menyerah. Ia meletakkan mangkuk kaca itu di atas nakas, kemudian membantu mamanya untuk minum.

"Assalamualaikum." Salam yang terdengar itu dibarengi suara ketukan pintu.

Keduanya menjawab lirih sambil menoleh ke arah pintu yang setengah tertutup.

"Masuk, Gi!" Tentu saja Hania bisa langsung mengenali suara Gio. Pun dengan Lila. Karena itu, cewek yang masih berpiama Hello Kitty itu langsung menegang.

Mumpung tidak kuliah, hari ini Gio berencana longshift untuk menebus bolosnya yang kemarin-kemarin. Sebenarnya, pernah bolos atau tidak, setiap ada hari yang kosong Gio memang selalu longshift, alih-alih tabungan kalau ia ada perlu mendadak di hari-hari berikutnya. Ini salah satu alasan kenapa Tante Hania tidak pernah mempermasalahkan jam kerjanya.

Sambil melangkah masuk, Gio melirik ke arah Lila, tapi cewek itu sedang menunduk.

Lila berdiri, alih-alih mempersilakan Gio duduk di tepi tempat tidur. Ia sibuk menatap apa saja, asal jangan mata cowok yang sudah rapi dengan seragam Tamalatea-nya ini.

"Gimana keadaan Tante?" tanya Gio sambil menduduki posisi yang baru saja ditinggalkan Lila.

"Nggak apa-apa, Gi, cuma agak pusing kalau banyak goyang. Mau nggak mau harus istirahat dulu." Hania yang sedang bersandar di kepala tempat tidur mengembuskan napas lesu.

"Kalau gitu, untuk sementara Tante nggak usah mikirin pekerjaan di bawah. Insya Allah, kami bisa urus semuanya."

Hania mengangguk samar sambil tersenyum lemah.

Senyum Gio yang terbit untuk meyakinkan Tante Hania bahwa semuanya akan baik-baik saja, tertangkap di mata Lila. Begitu tulus, hangat dan menenangkan. Lagi, kerja jantung Lila mendadak tidak normal.

"Oh ya, ini ada kue bannang-bannang dari Ibu. Tadi malam pas tahu Tante sakit, langsung dibikinin. Katanya, Tante suka banget, ya?" Gio menunjukkan kotak makanan bersusun dua di dalam kontong plastik yang sejak tadi dipegangnya.

"Wah ...." Mata Hania berbinar antusias. Ia sampai menegakkan punggung untuk meraih kotak makanan itu, seolah lupa sedang sakit. "Kalau ini mah lebih dari suka, Gi." Perempuan bertubuh ramping itu langsung membukanya. Seketika senyumnya mengembang begitu aroma kue khas tanah kelahirannya itu menguar. "Tante cobain, ya," katanya tidak sabaran.

Gio mengangguk menyilakan.

Di gigitan pertama, sensasi renyah dan manis langsung memenuhi rongga mulut Hania. Ia tampak sangat menikmatinya. "Setelah menguasai banyak resep kudapan, anehnya, Tante masih belum bisa bikin kue ini dengan hasil yang sempurna. Selalu saja ada yang salah. Terakhir kali Tante coba bikin, jadinya malah agak kenyal dan lengket." Hania berucap sepanjang itu dengan mulut masih terisi. "Padahal ini kue khas tanah kelahiran Tante sama Ibu kamu, loh," imbuhnya, setelah menelan makanannya.

Hania dan Lusi memang berasal dari Jeneponto, salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang letaknya sekitar 81 kilometer di sebelah selatan Makassar. Keduanya perantau yang kemudian menikah dengan lelaki pribumi. Mereka kenal berkat Gio dan Lila, kemudian langsung akrab setelah masing-masing tahu berasal dari daerah yang sama. Tapi karena kesibukan, keduanya jarang benar-benar punya waktu untuk sekadar bernostalgia tentang kampung halaman mereka.

Bannang-bannang yang sedang dinikmati Hania merupakan salah satu kue khas Jeneponto yang terbuat dari adonan tepung beras dan gula merah. Bentuknya mirip crepe roll, tapi teksturnya sepintas mirip tumpukan benang kusut. Mungkin nama 'bannang-bannag' terinspirasi dari sini. Cara pembuatannya lumayan ribet, karena proses penggulungan dilakukan sambil digoreng. Bagian ini butuh tingkat ketelitian dan kecekatan yang tinggi.

"Sayangnya, Ibu sedang membawa Gina terapi, jadi nggak bisa ikut Gio ke sini. Insya Allah, mungkin nanti sore baru sempat menjenguk Tante."

"Pokoknya, kapan-kapan Tante harus kursus sama Ibu kamu," kata Hania lagi sambil mengambil bannang-bannang keduanya. "Ini enak banget, loh. Mau coba?" Hania menyodorkan kotaknya ke Gio.

Gio menggeleng. "Buat Tante aja."

Hania mengalihkan kotaknya ke Lila tanpa berhenti mengunyah, yang kemudian dibalas gelengan.

Lila melihat keakraban mamanya dengan Gio sebagai kesempatan untuknya melarikan diri dari ruangan itu. Entahlah, untuk saat ini rasanya masih agak aneh harus dekat-dekat dengan Gio.

***

[Bersambung]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top