7 - Gina's Birthday Party

Aku akan selalu ada, menemanimu, sampai sel luka di masa lalu itu mati seutuhnya.

---

Padahal alasannya sudah bagus dan tidak mengada-ada, ingin mengangkut makanan ke rumah Gio, tapi Mama masih belum mau menyerahkan kunci mobil Lila. Sebagai gantinya, ia malah memesan layanan pesan antar makanan online. Berhubung sudah pukul enam sore, Lila mengalah. Kali ini waktunya sangat sempit untuk kembali membahas perkara nabrak dan hampir nabrak itu.

Gio dan Sandi membantu kurir mengangkat puluhan kotak makanan ke mobilnya yang sudah terparkir dengan posisi membelakang di pelataran Tamalatea. Kotak-kotak itu hasil karya Mbak Mia, diisi aneka kue basah dengan hiasan lucu-lucu sesuai segmen anak-anak. Gio memastikannya tertata sebaik mungkin, agar isinya tidak berantakan saat tiba nanti.

"Gi, titip salam sama keluarga di rumah. Maaf, Tante nggak bisa datang." Hania yang masih mengenakan mukena selepas shalat Magrib muncul dari pintu utama Tamalatea.

"Siap, Tan!" Gio tersenyum lebar, alih-alih berterima kasih atas puluhan kotak makanan yang hari ini diangkutnya secara gratis. Spesial untuk ulang tahun Gina.

Setelah semuanya beres, Gio membiarkan mobil pengantar makanan itu berangkat duluan. Ia dan Lila segera menyusul menggunakan motor.

"Ma, berangkat, ya." Lila mencium tangan Hania.

Gio melakukan hal serupa.

"Hati-hati!" pesan Hania.

***

Malam ini ruang tamu kediaman keluarga Gio dipenuhi ornamen-ornamen khas birthday party bernuansa pink. Dekorasinya tidak terlalu mewah, menyesuaikan dengan ukuran ruangan yang memang tidak sebegitu luas. Gina yang malam ini mengenakan dress pink tampak anteng di kursi rodanya. Sesekali ia hanya memainkan mahkota yang bertengger di kepalanya. Sebagian teman-temannya-yang juga berkebutuhan khusus-sudah datang bersama orangtua mereka.

Lusi, ibu Gio, mendampingi Gina, kalau-kalau anak itu butuh apa-apa. Sementara Salim, ayah Gio, berada di luar untuk menyambut tamu-tamu yang baru datang. Keluarga Gio terbilang sederhana. Cinta dan kebersamaan yang selalu mencukupkan mereka. Ayahnya bekerja di kantor pos, sementara ibunya memanfaatkan keterampilan menjahit untuk meringankan beban suami.

Salim turun ke halaman begitu melihat kedatangan Gio dan Lila yang disusul sebuah mobil yang langsung mengambil posisi parkir membelakang.

"Ada kiriman makanan dari Tante Hania." Gio menjelaskan sebelum ayahnya bertanya.

Salim hanya ber-o tanpa suara. Setelah menyambut Lila dengan dekapan singkat, ia merapat ke mobil untuk membantu Gio dan kurir menurunkannya. Kotak-kotak makanan itu kemudian dibawa ke dalam dan disusun rapi di sudut ruangan.

Sambil Gio masih sibuk dengan makanan-makanan itu, Lila langsung ke dalam. Ia menyapa orang-orang yang dilaluinya, sebelum tiba di samping Tante Lusi. Seperti suaminya tadi, Lusi langsung memeluk Lila. Sudah sejak lama mereka memang mengaggap Lila seperti anak sendiri.

Lepas dari pelukan Tante Lusi, Lila bergeser sedikit, merapat ke sisi Gina. Kemudian ia menyodorkan kadonya, sebuah kotak musik berbentuk piano dengan tuts yang benaran bisa dipencet. Masing-masing tuts akan mengeluarkan melodi yang berbeda-beda. Lila sengaja tidak membungkusnya, hanya diwadahi paper bag agar Gina bisa langsung melihatnya. Sepasang mata Gina berbinar antusias melihat bentuk kotak musik itu, terlebih setelah tahu benar-benar bisa mengeluarkan suara piano yang sangat akrab di telinganya.

"Gina suka?" tanya Lila sambil membenarkan letak mahkota di kepala adik sahabatnya itu.

Gina hanya mengangguk, kemudian kembali menekan tuts lainnya. Sekali lagi benda mungil itu mengeluarkan bunyi yang membuat Gina jingkrak-jingkrak di kursinya.

"Terima kasih, kamu selalu bisa membuatnya tersenyum," bisik Lusi.

Lila menoleh, kemudian sejenak merebahkan kepalanya di bahu perempuan yang sepantaran dengan mamanya itu, alih-alih mengucapkan 'sama-sama'.

Sekitar 20 menit kemudian mini party birthday itu dimulai. Selain mendampingi Gina, Salim sekaligus merangkap sebagai MC. Pertama-tama, lelaki berumur 46 tahun itu memberi sambutan dan ucapan terima kasih kepada mereka yang sudah meluangkan waktu untuk hadir. Selanjutnya, ia memaparkan bagaimana Gina, dengan segala keterbatasannya, bisa sangat membanggakan di matanya.

Bagian ini tiba-tiba saja menghadirkan sendu menyelimuti ruangan itu. Terlebih, para orangtua yang hadir merasa senasib memiliki anak yang sering dianggap aneh dan disepelekan. Menyadarinya, Salim segera beralih topik, tak ingin merusak suasana. Ia menginstruksikan kepada istrinya untuk menyalakan lilin dan segera disusul menyanyikan bersama jingle Selamat Ulang Tahun. Di penghujung lagu, dengan diarahkan ibunya, Gina meniup lilin. Bahkan untuk hal sesederhana itu ia tampak kepayahan. Tapi, sepasang mata kecilnya memancarkan semangat serta tekad untuk jadi 'orang' di masa mendatang.

Pemandangan selanjutnya, saat Om Salim meraih Tante Lusi dan Gina untuk disatukan dalam dekapannya, lalu mencium kening mereka, tiba-tiba saja membuat sepasang mata Lila menghangat. Ada rasa iri serta momen kehilangan yang menyeruak di dadanya. Beberapa jenak ia menunduk, kemudian kembali menegakkan kepala setelah berhasil memasang tanggul di tepian matanya. Meski duduknya agak jauh, ekspresi itu tidak luput di mata Gio. Cowok itu selalu ingin menyiapkan bahu ketika Lila tiba-tiba jatuh ke titik itu lagi.

Setelah potong kue, Lusi mengarahkan tamunya untuk mencicipi hidangan yang telah disiapkan. Menerima kode dari Lila, Gio segera bangkit untuk membantu membagikan makanan yang dikirimkan Tante Hania. Saat mereka menikmati kebersamaan itu, larut dalam obrolan hangat, Lila meminta izin kepada Om Salim untuk memainkan piano yang memang sudah disiapkan di sisi kanan ruangan. Ia akan melunasi janjinya kepada Gina.

Lila lekas mengambil posisi setelah dipersilakan. Sebelum memulai aksinya, cewek ber-dress selutut itu menarik perhatian dengan mengucapkan salam kemudian menyampaikan niatnya untuk menghibur Gina dan teman-temannya. Yang dibawakan Lila kali ini tentu saja bukan lagu klasik, melainkan lagu anak-anak yang penuh keceriaan.

Gina dan teman-temannya tampak sangat menikmati. Mereka bertepuk tangan sambil tertawa-tawa. Beberapa ikut bernyanyi dengan semangat, meski terkadang lirik yang dilafalkan hanya bisa dimengerti oleh mereka sendiri. Berada di tengah pemandangan itu membuat Lila kembali berucap syukur dalam hati karena telah dilahirkan dalam kondisi fisik yang lebih beruntung.

Usai memainkan tiga lagu sesuai rekomendasi Google, Lila ke belakang untuk membantu Tante Lusi menyiapkan paketan sederhana yang akan diberikan kepada teman-teman Gina sebelum pulang nanti, sebagai ucapan terima kasih karena sudah datang.

"Sebenarnya Gio kerja di kafe keluargamu sebagai apa, sih? Kok, Tante perhatiin sering banget bolos." Lusi membuka obrolan tanpa mengurangi kegesitan tangannya. "Malam ini contohnya, bolos lagi, kan?"

"Entah seperti apa surat perjanjian kerja yang disepakatinya sama Mama." Lila terkekeh pelan. "Di mata Mama, Gio itu bukan karyawan biasa. Mungkin semacam maskot."

Mendengarnya, Lusi ikut terkekeh. "Kamu ini ada-ada aja, deh." Lusi sampai menutup mulutnya dengan sebelah tangan.

"Dan bagi Lila sendiri, Gio itu lebih dari sekadar sahabat, Tan. Gio sangat berjasa, sudah menemani saya melewati masa-masa sulit kemarin."

Menyadari sentuhan nada getar, sejenak Lusi beranjak dari kesibukannya, untuk sekadar mengelus punggung sahabat putranya itu. "Kamu anak yang baik, pasti Tuhan menyiapkan rencana indah untuk masa depanmu."

"Makasih, Tan." Kedua sudut bibir Lila terangkat.

"Tante pengin, deh, kamu jadi anak tante juga," celetuk Lusi setelah kembali sibuk dengan sisa pekerjaannya.

"Loh, bukannya sejak lama Lila emang udah kayak anak Tante?"

"Maksudnya, kamu sama Gio nikah gitu suatu hari nanti."

"Eh ...?" Lila mendadak kehabisan kata.

"Kenapa, mau bilang kalian cuma sahabatan?"

Lila tidak menjawab. Ia pura-pura sibuk memindahkan ke dalam keranjang paketan yang sudah rapi.

"Asal tahu aja, ya, Tante sama Om dulunya juga sahabatan. Tapi perihal masa depan, siapa yang tahu, kan?"

Lila bingung harus merespons seperti apa.

***

Acara sudah berakhir, menyisakan pengalaman yang cukup berkesan di benak Gina. Sekarang anak itu sedang sibuk dengan kado-kadonya di kamar. Gio sedang membantu ayah dan ibunya membereskan sisa pesta, ketika sadar tidak melihat Lila sejak tadi. Kemudian ia pamit ke belakang untuk mencarinya.

Gio menemukan cewek berambut lurus itu sedang merenung di beranda belakang. Tatapan kosongnya mengarah ke kebun organik Tante Lusi, yang samar-samar di bawah temaram. Di beranda itu hanya ada satu lampu lima watt, menyemburkan cahaya kekuningan ke sekitarnya. Gio berdeham, kemudian ikut duduk di dipan yang biasa digunakan ibunya setelah lelah 'bermain-main' dengan kebunnya.

"Kok, malah di sini?" Gio berujar pelan.

Beberapa jenak hening.

"Keluargamu hangat, Gi." Nada getar itu lagi, perlahan-lahan menggerakkan lengan kanan Gio hingga melingkari punggung Lila.

Kembali hening. Gio sedang berusaha menyalurkan energi positif yang semoga bisa menenangkan hati cewek di sampingnya.

"Aku nggak ngerti, kenapa masih harus kayak gini. Padahal kasih sayang Mama, perhatian kamu ..." Lila menoleh, menancapkan tatapan tepat di manik mata Gio. "... cukup membuatku merasa sempurna."

Di bawah pencahayaan yang minim, sepasang mata bening Lila berkilat. Gio sangat ingin menyelam di sana. Berlama-lama, hingga lupa untuk pulang. Ketika sesuatu meletup-letup di dadanya, Gio buru-buru memalingkan wajah, memutus kontak matanya dengan Lila, juga melepas rangkulannya. Ia takut lepas kontrol.

"Tapi, rasa sakit ketika Papa yang dulunya selalu ada, tiba-tiba memilih pergi karena hatinya telanjur tercuri oleh orang lain, sering kali masih mengintai."

Gio menarik napas panjang dan menahannya sekian detik, sebelum kembali melabuhkan pandangan di sepasang bening yang terkadang sangat memabukkan itu. "Aku akan selalu ada, menemanimu, sampai sel luka di masa lalu itu mati seutuhnya."

Jika sudah menemukan sorot kesungguhan di mata Gio seperti ini, terkadang Lila tidak bisa berkata-kata lagi. Ia melabuhkan kepalanya di dada bidang cowok itu. Di saat-saat seperti inilah Lila semakin takut kehilangan Gio. Hidupnya entah harus ditata seperti apa jika tanpa Gio. Dan, Lila ingin seperti ini saja. Tidak perlu adanya perubahan-perubahan kecil yang berpotensi mengacaukan struktur hubungan itu di masa mendatang. Lila takut!

Dering ponsel Gio memaksa Lila mengangkat kepalanya, melepas nuansa hangat yang selalu bisa menenangkannya.

"Bentar, ya." Gio beranjak ke pojok beranda untuk mengangkat teleponnya.

Beberapa saat kemudian, Gio kembali menghampiri Lila dengan mimik yang sulit dibaca. "Mega sakit," katanya pelan. "Ia sendiri di rumah. Tadi sore orangtuanya mendadak ke luar kota untuk urusan kerjaan, pembantunya juga lagi pulang kampung. Ia minta tolong diantar ke rumah sakit." Tenggorokan Gio mendadak kering setelah menandaskan kalimat itu.

"Ya udah, sana, gih. Kan, kasian kalau dia nunggu kelamaan." Lila mengupayakan intonasi suaranya seenteng mungkin, meski ketidakrelaan membuat hatinya tiba-tiba memar.

"Kamu nggak apa-apa?"

Lila buru-buru menggeleng. "Aku bisa pulang sendiri. Kamu nggak usah khawatir!"

"Maaf ...." Gio sendiri tidak paham, kenapa harus melirikan kata itu sebelum berlalu dari hadapan Lila.

Sayangnya, kamu selalu ada bukan cuma untukku, Gi ....

***

[Bersambung]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top