6 - Upaya Jujur untuk Diri Sendiri

Hidup ini memang tersusun dari beragam warna, salah satunya kesedihan.

---

Lila menuruni tangga sambil menarik napas secara teratur. Ia berharap udara baru pagi ini bisa menyegarkan pikirannya. Jam segini Tamalatea belum buka, tapi shift pagi sudah datang untuk siap-siap. Seperti biasa, sebelum mulai beraktivitas, mereka kumpul di salah satu meja untuk sarapan bareng. Mama tidak pernah melewatkan momen ini. Katanya, ini salah satu cara untuk menjaga kekompakan timnya. Biasanya sambil sarapan, Mama akan menyampaikan evaluasi kecil perihal kinerja mereka kemarin dan apa yang harus difokuskan hari ini.

"Selamat pagi, Manis," sapa Mbak Mia dengan nada dibuat-buat begitu melihat Lila. "Duduk sini," lanjutnya sambil menepuk kursi kosong di sampingnya.

Lila menurut. Selama ini ia memang selalu duduk di situ. "Ma, kapan aku boleh bawa mobil lagi?" tanya Lila dengan nada memelas sambil menyendok nasi goreng ke piringnya.

"Ntar nabrak lagi, loh."

"Baru hampir, Ma, belum nabrak." Lila sampai bosan mengatakan ini.

"Sama ajalah. Itu anak orang, loh, bukan anak ayam."

Mbak Mia terkikik. Lila langsung menyikutnya.

"Tapi masa nebeng terus sama Sari?"

"Malah bagus. Mama jadi nggak khawatir karena kamu berangkat sendiri. Mama juga udah ngomong ke Sari, dia nggak keberatan, kok. Malah katanya senang, ada teman ngobrol di jalan."

Lila memutar bola mata malas.

"Lagian tindakan kriminal semakin marak, loh. Kalau pergi berdua, kan, setidaknya bisa meminimalisir." Dengan semamgat 45, Mbak Mia mengompori, yang langsung dihadiahi pelototan oleh Lila. Perempuan berwajah bulat itu memasang tampang pura-pura takut, kemudian memenuhi mulutnya dengan nasi goreng.

Di tengah sarapan, ponsel Lila berdenting. Ia langsung meletakkan sendok untuk mengeceknya. Ternyata pesan dari Sari. Teman sekelasnya itu sudah ada di luar.

"Ma, aku berangkat, ya. Sari udah nunggu."

"Kamu kebiasaan meninggalkan makanan, deh." Hania melirik piring Lila. "Habisin aja dulu. Sari sekalian ajak sarapan bareng."

"Takut kena macet, Ma." Lila sudah bangkit dari kursinya, mencangklong tas punggungnya, kemudian memutari sisi kiri meja untuk mencium tangan mamanya.

Hania hanya bisa geleng-geleng.

"Eh, bentar, ada yang kelupaan," cegat Mbak Mia, yang tiba-tiba heboh sendiri.

Lila mengurungkan langkahnya. Ia membenahi letak tali tasnya sambil memandang bingung pergerakan Mbak Mia yang langsung meluncur ke belakang.

Sekembalinya, Mbak Mia membawa snack box mungil berwarna putih yang langsung disodorkan ke Lila. "Titipan dari Gio," katanya.

Lila menerimanya sambil mengernyit. Meski sangat penasaran, ia menolak membukanya di depan Mbak Mia. bisa-bisa perempuan itu heboh lagi.

"Makasih, Mbak," ujar Lila sebelum berbalik untuk mendorong pintu.

Mia mengangguk anggun ala-ala putri kerajaan.

Lila masuk ke mobil Sari sambil menjaga posisi snack box di tangannya tetap seimbang. Setelah duduk sempurna di samping kemudi, ia baru membukanya. Sesuai dugaan, snack box itu berisi dua cupcake dengan topping rainbow yang seolah mampu mengundang senyum siapa pun yang melihat. Buktinya, Lila kini tersenyum tanpa komando.

"Kamu bawa bekal?" tanya Sari sambil menginjak pedal gas perlahan-lahan.

Lila tidak merespons. Ia sibuk membaca pesan yang dituliskan Gio pada secarik kertas dalam snack box itu.

Anggap aja sebagai perayaan atas kemenangan Persebaya kemarin. Dan ... sebagai penebus karena kamu terpaksa tidak bisa melihat senyumku selama lebih dari 20 jam. Aku tahu kamu bakal kangen. Mengakulah! Semoga cupcake ini bisa jadi penawar.

Senyum Lila mengembang sempurna usai membaca pesan itu. Perasaannya sudah kembali ke titik sejahtera. Rasa-rasa aneh yang tadi malam menyiksanya sudah undur diri tanpa syarat. Kebersamaan Lila dan Gio selama ini memang terbentuk dari hal-hal receh seperti ini. Nyatanya, Lila cukup bahagia. Ia memang mendambakan hubungan yang statis. Tetap seperti sekarang, jangan mundur, tapi jangan juga maju terlalu jauh. Biarkan semesta menganggapnya egois, karena terkadang Lila pun merasakan hal yang sama.

"Dasar alay!" celetuk Lila sambil masih memandangi secarik kertas di tangannya.

"Siapa?" Sari menimpali tanpa mengalihkan fokus dari jalanan di depannya.

"Ini, pesan dari Gio bikin geli." Lila terkekeh pelan.

Kali ini Sari menoleh, bahkan sempat mencuri pandang ke dalam snack box di pangkuan Lila. "O ... jadi itu kue dari Gio?"

Lila mengangguk, meski belum tentu Sari sedang menatapnya.

"Ya ampun ... kalian itu sweet banget, sih. Dari dulu bisa banget bikin baper. Tapi sayang, sepasang penebar virus baper nyatanya cuma sahabatan." Tepat di kata terakhir, Sari menutup mulutnya demi menahan tawa.

Mengabaikan Sari yang mulai berulah, Lila memotret kertas pesan Gio, kemudian mengirimkannya ke si penulis tanpa caption.

Gio membalas beberapa detik kemudian.

Gio : Selamat menikmati.

Satu kalimat pendek itu diakhiri dengan emotion senyum dan peluk, membuat Lila seolah mendapatkan suplai energi tambahan untuk menjalani hari ini. Sebenarnya Lila penasaran Gio pulang jam berapa tadi malam. Tapi pertanyaan itu hanya bertahan di benaknya, tidak diketik di kolom reply.

Lila ingin mengantongi ponselnya, ketika pesan Gio kembali menggetarkan benda pipih itu.

Gio : Sebenarnya tadi malam mau aku anterin langsung ke atas. Tapi di ujung tangga, samar-samar aku dengar kamu main lagu itu lagi. Kupikir kamu tidak dalam kondisi baik untuk menerima kue itu.

Lagu itu yang dimaksud Gio adalah komposisi Tristesse, karya Frederic Chopin. Sewaktu masih mempelajarinya, Lila pernah memainkannya di depan Gio.

"Kok, kayak sedih, ya? Aku mendengarnya jadi gimana gitu," ungkap Gio.

"Tristesse ini memang berarti kesedihan. Tapi sebenarnya isinya bukan semata-mata kesedihan, ada juga nostalgia dan kecintaan sang musisi kepada tanah airnya, Polandia."

Gio manggut-manggut.

"Aku selalu memainkannya setiap kali merasa sedih." Lila menunduk, menatap jemari tangannya yang saling mengusik. "Irama sendunya seolah diciptakan untuk menemani setiap kesedihan di muka bumi ini. Agar siapa pun sadar, bahwa ia tidak sendiri, bahwa hidup ini memang tersusun dari beragam warna, salah satunya kesedihan."

Gio beranjak dari sofa yang didudukinya selama mendengar permainan Lila tadi. Ia belutut di depan cewek itu, kemudian menarik pelan kepalanya hingga berlabuh di pundaknya. Detik selanjutnya Lila terisak, membiarkan air matanya membasahi seragam cowok yang selalu ada di saat ia memang butuh penopang.

Gio diam saja, menunggu Lila menuntaskan tangisnya. Ia mengelus rambutnya perlahan. Tidak perlu bertanya kenapa, sebab Gio paham betul perkara yang selalu menjatuhkan Lila ke titik ini.

Lila mengirimkan balasan, sengaja ingin mengalihkan topik.

Lila : Habis nonton bola, kalian jalan ke mana lagi?

Tapi sebelum sempat dibaca Gio, Lila menarik pesannya. Setelah dibaca ulang, rasanya tidak pantas ia bertanya seperti itu. Mereka mau jalan ke mana pun, bukan urusannya.

Gio : Kok, dihapus?

Lila : Kepencet.

Gio : Eh, ntar malam jadi, kan, ke ulang tahun Gina?

Lila langsung mengetukkan ponsel ke keningnya. Astaga, ia hampir lupa acara nanti malam. Gina adalah adik tunggal Gio, yang di pertengahan malam nanti genap berusia sembilan tahun. Ia tidak seberuntung anak pada umumnya. Sejak lahir ia divonis lumpuh otak. Ia tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya dengan baik. Seluruh anggota keluarga menerima kondisi itu dengan lapang dada. Di tengah keterbatasan, mereka selalu mengupayakan yang terbaik untuk Gina.

Lila : Jadi, dong!

Gio : Sip!

Lila mengantongi kembali ponselnya, sambil berpikir akan memainkan lagu apa untuk Gina nanti malam. Pasalnya, ia pernah berjanji kepada anak itu, akan mempersembahkan lagu spesial di hari ulang tahunnya. Terlepas anak itu masih ingat atau tidak, Lila tetap harus menepatinya. Ketertarikan kepada pianolah, kesamaan yang paling mencolok antara Lila dan Gina. Ayahnya sampai membelikan piano bekas, padahal Gina tidak bisa memainkannya. Tapi sang ayah paham, putrinya cukup terhibur hanya dengan berada di sisi piano itu.

"Eh, ngomong-ngomong soal Gio, tadi malam aku lihat dia." Kalimat Sari sukses membuat Lila menoleh, menyudahi lamunannya di antara tumpukan judul lagu yang sedang dipertimbangkannya.

"Tapi kayaknya bukan, deh. Soalnya dia bareng cewek yang sepintas mirip Mega. Nggak mungkin banget, kan?" Sari menoleh meminta tanggapan. Lila malah pura-pura mengamati cupcake di pangkuannya. Tiba-tiba udara di sekitarnya terasa beku.

"Aku lihatnya sambil nyetir gitu, jadi nggak terlalu jelas. Pas mereka baru keluar dari salah satu toko pakaian. Tapi kalau memang bukan mereka, kebetulannya unik banget, ya, cowoknya mirip Gio, ceweknya mirip Mega. Aneh!" Sari jadi bingung sendiri.

"Bisa jadi memang mereka. Secara ... Mega di sini, kok." Lila susah payah menjejalkan kalimat itu, kemudian menelan ludah yang terasa pahit.

"Ha?" Sari melongo. "Serius? Bukannya lagi di London?"

"Katanya lagi liburan." Sumpah, sebenarnya Lila malas banget membahasnya.

"Terus, ngapain coba pake acara ngerecokin Gio?"

Lila hanya mengendikkan bahu saat Sari menoleh dengan mata setengah melotot.

"Ini gawat! Kamu harus segera bertindak."

"Gawat gimana?" Lila mengernyit.

"Kamu rela Gio jatuh ke pelukan Mega lagi?"

Lila bingung harus menjawab apa.

"Kamu ingat, kan, gimana cewek sok kecantikan itu mutusin Gio gitu aja beberapa tahun silam?"

Lila masih diam.

"Please, La, lima tahun udah cukup untuk berpura-pura. Ingat, tahun depan kita bukan anak SMA lagi, loh. Masa iya kamu sama Gio masih seolah lagi main teater, meranin putri dan pangeran?"

Lila menarik napas pelan-pelan. Cupcake di pangkuannya menjadi tumpuan pandangan. Semua kata-kata Sari terproses di benaknya.

"Kamu sama Gio butuh status."

Kali ini Lila menoleh sambil mengernyit. Status apa? Hari ini, esok dan entah sampai kapan, Gio adalah sahabatnya. Apakah itu belum cukup?

"Kalau sama aku pun kamu nggak mau jujur, minimal sama diri sendiri." Sari sengaja menggantung kalimatnya, seolah memberi ruang kepada Lila agar menyiapkan diri untuk menangkap kalimat selanjutnya. "Kamu cinta, kan, sama Gio?"

Lila buru-buru membuang pandangannya ke luar jendela. Gelombang menyesakkan tiba-tiba memenuhi dadanya. Dan, iya tidak punya jawaban dari pertanyaan Sari, bahkan untuk dirinya sendiri.

***

[Bersambung]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top