1 - Kamu Matahariku
Segala bentuk keterampilan, sekecil apa pun, akan berguna di masa mendatang.
---
Entah sudah berapa lama Lila menahan napas demi menunggu Pak Yanto menyelesaikan kalimat basa-basinya. Di kepalanya, backsound khas pemicu ketegangan menjelang pengumuman penting menggema semakin gila. Lelaki berkulit gelap di depan sana tampak membuka mulut sekali lagi, tapi kemudian berakhir dengan senyuman tidak berdosa seperti sebelum-sebelumnya.
Samar-samar protes merambat dari segala penjuru. Daripada semakin frustrasi melihat ekspresi Pak Yanto, Lila memilih menutup mata, meresapi gejolak dalam dadanya. Ia tidak sabar sekaligus cemas di saat bersamaan. Mungkin porsi cemas lebih besar. Entah harus bereaksi bagaimana kalau hasilnya tidak sesuai harapan.
"Kalila Pradita Sesha ... selamat, kamu terpilih sebagai wakil SMA Antartika untuk bersaing di tingkat provinsi."
Sorakan nada kecewa dan ucapan selamat secara brutal serta-merta memenuhi ruangan. Sementara Lila membeku di bangkunya dengan mulut sedikit terbuka. Ia baru sadar setelah teman-temannya menghambur untuk mengucapkan selamat. Mereka berebut menjabat tangannya. Lila memegang dadanya, merasakan kerja jantungnya agak kurang normal. Sudut matanya bahkan mulai basah. Ia teramat senang sekaligus masih sulit untuk percaya.
"Sudah kuduga sejak awal." Suara tenang itu datang dari cowok berkacamata. "Selamat, ya." Ia sengaja menunggu kerumunan reda sebelum mendekat, agar bisa leluasa mengulurkan tangan seperti sekarang.
Lila menoleh dan langsung menyambut uluran tangan itu sambil mengucapkan terima kasih.
"Mungkin seleksi kemarin semacam formalitas saja, sebab seantero Antartika juga tahu, permainan pianomu yang terbaik."
"Beratnya, aku harus bersaing dengan semua jenis alat musik, bukan cuma piano."
"And see, you're the best!"
"Tetap, aku belum sehebat kamu, Dev."
"Masaku sudah lewat, sekarang masamu."
"Aku selalu takjub dengan permainanmu. Kamu tidak hanya melahirkan not-not itu, tapi seolah mampu bicara dengan mereka. Kalian bekerjasama untuk menciptakan atmosfer yang memabukkan. Siapa pun bisa lupa diri saat mendengar musikmu."
"Wow. Itu terdengar menyenangkan sekaligus mengerikan."
Mereka tertawa pelan.
"Kamu mau, kan, ngajarin aku?"
Cowok bernama Devan itu tersenyum hangat. "Tentu!"
Lila mengembangkan senyum terima kasih.
***
Gio baru saja hendak meninggalkan teras. Beberapa detik sebelumnya ia keluar untuk menatap langit, memastikan hujan yang turun tanpa antaran mendung. Cuaca Surabaya memang kurang konsisten akhir-akhir ini. Tapi, hujan tidak selamanya buruk. Barangkali hawa dingin yang menyertainya malah mengundang hasrat orang-orang di luar sana untuk mendulang kehangatan di Tamalatea. Kafe tempatnya bekerja ini punya suguhan cokelat serta roti panggang hangat untuk mereka yang menghindar dari hujan.
Gio sedang mendorong pintu kaca, ketika seseorang memanggilnya dengan nada setengah panik.
Gio menoleh ke arah jalan, mendapati Lila yang baru saja turun dari taksi. Entah ide dari mana, Gio meraih nampan di atas salah satu meja yang kelihatannya baru-baru ditinggal pelanggan. Ia berlari menembus hujan, lalu mencoba melindungi Lila dengan nampan tadi. Mereka tiba di teras dalam kondisi setengah basah. Bahkan, nampan itu hampir tidak memiliki fungsi sama sekali.
Lila mengusap lengannya yang basah sambil berdecak heran. "Padahal ada payung di situ." Dagunya menunjuk ke sisi kanan pintu. Di sana memang ada kotak kayu berisi tiga buah payung, sengaja disediakan untuk pengunjung Tamalatea di saat hujan seperti sekarang.
Menyadari kebodohannya, Gio cuma nyengir. "Kepepet," kilahnya dengan nada sepelan kesiur angin.
"Gi!" panggil Lila. Sedetik kemudian senyumnya mengembang sempurna.
Gio mengernyit. Perubahan ekspresi yang tidak wajar. Alih-alih protes, ia menunggu apa yang akan dikatakan sahabatnya ini.
"Aku kepilih." Lila mengatakannya setengah histeris. Ia langsung melompat memeluk Gio.
"Yang kamu ceritain waktu itu?" Gio masih ingat, Lila pernah cerita soal keterlibatannya dalam pemilihan apa gitu. Ia lupa detailnya. Tapi ia tahu persis, Lila sangat berharap bisa lolos.
Masih dalam dekapan Gio, Lila mengangguk.
"Wah, pas banget. Kita rayain di dalam, yuk. Tadi aku habis belajar bikin cupcake sama Mbak Mia. Kamu wajib coba."
Lila melerai dekapannya, memperlihatkan tampang sedemikian antusias. Mereka masuk sambil bergandengan tangan.
Setibanya di dalam, mereka berhenti di samping salah satu meja yang masih kosong. Gio langsung menarik kursi untuk Lila.
"Silakan, Tuan Putri," selorohnya. Kemudian ia berlalu ke dalam.
Beberapa jenak kemudian, Gio kembali dengan nampan berisi empat cupcake dengan toping warna-warni yang sangat menggugah selera.
"Semua bahannya aku takar sesuai petunjuk Mbak Mia. Bahkan, aku tidak beranjak dari sisi microwave selama proses pemanggangan," terang Gio sambil meletakkan kue-kue lucu itu di depan Lila. "Rasanya mungkin belum sempurna, tapi kuharap cukup untuk melengkapi suasana hatimu saat ini."
"Secara tampilan, sih, lumayan menjanjikan." Lila meraih cupcake dengan toping berwarna pink mencolok. Tanpa banyak berujar lagi, ia mulai menggigitnya.
Gio memperhatikan ekspresi Lila yang sedang mengunyah pelan sambil manggut-manggut samar-samar.
"Gimana?" tanya Gio tidak sabaran.
"Enak." Lila mengambil gigitan kedua.
Gio tidak puas dengan jawaban itu. "Aku mau kamu jawab sebagai pakar makanan, jangan sebagai sahabat. Kayak juri-juri kompetisi masak di tivi-tivi itu, loh. Lupakan persahabatan kita untuk beberapa detik."
Kata-kata Gio sempat membuat Lila melongo. "Serius, mau jawaban yang sungguh-sungguh?"
Agak ragu, akhirnya Gio mengangguk pelan.
"Aku nggak tega matahin hati orang saat aku lagi senang-senangnya." Lila memasang tampang sok serius.
"Jadi ... nggak enak?" Gio nyaris tercekat.
Lila menahan sekian detik, sebelum tawanya menyembur.
Gio mengelus dada, agak kaget. "Jadinya enak atau nggak, nih?" desak Gio.
"Tadi tampang kamu lucu banget, deh. Lebih merana dari orang yang baru diputusin." Lila kembali tertawa.
"La, enak atau nggak?" Gio mengacak rambutnya, pura-pura frustrasi.
"Iya, enak!" Lila meredam tawanya, lalu melegakan tenggorokannya dengan segelas air putih yang baru saja disodorkan Gio. "Lagian, kenapa, sih, kamu terobsesi banget bikin ginian?"
"Menambah pengetahuan bukan dosa, kan? Segala bentuk keterampilan, sekecil apa pun, akan berguna di masa mendatang. Kita harus pandai menimba ilmu di mana pun kita berada. Alangkah ruginya aku kerja di kafe tersohor ini tapi nggak dapat apa-apa."
"Bahasamu kayak nggak pernah digaji aja. Aku aduhin ke Mama, loh."
Gio memutar bola mata malas. "Maksudnya ilmu, La. IL-MU!"
Lila setengah mati menahan tawanya. Entahlah, tampang kesal Gio seperti itu salah satu hiburan tersendiri baginya.
Sesaat keduanya tidak bersuara. Gio tersenyum saat Lila meraih cupcake kedua.
"Oh ya, yang kamu kepilih itu, gimana, sih?"
Lila tampak antusias menyambut topik ini. Ia meletakkan kue yang baru digigit sekali, kemudian menyamankan posisi duduknya. Ya, ia memang selalu bersemangat setiap kali ada orang lain yang ingin mencari tahu seputar dunia yang membuatnya tergila-gila.
"Serius nggak tahu? Kamu, kan, alumni Antartika."
"Tapi, kan, bukan anak eskul musik."
"Jadi gini, Music in your soul ini memberi kesempatan kepada bibit-bibit musisi dari kalangan pelajar untuk berekspresi, menunjukkan diri. Penjaringan paling efektif tentu saja dari eskul musik. Kami berlomba-lomba menunjukkan aksi terbaik. Satu orang yang menurut pembina paling menonjol, akan jadi perwakilan untuk bersaing dengan sekolah lain di tingkat provinsi. Nantinya tahap ini akan melahirkan wakil provinsi yang akan bersaing di tingkat nasional, di Jakarta."
"Wah, kayak kompetisi dangdut di tivi itu, ya?"
Lila menjentikkan jari. "Nah, praktisnya seperti itu. Tapi alurnya nggak berbelit-belit."
Gio manggut-manggut paham. "Terus, kapan kamu tanding lagi?"
"Paling dua atau tiga minggu lagi. aku masih punya cukup waktu untuk belajar sama Devan."
"Siapa Devan?"
"Teman eskul. Dia perwakilan sekolah tahun kemarin. Berhasil lolos ke tingkat nasional."
"Hebat, dong."
"Banget!" Lila menambahkan dengan mulut yang baru saja diisi kue.
"Ganteng?"
Lila mengernyit. "Apa pedulimu?"
"Takut kamu salah fokus."
Lila tertawa. "Dia punya banyak penggemar di sekolah. Kata mereka Devan itu hangat, dewasa, manis, sopan, pokoknya macam-macam. Semua yang baik-baik seolah punya dia."
"Itu menurut mereka. Kalau menurutmu?"
Lila tampak berpikir sejenak. "Biasa aja!"
"Sudah kuduga."
"Apa?" Lila berhenti mengunyah.
"Kamu, kan, emang nggak suka cowok."
Lila spontan melotot. "Apa, sih, Gi? Asal ngomong, deh!" Ia memungut remahan kue di atas meja, lalu melemparkannya ke muka Gio.
Gio berhasil menghindar. Ia tertawa lumayan keras, hingga lupa mengondisikan dengan telinga penghuni meja di sebelahnya.
"Udah, ah, jadi males." Lila bangkit dari duduknya dengan tampang pura-pura sewot. "Kuenya nggak enak. Bikin eneg," katanya sambil beranjak ke dalam.
"Nggak enak, kok, habis tiga?" Gio mengeluarkan sindiran itu setengah teriak.
Lila menoleh sejenak, hanya untuk menjulurkan lidah.
Hal itu malah membuat dada Gio menghangat. Ia selalu merasa cukup sebatas ini. Bagi Gio, Lila adalah mataharinya. Ia hidup dan bahagia di bawah sinarnya, sekalipun sinar itu belum tentu memancar untuknya.
***
[Bersambung]
Mari kenal lebih dekat 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top