5A - Amelia 🥀

Pukul sebelas malam, Anjani terbangun dengan sendirinya. Tidak ada hasrat panggilan alam atau apapun, tapi terbangun begitu saja. Ia duduk di atas kasur sambil menggaruk-garuk kepalanya yang gatal karena seharian belum keramas.

Tubuh yang lengket dibalut seragam kerja menyadarkan Anjani tentang fakta dirinya belum membersihkan diri. Segera ia beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Kalau ada ibunya, pasti ia akan diceramahi, "jangan mandi malam-malam, Jan. Nanti rematik."

Anjani tersenyum kecil di bawah guyuran air dingin. Sudah lama ia tidak bertemu ibunya, kurang lebih hampir tiga tahun. Tak lama setelah kedua orang tuanya bercerai, mereka langsung menikah lagi. Ibunya menikah dengan bule Australia dan sekarang menetap di Adelaide. Sedangkan ayahnya yang orang India asli, menikah lagi dengan perempuan Jawa dan menetap di Salatiga.

"Ibu apa kabar, ya? Kalau aku kaya, boleh kali ya aku terbang ke Adelaide," gumamnya seraya menggaruk-garuk kulit kepalanya yang penuh busa. "Eh, katanya Bali deket kan ya sama Australia? Boleh kali ya si boke ini berenang di laut lepas? Atau naik paus deh," lanjutnya sambil terkekeh sendiri.

Perempuan itu sudah hidup sebatang kara sejak SMP. Memang ayah dan ibunya masih memberinya uang saku sampai ia tamat kuliah, tapi hanya sebatas uang saja.

Meskipun begitu, Anjani tetap menyayangi ibunya. Walaupun ibunya jarang menemuinya, tapi wanita itu setiap hari selalu mengiriminya pesan. Baik sekedar memberikan semangat ataupun ucapan selamat pagi, siang, sore dan malam.

Sedangkan ayahnya .... Hubungan Anjani dengan ayahnya tidak sebagus itu. Ayahnya hanya mengiriminya uang tanpa pernah menanyakan kabarnya. Bahkan saat mengirim uang tidak pernah mengabarinya, tahu-tahu isi rekeningnya sudah bertambah.

Suami ibunya termasuk baik, mau memberinya biaya hidup meskipun ia bukan anak kandung pria bule tersebut. Sedangkan ibu tirinya juga termasuk baik, hanya saja ayah kandungnya memang bukan ayah yang baik. Ah, sudahlah, akan panjang sekali ceritanya jika membahas tentang orang tua.

Guyuran air dingin membuat Anjani menggigil. Ia segera menyelesaikan mandinya dengan terburu-buru. Rumah sewanya bukanlah rumah mewah, sehingga tidak ada tabung air panas untuk kamar mandi. Mau memasak air menggunakan kompor, ia terlalu malas untuk melakukan itu.

Selesai mandi, Anjani merasa segar. Ia merasa tenaganya pulih seratus persen. Eh, tapi .... Perempuan itu meringis saat mendengar perutnya berbunyi nyaring. Cacing-cacing di dalam perutnya sedang berdemo meminta jatah.

Dengan segera, Anjani berjalan menuju dapur. Ia tergoda untuk memasak mie instan. Diraihnya mie instan rasa kari ayam dari dalam kardus.

Kali ini ia memasak tanpa direkam. Ia sedang malas membuat video. Lagipula hanya memasak mie instan biasa, tidak ada keren-kerennya sama sekali untuk diposting di media sosial.

Tak lama mie instan tersebut matang. Aroma harum menguar memenuhi hunian sempit tersebut. Anjani yang sudah sangat kelaparan, tidak sabar untuk menyantap mie instan yang sangat menggoda itu. Tapi baru saja ia akan memasukkan mie ke dalam mulutnya, ia diinterupsi oleh ketukan dari luar rumah.

"Jani, buka pintu, please! Ini Amel!"

"Amel? Ngapain ke sini malam-malam begini?" Anjani bermonolog sambil berjalan menuju pintu depan.

Begitu pintu dibuka, Amelia langsung menyerbu masuk dengan wajah masam. Gadis itu segera mendaratkan bokongnya di ubin sambil melemparkan sling bag-nya ke sembarang arah.

Anjani menatap rekan kerjanya itu dengan kening berkerut samar. Amelia mengenakan outfit serba hitam. Aneh sekali. Celana jeans hitam, hoodie hitam, kacamata hitam dan juga topi hitam.

"Kamu kesambet?" Anjani bertanya sambil menempelkan punggung tangannya di kening Amelia.

Amelia menepis tangan rekan kerjanya itu sambil mengomel, "jangan pegang-pegang. Virus."

"Ini kamu dari mana mau ngapain? Kenapa pakai serba hitam gini? Habis ngerampok, ya?"

"Hus! Sembarangan. Aku habis mengintai hantu sialan, tahu!"

"Hantu sialan?" Anjani mengerutkan keningnya samar.

"Defri."

"Defri teh saha? Siapa?"

"My boyfriend."

"Lagi? Beda lagi?" Anjani menggeleng takjub. Baru enam bulan ia kenal Amelia, tapi ia sudah mendengar setidaknya lima nama yang disebut Amelia sebagai pacarnya.

"Hidup ini harus pinter-pinter milih pasangan. Jalin aja hubungan dengan banyak laki-laki. Mana yang baik pertahankan, yang buruk hempaskan. Kalau dapat baik semua, saring lagi, cari yang terbaik di antara yang baik," celoteh Amelia seraya membuka hoodie-nya, menyisakan crop top putih yang menempel di tubuh gadis itu.

"Nggak paham aku."

"Ya iyalah nggak paham. Otakmu sudah penuh dengan Langit. Langit, bolehkah kau turunkan hujan uang? Aku ingin kaya tanpa bekerja, ingin sukses tanpa usaha," ejek Amelia, menirukan trend video langit yang viral beberapa waktu lalu.

"Ck. Au ah gelap." Anjani tidak menanggapi ocehan Amelia. Ia segera menuju dapur dan tak lama kembali lagi ke ruang depan sambil membawa semangkuk mie yang masih mengeluarkan asap tipis.

Rumah sewa Anjani terdiri dari tiga ruangan. Ruang tamu, kamar, dan dapur yang digabung dengan kamar mandi. Benar-benar minimalis sekali.

"Jan, aku serius. Aku mau curhat," ujar Amelia seraya melipat kedua kakinya dan menatap Anjani dengan serius. "Aku baru pulang dari kelab, mengintai Defri. Dan kamu mau tahu pemandangan apa yang kulihat? Gila, Defri nggak ada di sana ternyata."

"Ppfftt, kasihan."

"Aku yakin Defri selingkuh sama DJ di kelab itu, ah apa tadi nama kelabnya aku lupa. Ya pokoknya itu lah. Tadi cuma ada si DJ aja, Defri nggak ada. Ih, kesel banget, tahu!"

Amelia terus mengoceh tentang kekesalannya, sedangkan Anjani hanya menanggapi dengan anggukan ataupun beberapa patah kata saja. Bagi Amelia, saat ia curhat hanya perlu didengarkan saja sudah cukup.

Mendengar ocehan Amelia tentang pacarnya, membuat Anjani mengingat Langit. Sudah satu bulan Langit hilang tanpa kabar. Katanya, pemuda itu akan pulang kampung untuk membawa orang tuanya ke Bali. Nantinya pria itu akan memperkenalkan orang tuanya kepada Anjani, sekaligus melamar Anjani. Tapi nyatanya, hingga saat ini tak ada kabar dari Langit.

Anjani tersenyum miris. Ia sungguh seperti bocah kemarin sore yang tertipu rayuan pria buaya. Bisa-bisanya ia mempercayai kata-kata bualan Langit.

"Jan?" Amelia menepuk bahu Anjani agak keras.

"Sakit, tahu!" Anjani mengusap-usap bahunya yang agak panas karena ditepuk Amelia.

"Kayaknya aku naksir Bos Raga deh. Ih, dia itu sweet banget. Tadi sore aku ketemu dia di minimarket. Ih, aku dibeliin es krim, tahu!" ujar Amelia seraya menepuk-nepuk bahu Anjani dengan gemas. "Eh, tapi jangan bilang siapa-siapa, ya! Awas aja kalau sampai anak-anak resto tahu!"

Anjani tersenyum paksa. Setahunya Raga menyukainya, tapi ia tidak mungkin mengungkapkan fakta itu pada Amelia, takut membuat Amelia patah hati.

"Mel, besok kita jenguk Ririn indigo, yuk!"

"Hayuk! Kebetulan aku ada perlu dengan dia. Mau minta pengasihan untuk melet Bos Raga," ujar Amelia sambil mengangguk penuh semangat.

"Kamu beneran suka Bos Raga?"

"Masa enggak?"

"Defri?"

"Mau aku putusin. Ih, aku nggak suka sama Defri. Dia selalu buat aku gelisah dan curiga. Aku nggak suka diginiin. Aku mau sama Bos Raga aja, Bos Raga orangnya sweet. Kaya lagi."

"Pacar kamu yang lain?"

"Yang lain? Mana ada!" Amelia meninju bahu Anjani agak keras. "Aku ini bukan playboy, eh playgirl. Aku cuma pacaran sama satu cowok aja. Jangan nyebar gosip yang aneh-aneh dong!"

Anjani tidak tahu lagi harus menanggapi Amelia dengan kata-kata apa. Ia kembali menyantap mie-nya yang sudah menjadi dingin.

Berteman dengan Amelia sangat menyenangkan. Amelia adalah anak yang ceria dan penuh kejutan. Banyak celetukannya yang membuat Anjani terhibur.

"Jan."

"Hm."

"Belajar santet, yuk. Untuk nyantet Bos Angga."

Anjani hanya menanggapi dengan kekehan. Ia tahu Amelia hanya bercanda. Amelia tidak sejahat itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top