4A - Bos Raga 🥀

Seorang pria dengan perawatan tinggi tegap dan memiliki tampang ramah, masuk ke dapur sambil menyapa semua karyawan-karyawannya. "Selamat malam, Guys. Gimana hari ini? Masih semangat?"

"Malam, Bos Raga. Masih, Bos. Kalau ada Bos Raga kami selalu semangat."

"Sering-sering mampir sini, Bos. Kangen."

"Selalu semangat, Bos."

Para karyawan menjawab sapaan Raga bersahut-sahutan. Raga adalah adik kandung Angga. Bersama kakaknya, ia mendirikan Restoran Hijau Zamrud. Akan tetapi ia jarang mengunjungi restoran karena memiliki kesibukan yang lain.

"Anjani mana? Kok nggak keliatan?" Raga bertanya sambil celingak-celinguk melihat sekeliling.

"Shift pagi, Bos," jawab salah satu karyawan.

Raga mengangguk paham. "Oke, saya mau ke atas dulu. Semangat semuanya."

Pria berusia akhir dua puluhan itu menaiki anak tangga menuju ruang kantor yang ada di lantai tiga. Gedung restoran tersebut didesain oleh Angga yang tidak memiliki ilmu di dunia arsitektur, sehingga bentuknya memang agak aneh.

Restoran dengan tiga lantai itu didesain dengan dapur yang ada di lantai satu dan lantai dua. Lantai satu untuk hot kitchen, sedangkan lantai dua untuk pastry. Dan lantai tiganya digunakan untuk kantor. Tiga ruangan itu terletak di bagian belakang bangunan. Dapur pastry dan ruang kantor hanya dapat diakses melalui hot kitchen.

Raga pernah memprotes desain kakaknya tersebut. Tapi yang namanya Angga, ia selalu punya jawaban. "Kita perlu privasi. Aku nggak mau kantorku diakses sama sembarang orang. Kalau misalnya dapur kebakaran, aku bisa keluar lewat jendela pakai tangga tali."

Kalau sudah begitu, Raga hanya bisa geleng-geleng takjub. Kakaknya satu itu selain pelit juga agak aneh.

"Bro, kita perlu ngobrol," ujar Raga begitu ia masuk ke ruangan kakaknya. "Tentang kelangsungan restoran ini," lanjutnya lagi.

"Apa lagi yang perlu diobrolin? Semuanya sudah jelas, kan? Restoran ini sudah berjalan dengan baik." Angga menjawab tanpa menoleh ke arah adiknya. Pria berusia awal kepala tiga itu sibuk dengan gawainya, ia tengah berbalas pesan dengan pacarnya.

"Kita harus memperbaiki manajemen orang yang bobrok ini. Semua ini demi kelangsungan restoran kita. Siapa tau dengan manajemen yang rapi dan masakan yang enak, kita bisa dapat bintang Michelin."

Mendengar bintang Michelin disebut, Raga langsung menaruh gawainya di atas meja. Pria itu menatap adiknya penuh minat.

"Jadi gini, pas pagi itu biarin waiters yang bersih-bersih meja dan sebagainya, sementara koki biarkan menyiapkan bahan-bahan masakan. Satu lagi, kita harus nyari manajer untuk restoran ini," ujar Raga serius.

Selama ini kakaknya itu ngotot agar pekerjaan bersih-bersih meja dan mempersiapkan bahan masakan dikerjakan secara bersama-sama. Sungguh manajemen orang yang sangat buruk.

"Nggak perlu. Aku bisa jadi manajer di sini." Angga menjawab sambil mengibaskan tangannya di udara.

"Ck. Kamu benar-benar nggak punya manajemen orang yang baik. Kalau kamu kayak gini terus, aku nggak yakin restoran ini bakal maju."

Angga tidak langsung menjawab kata-kata adiknya. Jujur, ia masih belum rela menyerahkan tanggung jawab restoran kepada manajer yang notabenenya adalah orang asing. Ia takut orang tersebut korupsi. Ia takut bangkrut.

"Kalau kamu nggak setuju ide aku ini, aku bakal mundur dari sini. Aku mau membangun bisnis FnB sendiri," ancam Raga seraya menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

"Oke, aku nurut apa kata kamu," jawab Angga pada akhirnya. Ia takut ditinggal oleh Raga. Angga akui, adiknya memang memiliki manajemen bisnis yang baik. Secara, adiknya itu pernah mengemban pendidikan bisnis secara formal.

Raga mengangguk puas. "Ah satu lagi, kita perlu cleaning service sama tukang cuci piring. Kasihan waiter disuruh cuci piring juga."

"Nggak. Kita nggak perlu cleaning service. Di restoran manapun salah satu tugas waiters itu memang bersih-bersih meja dan ruangan tempat tamu makan. Kamu itu nggak punya pengalaman kerja di restoran, jadi jangan kebablasan kalau protes."

"Oke, aku memang nggak punya pengalaman di restoran. Tapi tukang cuci piring perlu."

"Ya udah. Dua orang aja untuk dua shift. Jangan banyak-banyak, menghambur-hamburkan duit perusahaan aja," ujar Angga seraya meraih kembali gawainya.

Raga mengangguk sebagai jawaban. Sejak kecil, kakaknya satu ini memang terkenal pelit, sehingga ia sudah tidak kaget lagi dengan sifat kikir yang dimiliki kakaknya ini.

Kakak beradik itu mengobrol cukup lama. Membicarakan tentang restoran.

Setelah obrolan dengan kakaknya dirasa selesai, Raga bergegas meninggalkan Restoran Hijau Zamrud. Tujuannya adalah kos-kosan Anjani.

Jam baru menunjukkan pukul sembilan malam, tapi rumah yang disewa Anjani terlihat gelap gulita. Rumah bedeng minimalis itu tampak sepi, bahkan lampu tidur pun tidak menyala.

"Ada orangnya nggak ya?" Raga bermonolog sambil mengepalkan tangannya di pintu, bersiap untuk mengetuk pintu tersebut.

Hampir satu menit Raga galau, tapi akhirnya pria itu memutuskan untuk mengetuk sambil memanggil sang empunya rumah, "Jan, Jani?"

"Hm. Ya?" Terdengar sahutan dari dalam sana. "Sebentar."

Mendengar sahutan dari Anjani, mata Raga langsung melebar sempurna. Ia kira Anjani tidak ada di rumah.

Tak lama lampu dinyalakan, lalu pintu dibuka. Tampak Anjani masih mengenakan seragam kerja. Rambut gadis itu kusut dan kedua sudut matanya memiliki kotoran. Gadis itu berdiri agak sempoyongan.

"Bos Raga? Ada apa? Saya ngantuk berat ini. Kalau nggak ada yang penting mending pulang sana." Anjani berujar dengan mata yang agak tertutup. Gadis itu berdiri di depan pintu sambil memegangi daun pintu.

"Saya cuma mau ngasih ini." Raga mengeluarkan sekotak cokelat dari dalam tas-nya. "Ini oleh-oleh dari Turki," ujarnya seraya menyodorkan kotak tersebut kepada Anjani.

"Turki? Bawa baklava sekalian nggak? Enak itu diminum sama kopi luwak," sahut Anjani sambil menerima kotak pemberian Raga. "Gratis nggak ini? Atau disuruh bayar?"

"Bayar."

"Berapa?"

"Tidak ternilai."

"Eemm?" Anjani memaksa membuka matanya. Gadis itu menatap Raga dengan kening berkerut samar.

"Bayar pakai cinta." Raga berucap sambil tersenyum manis.

"Ck. Gatel. Saya ini sudah punya pacar, jadi Bos Raga jangan ngarep apapun ke saya. Cari cewek lain aja sana." Anjani menyerahkan kembali kotak yang ada di tangannya. "Cinta saya sudah habis untuk Langit."

"Oke oke kalem. Ambil aja cokelatnya untuk kamu. Nggak usah bayar." Raga mendorong pelan kotak yang disodorkan oleh Anjani. "Kayaknya kamu kecapekan. Ya udah, tidur lagi aja sana. Saya mau pulang."

"Ya udah, tapi lain kali jangan ganjen. Jangan pernah minta-minta cinta saya, cinta saya cuma buat Langit seorang."

Raga tidak menjawab ocehan Anjani, pria itu mendorong lembut Anjani agar kembali masuk ke huniannya. Anjani yang memang masih mengantuk, tidak memprotes apapun. Perempuan itu segera masuk dan mengunci pintu. Setelah itu kembali melanjutkan tidur.

Tadi sepulang kerja, Anjani langsung tidur tanpa mandi ataupun makan. Perempuan itu tidur dari pukul setengah tiga sore hingga saat ini, pukul sembilan malam. Kalau ada ibunya, pasti ia akan diceramahi panjang lebar, "jangan tidur magrib-magrib, Jan! Bla bla bla."

Sementara itu di atas motornya, Raga tidak langsung pergi dari sana. Pria itu menatap kosan Anjani cukup lama. Sebenarnya, ada satu rahasia yang ingin ia sampaikan pada Anjani, tapi ia takut Anjani salah paham.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top