1 - Suara Aneh

Suara gelas jatuh membuat Anjani yang baru saja terpejam sempurna, langsung membuka matanya lebar-lebar. Gelas keramik yang ada di atas nakas tiba-tiba saja jatuh. Aneh. Tidak ada badai tidak ada topan, tapi mengapa gelas itu jatuh? Seingatnya, tadi ia menaruhnya di tengah, bukan di tepian.

Dengan malas, gadis itu mengambil plastik hitam dari laci nakas, lalu memasukkan pecahan gelas ke dalamnya.  Setelah itu, membiarkannya teronggok di sudut ruangan. Besok pagi baru akan dibuang ke tong sampah. Sekarang ia sedang malas untuk keluar kamar.

Setelah membersihkan pecahan gelas tersebut, ia langsung kembali menyamankan tubuhnya di atas kasur. Bodo amat dengan air yang masih menggenang. Kalau dibiarkan, esok juga akan kering sendiri.

Anjani yang mengantuk berat, langsung menarik selimut dan memejamkan mata. Namun lagi-lagi, saat matanya baru beberapa detik terpejam, ada suara aneh yang mengganggunya.

Anjani ....  Anjani ....

Itu suara Langit. Ya, ia hafal betul. Itu suara Langit, kekasihnya.

"Langit? Kamu kah itu, Langit?" Gadis itu memanggil-manggil Langit seperti orang gila.

Terang saja seperti orang gila. Di kamar berukuran kecil itu, jelas-jelas hanya ada ia seorang diri, tapi dengan bodohnya ia malah memanggil-manggil Langit seperti orang kesurupan.

Ya Tuhan, agaknya aku setres karena memikirkan Langit yang sudah satu bulan hilang tanpa kabar, batinnya sambil menunduk frustasi.

Anjani duduk di lantai yang dingin sambil bersandar pada dinding. Menunduk dalam-dalam sambil mengurut kepalanya yang pusing.

Langit? Kamu di mana? Mengapa kamu tega membuat aku gila seperti ini? Mengapa kamu hilang begitu saja dari kehidupanku? Mengapa kamu tega, Langit? Mengapa?

Setelah beberapa menit hanya duduk diam di lantai yang dingin, gadis berambut pendek itu memutuskan untuk naik lagi ke atas kasur. Ia ingin tidur, tapi sayangnya kantuknya sudah menghilang.

Ia tidak bisa melanjutkan tidur. Kantuknya sudah menguap entah ke mana. Ia hanya berbaring di atas kasur sambil menatap plafon dengan mata terbuka lebar.

Diliriknya jam digital di atas nakas. Angka berwarna merah menyala menunjukkan pukul dua dini hari. Harusnya, ini waktunya untuk beristirahat. Akan tetapi, gara-gara suara-suara aneh tadi kantuknya jadi menghilang entah kemana.

Malam ini Anjani mulai tidur setelah dini hari. Tadi sepulang kerja, ia sibuk membuat konten untuk media sosialnya. Sebagai anak rantau, ia harus bekerja keras untuk mencari uang tambahan, agar tidak menjadi gembel di perantauan.

Ya, ia jujur, ia membuat konten hanya demi uang, bukan karena narsis dan ingin menjadi selebriti. Kalau bisa sih, ia tidak perlu nongol di depan layar. Ingin membuat konten pakai animasi saja, tapi kan itu tidak mungkin. Ia tidak bisa membuat animasi. Akhirnya mau tak mau ya aku harus menunjukkan wajahnya di depan publik.

Kalau ada yang berkata, "kalau tidak ingin menunjukkan wajah, kan bisa buat konten tanpa menunjukkan wajah."

Ya, memang bisa. Tapi kontennya ini tentang masak-masak dan juga makan-makan. Agak PR ya kalau harus makan tanpa menunjukkan wajah.

Bosan hanya berdiam diri saja, ia mengambil gawai. Memutuskan untuk mengedit video yang tadi sudah direkamnya.

Videonya nanti akan tayang di TikTok dan juga Instragram, sehingga ia harus mengedit durasinya menjadi satu menit.

Sejauh ini hasilnya lumayan. Memang belum banyak produk yang masuk untuk endors, tapi ia sukses menjadi affiliator.

Saat ini Anjani tengah fokus mengedit video menggunakan smartphone. Tiba-tiba saja, layar yang tadinya menampilkan videonya, berubah menjadi video Langit. Karena kaget, ia segera membanting gawainya ke sembarang arah.

Gadis itu langsung duduk tegak dan memegang dada yang bergemuruh. Matanya melihat sekeliling dengan hati-hati, tapi tidak ada yang aneh di kamarnya. Semuanya tampak normal. Tidak ada suatu apapun yang mencurigakan. Tidak ada juga penampakan.

Ia menunduk dalam-dalam. Menjambak-jambak rambut selehernya dengan frustasi. Mengapa otaknya begini? Mengapa halusinasinya semakin liar? Ia yakin, itu tidak mungkin hantu. Itu hanya halusinasi. Ya, halusinasi.

Setelah menenangkan diri hampir lima menit, ia bergegas memungut gawainya yang teronggok di sudut ruangan. Kondisinya mengenaskan. Benda pipih persegi panjang ini retak di bagian layar, tapi untungnya tidak mati. Benda elektronik ini masih berfungsi seperti sedia kala. Fuih, syukurlah.

Karena bingung harus melakukan apa (mau mengedit tapi takut berhalusinasi lagi, mau tidur tapi tidak ngantuk), akhirnya Anjani memutuskan untuk membuat cemilan di tengah malam buta begini.

Segera ia bergegas menuju dapur. Di dapur berukuran mini itu ia mulai men-setting lighting dan juga tripod untuk smartphone. Ya, ia akan membuat konten lagi. Sayang rasanya jika masak tidak direkam. Rekaman ini bisa memberikan cuan yang lumayan.

Ia menyiapkan pisang raja, cokelat koin, susu kental manis, dan juga keju.

Dengan luwes, ia mengupas pisang dan lantas memanggangnya di atas teflon. Setelah matang, ia melelehkan cokelat koin menggunakan mangkuk beling yang direndam air panas. Kebetulan stok cokelat di rumahnya hanya ada cokelat koin, sehingga mau tak mau ya hanya bisa memakai itu saja.

Cokelat tersebut ia dapatkan dari rekan kerjanya yang ulang tahun dua hari lalu. Rekan kerjanya itu membawa berbagai macam jenis cokelat untuk dibagi-bagikan kepada teman-temannya. Ada cokelat koin, cokelat payung, cokelat kaca mata, dan cokelat batang. Akan tetapi Anjani hanya mengambil segenggam cokelat koin, ia tidak tertarik dengan cokelat lainnya. Menurutnya cokelat koin bentuknya lebih lucu dan menggemaskan.

Setelah cokelat meleleh sempurna, dengan cekatan ia memindahkan pisang bakar ke atas tatakan kayu. Lalu setelah itu membelah pisang tersebut tapi tidak sampai putus. Kemudian, mengisi belahan tersebut dengan cokelat leleh, keju cheddar parut, dan juga susu kental manis. Tak lupa, ia juga beberapa kali mengubah letak kamera agar mendapatkan video dari beberapa sudut pandang yang berbeda.

Bentuknya agak sedikit berantakan, cokelatnya meleber-leber seperti air bah. Harusnya, kalau memakai cokelat oles yang biasa dipakai untuk teman makan roti tawar, pasti bentuknya lebih cantik.

Setelah hidangan tersaji sempurna, dengan segera Anjani menyantapnya. Tentunya di depan kamera.

Ia tidak peduli dengan penampilannya yang tanpa makeup. Menurutku, penampilannya tanpa makeup tidak buruk. Pasalnya, ia rutin menggunakan skincare full face setiap harinya, termasuk skincare untuk mata dan juga bibir.

Anjani menyantap hidangan itu menggunakan garpu dan pisau. Menerapkan table manner yang pernah dipelajarinya di sekolah dulu.

"Emm ... ini enak. Rasanya asin, manis dan sedikit agak pahit karena gosong. Hehe." Ia mendeskripsikan rasanya sambil cengar-cengir menatap kamera.

Tiba-tiba saja ada bisikan aneh yang terdengar dari belakang. Kalori, Jan.

Anjani membeku, ia tidak berniat menoleh ke belakang. Di belakangnya adalah tembok. Bahkan saat ini ia nyaris menempel dengan tembok.

Suara itu tadi ... lagi-lagi suara Langit. Anjani bertanya-tanya dalam hati, Apakah ia sedang berhalusinasi? Atau itu hantu yang menyerupai Langit? Ah, mungkin ia memang tengah berhalusinasi.

Oke, Jani, sekarang lanjut bikin kontennya, ujarnya dalam hati.

Anjani kembali menatap kamera dengan senyum lebar. Mengoceh sedikit lalu menutup video. Setelah itu, mematikan kamera dan bergegas gosok gigi. Lalu masuk ke kamar dan membiarkan sisa makanan teronggok di atas meja dapur.

Kalau halusinasi ini masih berlanjut sampai beberapa hari ke depan, mungkin aku gak punya pilihan selain mendatangi psikiater.

***

Hai halo 🤚

Jan lupa tinggalkan jejak di tulisan ini ya. ❤️

Luv,

Juni

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top