Mengalah Untuk Menang

Mengalah itu tidak kalah, melainkan menang secara hakiki – Hanum Rais

Tiga puluh hari menuju Lomba Debat Bahasa Inggris SMA Tingkat Provinsi Jawa Tengah 2018. Seharusnya aku bisa bernafas lega karena salah satu debater andalan kami sudah pernah merasakan sengitnya pertempuran adu argumen melawan tiga puluh tiga tim tangguh andalan SMA - SMA terbaik di Jawa Tengah. Adalah Pietra. Dia merupakan debater terbaik kami yang digadang-gadang untuk maju sekali lagi ke provinsi. Ini adalah kesempatan emas terakhirnya mewakili sekolah kami karena tahun depan dia sudah lulus SMA. Namun tiba-tiba saja ia mengundurkan diri tanpa alasan yang pasti.

Aku dibuatnya pusing tujuh keliling. Saat kutanya, Pietra hanya bilang bahwa ibunya ingin dia lebih fokus pada ujian nasionalnya. Saat kutanya, dia hanya diam seribu bahasa sambil matanya menerawang ke langit-langit kelas. Karena itulah aku harus mencari tiga debater baru yang tentu saja minim pengamalaman berlaga. Terlebih lagi, sangat sulit membentuk tim yang solid karena mereka baru saja bergabung. Tak bisa kubayangkan bagaimana rumitnya membentuk chemistry di antara mereka bertiga. Padahal perang kata-kata tahun ini akan lebih panas karena banyak peserta tahun lalu yang ikut serta.

Hari-hari berikutnya menuju lomba provinsi bagaikan bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan menghancurkan kami berkeping-keping. Kami harus menyiapkan mental untuk menelan pil pahit kekalahan karena debater kami kurang jam terbang. Padahal tahun ini kami langsung ditunjuk oleh BP2MK (Balai Pengendali Pendidikan Menengah dan Khusus Wilayah V Banyumas) untuk mewakili Cilacap.

Padahal tahun ini kami tak harus berebut posisi dan bertanding dengan tim debat Bahasa Inggris SMA se-kabupaten Cilacap untuk menuju lomba provinsi. Padahal sehar deretan kebetulan seharusnya kami bisa melenggang dengan santai ke pertandingan provinsi. Namun sebaliknya, semua kemudahan itu justru menjadi bumerang bagiku. Sejenak aku bimbang. Sanggupkah aku mencari pengganti Pietra dalam waktu sekejap? Sementara waktu seakan melaju begitu kencangnya laksana kereta bersayap dengan kuda terbangnya.

Pada seorang Gina, teman sekelas Pietra yang sekaligus debater seangkatannya kutemukan sebuah jawaban. Ternyata Pietra patah hati. Dia seorang introvert yang tak memiliki banyak teman. Sementara Gina adalah cinta pertamanya. Baginya, dunia seakan runtuh karena Gina adalah satu-satunya tempatnya berpijak. Sejak saat itu, Pietra pun seakan bermain kucing-kucingan denganku. Saat aku masuk ke kelasnya dia tak pernah berani menatapku. Ia juga tak pernah lagi menjawab semua pertanyaan yang kuajukan, kecuali kupanggil namanya untuk menjawab. Padahal sebelumnya dia adalah salah satu siswa yang aktif di kelasku meski tergolong pendiam.

Aku tak bisa tinggal diam. Kutatap nanar daftar hadir di tanganku. Aku berharap menemukan bibit unggul yang akan kulatih menjadi debater handal pengganti Pietra. Akhirnya kutemukan tiga nama murid kelas X yang nantinya akan kuseleksi untuk mendampingi Gina, debater senior yang akan maju ke provinsi.

Seharusnya Gina bisa bersanding dengan Pietra pada kancah lomba debat provinsi. Mereka adalah perpaduan yang komplit. Pietra seorang yang pendiam namun dia runut saat menjelaskan suatu masalah. Cocok sekali sebagai pembicara pertama. Sementara Gina yang berapi-api saat menyerang argumen lawan, sangat cocok menjadi pembicara ketiga. Keduanya punya wawasan tak bertepi yang sangat bisa diandalkan. Tugasku hanya mencari pembicara kedua untuk tim mereka. Tapi apa mau dikata. Pietra mundur karena hati yang telah ia titipkan pada Gina telah hancur berkeping-keping.

Pietra memberikanku PR besar untuk mencari dua pendamping yang tepat bagi Gina. Mau tak mau aku harus segera menyelesaikannya. Pilihanku jatuh pada Tian dan Umar. Mereka berdua adalah dua siswa yang cukup rajin, tekun, dan punya bakat natural menjadi debater. Ya, modal utama seorang debater adalah rajin dan tekun. Mereka harus selalu hadir pada tiap latihan agar tidak ketinggalan mosi (topik debat) yang dijadikan materi latihan. Selanjutnya adalah rajin membaca dan berwawasan luas yang sering kusebut sebagai bakat alami seorang debater.

Dengan susah payah, ketiga debater yang baru saja kubentuk timnya saling menyesuaikan diri. Mereka mencoba membentuk chemistry, hal yang sulit terbentuk bagi tim yang mendadak harus kompak, sehati dan sepemikiran. Inilah tantangan utama kami. Kami terus berlatih dan mempersiapkan diri. Aku tak segan setiap hari menyambangi kelas dua debater baruku hanya untuk mengingatkan bahwa setelah pulang sekolah akan ada latihan debat. Aku tak peduli dianggap sebagai tukang kredit yang selalu berkeliling menagih hutang pelanggan. Yang kupikirkan hanya satu. Kami harus dapat menjaga amanah ini dengan baik. Kami harus maju ke tingkat provinsi dengan bekal cukup.

Tantangan selanjutnya adalah libur ujian sekolah. Sudah tinggal empat belas hari menuju hari pertandingan. Ketiga debaterku hanya bisa latihan setelah ujian sekolah selesai berlangsung karena sekolah harus steril saat ujian. Tak boleh ada siswa kelas X dan XI yang diizinkan datang ke sekolah meskipun hanya untuk latihan. Sementara aku juga harus melaksanakan tugasku sebagai pengawas ujian sekolah. Walhasil, kami baru bisa mulai latihan setelah azan Dhuhur berkumandang. Segera sesudah melaksanakan shalat Dhuhur, kami pun bergegas membahas mosi yang berkaitan dengan berita nasional dan internasional yang sedang hangat berlangsung.

Ternyata latihan saat libur cukup menguras tenaga dan emosi. Terkadang ketiga debaterku merasa enggan latihan karena ini saatnya liburan dan mereka harus disibukkan dengan materi yang sulit serta adu argumen tanpa henti. Belum lagi mereka bertiga harus kompak dan saling mengerti pemikiran masing-masing saat suatu mosi ditandingkan. Perlu banyak trial dan eror untuk bisa seide dan sejalan pemikiran dalam menanggapi suatu mosi. Tak jarang mereka bertengkar namun akhirnya kembali harus berdamai karena mereka adalah satu tubuh. Jika bagian tubuh yang satu sakit, bagian yang lain akan merasakan hal yang sama. Filosofi itu yang selalu kutanamkan pada mereka untuk menjaga kekompakan tim.

Hari yang kami tunggu- tunggu akhirnya tiba juga. Unggul beberapa poin dari tim lawan pada babak pertama, membuat tim debat kami lebih percaya diri untuk menuju babak berikutnya. Alhamdulillah tim kami masih terus melaju ke babak ketiga, melewati babak kedua dengan posisi masih tetap dengan margin dan skor lebih tinggi dari pesaing kami. Pada babak ini kami mendapat lawan yang cukup berat yakni SMA 1 Purwokerto. Tahun lalu pembicara pertama mereka mewakili provinsi Jawa Tengah untuk maju ke tingkat nasional. Belum lagi mereka berhasil menyabet predikat juara dua tingkat provinsi Jawa Tengah.

Terbukti kami benar-benar mendapatkan lawan yang tangguh. Disitulah mental dan kemampuan tim kami diuji. Debater kami berusaha dengan segenap daya namun akhirnya harus menyerah karena tersisih dari kuarter final. Kami harus legowo karena memang lawan dengan leluasa dapat mencari celah dari argumen yang dilontarkan oleh tim kami. Namun perjuangan kami tidaklah sia-sia. Rebuttal( serangan argumen) kami pun sempat membuat argumen mereka kocar-kacir. Meski mereka maju ke perempat final, mereka hanya menang tipis dari kami.

Peringkat kami memang sedikit bergeser dari tahun lalu, dari peringkat tujuh menuju peringkat sembilan di provinsi. Namun kami berhasil memperoleh kemenangan sejati. Kami mengalahkan keterbatasan kami sendiri. Meski para debater kami adalah pemain baru, namun mereka berusaha dengan segenap daya upaya hingga tetap mendapatkan peringkat sepuluh besar provinsi. Dan aku? Sebagai pendidik, aku berhasil mengalahkan egoku untuk tidak memaksa Pietra untuk bertanding karena aku menghormati keputusannya. Aku menghargainya sebagai seorang individu yang memiliki kebebasan untuk memilih, tetap mengikuti lomba ataupun tidak.

Kemenangan sejati diraih bukan dengan mengalahkan, namun dengan berlega hati menerima kondisi terburuk dan mencoba mengubahnya menjadi kondisi terbaik. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top