9. Menikah
"Istriku yang cantik, terima kasih sudah menerimaku. Kita berusaha sama-sama ya untuk keluarga kita?"
-Adzam
___________________
5 Pebruari 1981, Bandung
Ada banyak hal yang tidak terduga soal takdir, aku pikir aku sudah cukup paham akan konsep tersebut. Akan tetapi pemahamanku jauh dari kata benar, di hadapan cermin di mana pantulan wajahku berada, terdapat wajah dengan riasan cantik, mengenakan pakaian pengantin kebaya, juga hiasan berat kepala.
Aku hampir tak dapat mengenali gadis cantik di sana. Apakah itu benar-benar aku? Di mana seorang gadis kecil yang masih gugup jika bicara akan menikah di hari ini?
"Teteh!"
Aku melirik ke depan pintu, adik-adikku datang menatapku takjub. "Masyaallah... Cantik sekali.." gumam Sinta, matanya berbinar-binar. Aku tersipu, menggeleng. Rita ada di sana, mengatur agar si kembar tidak berkeliaran.
Aku tersenyum, mengetahui keluargaku kembali pulih setelah perjalanan panjang yang kami lewati. Aku bertanya-tanya, apa rencana Tuhan selanjutnya setelah ini?
"Kenapa Teteh mau menikah dengan orang itu? Orang itu aneh."
Hasan bersidekap, cemberut melirikku yang masih didandani oleh perias. Aku menahan tawaku, lagi-lagi Hasan angkat suara, bibirnya cemberut kesal. "Dia narsis, Teh. Tak bisa serius, saat mengobrol pun dia hanya bercanda. Bilang jika dia beruntung punya adik ipar yang manis. Cih, padahal aku pria, mana ada aku manis."
Rita dan Sinta tertawa lepas, sedangkan aku berusaha menahannya mati-matian. Aku sedang didandani, nanti bisa kacau. "Tapi, kan bagus. Teteh dapat suami yang bisa membuat Teteh tertawa setiap hari. Tidak selalu serius~" Sinta menanggapi.
"Jujur ya, jujur saja. Aku tak berpikir dia baik, aku ingin bilang dia bodoh, tapi itu tidak baik diucapkan."
Akhirnya riasanku selesai, aku tertawa kemudian melirik adik-adikku yang terpukau sekali lagi. "Jangan begitu, dia memang cukup menyebalkan. Tapi, dia baik sekali." Aku terkekeh, menggelengkan kepala mulai mendengar suara-suara dari luar ruangan. "Ah, acaranya sudah mau mulai. Mari bersiap."
Aku menyorot adik-adikku yang mengangguk, lantas pergi untuk memasuki sesi acara. Aku menarik napas sekali lagi, gugup, setelah bekerja hampir setahun di toko makanan. Aku menyadari ada banyak hal baik yang bisa kusyukuri.
Aku memiliki guru, penghasilan, rekan-rekan baik yang membantu dalam pekerjaan. Aku merasa nyaman, aku bahagia, dan yang paling membuatku terkejut adalah... Aku menemukan jodohku juga di sana. Pria jangkung menyebalkan yang tiap hari menyapaku, membantu serta bersikap jahil.
Adzam.
Aku masih ingat, sebulan yang lalu setelah pertemanan kami sebagai rekan kerja, dia mengutarakan rasa sukanya. Saat itu aku hanya mengatakan, "Temui saja Bapak." Aku pikir, karena sikapnya yang sering jahil, kukira itu hanya candaan. Tak kusangka pada hari libur, Adzam datang ke rumah dan mengutarakan niatnya ingin meminangku.
Ada satu kata yang membuatku menerimanya. "Saya... Akan berusaha yang terbaik. Saya memang bukan orang berpunya, tapi saya tahu betul. Saya akan selalu mencintai putri Bapak. Saya pasti." Bapak ragu pada awalnya, tapi setelah melihat juga bagaimana usaha Adzan, Bapak merestui pernikahan kami berdua.
"Pengantin wanita bisa keluar sekarang."
Aku bangkit, sekali lagi melihat pantulan diriku dalam cermin. Gadis cantik berusia 19 tahun ini akan menikah, aku tersenyum, mengambil langkah keluar ruangan. Kepalaku tertunduk, masih tidak percaya apa yang terjadi, hingga akhirnya aku sampai di depan penghulu, aku duduk di kursi berdampingan dengannya.
Seperdetik kami saling tatap. Aku tak bisa menahan senyum mendapati wajah Adzam yang bersemu merah, matanya berbinar cerah. "Kau cantik sekali," bisiknya. Aku menunduk semakin dalam, penghulu di depan terkekeh, aku tak tahu bagaimana ekspresi Bapak. Tapi, aku bisa memperkirakan beliau masih memakai ekspresi kakunya.
Aku merasakan desiran ombak dalam diri, ada banyak harap terpendam, kehidupan juga membangun keluarga yang baru. Dari ekor mata aku mengintip, bagaimana Adzam menjabat tangan Bapak kuat. Membuat ikatan kami menjadi resmi, menikah di hadapan semua hadirin.
Ketika janji suci diikrarkan, seruan penonton mengucapkan kata 'sah' menggema di seluruh ruangan. Aku tak percaya, aku bisa merasakan perasaan ini membaur menitikkan air dari pelupuk mata. Adzan hanya tersenyum, bukan senyum jahil atau main-main. Tetapi senyum tulus, aku salim padanya, sedang dia mengecup dahiku.
Pipiku memerah.
Adzam terkekeh, mencubit pipiku gemas. "Istriku yang cantik, terima kasih sudah menerimaku. Kita berusaha sama-sama ya untuk keluarga kita?" ucapnya lembut, pandangannya hangat serta sentuhan tangannya di pipiku penuh kasih sayang.
Mungkin orang-orang bingung, mengapa aku menerima pria ini. Di kehidupanku, di mana semua orang serius dan kaku. Adzam adalah siraman hangat, yang dapat membuatku tersenyum, membuatku tahu bahwa aku dicintai lebih dari siapapun.
"Jangan menangis, kau cengeng juga rupanya."
Aku mendelik, sesenggukan, Adzam mengusap pipiku. Aku menengadah, menatap pria jangkung itu. Dia tersenyum lagi, mengecup dahiku lembut.
Ya Allah...
Terima kasih...
Bersambung....
19 Mei 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top