8. Harapan
"Ada apa kau lihat-lihat? Apakah aku terlalu tampan?"
-Adzam
_______________
7 Maret 1980, Bandung
Aku mengayunkan langkahku, membawa daftar menu menunduk pada pengunjung toko. "Silakan dilihat-lihat terlebih dahulu, Pak." Senyumku terpampang sopan, pengunjung itu membuka daftar menu dan memesan beberapa makanan ringan.
"Baik, Pak. Silakan ditunggu. Saya permisi."
Aku berbalik, melangkah pergi melaporkan pesanan. Toko makan ini kembali ramai, sinar mentari semakin menyengat, sudah siang hari. Waktu-waktu seperti ini adalah tempat untuk para pekerja beristirahat dan makan.
"Lis!"
"Baik." Aku mengangguk cepat, mengambil makanan yang sudah siapa. "Ini untuk nomor 4?" Koki mengiyakan, kembali sibuk memasak, segera aku menyuguhkan pesenan pengunjung. "Ini pesanannya Bapak, Ibu. Silakan dinikmati, saya permisi dulu." Senyum sopan masih terpasang, aku menunduk lagi kembali pergi.
Sudah beberapa bulan semenjak aku keluar dari pekerjaan pertamaku. Setelah mengambil keputusan sulit, banyak emosi yang sudah lama terpendam lantas terlepas keluar, Bapak hanya memintaku melakukan apa yang kuinginkan setelah masa buruk yang kualami.
"Lis, kemarilah."
"Baik."
Aku sadar bahwasanya hidup tak selamanya berjalan baik. Tapi, tidak semua berlalu buruk. Paman yang melihatku menganggur tiga bulan lalu menawarkan pekerjaan sebagai pelayan toko makanan. Aku pada awalnya masih takut, gugup, tak bisa berkata banyak, bahkan sekedar bicara aku gelagapan.
Akan tetapi semua kata-kata Bapak soal takdir, juga penyemangat terus terngiang. Aku akhirnya kembali mencoba, semua hal yang kutakuti tidak terjadi, semua di luar ekspektasiku. Lingkungan kerja kali ini lebih ramah dibanding pabrik pakaian, bahasa yang mereka gunakan ramah juga halus, terlebih kesabaran dalam mengajarkanku melayani tamu. Perlahan aku berproses dan terus berproses.
"Untuk nomor 2, pesanannya sudah siap, tinggal diantar."
"Baik, terima kasih."
Di hadapanku terdapat pria jangkung, salah satu senior di tempat kerjaku. Dia tertawa, melihatku kewalahan membawa nampan, dengan cekatan dia membantuku menyiapkan pada pelanggan. Kemudian kami kembali, sekarang waktunya perubahan shif. "Sudah cukup! Kerja bagus untuk kita~"
Aku menahan senyum, melihat senior itu merenggangkan tangan bersenandung. Lantas dia melirikku menyipitkan mata, menaikkan sebelah alis. "Ada apa kau lihat-lihat? Apakah aku terlalu tampan?" Aku hampir tersedak air liurku sendiri.
Ya Allah...
Orang macam apa ini? Di lingkunganku semuanya adalah orang-orang yang kaku, jarang sekali yang seperti ini. Aku terpaku, dia yang melihatku terdiam nyengir, menyendok nasi dengan cukil.
"Tidak apa-apa kok menatapku terus. Orang tampan bisa kau tatap terus menerus~"
"Ti- tidak! Aku tidak menatapmu."
"Yakin tak mau menatap Aa Adzam yang kasep ini?"
"Sudah kubilang-"
Adzam-- nama pemuda itu. Salah satu pekerja di toko makanan, sebagai pelayan sepertiku. Tingkahnya cukup menyebalkan, tapi dia ramah juga baik pada semua orang. "Kau serius sekali, ketampanan Aa Adzan tak dapat kau pungkiri kan?" Adzam-- menaik turunkan alis, satu tangannya merapikan rambut, aku mengerutkan dahi, kesal.
Astaghfirullah...
Tidak, seharusnya aku tak boleh begini-
"Suka ya sama Aa Adzam? Jujur saja, ketampanan hakiki."
Lagi-lagi dia menarik kedua sudut bibir, memamerkan gigi yang berderet rapi. Aku terhenyak kemudian memandangnya sebal, segera melangkah pergi. "Kau- kau tidak jelas!"
"Kau marah? Seorang Lilis marah?"
"Di- diam!"
Jahil sekali, aku tak mengerti dengan pria ini. Segera aju mengambil langkah seribu, menuju dapur, wajahku memerah, panas. Tampaknya cuaca Bandung semakin panas. Aku menetralkan napasku, astaga, aku tak pernah malu dan semarah ini di waktu bersamaan. Tapi, yang aneh, mengapa aku tak membencinya?
Aku menampar kedua wajahku, itu tak penting lagi, jantungku berdebar aneh. Aku melirik ke arah koki yang sedang memasak. Beliau melirikku tersenyum. "Tak istirahat kau Lis?" Aku mengangguk, menatap koki. "Mau bantu Bapak saja, Lilis mau bantu masak."
Koki di depanku ini adalah tukang masak handal yamg cekatan, tangannya gesit bergerak ke sana kemari memasak makanan untuk para tamu. "Potong itu Lis." Aku bergerak, menyesuaikan kecepatanku dengan koki. Ada beberapa ilmu yang ini wariskan padaku, salah satunya selain menjahit adalah masak.
Aku memotong bawang, bumbu-bumbu untuk keperluan masakan, sementara koki sibuk mengaduk masakan. Aku bisa merasakan hatiku menghangat, Bapak benar. Aku bisa menjadi apa pun yang kumau, ini menyenangkan, aku tak berbohong.
Setidaknya jika aku tak bisa jadi perawat atau penjahit. Aku bisa jadi koki, tukang masak. "Lis, caranya seperti ini?" Mataku melebar, berbinar ketika koki menasihatiku dalam memotong bahan lain. "Ah, terima kasih."
Aku mendapatkan ilmu baru, aku menegak ludah. Senyumku menyebar ke seluruh wajah. Bapak benar, semua ilmu tak hanya didapat di sekolah saja, aku juga mempelajari banyak hal di mana pun, asal kumau. Aku terenyuh, rasanya haru menyebar, kini aku memiliki harapan untuk masa depan.
Aku memiliki masa depan seperti yang lainnya.
Bersambung....
18 Mei 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top