7. Putus asa

"Setiap orang itu mampu, tapi tidak semua orang itu mau."

-Bapak

___________________ 

21 November 1979, Bandung

Aku melangkah memasuki sekolah tempatku belajar sebelumnya berada, rasa sesak sekaligus kebahagiaan menyeruak memenuhi dada. Mataku berkaca-kaca, sedangkan Bapak hanya tersenyum tipis menemaniku masuk. Bangunan memanjang dengan banyak kelas yang kurindukan.

Aku bahagia.

Bertepatan langkah memasuki area sekolah, di depan gerbang aku menemukan mantan wali kelasku ada di sana, piket guru. Aku terkejut bertemu beliau, juga beliau yang menemukan kehadiran kami.

"Nak Lilis? Pak?" tanyanya sopan, dia menunduk sedikit tersenyum sopan. Bapak mengangguk ikut menyapa, mereka berjabat tangan. "Sudah lama kita tak berjumpa, ada hal yang ingin saya sampaikan." Aku salim pada pak guru, beliau menyorot kami lamat-lamat lantas mempersilahkan kami masuk ke ruang guru.

"Apa kabar kau Lis?"

"Al- alhamdulillah..." Tubuhku membungkuk, sedang kepalaku tertunduk. Samar rona merah mengembang di wajah, ada perasaan meluap-luap soal perkara sekolah. Aku benar-benar bisa kembali menembus mimpi-mimpiku. Aku bisa kembali belajar, aku seolah bisa merasakan harap yang menembus belahan hatiku yang patah. "Syukurlah...  saya senang mendengarnya." 

Pak guru mengambil dua gelas air kemudian menyodorkannya pada kami, kami terduduk di kursi berhadapan dengan mantan wali kelasku. "Lalau ada apa gerangan Bapak dan Lilis kemari?" Bapak menegak air putih di atas meja, sorot matanya yang tajam tak bisa hilang, walau serpihan kesenangan terpancar, tersembunyi di balik wajah datar.

"Saya ingin menyekolahkan Lilis kembali." Bapak menjawab lugas, dari ekor mata aku mendapati reaksi bungkam Pak guru. Ada apa ini? Apakah ada sesuatu yang salah dengan ucapan Bapak? Atau.... aku menyingkirkan pikiran buruk, aku tak boleh berpikir seperti itu. Aku mengetuk-ngetukkan kakiku di bawah meja.

Pak guru terdiam, tak bergerak sedikit pun lantas menghela napas panjang. Itu membuatku mengepalkan tangan, Bapak kembali bicara, "Ada apa? Apakah tak bisa?" 

Aku mengentakkan kakiku di bawah meja semakin cepat, sinar harap di wajahku perlahan sirna, kegugupan lain mencekikku. Peluh menjalar, jatuh membasahi punggung. "Maafkan saya, bukan saya ingin membatasi atau tak mau membantu Lilis kembali sekolah... tapi Lilis sudah cukup lama berhenti, hampir setahun. Saya tak bisa membantu Lilis masuk lagi, kuota siswa pun sudah penuh."

Aku bisa merasakan cairan hangat yang menggenang di pelupuk mata, kepalaku tertunduk semakin dalam. Ya Allah... kenapa kau tidak membiarkanku untuk bahagia lagi? "Maaf, Lis..." gumam Pak guru simpatik, suaranya terlalu lembut untuk kusalahkan. Hening mengisi ruangan dan yang terjadi berikutnya Bapak bangkit, membuatku buru-buru menyeka air mata yang hampir jatuh.

"Tak apa.... kami mengerti. Kalau begitu kami akan pergi."

Bapak menggenggam tanganku, keluar dari ruangan. Aku dapat melihat kekecewaan di wajah Pak guru ketika aku malangkah lebih jauh, keluar beranjak pergi.  "Hati-hati." Samar sekali suaranya terdengar, aku sudah keluar sekolah beriringan harapanku yang berangsur patah bagai burung tak dapat terbang bebas. Terperangkap dan tak akan pernah lepas.

.

.

.

"Li- Lilis tak apa..." 

Aku dapat merasakan suaraku semakin serak, kata yang terbata-bata membuatku memejamkan mata rapat-rapat. Baru setahun aku keluar, bekerja sedikit lantas aku sudah hancur begini? Tidakkah aku terlalu lemah? Bahkan aku hampir menangis lagi. Aku tak tahu bagaimana harus menghadapi kenyataan pahit yang menyeret mimpiku luruh lantas sirna.

"Lis..."

Ada kehampaan yang samar-samar terkandung jelas. Aku menatap Bapak, kali ini aku bisa melihat kerutan di dahinya semakin jelas. Pada awalnya kukira beliau begitu karena aku tak sopan menatap lancang, akan tetapi itu adalah kekhawatiran yang tersembunyi, dan sebelumnya aku tak mengerti. Sekarang itu bukan hal yang penting lagi. aku sudah lelah.

"Lilis... mencari ilmu itu tak harus selalu pergi sekolah."

Apa yang Bapak maksud? Apa Bapak berusaha menghiburku? Mataku sudah terlalu lelah menangis, aku bahkan tak tahu harus melakukan apa ke depannya. Sorotku meredup, sudah cukup. Aku lelah. 

Bapak menatap lekat-lekat, mencengkeram bahuku. Aku bisa tahu ada kepercayaan yang ingin Bapak sampaikan lewat tindakannya. Tapi kini aku sudah terlalu lelah untuk memahami, untuk mengerti. "Kau selalu belajar Lis, dari pengalaman, masa lalu, bahkan kehidupan. Kau selalu yang terbaik." 

Aku tertawa sumbang, memberikan senyum kosong, ekspresiku tak memiliki cahaya, semuanya kian redup dimakan hampa juga putus asa. Bapak menggeleng, semakin mencengkeram bahuku kuat. "Setiap orang itu mampu, tapi tidak semua orang itu mau." 

Apa maksudnya? Bapak, aku lelah! Tidakkah Bapak mengerti?!

Aku menatap Bapak nanar, beliau menarik napas menatapku balik, tak berpaling sedikit pun. "Semua orang itu mampu Lis. Mungkin kau tak bisa jadi perawat, mungkin kau tak bisa menjadi penjahit, tapi kau bisa menjadi yang lain. Kau selalu memiliki kesempatan baru, setiap orang itu mampu, tapi tak semua orang mau mengambil kesempatan itu, kesempatan lain." 

Aku bisa merasakan air mataku jatuh, tubuhku gemetaran, pusaran kegelapan seolah melenyapkanku, raunganku terdengar. Aku sudah sangat lelah dan muak menahan semuanya lagi. Aku menangis histeris,  seolah semua perasaanku meluap-luap, kehilangan, rasa sakit, tanggung jawab, emosi terpendam menyatu lantas pecah tak terkendali. "Ahhh!" Ombak menghantam dan menghanyutkan emosi yang kian terserak, menyebar pada karang-karang tajam.

"Ya Allah!"

Dadaku sakit, rasanya sesak, semua emosiku berhamburan, tak ada yang dapat menghentikan air bah yang kian meluap. Bapak memelukku erat-erat, adik-adikku keluar kamar melihatku yang kian terpuruk, si kembar menangis, Rita menunduk sedang Sinta membeku di tempat. Ya Allah... tangisanku semakin keras, apakah salah jika aku menginginkan kebahagiaanku kembali?

Sungguh, aku lelah.

.

.

.

"Teh..."

Aku tertunduk menekuk lutut, setelah menangis sedari siang hingga sore aku akhirnya mengurung diri di kamar. Kepalaku kosong, aku tak dapat memikirkan apa pun, kelelahan menyergap setiap inci tubuh. Bapak tidak mengatakan apa pun, sadar aku tak dalam kondisi bijak untuk mengungkapkan perasaanku.

Rita membuka pintu kamar, menghampiriku. Rita tersenyum, menggenggam tanganku erat. Aku menggeleng, menepis tangannya, tersenyum lantas menggeleng pelan. Aku membuka mulut, "Teteh tak apa-"

"Teteh tak baik-baik saja," potong Rita. Aku menunduk, memasukkan tanganku dalam lipatan tangan. Aku tahu, aku tak baik-baik saja. Tapi, aku harus begitu, aku seorang Kakak. Aku adalah pengganti Ibu. Aku harus kuat. Sekiranya itu yang kutanam dalam benakku, karenanya menunjukkan diriku seperti itu memalukan. 

"Teteh..." Rita hendak bicara, tapi kata-katanya tertelan kembali mendapati diriku yang kian menekuk lutut, dia memelukku erat. Aku menggigit bibir bawahku, sementara lagi-lagi Rita berusaha menenangkan. "Teteh lelah, Teteh capek. Itu tak apa... tak apa... Teteh istirahat saja. Sekarang waktunya Teteh istirahat."

Aku tak tahu...

Memang benar aku lelah...

Aku sangat lelah... semuanya meledak-ledak...

Ibu... aku merindukanmu... anakmu lelah...

Aku bisa merasakan mataku memberat, ah, aku memang tak kuat. 

Aku lemah. 

Bersambung....

16 Mei 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top