4. Putus sekolah

Takdir sangat lucu memutar balikan keadaan, kali ini akulah yang jatuh dalam kesengsaraan, meraung karena pahitnya kehidupan.

-Lilis

___________________


8 Desember 1978, Bandung

"Apa tidak bisa kau timbang lagi, Lis?"

"Maaf, Pak. Ini sudah keputusan bulat."

Aku menunduk sopan, tepat sebelum ujian akhir semester aku mengajukan untuk putus sekolah pada guru-guru. Mereka tampak tak terima, katanya 'sayang, kau itu pandai, Lis.' tapi, mau bagaimana lagi. Jelas sekali  aku tidak bisa membayar kebutuhan sekolah, aku juga sejujurnya tidak mau berhenti belajar.

Pak guru, yakni wali kelasku mengusap mata, dia menengadah menatap langit-langit ruangan. Matanya sedikit memerah, mungkin lelah karena persiapan ujian juga aku yang mendadak mengabarkan hal buruk. "Lis, Bapak hanya sayang dengan prestasimu. Tak apa kau bolos setiap minggu, pulang lebih awal atau telat membayar uang bulanan, Bapak akan bantu agar Lilis tetap sekolah. Kau pintar, Bapak tahu kau punya semangat belajar."

Tidak. Aku juga tidak menginginkan ini. Kepalaku tertunduk semakin dalam, meremas rok abu yang kukenakan. Semenjak kepergian ibu 4 bulan lalu, situasi keluarga kami semakin buruk. Bapak berhenti bertani, menjual beberapa lahan dan membuka usaha, sayang sekali walau dengan bantuan Kakak pertama usaha ini tidak berjalan mulus, bahkan tidak balik modal.

Padahal saat ini bapak harus menyekolahkan empat anak; Aku, Hasan, Rita, dan Sinta. Akan tetapi dengan kondisi ekonomi kami itu tidak akan berhasil, akhirnya aku terpaksa duduk di depan wali kelas menyatakan untuk mengundurkan diri sebagai pelajar. Semua mimpiku menjadi perawat luntur, hancur lebur menjadi abu. Aku harus mengalah demi adik-adikku, mereka harus menuntaskan sekolah.

"Maaf," bisikku lirih. Air mataku sudah mengembun di pelupuk mata. Pak guru menarik napas mengusap wajahnya kasar. "Tidak, tidak masalah. Bapak tahu kondisi keluargamu sedang sulit, tak apa. Bapak urus dokumennya sembari meminta tanda tangan Pak Kepala Sekolah." Pak guru bangkit, membawa kertas pernyataan yang kutandatangani, aku mengangguk, cepat-cepat menghapus mataku yang berkaca-kaca. Jangan menangis! Aku tak boleh lemah! 

Menunggu beberapa lama Pak guru kembali, membawakan dokumen resmi. Ah, sekarang aku dinyatakan sudah berhenti sekolah sepenuhnya, hatiku nyeri. Aku mengambil dokumen dari tangannya, menunduk, aku tidak mau berlama-lama, mungkin aku bisa menangis deras sekarang juga. "Te- terima kasih, Pak. Terima kasih." 

Aku mencium tangan Pak guru. Bapak itu menggenggam tanganku kuat, menepuk bahuku, dia berusaha tersenyum. "Sama-sama, Lilis. Bapak harap kau hidup dengan baik, bisa mencapai cita-citamu. Salam pada keluargamu, ya." Aku menggigit bibir bawah, menahan tangis, suaranya yang tenang membuatku semakin lemah. Sekali lagi aku mengangguk, mengucapkan salam dan pergi.

Tidak, sayang sekali. Aku tidak akan pernah bisa mencapai cita-citaku menjadi perawat. Realita terlalu jelas menampar, semua mimpi itu sudah lenyap, tak bersisa. Tepat di depan gerbang aku menemukan Mita yang merenggangkan tangan, kali ini aku yang terjatuh di tangannya, memeluknya erat-erat, menangis hebat.

Takdir sangat lucu memutar balikan keadaan, kali ini akulah yang jatuh dalam kesengsaraan, meraung karena pahitnya kehidupan.

Ya Allah... sungguh... seberapa jauh lagi ini harus berlangsung?

.

.

.

Peluhku membasahi pakaian juga kerudung, aku tidak berbohong soal Bapak yang bangkrut. Kini aku berjalan kaki dari sekolah menuju rumah, miris, aku tak punya uang sepeser pun. Melirik oplet yang berlalu lalang selama perjalanan, sungguh, aku tidak berpikir akan mengalami kondisi se-mengenaskan ini. 

Setelah satu jam perjalanan aku sampai di rumah, sepatuku yang sudah kekecilan membuat jari-jari kakiku bengkak terlebih perjalanan yang ditempuh. Aku meringis, lecet ketika membuka kaos kaki, rasanya perih. "Lis!" panggil Bapak.

"Iya, Pak!" Aku bergegas menghampiri Bapak. Bapak berada di dapur, aku menunduk takut-takut kemudian menyadari dapur yang berantakan. Mulai dari bahan makanan-- persediaan makanan yang terbatas, alat masak juga abu dari hawu mengotori setiap sudut.

"Bereskan." Satu kata saja cukup membuatku berkeringat dingin, tidak cukup menangis berjam-jam di sekolah hingga pulang telat-- lupa menjaga si kembar, kakiku lecet, kini aku harus membereskan dapur." Aku terhenyak, tubuhku rasanya remuk redam, aku berjongkok mulai membersihkan. "Baik, Pak."

Bapak tidak berkata-kata, setelah kepergian sang istri, beliau semakin pendiam juga dingin. Tidak banyak bicara, tidak berekspresi, terkadang aku mendengar Bapak menangis. Aku tak tahu seberapa putus asa Bapak, bahkan tak bisa mencari nafkah dengan benar, semuanya kacau, berantakan. Kini di lantai tembok, aku memungut beras yang berserakan-- untuk makan malam kami yang tersisa... beras terakhir....

Aku mengumpulkan beras dengan hati-hati, berharap cukup untuk makan malam. Aku mendengar suara tangis Rita, tapi aku tetap fokus membereskan dapur. "Maaf, Pak... Maaf...." paraunya. Aku tidak tahu yang terjadi, Bapak tak pernah memukul. Tapi, mendengar teriakannya saja membuat kami gemetaran, tangis serta wajah suram sudah makanan sehari-hari.

Aku menyeka peluh, setelah merapikan bahan makanan yang terserak aku mengambil lap untuk membersihkan sisa abu, aku bisa menebak apa yang terjadi ketika aku pulang terlambat tadi. Rita yang telat pergi ke sekolah berpikir aku akan segera pulang, akhirnya dia memilih pergi meninggalkan si kembar yang tertidur. Nyatanya aku pulang tidak tepat waktu, si kembar tidak ada yang menjaga, mengacak-acak isi rumah dan Bapak yang kebetulan beristirahat di rumah menemukan semuanya tepat beberapa menit sebelum aku sampai.

Aku meringis, merasakan kakiku yang lecet bergesekan dengan lantai tembok. Aku menutup mata, memukul pipi, tidak boleh berhenti, aku harus terus bergerak. Aku segera bangkit, waktunya menyiapkan makanan. "Teh..." Aku melirik ke arah pintu, suara Rita pelan, hatiku mengelupas, terkikis, semakin tipis perlahan hancur. Hampir tak ada satu harinya di rumah ini tanpa air mata. Menyedihkan. Padahal dulu tidak begini. 

"Rita... Rita masak saja..."

Dulu tidak begini, bukan saja ekonomi keluarga yang mengkhawatirkan. Keharmonisan keluarga semakin rapuh, muram tak menemukan cahayanya lagi. Seolah semuanya padam, dari awal, aku memang tak pernah bisa menggantikan Ibu, tidak ada siapa pun yang bisa menggantikannya. 

"Boleh."

Aku mengangguk, beranjak pergi menuju ruang tengah, berniat menemani si kembar. Sinta ada di sana, menemani mereka. Setelah hari itu; Sinta juga tak pernah tertawa, Bapak tak berekspresi, Rita tak berani lagi, Hasan ataupun Kakak pertama... bahkan aku jarang melihat mereka. Samar-samar aku mendengar jika mereka pulang larut saja, membereskan kekacauan dalam usaha yang Bapak jalankan.

"Raka... Riki..."Aku memeluk mereka, erat-erat. Kini aku akan selalu di sisi dua anak kecil ini, setelah berhenti sekolah aku akan mengurus mereka sepenuhnya. Sinta terdiam melihatku, sedetik kemudian ikut masuk dalam pelukan.

Anak-anak kecil ini.

Aa dan Bapak.

Mereka masih membutuhkanmu, Ibu.

Aku juga, kami semua membutuhkanmu.

Bersambung....

13 Mei 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top