3. Kepergian Ibu

"Teteh... Teteh Lilis hebat... Teteh hebat sudah bisa menggantikan Ibu..." 

-Ibu

____________________

12 September 1978, Bandung

"Lis..."

Wajahku muram, bibir bawahku menonjol keluar sedang tubuhku setengah membungkuk. "Kau pulang lebih awal lagi?" tanyanya. Aku mengangguk, menghela napas panjang tersenyum pada Mita, tidak terasa sudah tiga tahun berlalu, dari sudut mataku bisa melihat kekhawatiran pada sorot matanya. "Ibumu sudah baikan?" Aku menunduk lesu.

Semenjak tiga tahun yang lalu, ibu mulai jatuh sakit. Beberapa bulan kemudian bapak membawa ibu ke rumah sakit, di sanalah dokter menyatakan bahwa ibu menderita penyakit jantung. Hidup keluarga kami berubah semenjak ibu diberikan perawatan khusus di sana. 

Kakak pertama menggantikan bapak bekerja, aku menjadi ibu kedua untuk adik-adik, sedangkan bapak fokus merawat ibu. Aku meremas tas usang yang kukenakan, menginjak bangku SMU saja aku sudah sangat beruntung, walau aku sering alfa dikarenakan menjaga adik-adik di rumah. Terkadang dalam seminggu aku bolos tiga hari, terlebih adik kembarku yang terlahir beberapa bulan sebelum ibu dinyatakan sakit.

Untuk pertama kalinya semenjak tiga tahun yang lalu aku merasakan yang namanya pil pahit kehidupan. Mita meringis, membantuku yang hampir tergelincir, berjalan sembari melamun. Aku menundukkan kepala, berterima kasih. Sudah banyak hal yang terjadi, satu hal yang kusyukuri, Mita masih berada di sisiku. "Mita, terima kasih." Mita mengulum senyum manis, menepuk bahuku.

"Hati-hati di jalan ya," ujarnya, kemudian melambaikan tangan. Aku balik membalas lambaian tangannya, langkahku terus lurus menuju jalan besar. Aku mengulurkan tangan, memberhentikan oplet yang baru saja lewat. Kendaraan umum yang memuat 10 orang ini hanya memiliki satu pintu di belakang. Sedangkan di depan terdapat dua pintu, untuk sopir dan satu penumpang lain. 

Lokasi SMU dan rumah cukup jauh, aku mengusap pelipis yang berkeringat. Kerudung putihku basah, berdesak-desakan di cuaca yang panas bukan hal nyaman. Aku mendekap tas sekolah, berhenti di depan jalan kecil. "Kiri!" seruku, turun dari oplet membayar 50 perak ke supir, lantas bergegas menuju rumah. 

Sampai di rumah aku menemukan Rita kerepotan mengurus si kembar, dua adik baruku yang berumur 3 tahun, Raka dan Riki. Bahunya merosot menemukanku di pintu, mendesah lega. "Akhirnya Teteh pulang...," gumamnya terduduk di atas tikar, lunglai. Sementara di lantai aku menemukan Raka dan Riki mengacak-acak makanan, berceceran mengotori lantai.

"Teh?" Aku baru saja selesai mengganti pakaian, mendekati si kembar ketika Hasan memanggil, dia menggaruk leher gelisah. "Kata bapak tolong siapkan bubur untuk dibawa ke rumah sakit, Hasan yang antar nanti." Aku mengangguk, sementara Rita membersihkan kekacauan yang dibuat si kembar, mengepel lantai dengan makanan berceceran. Sekarang kami sebagai anak harus lebih mandiri, aku menggendong Raka dan Riki, tubuh mereka kotor.

"Bisa bantu Teteh, Hasan? Tolong bantu gendong Raka, Teteh gendong Riki. Kita mandikan mereka bersama." Hasan yang sedari tadi diam gelisah segera mengangguk, membantu menggendong dan memandikan si kembar. Gerakannya canggung, aku terkekeh menemukan Hasan yang kewalahan, air terciprat ke mana-mana, si kembar tertawa kegirangan. Biasanya aku memandikan mereka bersama Rita atau Sinta.

"Teteh!" seruan ceria terdengar, langkah kaki berderap mendekati kamar mandi. Sinta tersenyum lebar, anak kecil itu masih saja kekanak-kanakan. "Mau ikut memandikan!" serunya, aku tidak tahu apakah Sinta habis pergi bermain atau mengaji. Aku mengangguk cepat, memberikan Riki pada Sinta. "Eh, lalu bagaimana lagi? Hasan tidak tahu selanjutnya," protes Hasan. 

 Aku menahan tawa, wajah panik Hasan sangat lucu. "Kan ada Sinta! Santai saja, Aa." Sinta mengangkat satu alisnya, sedang sorot skeptis terlihat jelas. "Kau anak kecil, tahu apa?" Tidak terima Sinta mendelik, mengangkat dagu. "Ya, tahulah. Lebih tahu dari Aa." Mereka ribut sebentar, si kembar malah kegirangan menciprat-cipratkan air.

"Ayolah, Teteh mau masak. Baik-baik ya bersama Sinta." Aku tersenyum, menggulung rambutku ke belakang menuju dapur. "Teteh!" Aku menahan kedutan di sudut bibir, Hasan memekik dari kamar mandi, samar-samar aku bisa mendengar tawa kemenangan dari Sinta.

Rita melirik ke arah pintu dapur, mengerutkan dahi melihatku yang baru saja datang. Belum ada satu detik dia terkikik, "Aa sama Sinta ribut lagi pasti," kelakarnya. Aku menyenggol lengannya, menggeleng.  "Tak baik kau seperti itu ke Aa sendiri." Aku akui itu lucu, tapi menertawakan Hasan bukan hal yang baik. "Ya biarkan saja, lumayan, ada hiburan."

"Hush!" Aku menggelengkan kepala. Walau hidup kami begini sekarang, tanpa kehadiran ibu, kami tetap bisa tertawa. Kami masih bisa menemukan kebahagiaan-kebahagiaan sederhana, satu hal yang pasti, kami masih memiliki satu sama lain. Aku menyalakan hawu, tungku untuk memasak, menumpuk kayu-kayu untuk menyalakan api. Biasanya Hasan membantu Kakak pertama untuk bertani atau mengumpulkan kayu untuk kami memasak.

Rita mengambil panci juga menyalakan hawu yang lain, aku mulai memasukkan beras dan air di panci, menambahkan beberapa bumbu agar bubur yang dibuat wangi. Rita membawa bahan-bahan makanan lain, untuk makan sore kami. Aku meninggalkan dapur sebentar, mengecek apa yang dilakukan si kembar, aku mendesah lega, tersenyum simpul. Mereka asyik bermain bersama Sinta dan Hasan.

"Teh."

"Ya?"

Hasan menatapku lekat-lekat, lantas menggeleng, mengusap hidung. "Ah, tak jadi. Makanannya sudah siap? Teteh bagaimana? Mau ikut sore ini ke rumah sakit?" Aku merasakan ada yang tidak beres dari gerak-gerik Hasan, dia lebih gelisah dibanding sebelumnya. Aku hendak bertanya, tapi pada akhirnya aku memilih untuk diam. Aku berjongkok, mengusap kepala Raka. "Boleh saja, sudah lama Teteh tidak menjenguk Ibu." 

Ada sirat kelegaan di wajah Hasan, matanya membentuk bulan sabit saat tersenyum, aku tidak mengerti. Hasan adalah satu-satunya orang yang pergi dan pulang dari rumah sakit, menyampaikan pesan bapak atau ibu pada kami begitu pun sebaliknya. Aku kembali bangkit, Rita memanggil dari dapur.

.

.

.

Aku menenteng rantang berisikan bubur dan makanan untuk Bapak. Adik-adik sudah menunggu di rumah bersama kakak pertama. Langit mulai gelap, kami menaiki oplet untuk sampai ke rumah sakit. Hasan membayar ongkos kemudian mengikuti langkahku menuju gedung rumah sakit, dinding serba putih dan lalu lalang petugas medis maupun pasien mengingatkanku akan mimpiku sebagai perawat.

"Ruangan 73." 

Aku menyusuri lorong rumah sakit, dari koridor angin berhembus, bersama Hasan akhirnya kami menemukan ruang yang dituju. Ada beberapa alasan aku jarang menjenguk ibu, yang pertama aku tidak bisa menahan tangis setiap melihat beliau yang kesakitan, juga nasehat-nasehat ibu seolah beliau akan pergi kapan saja.

"Lis... uhuk, uhuk.

Dari ranjang rumah sakit, aku menemukan ibu yang terbatuk. Bapak setia menunggu di sisi ibu, mengelap bibir sang istri. Sorot matanya kian redup, tubuhnya makin ringkih dari hari ke hari, pelupuk mataku menggenang mendekati ibu. Suasana dalam ruangan menyesakkan, ibu memelukku, cukup erat untuk seukuran pasien. 

Ibu mengenakan selang untuk bernapas, tubuhnya juga ditempeli alat-alat rumah sakit. "Ibu..." lirihku pedih. Ibu berbisik, memberikan kode agar aku mendekat. Aku mengepalkan tangan, berkeringat, air mataku semakin luruh. "Teteh... Teteh Lilis hebat... Teteh hebat sudah bisa menggantikan Ibu..." Aku menggeleng, air mataku semakin berhamburan.

Aku melirik Bapak yang merapatkan bibir, memalingkan wajah. sedang Hasan tertunduk. "I- ibu... kenapa? Ibu?!" Aku memegang lengan ibu kuat, suara dengungan alat-alat kesehatan di sekitar bising. Sorot mata ibu semakin redup, aku menggeleng kuat. Tidak boleh, tidak boleh, tidak boleh! "Teteh... Teteh tolong gantikan Ibu ya, maaf ibu harus memberikan beban ini pada Lilis... Ibu tahu, Teteh anak yang kuat. Teteh wanita kuat!

"Ibu!"

"Ibu titip adik-adik ya...."

"Tidak! Tidak! Ibu, Lilis mohon... tidak boleh... tidak boleh...."

"Ibu titip Aa sama Bapak juga."

"Ibu... Ibu... Lilis mohon...."

Air mataku berderai, membasahi pakaian. Aku tidak masalah bolos sekolah, tidak masalah menggantikan ibu di rumah, tidak masalah tidak pernah bisa bermain. Tapi, kumohon, Ya Allah... Jangan Ibu. Jangan Kau renggut ibu dari kami! Suara dengungan alat-alat rumah sakit terdengar jelas setelah kata-kata terakhir ibu, paramedis berdatangan, tubuhku merosot jatuh ke lantai. Hasan sudah memelukku erat-erat. 

Tidak! Ini tidak nyata!

Aku menggeleng kuat, suara dengungan terdengar jelas, alat medis menunjukkan garis lurus tanda jantung tak berdetak. Dokter menghela napas, menutup kelopak mata ibu yang terbuka. Untuk pertama kalinya aku melihat bapak menangis. Apakah karena ini Hasan gelisah mengajakku ke rumah sakit? Ibu ingin mengucapkan kata-kata terakhir? Tapi, aku masih tidak siap menggantikan ibu seutuhnya.

Ya Allah.... Apakah Kau benar-benar membawa Ibu pergi?

Bersambung....

12 Mei 2023


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top