21. Aku Pulang
"Saudariku, seandainya kau tak kembali lagi kemari. Saya titip pesan agar kau bergabung dengan barisan dakwah yang menyerukan yang ma'ruf dan menentang pada kemungkaran (QS. Ali-Imran:10)."
-Majikan laki-laki
__________________________
5 Desember 2000, Arab Saudi
Hari-hari yang dilalui terasa panjang dan melelahkan akhirnya mencapai titik akhir. Kurang lebih tiga tahun aku mengabdi di keluarga ini sebagai juru masak. Majikan perempuan terus merayu untuk menambah kontrak lagi menjadi 3 tahun. Tapi, aku dengan sopan menolak, "Saya memiliki hak dan tanggung jawab sebagai Ibu untuk mendidik anak-anak saya di rumah, sekali lagi saya minta maaf."
"Tidak bisakah kau pikirkan kembali?"
Aku menggeleng, dengan dalih cuti akhirnya waktu kepulangan semakin dekat. Majikan perempuan terus menangis begitu putri dengan putri-putri beliau, sejujurnya aku pun tak tega karena mereka begitu baik sekali memperlakukanku, tapi apa daya? Aku kembali menunduk sopan. "Maaf, saya sungguh minta maaf."
Tangisan kembali membanjiri perpisahan, akan tetapi bagiku anak-anak tetaplah nomor satu. Di tengah perpisahan yang mengharu biru, majikan pria memanggilku ke ruangannya. Aku mengiyakan, kakiku melangkah sekali lagi memberikan pelukan perpisahan. "Saya harap Nyonya dan Putri selalu dalam lindungan Allah."
Aku kembali menelisik setiap lorong dan ruangan yang kulewati, memori senang maupun sedih terlintas di benak. Tempat ini sungguh memberikan kenangan baik, tak dapat kubohongi, aku banyak belajar dan memahami agama. "Saudariku." Bahkan majikan pria tak pernah memanggilku sebutan lain, saudari.
"Ya, Tuan. Saya minta maaf sebelumnya jika selama bekerja saya melakukan kesalahan, saya sangat berterima kasih atas kesempatan yang diberikan."
"Tidak, tidak. Kau tak pernah melakukan kesalahan. Di antara tukang masak, yang ada kau adalah yang terbaik. Ini adalah kebenarannya saudariku." Beliau tersenyum lembut, pembawaannya yang tenang sungguh menyejukkan. Aku terkekeh kecil, menggeleng kembali menunduk. "Alhamdulillah."
Beliau menatapku lamat-lamat, satu tangannya memegang paspor dan tiket milikku, sebelum memberikannya akhirnya beliau menyampaikan satu amanah padaku. "Saudariku, seandainya kau tak kembali lagi kemari. Saya titip pesan agar kau bergabung dengan barisan dakwah yang menyerukan yang ma'ruf dan menentang pada kemungkaran (QS. Ali-Imran:10)."
Tatapan beliau sungguh-sungguh, aku tanamkan amanah beliau dalam hati terdalam. "Insyaallah, saya akan melakukannya." Sekali lagi beliau menambahkan, "Hal inilah yang akan membawa perubahan untuk umat Rasulullah, saya percaya padamu, saudariku."
Beliau meneteskan air mata, memberikan hak saya berupa paspor juga hadiah berupa uang 500 SR (Saudi Real). Aku hanya kembali mengucapkan terima kasih, pesan beliau akan kujalankan sepenuh hati.
Tak banyak yang kubawa dari tempat ini, hanya 1 ransel dengan kurma terbaik dan koper kecil pakaian. Dengan diantar sopir dan anak-anak majikan aku akhirnya sampai di bandara. "Kami akan merindukanmu!" Aku tertawa membalas pelukan putri erat. "Saya juga, semoga Allah selalu merahmati putri dan keluarga."
.
.
.
Aku melambaikan tangan sebagai perpisahan terakhir, sekarang waktunya kembali, pulang ke rumah. Tepat ketika aku melangkah menuju tangga pesawat, Allah kembali memberikan ujian seperti kepulanganku sebelumnya. Aku bertemu dengan seorang perempuan asing, dia pun terlihat tak sehat. Kadang menangis, kadang tertawa bersender menghalangi jalan. Yang lain tak peduli sama sekali, melewatinya begitu saja.
Aku menjerit dalam hati, sambil mendekati perempuan tersebut. "Permisi, mari kita masuk dulu ya, Ibu? Di sini bukan tempat nyaman untuk duduk." Dia yang masih meraung-raung kutuntun menaiki pesawat lantas sengaja duduk bersebelahan. Aku tak begitu mengerti karna wanita ini bercerita acak, dari bahasa satu ke bahasa lain pun masalahnya. Akan tetapi mendengarkan lama akhirnya aku paham apa yang terjadi, itu sungguh menyedihkan.
Dia korban dari suaminya di kampung. Uang yang dia kirim dipakai nikah kembali dan tak ada kabar hingga sekarang. Aku sangat kasihan sekali. Rasa nyeri itu terasa, aku pun memahami pahit getirnya untuk mengais rezeki.
Pengalaman pertama pulang terulang kembali. Banyak sekali para TKI yang menderita. Dari mulai penyiksaan, hamil, yang mengalami hukuman dan lain-lain. Ya, Allah. Kapan ini semua berakhir? Seandainya aku punya kekuasaan, ingin sekali menghentikan semuanya. Jangan ada penerimaan TKI lagi. Kami hanya dijadikan sapi perah. Hanya mendapat penghargaan sebagai 'Pahlawan Devisa'!
Turun di bandara hal biasa kembali berlangsung, pungli makin merajalela. Dengan alasan saya tidak bawa uang cash pungli bisa diatasi. Sekarang aku tinggal mengurus teman yang sakit. Saya masukan dia ke PJTKI- Tempat mereka mengirim yang sakit. "Terima kasih," katanya lantas petugas membawa wanita itu.
Lagi, lagi dan lagi. Mataku beredar, banyak TKI lain yang menjalankan tugas tak lagi mulus. Kisah-kisah dari mereka yang terjebak di tempat penampungan membuatku terenyuh. Aku tidak mungkin menolong semuanya. Jumlahnya ratusan, tapi setidaknya aku harus menolong satu dari sekian banyak yang harus ditolong.
Saya datangi seorang perempuan yang sedang menangis. Waktu didekati, dia bercerita sambil menangis tersedu-sedu. Dia bekerja di Arab hanya dua bulan. Disiksa majikannya sampai pingsan di kamar mandi karena disemprot baygon. Saya tanya, "Kenapa sampai begitu?" Dia menjawab tidak bisa menggunakan elektronik. Aku tak dapat berkata-kata.
"Saya sungguh tak tahu lagi. Dengan pembagian uang 100 SR cukup apa? Utang ke sponsor yang janji tiga bulan pun gaji dipotong karena dipecat. Bagaimana mengembalikan uang tersebut? Belum lagi untuk keluarga, belum ongkos pulang. Saya tak tahu harus berbuat apalagi..."
Tubuhnya gemetaran sementara air matanya deras membasahi pipi. Aku menggenggam tangannya erat, dia menatapku, air matanya berlinang. "Saya janji akan membayar ongkos pulang. Kalau begitu mari kita pulang bersama ya? Soal oleh-oleh nanti kita bagi dua." Setelah mengatakan itu barulah dia tenang.
.
.
.
7 Desember 2000, Bandung
Jam tiga malam akhirnya aku baru sampai ke rumah. Setelah perjalanan panjang menggunakan mobil perusahaan bersama wanita tadi yang kutemui aku kembali menginjakkan kaki di rumah. Tubuh kami berpeluh, pakaian kami sudah kusam, perjalanan terlalu panjang.
"MAMA!"
Aziza, Rina dan Ahmad berlarian, dari surat sebelumnya aku mengatakan akan kembali dan mereka kini memelukku sangat erat. Mataku berair dan aku balas mendekap dan mencium kepala mereka satu persatu. "Mama kembali."
Bapak pun ada di sana juga suamiku. Aku salim dan akhirnya kami masuk, Bapak memberikan kode siapa wanita di sampingku. Aku pun menceritakan tentang kisahnya dan perjalanan pulang dari Arab. Mendengar ceritaku, wajah Bapak memerah mengepalkan tangan kuat. "Sungguh orang-orang biadab!" geramnya mengutuk pelaku tersebut.
"Tapi kau baik-baik saja kan?"
Adzam tersenyum hangat, aku menggenggam tangannya balik. Anak-anak berkumpul dan akhirnya aku kembali ke tempat ini. Rumah. Di mana anak-anakku berada dan aku berjanji tidak akan pergi lagi, aku akan menjadi ibu mereka seutuhnya.
.
.
.
8 Desember, Bandung
"Kau yakin ingin pulang sekarang?"
Wanita itu terkekeh kecil, "Aku sudah banyak merepotkan. Aku harus segera kembali." Pagi-pagi sekali jam 6 dia pamit, aku sudah membagi oleh-oleh kurma untuknya dibawa ke kampung halaman. "Aku berterima kasih sekali, kau orang baik."
"Alhamdulillah." Syukurlah, aku memang tak dapat membantu banyak tapi aku dapat membantunya. Dan in adalah hal yang kuimpikan dari dulu-- mengingatkan pada almarhumah ibu yang selalu membantu yang kesulitan.
"Dan aku pun kapok ke Saudi. Aku tak akan kembali."
Aku melambaikan tangan, dia menjinjing barang bawaan kembali ke kampung. Aku bersandar pada pintu, sekarang semua perjalananku Mengais Rizki di Tanah Suci sudah berakhir. Akan tetapi di luar sana masih banyak yang terpaksa untuk menjadi TKI dan menanggung semua risiko di negeri lain.
Kekerasan pada TKI sangat mengerikan. Sampai saat ini penyiksaan hukuman pancung terus berlangsung, tak ada jaminan keselamatan untuk 'Pejuang Devisa'. Kekayaan negara yang melimpah tak bisa menyejahterakan rakyatnya.
Hal ini terjadi karena rakyat dianggap sebagai komoditas. Ini semua adalah konsekuensi diterpakannya sistem kapitalis, liberalis, dan sekularisme yang gagal melindung dan menyejahterakan rakyatnya!
Bersambung....
29 Mei 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top