2. Ibu Jatuh Sakit
"Karena aku ingin membantu banyak orang, seperti ibuku."
-Lilis
____________________
10 Januari 1975, Bandung
Suara tawa anak-anak berhamburan, kini waktu istirahat sekolah. Aku fokus mencatat materi di papan tulis. "Lis!" Aku tersentak, satu tepukan di pundak mengagetkanku, aku terkekeh lantas tersenyum. "Astagfirullah.... Kau mengagetkanku saja."
"Ya, maaf. Kau sih sibuk belajar terus. Rangking satu memang beda ya." Aku menggeleng tersipu, hari ini pelajaran cukup mudah, tinggal melengkapi catatan saja. Mita-- sahabatku itu nyengir, meletakkan dagunya di atas bangku tepat di atas catatanku-menghalangiku menulis. Aku menaikkan sebelah alis, tertawa menggelengkan kepala.
"Kita masih di sekolah menengah pertama, tak perlu lah kau rajin-rajin sekali. Ayolah, kita jajan ya?" bujuknya, rambut kunciran ekor kuda dengan seragam putih-biru melekat di tubuhnya. Mita mengajakku keluar kelas, aku melirik catatan yang kini diambil Mita. "Ayolah!"
Aku menghela napas, sedikit lagi catatannya selesai, tapi aku tidak bisa menolak permintaannya. Aku menutup mata kemudian mengangguk. "Tapi, aku sudah bawa bekal sendiri, aku hanya akan menemanimu, okey?" Mita melompat kegirangan, mengangguk cepat, dia menarik tanganku menuju warung.
Kami berjalan menuju warung yang terbuat dari bambu, ada kursi-kursi panjang di sisi warung untuk duduk, beberapa murid sudah memenuhi antrean. Tepat di depan lapang di luar gerbang warung berada, terdapat gorengan, combro, bahkan kue dengan taburan kelapa. Tumpukan daun pisang yang sudah dipotong kotak-kotak tertumpuk untuk bungkusan makanan. "Hey! Yang di sana! Antre dulu kau!" seru Ceu Iroh galak.
Beberapa murid laki-laki itu mengangguk, mengedipkan mata jahil menyerobot antrean, membuat Ceu Iroh makin melotot. Aku ikut mengantre mendampingi Mita, berdesak-desakan. Mita mengeluarkan 50 rupiah dari kantong, mengambil dua gorengan, dengan cekatan Ceu Iroh membungkusnya memakai daun pisang. "Hatur nuhun, geulis. Kemari kau bocah bandel, bayar dulu pisang goreng yang kau ambil!"
Mita terkikik, aku menyiku lengannya, itu tidak baik. Kami duduk bersama di atas kursi panjang, di kotak bekal ibu sudah menyiapkan singkong goreng, aku memakannya menawari Mita yang mengambilnya. Lapangan luas dengan bendera merah putih berkibar, aku mengunyah singkong goreng bersama Mita.
"Ah, catatannya. Sepertinya yang piket sudah menghapus papan tulis," keluhku murung, Mita mengerutkan alis kemudian memutar bola mata. "Ayolah, kau ini pintar Lis. Tidak mencatat pun kau sudah paham dengan materinya." Aku menggeleng, tapi jika lupa setidaknya aku bisa melihat catatan. Mita mendesah mendengar penuturanku, sudah jelas apa yang dia pikirkan.
"Biasanya Rio sudah mencatat materi, nanti kupinjamkan bagaimana?" Aku tersenyum lebar, mengangguk cepat, kembali memakan makananku. Rio adalah salah satu siswa yang rajin, itu pasti mudah. "Terima kasih, Mita." Mita tersenyum tipis dengan bibir tertutup. "Tak masalah."
Mita menatap anak laki-laki yang bermain bola di lapangan, masih sibuk makan. Kemudian dia melirik ke arah bahu, menyentuh rambutnya. "Aku penasaran, kau belajar keras sekali setiap harinya. Memangnya kau mau jadi apa sih? Kita masih 14 tahun loh," tanya Mita. Aku memiringkan kepala, mengayunkan kaki berpikir. "Aku ingin jadi perawat!"
"Kenapa?"
"Karena aku ingin membantu banyak orang, seperti ibuku."
Mita menunduk menatap tanah, kali ini dia tersenyum, tapi aku tidak melihat kesenangan di sana. "Kau pasti bahagia sekali ya? Kau sudah punya cita-cita. Aku sendiri bahkan tidak tahu ingin jadi apa, aku hanya mengikuti arus, tidak tahu bagaimana ke depannya." Mita menepuk tangannya yang terdapat butiran gorengan. Menyembunyikan tangan di saku. Aku ingin meraih tangan Mita, tapi gadis itu mengelak. "Yuk, kita kembali ke kelas."
Aku tahu Mita merasa tidak nyaman, tapi aku tidak mengerti. Mita memutar tubuh menatapku lagi, mata kami bertemu cukup lama. "Kau pintar, baik, dan bahagia. Hidupmu sempurna sekali ya, Lis?" Aku berdiri, meraih tangannya. "Hey, kenapa?" Satu tangan Mita mengusap hidungnya, berbalik lantas menutup wajah.
"Tak, tak apa. Ayo kembali." Mita kembali berjalan meninggalkanku, tubuhku membeku. Apakah aku berbuat salah? Mita kenapa? Aku menatap tanah, merapikan kotak bekal segera menyusul langkah Mita. Aku tidak mengerti, tapi aku bisa mendengar suaranya bergetar tatkala melangkah pergi.
Apakah hidup Mita sulit? Itukah kenapa Mita iri? Mita memang tak pernah membawa bekal atau menceritakan keluarganya, prestasinya tidak cukup baik. Sepertinya memiliki masa-masa sulit, aku ingin membantunya. Ketika kami kembali sampai di kelas, aku duduk di bangku tepat di samping Mita. Aku memeluknya, tak bicara banyak. Awalnya dia terkejut, tapi akhirnya Mita memelukku balik, dia menangis. Aku tidak tahu apa yang terjadi, kuharap ini membantu Mita.
.
.
.
Aku berjalan kaki menuju rumah, jarak sekolah dan rumah tidak cukup jauh. Langkahku berat, pikiranku memikirkan banyak hal, terlebih tentang kondisi Mita. Mita mengatakan bahwa ayah dan ibunya sering bertengkar, tadi pagi ayahnya memukul ibu Mita. Itulah yang membuatnya sedih, aku menggigit bibirku, apa yang bisa kulakukan untuk membantu Mita?
Jika saja ada yang bisa kubantu, setidaknya aku ingin membuatnya tidak sedih lagi. Mita benar, hidupku selama ini hampir sempurna, walau tidak boleh bermain, aku senang bisa makan enak, memiliki keluarga harmonis, dan bisa hidup nyaman. Aku tidak mengerti sama sekali atau bahkan dapat membayangkan berada di posisi Mita.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Aku memasuki rumah, rumah setengah bata kata Bapak. Karena rumah ini bawahnya terbuat dari bata, sedang atasnya terbuat dari bambu, rumah panggung. Adik-adikku sibuk mengerjakan PR, Ibu pasti menyuruh mereka mengerjakannya setelah sampai di rumah, tapi aku tidak melihat ibu sama sekali semenjak masuk rumah. "Ibu mana?"
Rita merenggangkan tubuhnya, tengkurap mengerjakan PR malas-malasan. "Di kamar, tidur sepertinya." Aku terkekeh, walau cuek Rita tetap perhatian pada sekitarnya. "Semangat," ucapku menyemangati. "Lebih baik Teteh yang mengerjakan." Rita mendelik, samar-samar semburat merah menghias pipinya.
Aku terkekeh lembut kemudian memasuki kamar ibu, beliau tidak tidur, menatapku yang memasuki kamar. "Kemari, Lis. Ada apa, hm?" Aku menghampiri ibu, salim dan memeluk tubuhnya. Ibu mengecup kepalaku yang masih berbalut kerudung. "Kenapa?" tanya Ibu lagi halus. Suaranya amatlah lembut dan perhatian.
"Tak apa." Aku tersenyum, mendengar kisah Mita membuatku bersyukur mendapatkan semua ini. Aku mengangkat kepala, wajah ibu pucat. "Eh, Ibu sakit?" Ibu terbatuk, satu dua kali. Ibu menggeleng menutup mulutnya mulai terduduk. "Lemas saja, tak kenapa-kenapa."
Aku masih menatap Ibu, tidak berpaling. Sedangkan Ibu setia mengelus kepalaku, aku memeluknya erat. "Lilis berharap semua ini akan berlangsung selamanya. Kita semua bahagia seperti ini." Akhirnya ibu mengerti, beliau menangkupkan wajahku, mengecup dahiku. Samar garis halus menghias wajah anggun.
"Ibu juga berharap begitu, uhuk, uhuk!" Ibu mengelus dadanya, aku bangkit mulai panik. Ibu melambaikan tangan. "Hus, ibu tidak apa. Jangan risau." Aku memelintir bibir-- tidak yakin, masih berdiri hingga yang terjadi selanjutnya ibu berkeringat dingin, wajahnya kian pucat. Pada akhirnya tubuh ibu ambruk, tidak sadarkan diri.
Bersambung....
11 Mei 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top