19. Majikan baru
"Kau Muslimah, kau bukan pembantu ataupun pelayan kami. Tapi, kau adalah ukhti (saudari perempuan) kami. Karena itu jangan takut ataupun risau."
-Majikan laki-laki
____________________________
21 Januari 1998, Arab Saudi
Didampingi dua orang wanita, kami melangkah menuju maktab, tak dapat kuhiraukan kekaguman akan setiap sudut ruangan. Aroma kertas dan buku menyambut, lemari-lemari besar berjejer berisikan kitab-kitab, di ruangan yang besar terdapat meja panjang dengan beberapa kursi.
Dua wanita yang menemaniku duduk di samping pria tua yang tengah memegang beberapa dokumen, aku menatapnya lebih lekat. Seorang pria tua terlihat sangat berwibawa dengan senyum lembut, janggut panjang yang hampir memutih terduduk di kursi utama, balas menatapku sopan.
"Silakan, duduk."
Aku menunduk segera mengambil satu kursi agak jauh, jika ditilik lebih dekat dia menggenggam pasporku, pria itu tampaknya majikan pria-- majikan baruku. Di titik ini aku sudah menyiapkan beberapa jawaban dan semuanya perihal tentang warga negara atau hal yang dibutuhkan.
"Apakah kau muslim?"
Apa? Entah ke sekian kalinya aku kehilangan kesigapan. Bukan bertanya nama atau tempat asalku beliau bertanya apakah aku muslim atau tidak? Tentu saja! Aku mengangguk mantap, berusaha sopan masih tertunduk. "Benar, saya muslim." Senyuman beliau menyebar mendengarnya, desahan lega pun terdengar dari dua wanita di sampingnya.
"Apakah kau memiliki anak?"
"Ya, benar."
"Kau memiliki suami?"
"Betul sekali, Tuan."
Aku mulai gugup dengan pertanyaan yang akan kudapatkan, beliau meletakkan paspor-ku di meja kemudian menatapku lekat-lekat. "Apakah suamimu mengijinkanmu pergi ke Arab Saudi?" Aku mengangguk, benar, Adzam mengijinkanku untuk mengais rizki ke tanah suci. "Suami saya mengijinkan." Di tengah kebingungan aku berpikir, apakah beliau benar-benar tidak peduli dengan namaku? Asalku?
"Saya imam di sini," ungkap beliau, aku sudah menebaknya jadi hanya mengangguk sebagai jawaban. "Dan mereka adalah istri-istri saya." Akhirnya aku mengangkat kepala, menatap majikan pria yang melirik dua wanita tadi. Ah, aku paham sekarang.
"Saya memiliki 24 anak dari 2 istri saya. 8 orang sudah menikah, karena itu 16 orang lagi anak-anak saya yang tinggal di mari; 8 anak laki-laki dan 8 anak perempuan. Saya juga memiliki 2 orang cucu yang sudah yatim. 1 sopir dan 2 pekerja untuk semua anggota keluarga yang tinggal di rumah ini."
Selain tercengang dengan apa yang baru saja kudengar, bulu kudukku berdiri, merinding. Berapa banyak aku harus memasak dalam sehari? Jika ditotal semuanya 16 (anak-anak) + 3 (majikan) + 2 (cucu) + 4 (pekerja termasuk aku) = 25 orang perhari x 3, bisa disimpulkan aku harus menyediakan 75 porsi makan dalam sehari!
Masih cukup tercengang dengan semua pikiranku, majikan laki-laki kembali bicara. "Kau Muslimah, kau bukan pembantu ataupun pelayan kami. Tapi, kau adalah ukhti (saudari perempuan) kami. Karena itu jangan takut ataupun risau."
Kata-kata beliau mengalir, pembawaannya yang tenang membuatku lega. Akan tetapi aku tersenyum menjawab perkataan beliau, aku tak takut pada siapa pun, bahkan di tengah perang sekalipun, sebagai seorang ibu dan muslimah hal yang kutakuti hanya satu. "Saya tak takut, Tuan. Yang saya takuti hanya Allah."
Aku bisa mendengar tawa lembut beliau sebagai balasan. Beliau tampaknya menyukai jawabanku.
.
.
.
19 Februari 2000, Arab Saudi
Aku bisa merasakan waktu berjalan layaknya angin yang mengikis gurun-gurun pasir, di tengah semua amanah yang kumiliki, lingkungan kerja ini dapat kukatakan lebih baik dari sebelumnya. Di antara bangunan-bangunan besar dengan puluhan kamar, rumah ini memiliki perpustakaan, majelis pribadi, musala, dan tempat lainnya. "Lilis, Tuan sudah kembali. Ayo, bergegas."
Aku buru-buru mengikuti langkah Adya-- melewati lorong untuk memasuki majelis. Hari ini adalah hari Jumat dan setiap kembali dari salat Jumat majikan laki-laki; sebagai kepala rumah tangga mengumpulkan seluruh anggota keluarga dan pekerja di majelis. Tepat sekali sebelum makan siang pada hari itu-- beliau akan menyampaikan nasehat juga ceramah.
Aku duduk di tempat paling belakang, seluruh penghuni rumah sudah berkumpul, bersiap mendengarkan ceramah beliau. Ada banyak sekali yang beliau sampaikan, tapi bagiku yang merupakan warga negara asing kata-kata beliau cukup sulit dipahami, pun mungkin terlalu cepat. Pembawaannya masih tenang, akan tetapi setiap kata menyiratkan ketegasan.
Mungkin yang kupahami adalah inti dari apa yang beliau sampaikan. Istiqamah menjalankan Islam seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW, berjuang tuk selalu membelanya. Musuh-musuh Islam terus menanamkan ideologinya ke seluruh berak negeri-negeri Islam dan Arab Saudi pun tak luput dari incarannya.
Aku tak begitu paham, akan tetapi aku bisa sedikit mengetahui apa yang harus kulakukan sebagai orang muslim.
.
.
.
15 Mei 2000, Arab Saudi
4 bulan berlalu dan kini waktu liburan musim panas telah tiba-- majikan mengajak seluruh anggota keluarga untuk umrah dan menghabiskan 3 bulan waktu liburan. Pertama kali tempat yang kusinggahi adalah Masjid Nabawi Al Munawwarah. Kubah warna hijau mencolok perhatian, payung-payung besar putih yang mengembang mengitari masjid, mungkin jumlahnya hampir ratusan.
Ukiran-ukiran yang mengitari langit-langit, terdapat makam nabi yang kami ziarahi dan aku tak dapat terpukau dengan minaret (menara masjid) yang menjulang tinggi. Di tengah liburan yang menyenangkan ini majikan wanita memperkenalkanku pada mahasiswi Indonesia yang mendapat beasiswa kuliah di Madinah-- namanya Fatimah Solihat dari Samarinda. Majikan wanita-- istri pertama dari majikan laki-laki beliau adalah dosen di mana Fatimah belajar.
"Kau Lilis?"
"Benar, salam kenal Fatimah."
Gadis itu tersenyum manis sekali. Dia lantas membuka tas dan memberikanku lima buku berbahasa Indonesia. "Eh?" Aku kebingungan melirik majikan wanita dan Fatimah bergantian. Menepuk bahuku majikan wanita berkata, "Saya minta Fatimah untuk mencarikan buku bahasa Indonesia untukmu." Aku sangat terharu, mengangguk mendekap buku yang beliau beri erat-erat.
"Terima kasih, Nyonya."
Fatimah memelukku dan menjabat tanganku sekali lagi, bertemu teman dari negeri yang sama membuat rasa rindu pada tanah air bangkit. Ikatan nasionalisme begitu terasa kuat. "Saya harap kuliah Anda lancar Fatimah." Gadis itu terkekeh mengangguk. "Insyaallah, terima kasih doanya."
.
.
.
17 Mei 2000, Arab Saudi
Dua hari berlalu di Madinah, mengepak barang kami segera meluncur melakukan perjalanan ke Kota Mekkah. Masyaallah. Sepanjang perjalanan majikan terus menceritakan Sejarah Islam dan penyebarannya oleh Rasulullah SAW.
Seperti saat ini kami melewati Gunung Uhud. Beliau dengan semangat menunjuk atas bukit dan bercerita, "Saat itu kaum muslim tengah menjalani Perang Uhud, tepat di atas gunung itu, kelompok pemanah Rasullah tempatkan. Rasulullah berkata, "Apa pun yang terjadi tetaplah di sini dan jangan berpaling atau pergi dari tempat ini." Sayang sekali, ketika kaum kafir mundur membawa barisannya, kelompok pemanah tergiur dengan harta rampasan perang mengidahkan perintah. Akibat keteledoran itu, kaum kafir yang dipimpin Khalid Bin Walid bergerak memutari gunung, tak dapat serangan dari pemanah dan mendesak kaum muslimin hingga akhirnya kaum muslim mencapai kekalahan."
Mata majikan bersinar-sinar, di tempat-tempat selanjutnya pun tanpa sungkan beliau menceritakan sejarah-sejarah yang ada. Aku terdiam khusyuk, seperti anak kecil yang polos mendengarkan.
Bersambung....
28 Mei 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top