17. Ini Mamamu, Nak
"Benar, mau bagaimanapun aku ibu dari anak-anak. Tak akan ada yang dapat mengubah fakta itu."
-Lilis
___________________________
20 Januari 1992, Bandung
"Mau Mama suapi?" tanyaku lembut pada Rina-- putri keduaku. Masih mendekap ayahnya kuat Rina menggeleng kuat. "Tak mau! Mau sama Papa saja!" Adzam mengambil piring dari tanganku tersenyum kecil, aku tak mengerti apa itu rasa kasihan atau rasa bersalah ketika dia mengalihkan pandangan tak mau menatapku, menyuapi Rina.
Ini akan menjadi jalan yang lebih sulit, hatiku nyeri serasa diremukkan dan tak berbentuk lagi. Setiap penolakan layaknya hantaman petir yang menyambar, menghancurkan tiap-tiap dataran yang dilewati. Tiga tahun waktu yang cukup panjang, cukup untuk melupakan ibu yang buruk sepertiku. Tanganku merosot menggigit bibir bawah kuat-kuat, aku berusaha tersenyum dan mengangguk.
"Kalau Rina butuh apa-apa, boleh minta tolong ke Mama ya? Mama di sini, buat kamu, buat kalian semua."
Pipi mengembung, bibir mencebik dengan bola mata berputar terlihat di wajah Rina, lagi-lagi aku menghela napas. "Teteh!" Tubuhku tersentak, suara keras di depan pintu mengagetkanku, derap kaki terdengar keras sebelum pelukan erat kudapat. "Sinta rindu sekali pada Teteh."
Hatiku menghangat, segera aku balas memeluknya erat. Sinta-- adikku yang sudah lama tak kutemui sekaligus yang mengurus Ahmad putra bungsuku. "Teteh juga merindukanmu," jawabku. Mencium pipinya, menggenggam tangannya erat-erat. "Mana Ahmad? Teteh tak sabar bertemu dengannya!" Sinta melirik ke belakang, adikku yang lain menggendong Ahmad.
Ah... putra kecilku sudah besar. Aku membentangkan tangan, "Ini Mamamu, Nak." Bocah berusia 3 tahun lebih menatap sekilas, senyuman lebar tak lepas dari wajahku, berharap agar Ahmad dapat kudekap untuk mengisi ruang kosong akan rindu yang tak pernah bisa sembuh dibalut apa pun.
"Kemarilah," pintaku.
"Hiks! Huhuhu!"
Aku terpaku di tempat, bukan sambutan pelukan yang kudapat teriakan nyaring yang membuatku terhenyak, Ahmad menangis keras. Jika Rina saja tak mengenaliku maka wajar jika putra bungsuku tak tahu siapa dan tak mau sedikit pun mendekat. Kepalaku tertunduk, meremas tanganku erat sementara Sinta memelukku dari samping. "Teh, tak apa. Ini hanya karena sudah lama tak bertemu, nanti pun akan kenal Teteh lagi."
Aku mengangkat kepalaku, melirik Sinta dan Ahmad bergantian. Akhirnya pada titik ini aku menyadari semua ini terjadi karena kesalahanku, aku meyakinkan diri, walau begitu tetap saja aku ibu mereka. Aku hidup untuk mereka. Menjadikan mereka cahayaku bertahan di tengah pedihnya kehidupan. "Benar, mau bagaimanapun aku ibu dari anak-anak. Tak akan ada yang dapat mengubah fakta itu."
Aku meyakinkan diri, ada banyak yang harus kulakukan dan menjadi ibu yang baik adalah salah satunya. Aku bangkit tersenyum pada anak-anakku. "Mama akan berusaha..." ujarku. Aku mendekati Rina dan mengusap kepalanya walau dia mengelak." berusaha diakui sebagai Mama kalian lagi," simpulku pada akhirnya.
Mata anak kecil itu menatap polos dan tak senang, akan tapi ketulusan ini dapat melelehkan es beku bertahun-tahun. Terlebih cinta seorang ibu yang rela melakukan apa pun, bahkan dapat mengorbankan diri di tengah medan perang sekalipun.
.
.
.
18 Mei 1992, Bandung
Aku melihat-lihat semua pakaian di lemari, kain-kain usang bahkan sudah pudar warnanya terpajang. Tak ada pakaian baru atau mewah, bahkan jikalau aku dapat membelinya. Semua uang yang kumiliki aku investasikan untuk membuat rumah. Benar, rumah tempat kami tinggal dan melindungi diri menjadi tempat pulang.
Sebelumnya Bapak memberikan tanah, walau pembangunan tak sampai selesai, aku bersyukur ada tempat berteduh juga bagaimana aku bisa berkumpul dengan anggota keluarga lengkap. Waktu berlalu dan usahaku mendekati anak-anak mencapai titik terang, setidaknya putri kedua ingin kupeluk dan secara tidak langsung menganggapku ibunya.
Dalam tiga bulan waktu terus berjalan hingga mencapai titik di mana kebimbangan hadir, di mana cutiku sudah hampir menginjak akhir. Pikiranku teringat perihal janji pada majikan untuk kembali melayani beliau, akan tetapi tampaknya aku tak dapat memenuhi janji itu, aku jelas harus memilih. Mengais rizki atau anak-anak yang kucintai?
"Mama."
Aku kembali tersadar, menutup lemari lantas tersenyum. Mengelus kepala Aziza yang memelukku dari belakang. Gadis 10 tahun manis yakni sulungku yang cantik. Aku meremas tangannya lembut. "Ada apa Aziza?" tanyaku. Aziza tersenyum hingga giginya berderet rapi terlihat.
"Mama mau pergi lagi ke Saudi?"
Senyumku luntur mendengar itu, terenyuh aku kembali melayangkan pertanyaan. "Kenapa Aziza berpikir begitu?" Aziza hanya tertunduk, menarik senyum kemudian menggeleng. "Hanya... jika Mama pergi, Mama pulangnya akan lama sekali."
Ya Allah....
Seolah ditampar kenyataan, aku menggeleng, hidungku tersendat dan napasku memanas. "Tidak sayang, tidak. Mama pasti akan selalu pulang, kau tahu itu," jelasku. Ini adalah pilihan benar, anak-anakku yang terpenting pun kebahagiaan mereka. Alangkah ruginya apabila seorang Ibu melalaikan tugas tuk mendidik dan mengasuh anak-anaknya.
"Jadi Mama akan pergi lagi?"
"Tidak. Untuk sekarang Mama akan di sini menemani kalian."
"Sungguh?!"
"Benar sekali," putusanku jelas. Aziza berjingkrak-jingkrak memelukku erat. Aku membalas pelukannya tersenyum manis. Selain menjalankan peran seorang ibu, aku masih memiliki waktu juga kesabaran yang panjang untuk mendekati 2 anak yang lain agar mereka mengakuku sebagai ibu mereka.
"Mama akan bersama kalian. Bagi Mama kalian adalah hal terpenting."
Setelah keputusan itu dengan berat hati aku mengirimkan surat permohonan maaf pada majikan, membatalkan perjanjian dan mengembalikan tiket pesawat untuk pergi ke Arab Saudi.
.
.
.
27 November 1992, Bandung
Tak terasa 6 bulan kembali berlalu, tak ada lelahnya aku mengaduh pada Allah dan mendekati anak-anakku dengan sabar. Seperti hari-hari biasa aku menyiapkan makanan, mendengarkan kisah juga membantu mereka belajar hal-hal kecil. Ketika sarapan pagi ini, aku memasakkan telur ceplok dan kecap favorit Ahmad.
Dia melahap makanannya dengan nikmat, yang membuatku terkejut ketika dia meloncat dari kursi makan dan berseru. "Terima kasih, Mama! Makanannya enak!" Berbarengan itu dia lantas pergi menyapa teman-temannya yang sudah mengajaknya bermain. Tubuhku membeku di tempat, ekspresiku cerah terpasang.
"Adzam memanggilku Mama!" Adzam tersenyum lembut, mengangguk, menggenggam tanganku erat. "Kau Mama mereka, mereka harus tahu itu." Betapa bahagianya aku diakui sebagai ibu mereka. Aku bahkan untuk ke sekian kalinya menangis ketika Rina memelukku dan pergi sekolah.
"Mereka memanggilku, Mama..."
Jika ada kebahagiaan yang lebih dari ini maka aku akan menantang kalian untuk memperlihatkannya.
Setelah beberapa tahun berhenti jadi TKW, aku tetap menafkahi anak-anakku bekerja kembali menjadi juru masak. Kini anak pertama sudah lulus dari SMP dan memilih melanjutkan pendidikan di bangku SMK. Anak kedua masuk SMP sedangkan anak ketiga berada di SD.
Aku tak dapat menipu diriku sendiri bahwa semakin besar anak, kebutuhan semakin besar pula. Dengan tiga anak sekolah semua, gajiku sebagai juru masak tak lagi mencukupi kehidupan kami. Rasanya untuk memenuhi ekonomi terasa sulit sekali.
Sekali lagi, aku harus membuat keputusan sulit.
Bersambung....
27 Mei 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top