15. Menjadi Imigran

"Tak apa Lilis... tak apa... anggap aku sebagai saudarimu. Kau bukan orang asing lagi, kau saudariku... kau bisa bercerita apa pun."

-Majikan wanita

________________

26 November 1990, Amerika Serikat

Angin menyapu, melambai-lambai berembus kencang, butiran salju turun menutupi jalanan Kota New York. Pakaian tebal hampir membungkus setiap orang yang berlalu lalang, udara dari musim dingin sungguh menyengat membekukan kulit, tubuhku menggigil berjalan membawa kantung coklat berisikan bahan makanan.

Buku-buku tangan sudah memutih sedangkan jari-jari memerah masih mengeratkan genggaman, bibirku gemetaran menahan cuaca dingin yang menerpa. Bahkan gamis lima lapis tak dapat menghalau dari ganasnya musim salju. Langkahku cepat, hampir tergelincir di jalanan es hingga anak kecil berambut pirang mengenakan syal panjang membantuku, aku tersenyum kembali melangkah cepat, ingin segera kembali.

Sudah hampir menginjak tiga bulan kami tinggal di Amerika. Menyewa tempat tinggal rumah dua lantai di jalanan kota sungguh memakan biaya, tapi walau begitu tak pernah kudengar majikan kekurangan uang. Sampai di tempat tinggal majikan, aku menghembuskan napas, pundakku turun perlahan sementara mataku terpejam. Penghangat yang dipasang membuat dingin berangsur reda.

"Lilis! Pesananku sudah ada?" Aku terlonjak kaget, lantas tersenyum melihat putri datang, gadis itu dengan ceria ikut membawa kantong-kantong belanja. Dia memesan dibelikan jajanan Amerika katanya. "Iya, Putri. Untuk pesanannya sudah ada." Putri meloncat-loncat gembira, manis sekali.

"Terima kasih!"

Aku tersenyum mengangguk, mengeluarkan bahan-bahan lainnya untuk makan malam. Salah satu wanita yang menjadi pelayan menemaniku memasak, menyalakan kompor, menyiapkan peralatan suara alat masak terdengar dari dapur. Aroma menyengat tercium membuat rasa lapar bangkit, sup bergolak dengan ayam potong akan meredakan dingin dari pengaruh musim.

Sembari menunggu ayam matang dalam panci, aku menatap salju yang terus turun dari jendela. Untuk saat-saat seperti ini aku bersyukur berasal dari negara Indonesia yang beriklim tropis, karena negeriku tak mengenal musim dingin atau panas seperti di Arab Saudi ataupun Amerika Serikat. Tapi ketika mengenang negeri sendiri hanya senyum miris yang terpatri, memikirkan itu rasanya semakin sedih.

Di mana negeri yang subur karena sumber daya dan ramah alamnya, kenapa rakyatnya begitu menderita dan miskin? Jika dibandingkan dengan Arab Saudi negara kita tak ayal dapat disebut surga dunia kata majikan pria. Majikan pria yang bahkan pernah ke puncak gurun pasir yang tandus, gunung batu terjal, panas yang menyengat  di musim panas dan musim dingin yang membekukan di negaranya sendiri, Arab Saudi. 

Aku menggelengkan kepala keras, aku harus fokus, memantau piring-piring yang sudah disiapkan lantas menyuguhkan makan malam untuk majikan. Enam orang pangeran dan putri datang memenuhi meja, majikan wanita berbincang santai dengan anak-anaknya, sedang majikan pria baru kembali dari luar muncul di pintu rumah.

"Mari makan semuanya, sebelumnya mari kita berdoa terlebih dahulu."

"Baik, Ayah."

Aku berdiri di dekat tembok, menatap keluarga yang kulayani, keluarga religius yang taat agama. Terkadang ada sekelabat rasa iri juga rindu hadir, andai aku bisa berkumpul seperti itu bersama keluargaku. 

Mereka membentangkan tangan mulai melantunkan doa, suara dentingan sendok terdengar ketika mereka menyantap makanan. Majikan wanita tersenyum memujiku, begitu pula salah satu pangeran. Aku kembali menunduk, setidaknya aku bisa memberikan mereka kenyamanan.

"Ada yang ingin Ayah sampaikan pada kalian."

Aku melirik pada majikan pria, semua perhatian terarah pada pemimpin keluarga ini, beliau mengusap wajah kasar lantas menyodorkan dokumen pada sang istri. Majikan wanita terdiam, kemudian menatap balik. "Ijin tinggal kita sudah habis?" Aku terhenyak dari samping, pangeran dan putri salin lirik penasaran.

"Benar, ijin tinggal kita di Amerika sudah habis."

"Lalu kita akan pergi ke mana selanjutnya, Ayah?" tanya putra sulung cemas. Majikan pria lagi-lagi mengembuskan napas panjang memijat pangkal hidung. "Ayah sedang mencari negara yang akan menampung kita, perang belum selesai jadi kondisi belum kondusif untuk kembali. Kemungkinan besar kita akan pergi ke Swedia. Karena itu kita harus segera berkemas."

.

.

.

13 Februari 1991, Swedia

Udara masih dingin menari-nari bahkan hingga penghujung negeri bagian Eropa utara, Swedia. Salju-salju masih tertimbun di jalan-jalan pun bukit yang berada di negara baru yang kujelajahi, berbeda dengan Amerika sebelumnya yang masih tergolong negeri liberal-- bebas. Swedia memiliki seperangkat aturan ketat-- tak seburuk di Arab Saudi.

Memilah sampah dalam enam jenis komponen, memakai kaos kaki di dalam ruangan juga budaya di mana setiap jum'at yang kutahu dari tetangga sebelah di mana waktu keluarga berkumpul meminum coklat panas. "Lilis, bagaimana keluargamu di Indonesia?" tanya majikan wanita terduduk di sampingku yang kini merajut syal untuk salah satu putri.

Untuk sesaat tubuhku tercekat, aku tertawa lembut menunduk terus melanjutkan rajutan yang berada di tangan. "Alhamdulillah, baik-baik saja..." jawabku sedang napasku memberat, seolah ada bendungan roboh setiap ada yang bertanya tentang keluarga. Aku menarik sudut bibir, berusaha tersenyum.

"Aku mengerti... kau pasti merindukan mereka," hiburnya, kata-kata beliau tulus. Semenjak perpindahan ke Swedia majikan wanita mulai memberikan perhatian lebih dari yang kubutuhkan. Sering mengajak bercakap-cakap, menanyakan pribadiku, anak-anak termasuk suami.

Bertepatan pula dengan pertanyaan lainnya seputar keluarga, bening-bening membasahi sudut mata membuatku tahu bahwa hingga 1 tahun lebih berlalu... hatiku tak terasa di tempat yang sama, masih tetap nan lekat tertinggal bersama anak-anak. Beliau cukup terkejut karena untuk sekian kalinya aku menangis dengan pertanyaan yang sama.

Beliau mendekapku kuat, mengusap punggungku, aku makin terisak dibuatnya. "Tak apa Lilis... tak apa... anggap aku sebagai saudarimu. Kau bukan orang asing lagi, kau saudariku... kau bisa bercerita apa pun." Hatiku menghangat mendengarnya, membuatku tahu bawa aku tak lagi sendiri di tempat asing.

Perlahan hatiku melunak, hangatnya pelukan beliau lebih menghangatkan dibandingkan pengatur suhu ruangan. Musim dingin seolah tak berlaku pada waktu ini, aku membalas pelukan beliau, bening-bening luruh hingga membasahi pakaian. Tak protes atau mengelak beliau malah mendekapku semakin erat.

"Jika kau rindu anak-anakmu... anggap saja putra-putriku sebagai anakmu."

Aku semakin menangis, rasanya kini aku bukan pembantu tapi benar-benar dianggap keluarga. Beliau kembali bicara, "Kau sudah menjadi ibu kedua untuk mereka. Mereka akan menyayangimu, begitu juga kau menyayangi mereka." Aku kembali mengangguk, merasakan suara majikan ikut bergetar.

"Terima kasih sudah menemani kami hingga di titik ini Lilis, saudariku."

Aku bisa merasakan sedikit kebahagiaan yang menyeruak memenuhi setiap sudut hatiku, remang lembut membuatnya tak menggigil akan nyeri. Ada janji yang kuikrarkan, ada tekad yang menulang tinggi, aku akan melayani majikan baikku lebih baik lagi, aku akan berbakti lebih tulus lagi.

Bagai melodi yang mengalun, menyejukkan hati, aku lupa bahwa rajutanku belum selesai. Kata-kata manis juga penghiburan menyebar lembut membasuh hati. "Terima kasih sudah bertahan sejauh ini." 

Tangisku pecah lagi.

Bersambung....

26 Mei 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top