14. Perang Teluk

"Irak kini sedang melakukan invasi di Kuwait. Kami sedang meminimalisir korban yang ada, kami akan segera menyiapkan evakuasi."

-Komandan

____________________

2 Agustus 1990, Arab Saudi

Tahun berlalu hari pun silih berganti, musim panas beranjak dingin-panas-dingin lagi.  Sudah hampir menginjak setahun aku bekerja sebagai TKW di Arab Saudi, surat-surat memenuhi laci, ada beberapa foto cetak yang terselip di dalam amplop coklat-- surat, di masa ini aku masih bisa bertukar kabar menggunakan surat.

Ada beberapa surat yang dikirim Adzam-- aku terus mendesah lantas menyimpannya, di tumpukan surat paling bawah, tak berniat membukanya. Sudah cukup mendapat kabar soal anak-anak dari Bapak juga adik-adikku. Mataku menyebar ke seluruh ruangan, kamar yang nyaman-- bahkan lebih baik dibanding kamar di rumah, tapi semua sesak maupun rendah diri menyebar karena aku lebih ingin pulang.

Samar dari celah jendela sinar rembulan memasuki ruangan, masih menggenggam beberapa surat, tubuhku dibalut mukena putih, beralaskan sajadah. Di sepertiga malam di mana diriku bisa mendapatkan sedikit ketenangan,  membentangkan kedua belah tangan, bermesraan dengan pemilik semesta. Jauh di masa lalu aku tak memiliki waktu untuk bisa dekat pada Allah, mungkin ini salah satu hikmahnya di mana tanah suci berada, aku kembali mendamba suci juga ridho ilahi.

"Ya Allah..."

Untuk ke sekian kalinya aku menyerukan namamu, tak dapat dipungkiri gemuruh dada juga deras sungai yang beranak di pelupuk mata mengalir. Dulu aku pernah bertanya-tanya mengapa Ibu selalu sholat malam, setelahnya doa yang pertama dipanjatkan hanyalah soal putra-putri beliau. Kini di mana aku menjadi seorang ibu aku tahu apa alasannya.

"Selamatkanlah putra-putri hamba Ya Allah... Hamba mohon...." 

"Berikanlah mereka kehidupan yang baik... berada di jalanmu... menjadi anak yang saleh dan salehah."

Tak dapat kubendung seluruh permohonan yang kupanjatkan pada pemilik semesta. Seluruh harapan, cita-cita, bahkan hidupku sudah kuberikan penuh pada anak-anakku yang menjadi alasanku bertahan, cinta yang menyeruak memenuhi setiap jengkal bumi. Kasih ibu yang tak pernah putus dimakan kejamnya dunia, di mana permata-permata paling indah berada-- tak tergantikan dan tak akan pernah lenyap.

Panjang bait-bait doa yang kulafazkan, untuk seluruh keluarga yang kucintai, perlahan menginjak subuh aku segera beranjak salat dan bersiap, pagi ini aku memiliki shift awal-- memasak sarapan. Melepaskan mukena, merapikan juga membereskan semua barang yang berserak, kembali aku mengenakan pakaian kurung dan melangkahkan kaki menuju dapur utama.

"Lilis..." 

Aku menolehkan wajah mencari sumber suara, kepala dapur memanggilku untuk membagi tugas memasak, baru aku melangkah mendekati beliau suara dentuman keras samar terdengar. Tanah bergetar, aku mencengkeram salah satu tembok terdekat, suara jeritan-jeritan berhamburan. Alat-alat masak berjatuhan ke lantai, bahan-bahan masakan semuanya kacau berantakan.

Apa ini gempa?

Belum sempat berpikir pria bertubuh besar berlari  di depan pintu dapur berseru tergesa. "Keluar! Keluar! Semuanya mengumpul di tempat evakuasi! Cepat!" Para pekerja saling dorong berhamburan, kali ini suara dentuman kembali terdengar memekakkan telinga. Sesak, kakiku terinjak-injak di tengah kerumunan pekerja yang panik.

Udara menipis, teriakan pun suara untuk meminta berkumpul di ruang evakuasi menggema, tangisan, semua ketakutan terasa. Sebenarnya ada apa? Tubuhku gemetaran hingga para penjaga memastikan kami sampai di titik kumpul. Bau mesiu tercium menyengat, suara gemuruh bom lagi-lagi terdengar, refleks menutup telinga rapat-rapat. Suasana mencekam, setiap orang di lokasi memasang wajah tegang.

Aku bisa melihat majikan wanita, anggota keluarga lainnya berada bersama kami di titik kumpul. Samar terlepas dari huru-hara kekacauan yang terjadi, kapten dengan pakaian formal menghadap majikan laki-laki. "Irak kini sedang melakukan invasi di Kuwait. Kami sedang meminimalisir korban yang ada, kami akan segera menyiapkan evakuasi ."

Perang? Aku mendengarnya dengan seksama, beberapa laporan lain tak dapat kudengar, suara tangisan juga jeritan mengalir terbawa angin mengisi langit gelap. Aku tak tahu apa pun soal kondisi politik Jazirah Arab. Akan tetapi pria dengan seragam itu meyakinkan, bahwa Irak tidak akan berani menyentuh tanah ini. Itu menjelaskan semuanya, aku melirik sekitar, berpapasan dengan majikan wanita yang tersenyum padaku-- ekspresinya muram.

Suara ledakan kembali terdengar.

.

.

.

Bising kadang kali masih terdengar bahkan hingga tengah malam. Kondisi tidak menguntungkan membuat hatiku resah, tanganku menggores goretan tinta pada kertas. Tepat beberapa jam setelah kami dijanjikan akan aman, majikan menawarkan para pekerja akan dua hal. Pergi kembali ke negara asal mereka dengan gaji 2 tahun penuh, atau mengikutinya pergi mengungsi dari tanah Arab.

Banyak pekerja lain memilih langsung pergi, mengambil gaji dua tahun penuh. Jika dipikirkan itu cukup menguntungkan, karena tanpa bekerja selama itu uang bisa didapat dengan mudah, akan tetapi aku tak berani mengambil tindakan gegabah. Aku meminta waktu dari majikan, bersama beberapa pembantu lain.

Aku mengirim surat cepat pada Bapak. Tepat sehari sebelum pergi mengungsi, aku mendapatkan balasan dari Bapak soal persoalanku. Kertas putih itu kugenggam sementara tubuhku gemetaran, nyeri menjalar ke dada, hatiku macam teriris, tak menemukan jawaban apa pun. Hanya satu hal yang ada di dalam kertas, satu kata 'Tauhid'. Aku mendekap surat itu kuat-kuat.

Ini adalah jawaban Bapak, yang berarti aku harus menyelesaikan semua amanah hingga titik penghabisan. 

.

.

.

12 Agustus 1990, Arab Saudi

Ada banyak pertanyaan yang menjelajahi setiap jengkal kepala, sayangnya tak ada yang akan menjawab pertanyaanku itu, dan tak akan pernah terjawab. Menaiki kendaraan hingga sampai di bandara, aku dengan satu pekerja yang tersisa membawa barang-barang sampai di bandara Abu Dhabi. Di sana penuh sesak, tentu saja akibat terjadinya perang-- banyak sekali orang yang memilih mengungsi termasuk kami.

Majikanku adalah salah satu anggota keluarga kerajaan, mungkin itulah yang membuat perizinan kami dipermudah dan mendapatkan kursi khusus sebagai penumpang pesawat. "Lilis, aku senang kau ikut bersama kami," ujar majikan wanita mengelus tanganku. Aku dapat melihat sorotnya yang muram, menatapku sebentar sebelum menatap jendela pesawat, aku menundukkan kepala.

Kami semua satu rombongan berisi 10 orang. 2 majikan laki-laki dan perempuan, 6 anak majikan, dan 2 pembantu yang salah satunya adalah diriku sendiri. Aku mengangkat kepala mengedarkan kepalaku memandang sekitar, pesawat yang digunakan kami masih tergolong mewah, semua belanjaan yang dibeli sebelum naik pesawat, berbagai perlengkapan dengan kualitas terbaik oleh majikan membuatku tak habis pikir. 

Berapa uang yang harus dikeluarkan majikan? 

.

.

.

13 Agustus 1990, Amerika Serikat

Setelah 18 jam perjalanan di dalam pesawat kami turun di negeri asing. Aku menegak ludah, seperti shock dengan perubahan sosial yang berbanding terbalik dari sebelumnya. Banyak orang kulit putih berlalu lalang mengenakan pakaian mini, atau tak mengenakan penutup kerudung bahkan menunjukkan kemesraan di tempat umum. Aku mendapati bendera Amerika Serikat yang berkibar, ah, kami berada di negeri bebas-- negeri orang kafir.

Aku menggusur koper mengikuti langkah majikan, banyak pasang mata yang mengikuti kami karena kami mengenakan pakaian panjang, terlebih fisik kami yang berbeda. "Jangan hiraukan," bisik salah satu putri. Dia tersenyum manis padaku, lantas kembali melewati pemeriksaan sebelum menaiki kendaraan ke tempat peristirahatan kami di negeri ini.

Semakin kami berlalu pergi, pertanyaan bergejolak membuatku mengeratkan tangan tak dapat berpikir benar. Kenapa kami harus mengungsi ke negeri kafir?  Negara yang memiliki perbedaan mencolok dengan kepercayaan kami maupun majikan? Kenapa tidak mengungsi ke tempat yang pemimpinnya muslim? Kenapa? "Kenapa kita mengungsi ke negara barat?"

Aku menutup mulut mengetahui bahwa aku melontarkan pertanyaan tersebut pada majikan wanita. Beliau terdiam, membeku melirikku sendu, tersenyum kecil. Tak menjawab pertanyaanku. Apakah itu rasa malu atau beliau memiliki alasan lain? Aku tak mengerti.

Bersambung....

26 Mei 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top